Mengapa lampu belajar rasya dapat menyala

Facebook 邮箱或手机号 密码 忘记帐户? 无法处理你的请求此请求遇到了问题。我们会尽快将它修复。 English (US)日本語 한국어 Meta Pay Pertanyaan yang sering diperdebatkan siswa ketika membahas tema; "negara maju dan negara berkembang" adalah; Indonesia, apakah negara maju atau negara berkembang? Biasanya dengan menggunakan metode brainstorming (curah pendapat), saya mendapati silang pendapat. Kelas pecah menjadi dua kelompok. Sekelompok siswa mengatakan Indonesia negara maju, kelompok lain menyebut Indonesia negara berkembang.

Siswa yang mengelompokkan Indonesia pada negara maju menyampaikan fakta. Tentang mall-mall yang tumbuh liar di kota-kota besar dengan model dan gaya modern membuat air liur penggila mall bercucuran. Mobil-mobil mewah dengan model dan gaya kekinian yang memadati jalan dan tempat parkir perkantoran. Gaya hidup para pesohor negeri ini yang penuh glamor dan banyak ditiru oleh anak muda dan anak tua yang seolah-olah muda. Perangkat-perangkat elektronik canggih, seperti smartphone dan smart TV yang menyasar semua kalangan, bukan lagi makhluk langka. Pemaparan yang masuk akal.

Di sisi seberang, siswa yang mengelompokkan Indonesia sebagai negara berkembang tak kalah galaknya menyampaikan fakta. Tentang fasilitas kesehatan yang jauh tertinggal, mereka dengan cekatan mencomot berita tentang mantan Ibu Negara, Ibu Ani Yudoyono, Ustadz Arifin Ilham dan beberapa tokoh lainnya yang harus dirujuk ke rumah sakit Singapura karena fasilitas rumah sakit Indonesia yang kurang memadai. Fasilitas pendidikan Indonesia yang juga menurut mereka kalah bersaing negara-negara lain. Buktinya banyak generasi muda Indonesia yang tergila-gila untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri. Mereka tidak lupa menyebut sederet nama artis terkenal seperti Maudy Ayunda, El Rumi, Teuku Rasya, dan entah nama siapa lagi yang mereka sebut, saya tidak kenal. Ahh! Dasar siswa penggila infotaiment!

Kelompok ini juga menunjukkan bukti tentang taraf kesejahteraan rakyat yang masih rendah, dengan masih banyaknya orang miskin. “Faktanya tidak usah jauh-jauh, di kampung saya, rata-rata penduduknya miskin”, ucap Nadiah dengan mimik yang sengaja dibuat garang. Di luar dugaan, mereka sampai menyerempet masalah korupsi. Menurutnya, alasan yang paling tepat untuk mengelompokkan Indonesia sebagai negara berkembang adalah masih maraknya prilaku korupsi di kalangan pejabat dan dunia usaha. “Bagaimana negara mau maju kalau pejabat tidak berhenti korupsi”, kata Kholis sang ketua kelas.

Saya menikmati curah pendapat ini. Diam-diam saya mengagumi keluasan wawasan mereka. Kelihatan sekali, mereka akrab dengan sumber-sumber belajar yang tidak terbatas pada buku-buku teks di sekolah yang keadaannya sudah kumal dan penuh coretan iseng. Ini sisi positif pemilikan gedget, bagi siswa.

Brainstorming selesai. Untuk memberikan kejelasan bagaimana mendudukkan Indonesia, apakah di kelompok negara maju atau di negara berkembang, maka siswa diberi tugas secara berkelompok untuk mengidentifikasi ciri negara berkembang dan ciri negara maju yang kemudian dicocokkan dengan kondisi Indonesia. Dengan mencermati ciri-ciri itu merekapun akhirnya sepakat, Indonesia tergolong negara berkembang!

Sekarang tugas saya memberikan penguatan. Faktor yang sangat menentukan untuk kemajuan suatu bangsa adalah mindset (pola pikir) warganya. Mindset menjadi dasar bagi seseorang untuk bertindak dan berprilaku. Bisa lahir dari agama/keyakinan yang dianut, bacaan, pengalaman, lingkungan, bisa pula dari kebiasaan yang terawat bertahun-tahun. Saya pernah membaca di sebuah majalah, saya lupa namanya. Cerita tentang seorang dari negara berkembang (di majalah itu disebutkan nama negaranya), sebut saja namanya Hendrik. Hendrik melawat ke satu-satunya negara maju di Asia Tenggara, Singapura.

Suatu pagi Hendrik keluar dari hotel tempatnya menginap untuk jogging. Bersamaan dengannya seorang warga Singapura, sebut saja nama Thomas, juga keluar dari halaman rumahnya untuk keperluan yang sama. Thomas ditemani oleh anjing kesayanganya. Jalanan masih sunyi, kendaraan yang melintas masih jarang. Di sebuah perempatan, lampu merah menyala. Thomas yang posisinya paling depan sudah menyebrang sebelum lampu merah menyala. Sementara Hendrik dan anjingnya Thomas bersamaan tiba pada saat lampu merah menyala. Anjing Thomas secara spontan berhenti dan menunggu lampu selanjutnya menyala. Sementara Hendrik karena beranggapan bahwa jalanan masih sunyi lagi pula tidak ada kendaraan yang lewat maka dia memilih lanjut melanggar lampu merah. Hendrik dari sebuah negara berkembang membawa kebiasaannya ke Singapura, tidak disiplin. Malahan kalah sama anjingnya Thomas yang dengan patuh mengikuti isyarat lampu lalu lintas.

Pada kesempatan yang lain saya membaca pula bagaimana budaya pengendara di Jepang. Meskipun mengendara tengah malam, sendirian tanpa kendaraan lain dan tanpa petugas yang berjaga. Jika lampu merah menyala pengendara tetap patuh, berhenti. Dalam hal antri, Jepang adalah contoh terbaik. Dimanapun, kapanpun, dan dalam keadaan mepet apapun, kalau sudah gilirannya mengantri maka orang Jepang akan melakukannya dengan sangat baik dan teratur meski tak ada yang mengatur. Di Jepang dan negara-negara maju lainnya menganggap bahwa budaya antri harus ditanamkan ke anak-anak sedini mungkin bahkan pembelarannya melebihi porsi mata pelajaran. Seorang guru dari Australia konon pernah berkata; “kami tidak terlalu khawatir jika anak-anak sekolah dasar kami tidak pandai matematika, kami jauh lebih khawatir jika mereka tidak pandai mengantri.

Pada perhelatan Piala Dunia di Rusia tahun 2018 lalu, suporter Jepang membuat dunia tercengang. Meskipun kesebelasan kesayangannya tersingkir di Piala Dunia setelah kalah dari Belgia pada babak 16 besar, tetapi negara ini diinggap memenangi hati pencinta bola seluruh dunia. Berawal dari aksi simpatik yang dipertontonkan oleh suporter negeri Sakura itu. Mereka membersihkan sampah di stadion seusai pertandingan. Aksi ini menjadi viral dan menginspirasi beberapa negara lainnya.

Dalam perhelatan Asean Games tahun 2018 di Jakarta aksi serupa kembali dipertontonkan. Dua orang suporter Jepang memunguti puntung rokok yang banyak bertebaran di bawah pohon dan membuangnya di bak sampah. Foto-foto mereka tersebar luas di media sosial dan mengundang banyak simpati. Beberapa waktu lalu menteri Jepang untuk urusan olimpiade dan paralimpik, Yoshita Sakurada meminta maaf secara terbuka karena terlambat tiga menit mengikuti rapat. Meskipun demikian parlemen tetap mendesaknya untuk mengundurkan diri.

Jadi penting untuk dipahami bahwa kemajuan suatu negara tidak boleh hanya dilihat dari tampilan fisik. Dari gedung-gedung pencakar langit, mobil-mobil mewah, atau perangkat teknologi serba canggih. Tetapi yang lebih utama dari semuanya adalah memahami apa yang menjadi landasan dari capaian-capaian itu.

Mindset, pola pikir membangun. Ini yang mendasari kemajuan Jepang, Singapura, Australia, Amerika Serikat, Korea Selatan dan umumnya negara-negara Eropa. Pola pikir akan menghasilkan karakter; disiplin, rajin, bertanggung jawab, ulet, sabar, menghargai waktu, serta jujur. Karakter ini yang dimiliki oleh penduduk negara-negara maju seperti yang dicontohkan pada beberapa potongan cerita di atas. Pantas kalau mereka menikmati kemajuan dan berlomba menjauh meninggalkan negara-negara berkembang.

Lalu bagaimana dengan negeri kita? Saya sering bercerita sambil mengelus dada. Di jalan, saat lampu merah menyala dengan tanpa penjagaan petugas, sebagian pengendara malah tancap gas. Lampu hijau menyala, terlambat sedikit saja star suara klakson berhamburan memekakkan telinga. Di perkantoran, pelayanan publik terhambat oleh tidak adanya budaya antri, siapa kuat apalagi kenal dengan petugas, urusan cepat beres. Di kendaraan umum maupun kendaraan pribadi, penumpang seenaknya membuang sampah cemilan sepanjang jalan yang dilaluinya. Di kantor-kontor, di sekolah, keterlambatan adalah hal yang lumrah. Di pemerintahan, pengangkatan pejabat bukan kerena prestasi tetapi karena kedekatan. Pengambilan keputusan, bukan karena kemaslahatan rakyat tetapi karena kepentingan pribadi dan golongan. Masih banyak lagi yang akan membuat sesak napas jika ingin menyebutnya.

Karakter semacam inilah yang membuat bangsa ini berjalan terseok-terseok mengejar ketertinggalannya. Maka tidak boleh tidak, kita harus bersegera mengikis habis karakter parasit ini. Dan hal ini sangat bisa dilakukan sepanjang kita mau. Indonesia dikenal sebagai bangsa yang religius, malahan adalah bangsa dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Semua agama menjunjung tinggi karakter berkemajuan. Ditambah lagi dengan falsafah negara yang menempatkan Indonesia sebagai bangsa yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Kita juga memiliki banyak kearifan lokal serta budaya yang mendukung kemajuan. Unsur-unsur ini bisa kita padukan, di-eksplorasi untuk menghasilkan pola pikir dan karakter membangun.

Mengapa lampu itu bisa menyala?

Lampu dapat menyala karena ada aliran arus listrik. Arus listrik menghasilkan gaya listrik. Arus listrik mengalir dari kutub positif menuju kutub negatif. Saat arus listrik mengalir melewati lampu, lampu akan menyala.

Apa yang menyebabkan lampu menyala brainly?

Lampu dapat menyala akibat adanya aliran arus listrik, yang kemudian diubah menjadi energi cahaya melalui pijaran pada filamen di lampu. Pembahasan: Arus listrik adalah aliran elektron dari benda berpotensial tinggi, ke benda berpotensial rendah.