Jelaskan alasan mengapa penganggaran berbasis akrual sulit untuk diterapkan

TANTANGAN PENERAPAN AKUNTANSI BERBASIS AKRUAL DI PEMERINTAHAN INDONESIA Oleh: Muhammad Ahyaruddin PENDAHULUAN Tuntutan pelaksanaan pengelolaan keuangan negara agar dijalankan dengan transparan dan akuntabel menjadi isu yang sangat penting di pemerintahan Indonesia. Salah satu kunci penting dalam pengelolaan keuangan negara tersebut adalah terkait dengan sistem akuntansi pemerintahan Indonesia. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menjadi awal mula pelaksanaan pengelolaan keuangan negara yang transparan dan akuntabel. Dalam undang-undang tersebut mengamanatkan kepada pemerintah Indonesia untuk menerapkan sistem akuntansi berbasis akrual selambat-lambatnya tahun 2008. Penggunaan basis akrual merupakan salah satu ciri dari praktik manajemen keuangan modern (sektor publik) yang bertujuan untuk memberikan informasi yang lebih transparan mengenai biaya (cost) pemerintah dan meningkatkan kualitas pengambilan keputusan di dalam pemerintah dengan menggunakan informasi yang diperluas, tidak sekedar basis kas. Secara umum, basis akrual telah diterapkan di negara-negara yang lebih dahulu melakukan reformasi manajemen publik. Tujuan kuncinya adalah untuk meminta pertanggungjawaban para manajer dari sisi keluaran (output) dan/atau hasil (outcome) dan pada saat yang sama melonggarkan kontrol atas masukan (input). Dalam konteks ini, para manajer 1

diminta agar bertanggung jawab untuk seluruh biaya yang berhubungan dengan output/outcome yang dihasilkannya, tidak sekedar dari sisi pengeluaran kas (Mulyana,-). Namun kenyataannya penerapan sistem akuntansi berbasis akrual tersebut menjadi kendala bagi pemerintah Indonesia. Sehingga sampai saat ini belum bisa diterapkan secara penuh dan masih menggunakan sistem akuntansi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 yaitu basis kas menuju akrual (cash toward accrual). Tuntutan-tuntutan masyarakat yang semakin kuat dan adanya dorongan dari lembaga-lembaga internasional, seperti Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), the International Monetary Fund (IMF), dan World Bank, untuk menerapkan basis akrual kepada negara-negara di dunia menyebabkan pemerintah Indonesia terus berupaya untuk memperbaiki sistem akuntansinya (Halim, 2012). Hal tersebut mendorong pemerintah pada tahun 2010, melalui Komite Standar Akuntansi Pemerintahan (KSAP) menerbitkan standar akuntansi pemerintahan berbasis akrual yang ditetapkan melalui PP nomor 71 tahun 2010 tentang standar akuntansi pemerintahan menggantikan PP nomor 24 tahun 2005. Sejak diterbitkannya standar akuntansi berbasis akrual tersebut, pengelolaan keuangan negara yang transparan dan akuntabel mulai semakin membaik. Hal tersebut tercermin dari laporan keuangan yang disajikan pemerintah. Namun ternyata pelaksanaan sistem akuntansi berbasis akrual berdasarkan PP Nomor 71 Tahun 2010 tersebut juga belum diterapkan secara 2

penuh oleh pemerintah Indonesia. Hal tersebut bisa dilihat dari laporan anggaran pemerintah yang masih menggunakan akuntansi anggaran berbasis kas. Menurut Halim (2012) apabila pemerintah menerapkan sistem akuntansi berbasis akrual, maka seharusnya akuntansi anggarannya juga berbasis akrual. Hal inilah yang menjadi tanda tanya bagi masyarakat tentang sistem akuntansi berbasis akrual yang dijalankan pemerintah saat ini. Kenapa pemerintah belum secara penuh menerapkan sistem akuntansi berbasis akrual sesuai amanat PP Nomor 71 Tahun 2010? Apa sebenarnya yang menjadi tantangan bagi pemerintah Indonesia? Hal inilah yang menjadi pertanyaan bagi penulis dan berusaha menjelaskannya dalam paper ini. Pada bagian selanjutnya dalam paper ini, penulis mencoba memaparkan teori tentang sistem akuntansi berbasis akrual, permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah Indonesia dalam penerapan sistem akuntansi berbasis akrual, serta dibagian akhir menjelaskan kesimpulan tentang tantangan penerapan sistem akuntansi berbasis akrual di pemerintahan Indonesia. A. BASIS AKUNTANSI Pada dasarnya, hanya terdapat dua basis akuntansi atau dasar akuntansi yang dikenal dalam akuntansi, yaitu akuntansi berbasis kas (cash basis) dan akuntansi berbasis akrual (accrual basis). Sedangkan, jika ada basis akuntansi yang lain seperti basis kas modifikasian, atau akrual modifikasian, atau kas menuju akrual, merupakan modifikasi diantara basis kas dan basis akrual untuk masa transisi (Halim, 2012). Basis atau dasar akuntansi adalah terkait dengan 3

metode pencatatan akuntansi dalam menentukan kapan dan bagaimana suatu transaksi ekonomi atau kejadian-kejadian diakui/dicatat. Dalam akuntansi berbasis kas, suatu transaksi atau kejadian diakui/dicatat ketika uang atas transaksi tersebut diterima atau dikeluarkan. Dengan kata lain, akuntansi berbasis kas adalah basis akuntansi yang mengakui pengaruh transaki dan kejadian lainnya pada saat kas atau setara kas diterima atau dibayar yang digunakan untuk pengakuan pendapatan, belanja, dan pembiayaan (Ritonga,-). Sementara akuntansi berbasis akrual adalah suatu basis akuntansi dimana transaksi ekonomi dan peristiwa lainnya diakui, dicatat, dan disajikan dalam laporan keuangan pada saat terjadinya transaksi tersebut, tanpa memperhatikan waktu kas atau setara kas diterima atau dibayarkan (KSAP, 2006). Selanjutnya, KSAP juga mengatakan dalam akuntansi berbasis akrual, waktu pencatatan (recording) sesuai dengan saat terjadinya arus sumber daya, sehingga dapat menyediakan informasi yang paling komprehensif karena seluruh arus sumber daya dicatat. Ketika akrual hendak dilakukan sepenuhnya untuk menggambarkan berlangsungnya esensi transaksi atau kejadian, maka nilai lebih yang diperoleh dari penerapan akrual adalah tergambarnya informasi operasi atau kejadian. Dalam sektor komersial, gambaran perkembangan operasi atau kejadian tersebut dituangkan dalam laporan laba rugi. Sedangkan dalam akuntansi pemerintah, laporan sejenis ini diciptakan dalam bentuk laporan operasional atau laporan surplus/defisit (Simanjuntak, 2010). 4

Sementara itu, The International Organisation of Supreme Audit Institutions (INTOSAI) dalam Van Der Hoek (2005) melihat bahwa terdapat empat sistem pelaporan keuangan, yaitu: Full Cash Accounting. Sistem ini mencatat suatu transaksi ketika dana dibayar atau diterima dari suatu otoritas apropriasi (appropriation authority). Modified Cash Accounting. Sistem ini mengakui suatu transaksi secara tunai selama tahun tersebut dan setup akun dan/atau piutang yang belum dibayar pada akhir tahun. Modified Accrual Accounting. Sistem ini mencatat pengeluaran pada saat sumber daya diterima dan pendapatan pada saat terukur dan tersedia dalam poeriode akuntansi atau segera sesudahnya. Full Accrual Accounting. Sistem ini mengakui beban pada saat terjadinya (incurred), mencatat pendapatan pada saat diperoleh (earned), dan mengkapitalisasi aset tetap. Masing-masing basis akuntansi tersebut sebenarnya memiliki keunggulan dan kelemahan tersendiri. Keunggulan akuntansi berbasis kas menurut Ritonga adalah bahwa laporan keuangan berbasis kas memperlihatkan sumber dana, alokasi dan penggunaan sumber-sumber kas, mudah untuk dimengerti dan dijelaskan, pembuat laporan keuangan tidak membutuhkan pengetahuan yang mendetail tentang akuntansi, dan tidak memerlukan pertimbangan ketika menentukan jumlah arus kas dalam suatu periode. Sementara itu kelemahan akuntansi berbasis kas menurut Hoesada (2010) adalah: 5

Tidak mampu menyajikan jumlah sumberdaya yang digunakan Tidak marnpu memperhitungkan atau mempertimbangkan kewajiban keuangan, hutang, komitmen masa depan, penjaminan oleh pemerintah, atau kewajiban kontinjen Terfokus secara sempit pada pembayaran kas, tidak peduli akan kondisi dan daya layan aset tetap Terfokus pada pengendalian input, pembelian, perolehan, dan mengabaikan produksi sendiri Mendorong distorsi, mendorong para manajer untuk menilai terlampau rendah biaya program, proyek, kegiatan, mendorong penggunaan sampai habis apropriasi/jatah anggaran Tak ada kewajiban matching pendapatan vs beban Terbatasnya informasi aset dan kewajiban dalam neraca Akuntansi berbasis kas merupakan landasan berpijak yang buruk untuk membangun kebijakan fiskal yang solid. Oleh sebab itu, dengan berbagai kelemahan yang ada pada basis kas, perubahan menuju akuntansi berbasis akrual diharapkan dapat mengatasi bebagai kelemahan tersebut. Dalam Study No. 14 yang diterbitkan oleh International Public Sector Accounting Standards Board (2011), mengatakan bahwa informasi yang disajikan pada akuntansi berbasis akrual dalam pelaporan keuangan memungkinkan pengguna untuk: Menilai akuntabilitas untuk pengelolaan seluruh sumber daya entitas serta penyebaran sumber daya tersebut. 6

Menilai kinerja, posisi keuangan dan arus kas dari suatu entitas. Pengambilan keputusan mengenai penyediaan sumber daya, atau melakukan bisnis dengan suatu entitas. Selanjutnya, pada level yang lebih detil dalam Study No. 4 tersebut mengatakan bahwa pelaporan dengan basis akrual akan dapat: Menunjukkan bagaimana pemerintah membiayai aktivitas-aktivitasnya dan memenuhi kebutuhan dananya. Memungkinkan pengguna laporan untuk mengevaluasi kemampuan pemerintah saat ini untuk membiayai aktivitas-aktivitasnya dan untuk memenuhi kewajiban-kewajian dan komitmen-komitmennya. Menunjukkan posisi keuangan pemerintah dan perubahan posisi keuangannya. Memberikan kesempatan pada pemerintah untuk menunjukkan keberhasilan pengelolaan sumber daya yang dikelolanya. Bermanfaat untuk mengevaluasi kinerja pemerintah dalam hal efisiensi dan efektifivitas penggunaan sumber daya. B. TANTANGAN PENERAPAN AKUNTANSI BERBASIS AKRUAL DI PEMERINTAHAN INDONESIA Penerapan akuntansi berbasis akrual di pemerintahan Indonesia sejatinya sudah harus dilaksanakan sejak tahun 2008 sesuai amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 7

2004 tentang Perbendaharaan Negara. Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 pasal 36 ayat 1 menyatakan: Ketentuan mengenai pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 13, 14, 15, dan 16 undang-undang ini dilaksanakan selambat-lambatnya dalam 5 (lima) tahun. Begitu juga dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara pada pasal 70 ayat 2 dinyatakan: Ketentuan mengenai pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual sebagaimana sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 dan pasal 13 undang-undang ini dilaksanakan selambat-lambatnya pada tahun anggaran 2008. Namun, pada kenyataannya sampai sekarang penerapan akuntansi berbasis akrual tersebut belum terealisasi dengan maksimal, walaupun peraturan tentang standar akuntansi akrual telah diterbitkan. Hal ini merupakan tantangan besar bagi Pemerintah dan harus dilakukan secara hati-hati dengan persiapan yang matang dan terstruktur. Keberhasilan suatu perubahan akuntansi pemerintahan menuju basis akrual agar dapat menghasilkan laporan keuangan yang lebih transparan dan lebih akuntabel memerlukan upaya dan kerja sama dari berbagai pihak. Jika penerapan akuntansi berbasis kas menuju akrual saja masih banyak menghadapi hambatan, apalagi jika pemerintah akan menerapkan akuntansi berbasis akrual (Simanjuntak, 2010). Menurut Simanjuntak (2010) dan Bastian (2006) beberapa tantangan penerapan akuntansi berbasis akrual di pemerintahan Indonesia adalah sebagai berikut: 8

1. Sistem Akuntansi dan Information Technology (IT) Based System Adanya kompleksitas implementasi akuntansi berbasis akrual, dapat dipastikan bahwa penerapan akuntansi berbasis akrual di lingkungan pemerintahan memerlukan sistem akuntansi dan IT based system yang lebih rumit. Selain itu perlu juga dibangun sistem pengendalian intern yang memadai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Hal tersebut telah diamanatkan oleh Undang-Undang No 1 tahun 2004 pasal 58 ayat 1yang menyatakan: Dalam rangka meningkatkan kinerja, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, Presiden selaku Kepala Pemerintah mengatur dan menyelenggarakan Sistem Pengendalian Intern di lingkungan pemerintahan secara menyeluruh. 2. Komitmen dari Pimpinan Dukungan yang kuat dari pimpinan merupakan kunci keberhasilan dari suatu perubahan. Salah satu penyebab kelemahan penyusunan Laporan Keuangan pada beberapa Kementerian/Lembaga adalah lemahnya komitmen pimpinan satuan kerja khususnya Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) penerima dana Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan. Diundangkannya tiga paket keuangan negara serta undang-undang pemerintahan daerah menunjukkan keinginan yang kuat dari pihak eksekutif dan legislatif untuk memperbaiki sistem keuangan negara, 9

termasuk perbaikan atas akuntansi pemerintahan. Yang menjadi ujian sekarang adalah peningkatan kualitas produk akuntansi pemerintahan dalam pencatatan dan pelaporan oleh kementerian/lembaga di pemerintah pusat dan dinas/unit untuk pemerintah daerah. Sistem akuntansi pemerintah pusat mengacu pada pedoman yang disusun oleh menteri keuangan. Sistem akuntansi pemerintah daerah ditetapkan oleh Gubernur/Bupati/Walikota dengan mengacu pada peraturan daerah tentang pengelolaan keuangan daerah. Sistem akuntansi pemerintah pusat dan sistem akuntansi pemerintah daerah disusun dengan mengacu pada Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Kejelasan perundang-undangan mendorong penerapan akuntansi pemerintahan dan memberikan dukungan yang kuat bagi para pimpinan kementerian/lembaga di pusat dan Gubernur/Bupati/Walikota di daerah. 3. Tersedianya Sumber Daya Manusia (SDM) yang Kompeten Laporan keuangan diwajibkan untuk disusun secara tertib dan disampaikan masing-masing oleh pemerintah pusat dan daerah kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selambatnya tiga bulan setelah tahun anggaran berakhir. Selanjutnya, selambatnya enam bulan setelah tahun anggaran berakhir, laporan keuangan yang telah diperiksa oleh BPK tadi diserahkan oleh Pemerintah Pusat kepada DPR dan oleh Pemerintah Daerah kepada DPRD. Penyiapan dan penyusunan laporan keuangan tersebut memerlukan SDM yang menguasai akuntansi pemerintahan. 10

Pada saat ini, kebutuhan tersebut sangat terasa dengan semakin kuatnya upaya untuk menerapkan akuntansi pemerintahan berbasis akrual. Untuk itu, pemerintah pusat dan daerah perlu secara serius menyusun perencanaan SDM di bidang akuntansi pemerintahan. Termasuk di dalamnya memberikan sistem insentif dan remunerasi yang memadai untuk mencegah timbulnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) oleh SDM yang terkait dengan akuntansi pemerintahan. Di samping itu, peran dari perguruan tinggi dan organisasi profesi tidak kalah pentingnya untuk memenuhi kebutuhan akan SDM yang kompeten di bidang akuntansi pemerintahan. 4. Resistensi Terhadap Perubahan Sebagai layaknya untuk setiap perubahan, bisa jadi ada pihak internal yang sudah terbiasa dengan sistem yang lama dan enggan untuk mengikuti perubahan. Untuk itu, perlu disusun berbagai kebijakan dan dilakukan berbagai sosialisasi kepada seluruh pihak yang terkait, sehingga penerapan akuntansi pemerintahan berbasis akrual dapat berjalan dengan baik tanpa ada resistensi. 5. Lingkungan/Masyarakat Apresiasi dari masyarakat sangat diperlukan untuk mendukung keberhasilan penerapan akuntansi pemerintahan. Masyarakat perlu didorong untuk mampu memahami laporan keuangan pemerintah, sehingga dapat mengetahui dan memahami penggunaan atas peneriamaan pajak yang diperoleh dari masyarakat maupun pengalokasian sumber daya 11

yang ada. Dengan dukungan yang positif, masyarakat mendorong pemerintah untuk lebih transparan dan akuntabel dalam menjalankan kebijakannya. Sementara itu, Ritonga (2010) dalam Halim (2012) mengatakan bahwa untuk mendukung penerapan akuntansi pemerintahan berbasis akrual diperlukan kondisi-kondisi yang mendukung, sekaligus menjadi permasalahan yang dihadapi saat ini, yaitu sebagai berikut: 1. Dukungan Sumber Daya Manusia (SDM) yang kompeten dan profesional dalam pengelolaan keuangan. 2. Dukungan dari pemeriksa laporan keuangan, karena perubahan basis akuntansi akan mengubah cara pemeriksaan yang dilakukan oleh pemeriksa. Perubahan-perubahan yang terjadi harus melalui pertimbangan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). 3. Tersedianya sistem teknologi informasi yang mampu mengakomodasi persyaratan-persyaratan dalam penerapan akuntansi berbasis akrual. 4. Adanya sistem penganggaran berbasis akrual, karena jika anggaran pendapatan, belanja, dan pembiayaannya masih berbasi kas sedangkan realisasinya berbasis akrual, maka antara anggaran dan realisasinya tidak dapat diperbandingkan. 5. Harus ada komitmen dan dukungan politik dari para pengambil keputusan dalam pemerintahan, karena upaya penerapan akuntansi berbasis akrual memerlukan dana yang besar dan waktu yang lama, bahkan lebih lama 12

dari masa periode jabatan presiden, gubernur, bupati, walikota, dan anggota DPR/DPRD. Dari beberapa permasalahan tersebut, salah satu poin penting dalam penerapan akuntansi berbasis akrual adalah juga harus diterapkan anggaran berbasis akrual. Anggaran berbasis akrual ini sulit diterapkan di organisasi pemerintahan karena sangat kompleks. Dalam akuntansi anggaran mensyaratkan adanya pencatatan dan penyajian akun operasi sejajar dengan anggarannya. Anggaran berbasis akrual berarti mengakui dan mencatat anggaran dan realisasi pendapatan, belanja, dan pembiayaan pada saat kejadian, atau kondisi lingkungan berpengaruh pada keuangan pemerintah daerah, tanpa memperhatikan pada saat kas atau setara kas diterima atau dibayar (Ritonga, 2010 dalam Halim, 2012). Hal inilah yang menjadi persyaratan berat pemerintah dalam menerapkan akuntansi berbasis akrual dalam organisasi pemerintahan. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 juga belum diatur tentang anggaran berbasis akrual, sehingga dapat dikatakan bahwa SAP tersebut bukan merupakan SAP Akrual penuh melainkan SAP berbasis akrual modifikasian (accrual modified) (Halim, 2012). Blondal (2003) sebagaimana dikutip oleh Boothe (2007) dalam Halim (2012), mengatakan bahwa kesulitan penerapan anggaran berbasis akrual dipemerintahan adalah terkait dengan dua alasan berikut: 1. Anggaran akrual diyakini beresiko dalam disiplin anggaran. Keputusan politis untuk membelanjakan uang sebaiknya ditandingkan dengan ketika belanja tersebut dilaporkan dalam anggaran. Hanya saja, basis kas yang 13

dapat menyediakannya. Jika sebagian besar proyek belanja modal, misalnya, dicatat dan dilaporkan pada beban penyusutan, akan berakibat meningkatkan pengeluaran untuk proyek tersebut. 2. Adanya resistensi dari lembaga legislatif untuk mengadopsi penganggaran akrual. resistensi ini seringkali akibat dari terlalu kompleknya penganggaran akrual. dalam konteks ini, lembaga legislatif negara yang menerapkan penganggaran akrual pada umumnya akan memiliki peran yang lemah dalam proses penganggaran. Dengan berbagai permasalahan dan tantangan penerapan akuntansi berbasis akrual dalam pemerintahan indonesia seperti yang telah disebutkan diatas, maka pemerintah harus berupaya semaksimal mungkin agar penerapannya dapat berjalan dengan baik dan optimal demi terciptanya tata kelola pemerintahan (good governance) yang lebih transparan dan akuntabel. Karena seperti yang telah disebutkan diatas bahwa manfaat akuntansi berbasis akrual dapat menyediakan gambaran operasional pemerintah yang lebih transparan serta pendapatan dan belanja pemerintah dapat dialokasikan secara tepat setiap saat. Sehingga dalam hal ini diperlukan strategi pemerintah untuk mendukung keberhasilan penerapan akuntansi berbasis akrual. Menurut Indra Bastian dalam Forum Dosen Akuntansi Sektor Publik (2006), mengatakan beberapa strategi yang bisa dilakukan pemerintah, yaitu: 1. Mempertahankan momentum perubahan 2. Melakukan riset untuk mengidentifikasi kebutuhan pemakai 3. Mempermudah penerapan akuntansi pemerintahan 14

4. Mendorong keterlibatan perguruan tinggi dan lembaga diklat 5. Meningkatkan keterlibatan profesi akuntansi Sementara itu, dalam salah satu situs referensi menejemen keuangan sektor publik yang diakses melalui www.medina.co.id, mengatakan ada beberapa langkah yang bisa dilaksanakan pemerintah untuk menerapkan akuntansi berbasis akrual, yaitu: 1. Menyiapkan pedoman umum pada tingkat nasional tentang akuntansi akrual. Pedoman ini digunakan untuk menyamakan persepsi di semua daerah sekaligus sebagai jembatan teknis atas standar akuntansi pemerintahan berbasis akrual yang akan diterapkan. 2. Menyiapkan modul pada tingkat nasional yang dapat digunakan oleh berbagai pihak dalam rangka pelatihan akuntansi berbasis akrual. 3. Menentukan daerah percontohan di setiap regional sebagai upaya menciptakan benchmarking. Dengan cara ini, pemerintah dapat memfokuskan pada beberapa daerah dulu sebelum pada akhirnya dapat digunakan oleh seluruh daerah. 4. Diseminasi/sosialisasi tingkat nasional. Hal tersebut dapat digunakan untuk menyerap input berupa saran ataupun keluhan dari daerah terkait penerapan akuntansi basis akrual. Sedangkan pada tingkat daerah, strategi penerapan basis akrual dapat dilakukan dengan langkah-langkah berikut ini: 1. Sosialisasi dan pelatihan yang berjenjang. Berjenjang yang dimaksud meliputi pimpinan level kebijakan sampai dengan pelaksana teknis, 15

dengan tujuan sosialisasi dan pelatihan untuk meningkatkan skill pelaksana, membangun awareness, dan mengajak keterlibatan semua pihak. 2. Menyiapkan dokumen legal yang bersifat lokal seperti peraturan kepala daerah tentang kebijakan akuntansi dan sistem prosedur. 3. Melakukan uji coba sebagai tahapan sebelum melaksanakan akuntansi berbasis akrual secara penuh. KESIMPULAN Semakin menigkatnya tuntutan pelaksanaan pengelolaan keuangan negara yang transparan dan akuntabel mendorong pemerintah untuk terus berupaya memperbaiki sistem akuntansi yang digunakan. Sistem akuntansi berbasis akrual menjadi isu yang sangat penting di era reformasi untuk menciptakan good government governance. Sistem akuntansi berbasis kas yang telah dijalankan sebelumnya telah terbukti memiliki kelemahan. Kelemahan yang mendasar dari sistem akuntansi berbasis kas adalah laporan keuangan yang dihasilkan tidak informatif, Tidak mampu menyajikan jumlah sumberdaya yang digunakan, serta tidak mampu memperhitungkan atau mempertimbangkan kewajiban keuangan, hutang, komitmen masa depan, penjaminan oleh pemerintah, atau kewajiban kontinjen, dan lainnya yang pada akhirnya dapat mengganggu terwujudnya pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Sehingga dengan adanya berbagai kelemahan tersebut, menghendaki pemerintah untuk berubah ke sistem akuntansi berbasis 16

akrual yang dinilai dapat memberikan manfaat yang lebih dalam meningkatkan transparansi pengelolaan keuangan pemerintah dalam rangka akuntabilitas publik. Namun, tentunya penerapan akuntansi berbasis akrual di pemerintahan Indonesia tidak bisa dengan mudah dilaksanakan seperti pada sektor swasta. Ada beberapa tantangan yang dihadapi oleh pemerintah untuk menerapkan sistem tersebut, diantaranya adalah: 1. Harus tersedia sistem akuntansi dan sistem teknologi informasi yang mampu mengakomodasi persyaratan-persyaratan dalam penerapan akuntansi berbasis akrual. 2. Harus ada komitmen dan dukungan politik dari pimpinan dan para pengambil keputusan dalam pemerintahan. 3. Harus tersedia Sumber Daya Manusia (SDM) yang kompeten dan profesional dalam pengelolaan keuangan. 4. Lingkungan/masyarakat yang juga harus mengapresiasi dan mendukung keberhasilan penerapan akuntansi pemerintahan. 5. Dukungan dari pemeriksa laporan keuangan, karena perubahan basis akuntansi akan mengubah cara pemeriksaan yang dilakukan oleh pemeriksa. 6. Adanya sistem penganggaran berbasis akrual, karena jika anggaran pendapatan, belanja, dan pembiayaannya masih berbasis kas sedangkan realisasinya berbasis akrual, maka antara anggaran dan realisasinya tidak dapat diperbandingkan. 17

7. Adanya resistensi pihak internal terhadap perubahan kearah sistem akuntansi berbasis akrual, sehingga membutuhkan sosialisasi yang maksimal terkait dengan sistem tersebut. 18

DAFTAR PUSTAKA Forum Dosen Akuntansi Sektor Publik, 2006. Standar Akuntansi Pemerintahan, Telaah Kritis PP Nomor 24 Tahun 2005. BPFE. Yogyakarta. Halim, Abdul, dan Syam Kusufi. 2012. Teori, Konsep, dan Aplikasi Akuntansi Sektor Publik, dari Anggaran Hingga Laporan Keuangan dari Pemerintah Hingga Tempat Ibadah. Salemba Empat. Jakarta. Hoesada, Jan. 2010. Accrual Budgeting and Accrual Accounting pada Pemerintahan NKRI. Jurnal Akuntansi/Tahun XIV, No. 01, Januari 2010: 113-124. International Public Sector Accounting Standards Board. 2011. Transition to the Accrual Basis of Accounting: Guidance for Public Sector Entities, Study 14. Third Edition, IFAC. New York, USA. Komite Standar Akuntansi Pemerintahan. 2006. Memorandum Pembahasan Penerapan Basis Akrual dalam Akuntansi Pemerintahan di Indonesia. Bahan Bahasan untuk Limited Hearing. Jakarta. Mardiasmo. 2009. Akuntansi sektor publik. Penerbit Andi. Yogyakarta. Mulyana, Budi. Penggunaan Akuntansi Akrual di Negara-Negara Lain: Tren di Negara-Negara Anggota OECD. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2005 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2010 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. 19

Ritonga, Rahmansyah. Kas Basis Vs Akrual Basis. Widyaiswara BDK. Medan. Simanjuntak, Binsar. 2010. Penerapan Akuntansi Berbasis Akrual di Sektor Pemerintahan di Indonesia. Disampaikan pada Kongres XI Ikatan Akuntan Indonesia. Jakarta. 2005. Menyongsong Era Baru Akuntansi Pemerintahan di Indonesia. Jurnal Akuntansi Pemerintahan Vol. 1 No.1, Mei. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. Van der Hoek, Peter M. 2005. Accrual-Based Budgeting and Accounting in the Public Sector: The Dutch Experience. Erasmus University Rotterdam. MPRA Paper No. 5906, Posted 29. www.medina.co.id, diakses pada tanggal 06 Juni 2013 pukul 10.14. 20