Posisi shaf perempuan dewasa paling afdhol ditunjukkan pada pilihan...

Aturan Shaf Laki-Laki dan Perempuan dalam Shalat Berjamaah

Posisi shaf perempuan dewasa paling afdhol ditunjukkan pada pilihan...

Shalat berjamaah sangat dianjurkan dalam Islam dibanding shalat sendirian. Bahkan dalam hadis dikatakan orang yang mengerjakan shalat berjamaah mendapatkan pahala berlipat ganda daripada orang yang shalat sendirian. Karena itu, para ulama mengatakan hukum shalat berjamaah adalah sunnah muakkad. Shalat jamaah memiliki banyak keutamaan, apalagi kalau dilakukan di masjid.

Shalat jamaah memiliki beberapa aturan yang harus dipenuhi bagi orang yang mengerjakannya, salah satunya adalah makmum harus berdiri di belakang imam. Maksudnya, tumit kaki makmum tidak boleh melebihi tumit kaki imam. Karena yang namanya makmum adalah pengikut dan orang yang mengikuti posisinya mesti di belakang imam.

Bagaimana pengaturan shaf shalat berjamaah? Apabila jemaahnya laki-laki dan perempuan, maka laki-laki berdiri di shaf depan, dan perempuan shalat di belakang laki-laki. Syeikh Musthafa Dib Bugha dalam Fiqhul Manhaji menjelaskan:

وإذا صلى خلف الامام رجال ونساء صف الرجال أولا ثم النساء بعدهم، وإذا صلى رجل وامرأة صف الرجال عن يمين الإمام والمرأة خلف الرجال

“Bila di belakang imam ada banyak laki-laki dan perempuan, maka laki-laki berdiri di shaf depan atau awal, setelah itu baru perempuan. Sementara bila ada hanya satu laki-laki dan perempuan, laki-laki berdiri di samping imam, di belakangnya perempuan”.

Dari penjelasan di atas dapat dipahami, dalam shalat berjamaah perlu diperhatikan aturan shaf ini agar shalat yang dilakukan memenuhi aturan shalat jamaah dan sekaligus mendapatkan kesempurnaan shalat berjamaah.

Posisi shaf perempuan dewasa paling afdhol ditunjukkan pada pilihan...

Ilustrasi (Reuters) Ilustrasi (Reuters)

Sebagaimana yang umum tercantum dalam literatur fiqih, konsep penataan shaf yang dianjurkan dalam shalat berjamaah adalah berurutan mulai dari laki-laki dewasa, anak kecil, dan shaf terakhir ditempati oleh perempuan. Sehingga, ketika ketentuan penataan shaf dengan formasi demikian dilanggar, maka dihukumi makruh yang akan berpengaruh dalam hal hilangnya fadilah jamaah dari ritual shalat berjamaah yang dilakukan.

Penjelasan tentang perempuan menempati posisi shaf paling belakang berdasarkan hadits:

خير صفوف الرجال أولها وشرها آخرها وخير صفوف النساء آخرها وشرها أولها (رواه مسلم) ـ

“Shaf yang paling baik bagi laki-laki adalah shaf yang paling awal, sedangkan shaf yang paling buruk bagi mereka adalah shaf yang paling akhir. Dan shaf yang paling baik bagi wanita adalah shaf yang paling akhir, sedangkan shaf yang paling buruk bagi mereka adalah shaf yang paling awal.” (HR. Muslim)

Maksud dari redaksi “shaf yang paling buruk” dalam hadits di atas adalah bahwa menempati shaf tersebut mendapatkan pahala yang paling sedikit dan dianggap menjauhi anjuran syara’.

Namun hal yang layak untuk cermati lebih dalam, apakah makna dari hadits di atas adalah umum dan meyeluruh pada seluruh shaf yang berlaku dalam shalat berjamaah? Atau hanya bermakna khusus, karena ada illat (penyebab atau alasan dasar) tertentu yang mendasari wanita dianjurkan berada di shaf paling belakang? Mengingat realitas yang sering terlaku di masyarakat, posisi shaf wanita berada di bagian kanan atau kiri jamaah laki-laki yang menempati ruang berbeda atau dipisah dengan satir (penghalang) antara jamaah wanita dan jamaah laki-laki,sehingga para jamaah wanita ini sejajar dengan shaf jamaah laki-laki dalam shalat berjamaah.

Setelah ditelaah secara mendalam, ternyata hal yang mendasari penempatan shaf wanita berada di akhir adalah dikarenakan konteks penempatan shalat berjamaah dalam hadits di atas yaitu ketika antara laki-laki dan wanita berada di satu tempat yang sama (ikhtilath). Sehingga ketika wanita berada di shaf awal, secara otomatis mereka bersanding dengan jamaah laki-laki dan hal ini jelas dianggap tidak pantas. Oleh sebab itu, wanita dianjurkan untuk menjauh dari jamaah laki-laki dengan menempati shaf yang paling belakang agar dapat terhindar dari fitnah serta larangan percampuran antara laki-laki dan perempuan dalam satu ruangan.

Sehingga ketika wanita dalam shalat berjamaahnya berada di ruangan tersendiri atau dipisah dengan penghalang yang mencegah pandangan jamaah laki-laki dari jamaah wanita, maka dalam keadaan demikian, posisi shaf yang paling utama bagi wanita adalah shaf yang paling awal, sebab illat (alasan yang mendasari sebuah hukum) kesunnahan menempati shaf paling belakang bagi wanita yang berupa menghindari fitnah dan percampuran dengan laki-laki dalam satu tempat, dalam keadaan ini illat tersebut sudah tidak wujud, sehingga hukum yang dihasilkan menjadi berbeda. Ketentuan demikian seperti yang dijelaskan dalam kitab Tafsir Ruh al-Bayan:

خير صفوف الرجال أولها وشرها آخرها وخير صفوف النساء آخرها وشرها أولها قال في فتح القريب هذا ليس على عمومه بل محمول على ما إذا اختلطن بالرجال فإذا صلين متميزات لا مع الرجال فهن كالرجال ومن صلى منهن في جانب بعيد عن الرجال فأول صفوفهن خير لزوال العلة والمراد بشر الصفوف في الرجال والنساء كونها أقل ثواباً وفضلاً وأبعدها عن مطلوب الشرع وخيرها بعكسه

“Shaf yang paling baik bagi laki-laki adalah shaf yang paling awal, sedangkan shaf yang paling buruk bagi mereka adalah shaf yang paling akhir. Dan shaf yang paling baik bagi wanita adalah shaf yang paling akhir, sedangkan shaf yang paling buruk bagi mereka adalah shaf yang paling awal. Dalam kitab Fath al-Qarib dijelaskan bahwa hadits ini tidaklah bermakna seperti halnya keumumannya akan tetapi diarahkan ketika wanita berkumpul bersama dengan laki-laki (dalam shalat berjamaah). Ketika para wanita shalat secara terpisah, tidak bersama dengan laki-laki, maka dalam hal ini mereka seperti laki-laki (dalam hal shaf yang paling utama adalah shaf yang di depan).

Wanita yang shalat di tempat yang jauh dari jangkauan jamaah laki-laki maka awal shaf bagi wanita tersebut adalah shaf yang paling baik, dikarenakan hilangnya illah (alasan yang mendasari sebuah hukum). maksud dari “seburuk-buruknya shaf bagi laki-laki dan wanita” bahwa menempati shaf tersebut mendapatkan pahala yang paling sedikit dan dianggap menjauhi anjuran syara’, sedangkan hal yang paling baik adalah kebalikannya.” (Syekh Isma’il Haqi bin Mushtafa al-Hanafi, Tafsir Ruh al-Bayan, juz 4, hal. 303)

Berdasarkan referensi tersebut maka tradisi yang sering terlaku di masyarakat berupa penempatan shaf wanita yang berada di awal shaf shalat berjamaah merupakan hal yang sudah benar dan tidak perlu disalahkan, bahkan merupakan hal yang dianjurkan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa asalnya shaf jamaah wanita dalam shalat berjamaah menempati posisi shaf yang paling akhir, sesuai dengan penjelasan yang terdapat dalam hadits. Namun anjuran tersebut hanya berlaku ketika laki-laki dan perempuan berada dalam satu tempat tanpa adanya pemisah. Sehingga ketika jamaah wanita berada di tempat yang berbeda dan terpisah dari jamaah laki-laki, maka shaf awal adalah shaf yang paling dianjurkan bagi mereka, seperti halnya ketentuan shaf yang dianjurkan bagi laki-laki. Wallahu a’lam.

(Ustadz Ali Zainal Abidin)

Penjelasan soal Wakaf dalam Islam

Posisi shaf perempuan dewasa paling afdhol ditunjukkan pada pilihan...

Ilustrasi (deshebideshe.com) Ilustrasi (deshebideshe.com)

Dalam menggapai kesempurnaan, pelaksanaan shalat berjamaah harus sesuai dengan berbagai ketentuan yang telah ditetapkan oleh syara’. Sebab, jika terdapat salah satu hal yang dimakruhkan dalam shalat berjamaah, maka akan berpengaruh terhadap fadhilah (keutamaan) shalat berjamaah.

Salah satu ketentuan yang harus diperhatikan dalam shalat berjamaah adalah tentang pengaturan shaf anak kecil dalam shalat berjamaah. Sebab jika anjuran ini tidak diperhatikan maka akan berakibat pada hilangnya fadhilah shaf pada shalat jamaah, bahkan menurut sebagian pendapat fadhilah shalat berjamaah menjadi hilang.

Sebelum menjelaskan tentang posisi shaf anak kecil dalam shalat berjamaah, patut diketahui bahwa anjuran syara’ dalam hal penempatan para makmum secara umum dalam shalat berjamaah adalah dengan cara menempatkan makmum laki-laki yang dewasa (sudah baligh) pada barisan paling depan (shaf awal) lalu ketika shaf awal tidak cukup maka dilanjutkan pada shaf selanjutnya, lalu di belakang barisan laki-laki dewasa ditempati oleh anak kecil laki-laki yang belum baligh, lalu shaf selanjutnya ditempati oleh khuntsa (orang berkelamin ganda), lalu shaf selanjutnya ditempati oleh para wanita. Ketentuan seperti inilah yang dianjurkan oleh syara’ agar pelaksanaan shalat berjamaah menjadi sempurna. 

Berdasarkan ketentuan di atas, sebaiknya anak kecil tidak menempati shaf-shaf awal selama masih ada laki-laki dewasa yang akan menempatinya. Karena tempat shaf bagi mereka adalah di belakang laki-laki dewasa. Barulah ketika shaf awal tidak penuh, anak kecil boleh untuk menempati shaf-shaf awal yang sejajar dengan laki-laki yang dewasa dalam rangka menyempurnakan shaf. 

Ketentuan tidak bolehnya anak kecil menempati shaf paling depan dalam penjelasan di atas mengecualikan ketika anak kecil memang datang terlebih dahulu dibandingkan dengan orang-orang yang telah baligh, maka dalam hal ini anak kecil diperkenankan untuk menempati shaf depan, dan tidak perlu disingkirkan pada shaf di belakangnya, sebab mereka masih dianggap satu jenis dengan laki-laki yang telah baligh. ketentuan di atas tercantum dalam kitab Mauhibah dzi al-Fadhal:

ـ (ويقف) ندبا فيما إذا تعددت أصناف المأمومين (خلفه الرجال) صفا (ثم) بعد الرجال إن كمل صفهم (الصبيان) صفا ثانيا وان تميزوا عن البالغين بعلم ونحوه هذا (إن لم يسبقوا) أي الصبيان (إلى الصف الأول فان سبقوا) إليه (فهم أحق به) من الرجال فلا ينحون عنه لهم لأنهم من الجنس بخلاف الخناثى والنساء ثم بعد الصبيان وان لم يكمل صفهم الخناثى 

“Lelaki (dewasa) disunnahkan untuk berdiri di shaf belakang imam (shaf pertama) ketika banyak makmum yang ikut berjamaah. Lalu setelah shaf lelaki penuh maka selanjutnya shaf yang di isi oleh anak-anak kecil. Termasuk dari anak kecil ini adalah anak (yang belum baligh) yang dapat dibedakan dari lelaki yang telah baligh dengan cara diketahui atau yang lainnya. Ketentuan ini ketika mereka (anak kecil) tidak mendahului mendapatkan shaf awal. Jika mereka mendahului pada shaf awal (dari orang baligh) maka mereka lebih berhak untuk menempati shaf awal dari lelaki yang telah baligh. Maka mereka tidak boleh diusir dari shaf awal karena mereka masih satu jenis (laki-laki). Berbeda halnya bagi khuntsa (orang yang berkelamin ganda) atau perempuan.” 

ـ (ثم بعدهم وان لم يكمل صفهم النساء) للخبر الصحيح ليلينى منكم أولوا الاحلام والنهى اى البالغون العاقلون ثم الذين يلونهم ثلاثا ومتى خولفا لترتيب المذكور كره وكذا كل مندوب يتعلق بالموقف فإنه يكره مخالفته وتفوت به فضيلة الجماعة كما قدمته فى كثير من ذلك

“Lalu yang menempati shaf dibelakang anak kecil laki-laki, meskipun shaf mereka tidak penuh, adalah khuntsa, lalu setelah khuntsa adalah orang perempuan, mekipun shafnya khuntsa tidak penuh. Hal ini berdasarkan hadis shahih “hendaknya mengiring-ngiringi barisan kalian (imam) orang-orang yang telah baligh, lalu setelah itu orang-orang yang mengiringi kalian” (kata-kata ini diucapkan tiga kali oleh Rasulullah). Ketika ketentuan tertibnya shaf di atas dilanggar maka hukumnya makruh. Begitu juga kemakruhan ini juga berlaku pada melanggar segala kesunnahan yang berhubungan dengan tempat berdiri. Kemakruhan ini dapat menghilangkan fadhilah jama’ah, seperti yang telah saya (Mushannif) jelaskan dalam berbagai keterangan yang berkaitan dengan hal ini.” (Syekh Mahfudz at-Turmusi, Mauhibah dzi al-Fadhal Hasyiyah at-Turmusi, Juz 3, Hal. 59-62)

Maksud dari “anak kecil” dalam pembahasan shaf tersebut bermakna umum, sehingga mencakup seluruh anak yang masih belum baligh, baik itu sudah tamyiz (bisa membedakan hal yang baik dan buruk bagi dirinya) ataupun belum tamyiz (belum bisa membedakan hal yang baik dan buruk bagi dirinya). 

Namun ketentuan penempatan shaf di atas berubah ketika keadaan anak kecil sangat agresif dan hanya dapat shalat dengan tenang ketika bersanding dengan orang tuanya atau orang lain yang ditakutinya. Yakni, sekiranya anak kecil itu shalat berada jauh dari pengawasan mereka maka ia akan berpotensi ramai sendiri atau mengganggu (tasywis) terhadap jamaah lain. Dalam keadaan demikian sebaiknya ia ditempatkan di samping orang tuanya atau orang yang ditakutinya. 

Pengecualian lain juga berlaku ketika keadaan anak kecil masih belum tamyiz dan butuh pendampingan, seperti anak yang masih berumur sekitar dua atau tiga tahun yang masih belum berani jauh dari jangkauan orang tuanya. Hal yang paling maslahat dalam hal ini adalah menyandingkan anak kecil tersebut dengan orang tua atau orang lain yang biasa menjadi tumpuannya, agar anak kecil tidak merasa khawatir ketika jauh dari orang tuanya. Lebih maslahat lagi ketika orang tua dari dua anak kecil dari kategori di atas agar mengalah untuk menempati posisi shaf di belakang laki-aki dewasa, dengan begitu ia dapat mengontrol anaknya sekaligus menjalankan anjuran penempatan shaf bagi anak kecil secara benar. 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa posisi shaf yang benar bagi anak kecil adalah berada di belakang laki-laki dewasa, sekiranya laki-laki dewasa diprioritaskan agar menempati shaf yang berada di depan dan shaf-shaf yang mengiringinya. Baru setelah itu anak kecil ditempatkan pada shaf di belakangnya atau sejajar dengan shaf laki-laki dewasa ketika memang isi shaf tidak penuh. Ketentuan demikian dapat berubah ketika keadaan anak kecil akan ramai atau masih butuh pendampingan orang lain maka baiknya adalah bersanding dengan orang yang menjadi tumpuannya. 

Bagi para takmir masjid hendaknya memperhatikan dan mengamalkan ketentuan ini, agar shalat berjamaah para makmum yang shalat berjamaah di masjid benar-benar mendapat fadhilah shaf sekaligus fadhilah shalat berjamaah secara sempurna. Wallahu a’lam.

(Ustadz Ali Zainal Abidin)

Penjelasan soal Wakaf dalam Islam