Kabut asap merupakan Bencana yang muncul karena adanya

Kabut asap merupakan Bencana yang muncul karena adanya

Tahun 2015 sepertinya menjadi tahun yang tidak akan pernah dilupakan oleh masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak? belum selesai dilanda kekeringan di beberapa wilayah, saat itu masyarakat harus menghadapi kabut asap yang menyelimuti hampir sebagian wilayah di Indonesia dengan Sumatera dan Kalimantan menjadi pulau yang paling besar mendapatkan dampaknya.

Seperti kita ketahui, pada saat itu pemerintah melalui BMKG memberikan informasi bahwa pada tahun 2015 wilayah Indonesia akan dilanda El Nino dan beberapa wilayah di Jawa, Nusa Tenggara, Sumatera bagian selatan, dan Kalimantan akan terkena dampaknya. Dampak dari kejadian El Nino tersebut akan mengurangi curah hujan khususnya di musim kemarau. Informasi tersebut seolah – olah menjadi kenyataan di salah satu provinsi di Indonesia yakni Kalimantan Selatan. Berdasarkan informasi yang dihimpun dari Stasiun Klimatologi Banjarbaru data pos hujan update 31 Agustus 2015 hampir di seluruh wilayah Kalimantan Selatan sudah tidak hujan antara 6 – 76 hari. Keadaan terparah terjadi di Kab. Tanah Laut dimana semua pos hujan yang mewakili daerah tersebut sudah tidak hujan selama lebih dari 60 hari, hal itu menunjukkan bahwa daerah tersebut rawan terjadi kekeringan ekstrim. Keadaan lebih parah terjadi di wilayah Indonesia bagian selatan seperti Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Pada waktu itu ada beberapa daerah di Nusa Tenggara Barat yang bahkan sudah tidak hujan lebih dari 90 hari

Pada saat itu wilayah di Sumatera, Kalimantan dan beberapa wilayah di Indonesia bagian selatan tidak hanya menghadapi bencana kekeringan, khususnya Sumatera dan Kalimantan ada persoalan lain yang tidak kalah penting yakni kabut asap. Wilayah di kedua pulau yang masih didominasi hutan dan ladang menjadi pemicu utama terjadinya kabut asap pada saat itu. Hujan yang tidak turun lebih dari tiga bulan menambah penderitaan masyarakat di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Bahkan saat itu bencana kabut asap sampai mendapatkan protes besar-besaran dari negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Kabut asap yang terjadi di wilayah Riau dan Sumatera Selatan sangat mengganggu kualitas udara di kedua negara tersebut.

Selepas melewati masa-masa yang tidak menyenangkan tahun 2015, Pada dua tahun berikutnya pemerintah menjadi lebih siap dalam menghadapi ancaman nyata di musim kemarau yakni kekeringan dan kabut asap. Pada tahun 2016 dan 2017 keadaan faktor pengendali iklim juga mendukung. Saat itu tidak ada indikasi akan terjadinya El Nino seperti tahun 2015 namun diprediksi akan terjadi La Nina dengan kategori lemah. Sehingga ancaman pemerintah dan masyarakat Indonesia bukan lagi kekeringan dan kabut asap namun banjir, tanah longsor, dan curah hujan ekstrim.

Memasuki tahun 2018, BMKG memprediksi bahwa tahun ini merupakan tahun ENSO netral dimana keadaan iklim yang terjadi nantinya akan cenderung sama dengan normalnya. Apabila suatu daerah keadaan normalnya kering maka tahun ini daerah tersebut juga akan kering begitu juga sebaliknya. Informasi ini akan terus diupdate setiap bulan untuk melihat bagaimana perkembangan dinamika atmosfer yang terjadi. Memasuki awal musim kemarau yang biasanya  terjadi pada bulan April – Mei, pemerintah telah memberikan himbauan kepada masyarakat untuk mewaspadai bencana kekeringan dan kabut asap. Himbauan untuk tidak membakar hutan dan lahan sudah dipasang di berbagai tempat khususnya wilayah Sumatra dan Kalimantan. Hal ini dilakukan tentu untuk mencegah kejadian terulang yang terjadi pada tahun 2015. Bahkan presiden Joko Widodo mengancam akan mencopot Kapolda dan Pangdam yang daerah tanggung jawabnya terjadi kebakaran hutan dan lahan yang menimbulkan kabut asap.

Bulan Juli 2018, dimana sebagian besar wilayah Indonesia sudah memasuki musim kemarau beberapa wilayah di Indonesia muncul titik – titik panas. Menurut satelit Terra / Aqua yang diperoleh dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tercatat provinsi Kalimantan Barat memiliki jumlah titik panas paling banyak yakni berjumlah 223 titik panas, disusul dengan provinsi Riau dengan 93 titik panas. Titik panas juga muncul di hampir semua provinsi di Indonesia. Akhir bulan Juli 2018 BMKG  dan beberapa lembaga iklim dunia seperti BOM, JMA, dan NOAA telah mengupdate informasi dinamika atmosfer yang terjadi dan prediksi iklim sampai dengan akhir tahun nanti. Menurut mereka sampai dengan akhir tahun 2018 diprediksi akan terjadi El Nino dengan kategori lemah. Kedua hal ini seolah menjadi sinyal bagi pemerintah dan masyarakat untuk semakin waspada memasuki musim kemarau pada tahun ini. Musim kemarau pada tahun ini diprediksi akan berlangsung sampai dengan bulan Oktober, tentu kejadian yang tidak diinginkan seperti kekeringan dan kabut asap masih mungkin terjadi.

Memasuki pertengahan bulan Agustus 2018 keadaan ternyata menjadi semakin parah. Kabut asap mulai muncul di wilayah Kalimantan dan Sumatra. Di Provinsi Kalimantan Barat  sampai dengan tanggal 21 Agustus 2018 tercatat sudah lebih dari 1500 titik panas yang muncul. Di Banjarbaru Kalimantan Selatan, hampir setiap pagi hari sekitar pukul 05.30 WITA serbuan kabut asap meyelimuti seluruh wilayah dengan bau khas yang menyengat. Kota yang menjadi pusat pemerintahan provinsi Kalimantan Selatan itu terlihat beda beberapa hari terakhir bau yang menyengat dan jarak pandang yang terbatas mulai mengakrabi aktivitas sehari – hari masyarakat. Munculnya kabut asap yang cukup mengganggu aktivitas masyarakat itu ditenggarai akibat terbakarnya semak-semak dan lahan yang ada di sekitar kota itu. Selain mengganggu aktivitas masyarakat kabut asap juga menyebabkan jarak pandang terbatas. Dalam beberapa hari terakhir jarak pandang saat kabut asap bisa mencapai kurang dari 500 meter. Hal ini tentunya sangat membahayakan bagi pengendara kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat. Selain itu kabut asap juga membahayakan bagi kesehatan, mata menjadi perih akibat iritasi dan penyakit ISPA (Insfeksi Saluran Pernapasan Akut) akan lebih mudah terjadi.

Kabut Asap Menjadi Mimpi Buruk bagi Masyarakat

Kejadian kabut asap jelas ada kaitannya dengan persoalan awal yang melanda masyarakat yakni kekeringan akibat hujan yang sudah lama tidak turun. Selain itu, tentu ada faktor ulah manusia yang menjadi penyebabnya. Lahan dan hutan yang dibakar untuk membuka lahan malah menjadi bumerang bagi manusia itu sendiri. Hujan yang tidak turun dan panas yang sangat terik memudahkan sekitar area lahan yang dibakar menjadi ikut terbakar sehingga luas wilayah yang terbakar bertambah luas. Himbauan yang sudah disampaikan pada awal-awal musim kemarau ternyata kurang diperhatikan masyarakat, Bahkan ada salah satu media elektronik menyebut bahwa kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan Barat karena sengaja dibakar. Bencana kabut asap seolah – olah menjadi mimpi buruk bagi masyarakat  setiap musim kemarau. Kondisi iklim yang diprediksi normal dan tidak separah tahun 2015 pun seperti tidak menjamin akan terhindar dari bencana ini. Selain faktor alam tentu hal ini terjadi karena ulah masyarakat itu sendiri, kejadian bencana yang sudah terjadi beberapa tahun sebelumnya dan sangat merugikan tidak menjadi pelajaran bagi masyarakat di daerah kawasan hutan dan lahan. Membakar selalu menjadi alasan untuk membuka lahan, padahal tentu ada acara lain yang lebih efektif. Jika hal ini sudah terjadi seperti saat ini tentu kita semua yang rugi, kita mudah terserang penyakit, aktivitas terganggu belum lagi pemerintah mendapat protes dari negara tetangga akibat kabut asap yang terbawa angin menuju wilayah mereka.

Peran Serta Pemerintah dan Masyarakat

Dalam menghadapi masalah ini, perlu adanya kerjasama antara pemerintah dan masyarakat. Pemerintah sebagai pengambil kebijakan melakukan tindakan-tindakan preventif mencegah sebelum bencana terjadi. Hal yang dapat dilakukan misalnya dengan memberikan sosialisasi dan edukasi bagi masyarakat. Pemda sebagai otoritas yang mempunyai wewenang mengeluarkan izin kepada perusahaan untuk mengelola hutan harus memastikan sega­la administrasi yang berkaitan dengan lingkungan seperti Amdal harus melalui meka­nisme yang benar. Selain itu pemerintah dapat mela­kukan kebijakan moratorium/jeda tebang yakni penghentian sementara segala bentuk akti­vitas yang berpotensi merusak hutan baik kualitas maupun kuantitas dikawasan hutan dan kawasan non hutan guna menjamin kelestarian eko­sistim hutan dan keselamatan hidup manusia. Sebagai masyarakat, yang dapat dilakukan adalah mendukung program pemerintah dan melakukan hal-hal kecil dan sederhana secara terus menerus dan konsisten yang dapat memberikan perubahan. Contoh kecilnya adalah dengan menjaga kelestarian hutan dengan segala isinya.

Bencana kabut asap ini tidak akan selesai sampai disini, tahun depan kita akan kembali menghadapinya. Tahun ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita semua, bahwa dalam menhadapi suatu bencana perlu adanya kesadaran, kerjasama, dan tentunya tindakan-tindakan yang tepat dan bijak serta berkelanjutan sehingga dapat mencegah terjadinya bencana yang lebih besar pada tahun-tahun berikutnya.