Bahasa Indonesia dalam Pembentukan PeraturanBahasa hukum sebagaimana Anda tanyakan dan kaidah tata bahasa yang digunakan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia sebenarnya tunduk pada kaidah Bahasa Indonesia. Hal ini sesuai dengan bunyi Angka 242 Lampiran II UU 12/2011 yang menyatakan bahwa: Show Bahasa Peraturan Perundang–undangan pada dasarnya tunduk pada kaidah tata Bahasa Indonesia, baik pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan, maupun pengejaannya. Namun bahasa Peraturan Perundang-undangan mempunyai corak tersendiri yang bercirikan kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan asas sesuai dengan kebutuhan hukum baik dalam perumusan maupun cara penulisan. Lebih lanjut, Angka 243 Lampiran II UU 12/2011 memberikan petunjuk bagi penyusun peraturan perundang-undangan terkait ciri-ciri bahasa peraturan perundang-undangan yakni: Ciri-ciri bahasa Peraturan Perundang-undangan antara lain:
Adapun secara keseluruhan Bab III Lampiran II UU 12/2011 memberikan berbagai arahan untuk menyusun kalimat, penggunaan kata dan frasa, pemilihan istilah, serta teknik pengacuan untuk merumuskan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Adakah Aturan Penggunaan 'Bahasa Hukum'?Kemudian jika dilihat secara teori, baik ahli bahasa dan ahli perancangan peraturan perundang-undangan sebenarnya telah mempertanyakan penggunaan bahasa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Hal ini misalnya diungkapkan oleh Prof. A. Hamid S. Attamimi sebagaimana dikutip oleh Prof. Maria Farida Indrati S dalam bukunya Ilmu Perundang-undangan II: Proses dan Teknik Penyusunan mengungkapkan bahwa ahli bahasa mungkin saja mempertanyakan apakah bahasa dalam perundang-undangan tidak sama dengan bahasa pada umumnya (hal. 253). Bahkan, mungkin juga pernah terdengar bagi kita suatu ungkapan bahwa istilah yang digunakan adalah 'bahasa hukum'. Padahal menurut ahli bahasa, bahasa yang digunakan untuk pembentukan peraturan perundang-undangan tidak berbeda sama sekali dengan bahasa pada umumnya, sehingga tidak tepat jika menggunakan istilah 'bahasa hukum'. Yang membedakan 'bahasa hukum' lebih tepatnya adalah model bahasa atau laras bahasa. Junaiyah H. Matanggui dalam bukunya Bahasa Indonesia untuk Bidang Hukum dan Peraturan Perundang-undangan menyatakan hal yang membedakan bahasa yang dipakai di bidang hukum peraturan perundang-undangan menggunakan istilah, kosakata tertentu, dan gaya penyampaian yang sesuai dengan keperluan dan kelaziman yang berlaku di bidang hukum, di tiap bidang terdapat kekhasan masing-masing, misalnya di bidang kedokteran, pendidikan, pertanian, teknik, atau penerbangan, semua memiliki kekhasan laras namun tetap tunduk pada kaidah bahasa pada umumnya (hal. 1). Menurut Junaiyah, Bahasa Indonesia di bidang hukum harus memenuhi syarat-syarat berikut (hal. 8-26):
Ann Seidman dan Robert B. Seidman dalam buku Legislative Drafting for Democratic Social Change: A Manual for Drafter menyatakan keberhasilan seorang perancang peraturan perundang-undangan (drafter) untuk menyusun kalimat perundang-undangan dilihat dari seberapa mudahnya kalimat itu dipahami oleh pihak yang dituju atau lembaga yang ditunjuk untuk melaksanakan ketentuan tersebut. Kalimat yang mudah dipahami tersebut pada akhirnya akan mudah juga untuk dilaksanakan. Oleh karena itu, dalam kalimat-kalimat yang dipakai dalam peraturan perundang-undangan harus memuat setidaknya “who does what” yaitu “siapa melakukan apa” (hal. 233-234). Elemen “siapa” merujuk pada subjek atau adresat pihak yang dituju untuk melakukan sesuatu, sedangkan elemen “apa” adalah perilaku yang diperintahkan kepada pihak tersebut (hal. 233-234). Suatu kalimat yang dirancang untuk mengatur perilaku harus mengandung subjek dan predikat. Subjek adalah mengenai siapa, yaitu setiap orang atau sekelompok orang yang diwajibkan, dilarang atau dibolehkan oleh ketentuan-ketentuan dalam rancangan peraturan perundang-undangan. Sedangkan predikat merupakan kata kerja, yaitu apa yang diwajibkan, dilarang, atau dibolehkan untuk dilakukan oleh subyek.[1] Untuk membedakannya dengan kalimat informatif, kalimat yang dirancang untuk mengatur perilaku harus memasukkan suatu kata bantu yang dilekatkan pada kata kerja, dengan demikian kalimat tersebut menjadi kalimat yang normatif. Kata bantu itu meliputi: wajib atau harus, dapat, dan dilarang.[2] Demikian jawaban dari kami tentang penggunaan 'bahasa hukum' dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Referensi:
[1] Sony Maulana Sikumbang. Bahan Ajar Mata Kuliah Perancangan Peraturan Negara (PPN) yang disampaikan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021 [2] Sony Maulana Sikumbang. Bahan Ajar Mata Kuliah Perancangan Peraturan Negara (PPN) yang disampaikan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021 |