Sahabat yang bukan penghafal al-Quran pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah

Tidak semua sahabat pada masa Rasulullah memiliki kemampuan menulis dan membaca. Namun, ada beberapa sahabat yang memiliki kepandaian tersebut. Di antara para sahabat yang pandai menulis dan membaca itu, ada beberapa yang Rasulullah SAW tunjuk sebagai penulis wahyu. Empat di antaranya adalah Muawiyah, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Kaab, dan Zubair bin Awwam.

Bukan Sekedar Menuliskan Wahyu

Semasa Rasulullah hidup, wahyu dari Allah senantiasa turun sedikit demi sedikit. Setiap kali ada wahyu yang turun, para sahabat berkumpul dan mengkaji wahyu tersebut bersama Rasulullah. Beberapa di antaranya ada juga yang menuliskannya di berbagai media. Seperti batu, tulang, kulit hewan, pelepah kurma, dan lain sebagainya.

Namun, empat sahabat pilihan ini tidak hanya sekedar menuliskan wahyu saja. Mereka juga bertugas menuliskan wahyu sesuai dengan petunjuk Allah yang disampaikan melalui Rasulullah. Tulisan-tulisan tersebut disipan di rumah Rasulullah dalam bentuk lembaran. Belum berbentuk buku seperti sekarang.

Para Penulis Wahyu

1. Zaid bin Tsabit

Zaid adalah salah satu sahabat Rasulullah yang pandai dalam bidang bahasa. Rasulullah pernah meminta Zaid untuk mempelajari bahasa Ibrani dan Yahudi agar bisa membacakan surat yang datang dari kaum Yahudi. Permintaan itu berhasil dipenuhi Zaid hanya dalam waktu 19 hari.

Selain pandai dalam bidang bahasa, Zaid bin Tsabit juga merupakan salah satu ulama yang terkemuka di Madinah. Dia menguasai berbagai macam keilmuan. Seperti fikih, fatwa, faraid atau hukum waris, dan lain sebagainya.

2. Muawiyah bin Abi Sufyan

Di antara para penulis wahyu, Muawiyah bisa dikatakan salah satu penulis wahyu yang paling kontroversional. Dia memiliki watak dan kecakapan yang baik serta memiliki sikap tegas. Dia juga dikenal sebagai sahabat yang cerdik, mampu menjadi teladan, tegas, dan berwibawa.

3. Ubay bin Kaab

Ubay bin Kaab adalah salah satu sahabat yang masuk Islam setelah Rasulullah hijrah ke Madinah. Dia memiliki nama alias Abu Thufail atau Abu Mundzir. Selain sebagai penulis wahyu, Ubay bin Kaab juga termasuk salah satu sahabat penghapal Al-Quran. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa Ubay bin Kaab memiliki mushaf susunannya sendiri.

4. Zubair bin Awwam

Di antara para sahabat, Zubair merupakan salah satu sahabat yang dianugerahi banyak karunia. Salah satunya adalah hidayah yang dia terima di usia belia. Zubair memeluk agama Islam pada saat usianya 16 tahun. Orang tuanya tidak melarang atau menghalangi keputusannya tersebut bahkan mendukungnya.

Zubair lahir dari keluarga yang terhormat dan terpandang di dalam kaumnya. Ibunya adalah Shofiyah, putri dari pemuka Quraisy yang juga pemimpin dari para pelayan Ka’bah. Bahkan ibunya juga ikut memeluk agama Islam dan hijrah bersama dengan Zubair.

Itulah 4 orang penulis wahyu Al-Quran. Meskipun begitu, sahabat yang menuliskan wahyu bukan hanya empat orang itu saja. Ada beberapa sahabat lain yang juga ikut menulis Al-Quran. Termasuk di dalamnya para khulafaur rasyidin, yaitu Abu Bakr, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.

Para sahabat penulis wahyu ini merupakan para sahabat yang berjasa besar terhadap umat Islam. Karena dengan adanya al-Quran yang tertulis sebagai mushaf, maka banyak umat Islam yang bisa memahami al-Quran, menghapalkan, serta mengamalkannya hingga hari ini dan hingga hari akhir nanti.

Sahabat yang bukan penghafal al-Quran pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah
www.shiawisdom.com

Chanelmuslim.com – Mu’adz bin Jabal adalah salah satu di antara enam sahabat yang hafal Al-Qur’an pada masa Nabi. Ia ikut dalam perang Badar dan peperangan-peperangan lainnya.

Nama lengkapnya Mu’adz bin Jabal bin Amr bin Aus Al-Anshari Al-Khazrahi, biasa dipanggil Abu Abdurrahman. Ia dilahirkan tahun 20 sebelum hijrah. Ia ikut dalam Bai’at Aqabah II. Ia memiliki wajah yang tampan, berbudi pekerti baik, berwibawa, dan dermawan.

Muadz merupakan sosok sahabat yang terkenal cerdas, otaknya cemerlang, manis tutur katanya. Dalam sebuah majlis, ia tidak memulai pembicaraan, kecuali ada yang bertanya. Ketika berbicara, dari lisannya seolah muncul cahaya dan mutiara.

Nabi pernah mengutusnya ke Yaman sebagai hakim dan guru bagi penduduk setempat. Beliau mengatakan dalam sepucuk surat yang dibawa Mu’adz, “Aku utus kepada kalian orang terbaik dari keluargaku.”

Sebelum Mu’adz berangkat ke Yaman dalam rangka melaksanakan tugas sebagai hakim di sana, Rasulullah bertanya, “Dengan dasar apa kamu memutusakan perkara, wahai Mu’adz?” Mu’adz menjawab, “Dengan Kitab Allah (Al-Qur’an). “Rasulullah menanyakan lagi, “Jika kamu tidak kamu jumpai dalam Kitab Allah?” Mu’adz menjawab, “Aku putuskan berdasarkan sunnah Rasulullah.” Beliau berkata, “Jika tidak kamu jumpai dalam sunnah Rasulullah?” Mu’adz menjawab, “Aku akan berijtihad dengan mengoptimalkan akal pikiranku.”Rasulullah membenarkan ucapan Mu’adz dan berkata, “Segala puji hanya bagi Allah yang telah memberikan petunjuk-Nya kepada utusan Rasul-Nya.

Tentang Mu’adz bin Jabal, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengatakan, “Orang yang paling mengerti tentang perkara halal haram di antara umatku adalah Mu’adz bin Jabal.” Beliau juga pernah mengatakan, “Mu’adz bin Jabal adalah pemimpin para ulama di hari kiamat nanti.”

Kemudian Rasulullah berpesan kepada Muadz, “Kamu akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab, maka ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan aku adalah utusan Allah. Jika mereka telah mematuhinya, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan mereka untuk menunaikan shalat lima kali dalam sehari semalam. Jika mereka telah mematuhinya, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah mewajbkan kepada mereka untuk mengeluarkan zakat yang dipungut dari orang kaya mereka dan disalurkan kepada fakir miskin mereka. Jika mereka telah mematuhinya, maka berhati-hatilah kamu terhadap harta mereka dan takutlah kamu terhadap do’a orang yang teraniaya, karena antara do’a dengan Allah tidak ada hijab (tabir). “(HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Suatu hari, Rasulullah mengatakan kepada Mu’adz, “Wahai Mu’adz, Demi Allah, aku benar-benar mencintaimu. Setiap selesai shalat janganlah kamu lupa mengucapkan, “Ya Allah, berilah pertolongan kepada hamba-Mu untuk senantiasa mengingat-Mu dan beribadah dengan baik kepada-Mu.”

Umar bin Al-Khathab mengatakan, “Kalau tidak ada Mu’adz, celakalah Umar.” Umar memang sering mengajak Mu’adz bermusyawarah dan memintai pendapatnya.

Ibnu Mas’ud pernah mengatakan, “Mu’adz adalah orang yang selalu khusyu’ dalam beribadah kepada Allah dan beragama secara hanif. Kami biasa menyerupakan Mu’adz dengan Nabi Ibrahim.”

Muadz berkata di hadapan sebuah majelis, “Kenalilah kebenaran dengan kebenaran, karena kebenaran itu memiliki cahaya, dan berhati-hatilah kalian terhadap putusan hakim yang menyimpang.”

Pada majelis lain ia berkata, “Pelajarilah ilmu apa saja yang kalian inginkan, karena Allah tidak akan memberi manfaat dari ilmu kalian hingga kalian mengamalkannya.”

Ia pernah bergabung dengan pasukan yang dipimpin Abu Ubadah Al-Jarrah dalam perang untuk membebaskan wilayah Syam. Ketika Abu Ubadah terserang wabah penyakit yang saat itu berjangkit di wilayah Syam, ia lalu menunjuk Mu’adz sebagai penggantinya. Keputusan Abu Ubadah ini disetujui Umar, tetapi hari itu juga Mu’adz menghemuskan nafasnya yang terakhir.

Ketika akan meninggal, ia mengatakan, “Selamat datang maut, kekasih yang datang kepada orang yang merindukannya.”

Muadz meriwayatkan 157 hadits Nabi. Ia meninggal di Jordania bagian timur tahun 18 H dan jasadnya dimakamkan di Al-Ghaur.

Sumber : Tokoh-Tokoh Islam Terkemuka. Pustaka Al Kautsar

Rasulullah SAW sedih karena 70 sahabatnya yang hafal Alquran dibantai musuh.

dok. Republika

Ilustrasi Membaca Alquran

Red: Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rasulullah SAW kerap menerima ujian dalam menyebarkan dakwah Islam kepada umat manusia. Di antaranya adalah pengkhianatan yang menyebabkan musnahnya nyawa para sahabat mulia yang hafal Alquran.

Baca Juga

Insiden itu disebut sebagai tragedi Bir Ma'una. Sebanyak 70 orang sahabat Rasulullah SAW terbunuh oleh para pengkhianat. Karena hafal Alquran, para sahabat Nabi SAW itu digelari Jama'ah Qurra'. Sebagian besar dari mereka berasal dari kaum Anshar.

Rasulullah sangat menyayangi mereka. Para sahabat ini senantiasa menghabiskan malam hari dengan berzikir dan membaca Alquran di masjid. Pada siang hari, banyak di antaranya yang menghadiri majelis Rasulullah SAW.

Bagaimana insiden nahas itu bermula? Awalnya, datang seorang laki-laki bernama Amir bin Malik. Dia berasal dari Bani Amir, sebuah kabilah di Nejed. Kepada Nabi SAW, dia meminta agar beliau mengirimkan Jama'ah Qurra' itu kepada kabilahnya.

Para sahabat yang hafizh itu dimintanya untuk mengajarkan Islam dan Alquran kepada kaumnya.

Mulanya, Rasulullah SAW merasa ada yang tidak beres. Beliau khawatir bila nantinya akan terjadi sesuatu yang buruk atas para sahabatnya tersebut.

Namun, Amir bin Malik terus membujuk Nabi Muhammad SAW. Dia bahkan memberikan jaminan atas keselamatan mereka dengan dirinya sendiri. Akhirnya, Rasulullah SAW mengizinkan. Beliau mengirimkan ketujuh puluh orang sahabatnya itu kepada kabilah Bani Amir.

Di samping itu, beliau juga menitipkan kepada mereka sepucuk surat. Isinya, ajakan untuk memeluk Islam kepada segenap pimpinan kabilah tersebut. Pemuka kabilah sasaran dakwah ini bernama Amir bin Tufail.

Maka berjalanlah mereka. Tatkala hampir sampai di perkampungan Bani Amir, para sahabat ini pun berkemah di sebuah tempat yang bernama Bir Ma'una.

Salah seorang sahabat yang bernama Haram pergi ke perkampungan Bani Amir. Tujuannya, menemui pimpinan kabilah sekaligus menyampaikan surat dari Rasulullah SAW tadi.

Namun, pimpinan kabilah tersebut, Amir bin Tufail, ternyata amat membenci Islam. Dia menampik surat dari Nabi SAW itu. bahkan sebelum membacanya.

Tanpa banyak cakap, keponakan Amir bin Malik itu langsung melemparkan tombak ke tubuh Haram, sehingga sang sahabat ini gugur seketika. Menjelang ajalnya, Haram masih sempat berseru: "Demi Tuhannya Ka'bah, aku telah mencapai kejayaan!"

Amir bin Tufail tidak mengindahkan jaminan yang telah diberikan Amir bin Malik atas segenap Jama'ah Qurra' it. Tidak peduli pula pada kebiasaan di Jazirah Arab, yakni tidak boleh membunuh duta dari kabilah luar.

Setelah itu, Amir bin Tufail mengajak kaumnya agar membantai para sahabat Nabi yang masih berkemah di Bir Ma'una. Awalnya, para bawahannya ragu-ragu karena adanya jaminan yang telah diberikan Amir bin Malik kepada para sahabat Rasulullah SAW itu.

Amir bin Tufail pun menggalang dukungan dari kabilah-kabilah lain di sekitar perkampungannya. Setelah pasukan koalisi itu terkumpul dalam jumlah yang besar, maka serbuan pun dijalankan.

Mereka membunuh semua sahabat Nabi yang ada di sana kecuali satu orang yang tersisa, Ka'ab bin Zaid. Pria ini dikira telah meninggal, padahal masih bernyawa meski luka-luka.

Kabar pembantaian ini pun sampai ke telinga Rasulullah SAW. Beliau sangat sedih dan marah atas kebiadaban Amir bin Tufail dan sekutu.

Sejak saat itu, dalam tiap shalat lima waktu berjamaah, Nabi SAW membacakan doa qunut nazilah kala memimpin shalat. Itu dilakukannya selama beberapa puluh hari. Dalam doa itu, Rasulullah SAW menyebut nama-nama kabilah dari pasukan koalisi tersebut, dengan harapan Allah SWT menimpakan balasan kepada mereka.

  • penghafal alquran
  • qunut nazilah
  • rasulullah saw
  • nabi saw

Sahabat yang bukan penghafal al-Quran pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah

sumber : Islam Digest Republika