Pada jajak pendapat tentang masalah Timor Timur opsi yang diberikan oleh pemerintah Indonesia adalah

Pada Tahun 1997, terjadinya krisis moneter yang melanda Indonesia yang menyebabkan terjadinya hambatan di berbagai bidang pembangunan seperti: ekonomi, politik, sosial dan budaya. Hal ini menjadi penyebab terjadinya demonstrasi dari berbagai kalangan, khususnya di lingkungan kampus. Desakan mahasiawa membuahkan reformasi pada awal tahun 1998, yang pada akhirnya terjadi pergantian pemimpin. dari Presiden Soeharto diganti oleh Wakil Presiden Pro. B.J. Habibie. Karena tuntutan dari negara-negara luar Eropa dan Asean agar Indonesia terus melakukan reformasi dalam politik dan khususnya membantu Propinsi yang ke 27 yaitu Timor Leste agar bisa menentukan nasibnya sendiri. Berhubungan hal itu, desakan-desakan tetap dilakukan oleh Portugal sebagai bekas kloni Timor Leste, dengan Pemerintah Indonesia bersama menentukan masa depan Timor Leste. Sehingga sampailah Kesepakatan 5 Mei 1999 di New York yang terjadi antara Indonesia dan Portugal di bawah koridor PBB yang merancang suatu cara prosedur konsultasi melalui penentuan pendapat secara, rahasia, langsung dan universal. Perubahan politik dunia dan dalam negeri Indonesia yang Implikasinya terjadilah kebijakan pemerintah Indonesia atas Timor Leste, sehingga baik secara langsung maupun tidak langsung Indonesia telah memberi kepercayan kepada rakyat Timor Leste untuk menentukan nasibnya sendiri dengan cara melalui jajak pendapat (public election) untuk memilih Daerah Otonomi Khusus atau Merdeka. Maka realitasnya di lapangan mulai Polri dan TNI mendampingi UNAMET selaku misi PBB yang dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB tertanggal, 5 Mei 1999, No. 1246 untuk menjalankan tugas jajak pendapat di Timor Leste. Puncaknya pada 30 Agustus 1999, secara serentak jajak pendapat diadakan di seluruh Timor Leste maupun di luar Timor Leste yang dengan perolehan suara dari kedua kubu itu masing-masing dari prokemerdekaan 78,50% dan pro- integrasi 21,50%.

In 1997, monetary crisis hit Indonesia leading to obstacles in various development sectors, such as economic, politic and socio-cultural. This condition triggered protests from various communities, particularly academicians. Students’ urges resulted in reformation of early 1998 leading to leader succession from President Soeharto to Vice-president Prof. B. J. Habibie. Countries beyond European and ASEAN demanded Indonesia to continuously perform political reformation especially to assist its 27th province, i.e. East Timor to determine their future. Related to this, Portugal consistently also insisted Indonesia on the East Timor future as former their colony. Therefore, on 5 May 1999 the New York Agreement was ratified between Indonesia and Portugal under UN’s supervision designing consultation procedures of providing opinion for Timorese in secret, direct and universal way. International and national political changes had brought implications toward Indonesian government policy on East Timor. Hence, directly or indirectly, Indonesia provided East Timorese with confidence to determine their future through public election with Special Autonomy District or Independence. Hence, as realization, POLRI (Indonesian Police) and TNI (Indonesian National Armed Forces) accompanied UNAMET as UN mission established according to the UN Security Council’s Resolution No.1246, 5 May 1999 to hold public election in East Timor with votes gathered from pro-independence and pro-integration groups of 78.50% and 21.50%, respectively.

Kata Kunci : Politik,Referendum,Timor Timur

Pada jajak pendapat tentang masalah Timor Timur opsi yang diberikan oleh pemerintah Indonesia adalah

Pada jajak pendapat tentang masalah Timor Timur opsi yang diberikan oleh pemerintah Indonesia adalah
Lihat Foto

KOMPAS/EDDY HASBI

Ratusan pemuda yang tergabung dalam Barisan Rakyat Pembela Merah Putih (BRPMP), hari Senin (6/9), mendatangi Kedutaan Australia, di Jl HR Rasuna Said, Jakarta. Mereka membentangkan berbagai spanduk berisi nada protes berkaitan dengan hasil penentuan pendapat di Timor Timur tanggal 30 Agustus, yang dimenangkan prokemerdekaan.

KOMPAS.com - Hari ini 20 tahun lalu, tepatnya 19 Oktober 1999, menjadi tahun yang penting bagi Timor Leste.

Serangkaian peristiwa yang menentukan kemerdekaannya terjadi pada tahun ini.

Pada 19 Oktober 1999, hasil referendum Timor Timur (Timtim) disetujui melalui Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yaitu memutuskan bahwa Timtim bukan lagi wilayah Indonesia.

Signifikansi perubahan Timtim dimulai pada Januari 1999 saat Habibie mengumumkan ‘pilihan kedua’ bagi Timtim untuk memilih antara otonomi daerah atau kemerdekaan.

Habibie meminta Sekjen PBB saat itu, Kofi Anan, untuk menjembatani Indonesia dan Portugal soal Timtim.

Kemudian, dicapai kesepakatan untuk menggunakan jajak pendapat dalam konsultansi dengan masyarakat Timtim.

Baca juga: Senin Kelam 19 Oktober 1987, Terjadinya Tragedi Bintaro...

New York Agreement

Melansir dari buku Midwifing a New State: The United Nations in East Timor karya Markus Benzing, pada 5 Mei 1999, dicapai kesepakatan antara Indonesia dan Portugal untuk membuat perjanjian referendum di Timtim.

Perjanjian ini dikenal sebagai New York Agreement.

PBB juga membentuk United Nations Mission in East Timor (UNAMET) untuk mengawal kesepakatan Indonesia dan Portugal dalam prosesnya menuju referendum Timtim.

Referendum akhirnya dilaksanakan pada 30 Agustus 1999 dan dilaksanakan dengan dua opsi.

Dua opsi itu yaitu menerima otonomi khusus untuk Timtim dalam NKRI atau menolak otonomi khusus.

Dikutip dari buku Self Determination in East Timor oleh Ian Martin, hasil referendum menunjukkan bahwa sebanyak 94.388 penduduk atau sebesar 21,5 persen penduduk memilih tawaran otonomi khusus.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: 2 Anggota KKO Dieksekusi Mati di Singapura

Sementara, 344.580 penduduk atau 78,5 persen dari total penduduk Timtim memilih untuk menolaknya.

Sidang Umum MPR setujui hasil referendum

Pada 19 Oktober 1999, Sidang Umum MPR menyetujui hasil referendum Timor Timur yang artinya Timor Timur lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Keputusan ini kemudian diatur dalam Ketetapan Nomor V/MPR/1999, yang menyatakan bahwa Ketetapan Nomor VI/MPR/1978 tentang Pengukuhan Penyatuan Wilayah Timor Timur ke dalam NKRI tidak berlaku lagi.

Kemudian, Xanana Gusmao pun dibebaskan setelah tujuh tahun menjadi tahanan politik di Jakarta.

Ia kembali ke Dili sebagai pemimpin dari Conselho Nacional de Resistencia Timorense (CNRT).

Melihat situasi dan kondisi yang ada, PBB memutuskan untuk mengizinkan pembentukan pasukan multinasional di bawah pimpinan Australia yang bernama International Force for East Timor (INTERFET). Pengizinan ini dilakukan untuk menjaga perdamaian dan keamanan di Timtim sementara waktu.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Lahirnya Walt Disney Company

Melansir laporan dari laman resmi Human Rights Watch tahun 2011, dalam masa transisi setelah lepas dari Indonesia, PBB membentuk United Nations Transitional Administration in East Timor (UNTAET).

Badan ini dibentuk sebagai hasil dari Resolusi Dewan Keamanan PBB pada 25 Oktober 1999.

UNTAET bertanggung jawab penuh terhadap urusan administrasi Timtim selama masa transisinya menuju kemerdekaan.

UNTAET tidak hanya terdiri dari komponen-komponen sipil, tetapi juga kekuatan militer dengan kekuatan hingga 8.950 prajurit.

Serah terima komando operasi militer dari INTERFET ke UNTAET selesai dilaksanakan pada 28 Februari 2000.

Sekjen PBB, Kofi Anan, menunjuk Sergio Vieira de Mello dari Brazil, yang sebelumnya merupakan Ketua UNMIK, sebagai perwakilan khusus dan mengatur urusan administrasi transisi.

Persiapan kemerdekaan Timtim dimulai dengan diadakannya pemilihan konstituante pada 30 Agustus 2001.

Baca juga: Hari Ini Dalam Sejarah: Meteor Berdiameter 5-10 Meter Meledak di Bone

Pemilihan ini merupakan pemilihan badan perwakilan pertama secara demokratis dalam sejarah Timor Timur.

Tugas utama konstituante adalah menyusun draft konstitusi untuk Timor Timur yang merdeka dan demokratis.

Pada April 2002, Xanana Gusmao pun dipilih sebagai Presiden pertama Timtim dengan persentase 82,7 persen dari total pemilih.

Setelah beberapa abad kuasa kolonialisme Portugis, 24 tahun menjadi bagian dari Indonesia, dan 2,5 tahun pengurusan administrasi oleh PBB, Timor Timur merdeka pda 20 Mei 2002.

Bersamaan dengan itu, UNTAET dibubarkan dan digantikan oleh United Nations Mission of Support in East Timor (UNMISET).

Badan ini masih ada di Timor Timur hingga Mei 2005 ketika United Nations Office in Timor-Leste (UNOTIL) mulai beroperasi.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Pada jajak pendapat tentang masalah Timor Timur opsi yang diberikan oleh pemerintah Indonesia adalah

Pada jajak pendapat tentang masalah Timor Timur opsi yang diberikan oleh pemerintah Indonesia adalah
Lihat Foto

Dokumen Kompas

BJ Habibie, Kamis (21/5/1998) mengucapkan sumpah sebagai Presiden RI yang baru di Jakarta, disaksikan presiden sebelumnya, Soeharto

KOMPAS.com - Bacharuddin Jusuf Habibie adalah Presiden Republik Indonesia ketiga yang menjabat sejak 1998, menggantikan Soeharto.

Masa jabatannya sebagai presiden terbilang singkat, yakni dari 1998 dan berakhir pada 1999.

Meski terbilang singkat, BJ Habibie mampu membuat reformasi besar-besaran dalam sejarah Indonesia.

Salah satu peristiwa yang tidak pernah dilupakan era Presiden Habibie adalah lepasnya Timor Timur dari Indonesia.

Baca juga: Pertempuran Timor (1942-1943)

BJ Habibie melepas Timor Timur

Pergolakan di Timor Timur sudah terjadi jauh sebelum BJ Habibie menjabat sebagai presiden.

Setelah lama menjadi jajahan Portugal, pada 17 Juli 1976, Timor Timur resmi menjadi provinsi Indonesia yang ke-27.

Namun, integrasi ternyata tidak menyelesaikan masalah. Pasalnya, terdapat banyak pihak yang menentangnya.

Selain dari sejumlah golongan di Timor Timur, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga tidak setuju dengan penyatuan Timor Timur dengan Indonesia.

Tekanan semakin meningkat saat negara-negara yang mulanya mendukung integrasi mulai mengubah sikapnya.

Hingga 1999, PBB terus mengusulkan jajak pendapat terhadap penduduk Timor Timur, yang akhirnya dilakukan oleh Presiden Habibie.

Baca juga: Kontroversi Pengangkatan BJ Habibie sebagai Presiden Indonesia

Kebijakan yang diambil Habibie terkait masalah Timor Timur adalah melaksanakan referendum atau jajak pendapat atau pemungutan suara.

Pada 27 Januari 1999, pemerintahan Habibie menawarkan dua pilihan, yaitu otonomi khusus atau memisahkan diri.

Kemudian, Presiden BJ Habibie mengadakan referendum di Provinsi Timor Timur pada 30 Agustus 1999, di bawah pengawasan United Nations Mission for East Timor (UNAMET) dan diikuti oleh penduduk Timor Timur.

Adapun hasil referendum diumumkan di New York dan Dili pada 4 September 1999.

Isinya adalah bahwa hampir 78,5 persen penduduk Timor Timur ingin merdeka atau memisahkan diri, dan menolak tawaran otonomi khusus dari Indonesia.

Dengan hasil tersebut, MPR RI dalam Sidang Umum MPR pada 1999, mencabut TAP MPR No. VI/1978 dan mengembalikan Timor Timur seperti pada 1975.

Mulai saat itu, Timor Timur lepas dari Indonesia dan diakui secara internasional sebagai negara merdeka dengan nama Timor Leste pada 20 Mei 2002.

Referensi:

  • Sudirman, Adi. (2019). Ensiklopedia Sejarah Lengkap Indonesia. Yogyakarta: DIVA Press.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.