Jarak tempuh perjalanan yang diperbolehkan untuk melaksanakan shalat jama dan qashar adalah

Show
Ilustrasi jarak perjalanan minimal boleh sholat qasar, sumber foto: Foto oleh Alfonso Escalante dari Pexels

Salat qasar merupakan bentuk keringanan yang diberikan oleh Allah SWT kepada hambanya agar tetap bisa melaksanakan kewajibannya yaitu sholat fardu, bagaimanapun keadaannya. Karena sholat lima waktu merupakan sholat wajib yang menjadi tiang agama dan tidak boleh ditinggalkan. Salah satu syarat diperbolehkannya sholat qasar adalah ketika sedang dalam perjalanan jauh atau musafir. Berapa jarak perjalanan minimal boleh salat qasar? Ini penjelasan lengkapnya yang didasarkan pada beberapa hadis dan pendapat ulama terdahulu.

Pertama, kita pahami dulu pengertian salat qasar. Dikutip dari Buku Pintar Shalat, M. Khalilurrahman Al Mahfani (2008: 141) salat qasar adalah sholat yang diperpendek atau diperingkas bilangan rakaatnya. Sholat yang dapat diqasar adalah sholat yang terdiri dari empat rakaat yaitu Isya, Dzuhur, dan Ashar. Sholat subuh dan magrib tidak dapat diqasar.

Jarak Minimal Sholat Qasar

Ilustrasi jarak perjalanan minimal boleh sholat qasar, sumber foto: Foto oleh Shamia Casiano dari Pexels

Dikutip dari laman NU Online pembahasan mengenai hukum dan syarat sahnya salat qasar terdapat dalam surat An-Nisa ayat 101 berikut ini:

واذا ضربتم فى الارض فليس عليكم جناح ان تقصروا من الصلاة

Artinya: "Apabila kamu berjalan di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalatmu."

Adapun minimal jarak perjalanan yang membolehkan kita mengaqshar shalat adalah 2 marhalah/16 farsakh (48 mil)/4 barid/perjalanan 2 hari. Jarak konkretnya ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan, dua marhalah berjarak 80,64 km. Sebagian ulama mengatakan, dua marhalah berjarak 88, 704 km. Ulama Hanafiyah menyebut jarak tempuh 96 km untuk dua marhalah. Sementara mayoritas ulama mengatakan, dua marhalah berjarak 119,9 km.

Sedangkan menurut Syekh M. Nawawi Banten salah satu syarat sholat qasar adalah sebagai berikut:

أحدها أن يكون سفره مرحلتين أي يقينا ولو قطع هذه المسافة في لحظة لكونه من أهل الخطوة سواء قطعها في بر أو بحر

Artinya: "Salah satu syarat (qashar) adalah jarak perjalanan dua marhalah secara yaqin meskipun jarang itu ditempuh dalam waktu sekejap karena misalnya ia adalah ahli khuthwah (dapat menghilang) sama saja ia menempuh jalur darat maupun laut."

Pembahasan di atas merupakan jawaban dari pertanyaan berapa jarak perjalanan minimal boleh salat qasar, semoga bermanfaat. (WWN)

Salat Qashar adalah memperagakan salat dengan meringkas/mengurangi jumlah raka'at salat yang bersangkutan. Salat Qashar merupakan pengurangan beban yang diberikan untuk mereka yang sedang memperagakan perjalanan (safar). Adapun salat yang bisa diqashar adalah salat dzhuhur, ashar dan isya, dimana raka'at yang aslinya berjumlah 4 dikurangi/diringkas dijadikan 2 raka'at saja.

Dalil Naqli Salat Qashar

  • “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar salat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata untukmu.” (QS an-Nisaa’ 101)
  • Dari ‘Aisyah ra berkata : “Awal diwajibkan salat adalah dua rakaat, selanjutnya ditetapkan untuk salat safar dan disempurnakan ( 4 rakaat) untuk salat hadhar (tidak safar).” (Muttafaqun ‘alaihi)
  • Dari ‘Aisyah ra berkata: “Diwajibkan salat 2 rakaat selanjutnya Nabi hijrah, maka diwajibkan 4 rakaat dan dibiarkan salat safar seperti semula (2 rakaat).” (HR Bukhari) Dalam riwayat Imam Ahmad menambahkan : “Kecuali Maghrib, karena Maghrib adalah salat witir di malam hari dan salat Subuh supaya memanjangkan bacaan di dua rakaat tersebut.”

Siapa Yang Diperbolehkan Salat Qashar

Salat qashar merupakan salah satu pengurangan beban yang diberikan Allah. Salat qashar hanya boleh diterapkan oleh orang yang sedang bepergian (musafir). Dan diperbolehkan menerapkannya bersama Salat Jamak

Jarak Qashar

Seorang musafir bisa mengambil rukhsoh salat dengan mengqashar dan menjama’ jika telah memenuhi jarak tertentu. Beberapa hadits tentang jarak yang diijinkan untuk memperagakan salat qashar :

  • Dari Yahya bin Yazid al-Hana?i bercakap, diri sendiri berdiskusi pada Anas bin Malik tentang jarak salat Qashar. Anas menjawab: “Adalah Rasulullah SAW jika keluar menempuh jarak 3 mil atau 3 farsakh dia salat dua rakaat.” (HR Muslim)
  • Dari Ibnu Abbas bercakap, Rasulullah SAW bersabda: “Wahai penduduk Mekkah janganlah kalian mengqashar salat kurang dari 4 burd dari Mekah ke Asfaan.” (HR at-Tabrani, ad-Daruqutni, hadits mauquf)
  • Dari Ibnu Syaibah dari arah yang lain berkata: “Qashar salat dalam jarak perjalanan sehari semalam.”

Adalah Ibnu Umar ra dan Ibnu Abbas ra mengqashar salat dan membuka puasa pada perjalanan menempuh jarak 4 burd adalah 16 farsakh.

Ibnu Abbas menjelaskan jarak minimal dibolehkannya qashar salat adalah 4 burd atau 16 farsakh. 1 farsakh = 5541 meter sehingga 16 Farsakh = 88,656 km. Dan begitulah yang dilaksanakan sahabat seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar. Sedangkan hadits Ibnu Syaibah menunjukkan bahwa qashar salat adalah perjalanan sehari semalam. Dan ini adalah perjalanan kaki normal atau perjalanan unta normal. Dan sesudah diukur ternyata jaraknya adalah sekitar 4 burd atau 16 farsakh atau 88,656 km. Dan gagasan inilah yang diyakini mayoritas ulama seperti imam Malik, imam asy-Syafi’i dan imam Ahmad serta pengikut ketiga imam tadi.

Tentang masafah (jarak tempuh) yang seseorang dibolehkan mengqoshor shalat, Ibnu al-Mundzir menceriterakan, bahwa berada kurang bertambah 20 gagasan ulama yang berbeda-beda tentang itu (lihat Fathul Bari/ Juz III/ hal. 473/ Bab tentang في كم يقصر الصلاة ؟

Lama Waktu Qashar

Jika seseorang musafir ingin masuk sebuah kota atau kawasan dan bertekad tinggal disana maka dia bisa memperagakan qashar dan jama’ salat. Menurut gagasan imam Malik dan Asy-Syafi’i adalah 4 hari, selain hari masuk kota dan keluar kota. Sehingga jika sudah menempuh 4 hari dia harus memperagakan salat yang sempurna. Adapaun musafir yang tidak akan menetap maka dia senantiasa mengqashar salat selagi masih dalam kondisi safar.

Bercakap Ibnul Qoyyim: “Rasulullah SAW tinggal di Tabuk 20 hari mengqashar salat.” Diistilahkan Ibnu Abbas dalam riwayat Bukhari: “Rasulullah SAW menerapkan salat di sebagian safarnya 19 hari, salat dua rakaat. Dan kami jika safar 19 hari, salat dua rakaat, tetapi jika bertambah dari 19 hari, maka kami salat dengan sempurna.”

Kebaikan budi pekerti Salat Qashar

Seorang musafir boleh berjamaah dengan Imam yang muqim (tidak musafir). Begitu juga dia boleh dijadikan imam untuk makmum yang muqim. Kalau dia dijadikan makmum pada imam yang muqim, maka dia harus mengikuti imam dengan memperagakan salat Imam (tidak mengqashar). Tetapi kalau dia dijadikan Imam maka boleh saja mengqashar salatnya, dan makmum menyempurnakan rakaat salatnya sesudah imammya salam.

Untuk Musafir Yang Bertambah Dari 4 Hari

Menurut Jumhur (mayoritas) ulama’ seorang musafir yang sudah menentukan lama musafirnya bertambah dari empat hari maka dia tidak boleh mengqashar salatnya. Tetapi kalau waktunya empat hari atau kurang maka dia boleh mengqasharnya. Dan jika Seseorang merasakan ketidakpastian jumlah hari dia musafir boleh saja menjama’ dan mengqashar salatnya.

Kebaikan budi pekerti Salat Sunnah Untuk Musafir

Sunah untuk musafir untuk tidak memperagakan salat sunah rawatib (salat sunah sesudah dan sebelum salat wajib), Kecuali salat witir dan Tahajjud, karena Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu memperagakannya sama berat dalam kondisi musafir atau muqim. Dan begitu juga salat- salat sunah yang berada penyebabnya seperti salat Tahiyatul Masjid, salat gerhana, dan salat janazah.

Rujukan


edunitas.com


Page 2

Salat Qashar yaitu melakukan salat dengan meringkas/mengurangi jumlah raka'at salat yang bersangkutan. Salat Qashar merupakan keringanan yang diberikan kepada mereka yang sedang melakukan perjalanan (safar). Adapun salat yang dapat diqashar yaitu salat dzhuhur, ashar dan isya, dimana raka'at yang aslinya berjumlah 4 dikurangi/diringkas menjadi 2 raka'at saja.

Dalil Naqli Salat Qashar

  • “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar salat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu yaitu musuh yang nyata bagimu.” (QS an-Nisaa’ 101)
  • Dari ‘Aisyah ra berkata : “Awal diwajibkan salat yaitu dua rakaat, yang belakang sekali diteguhkan bagi salat safar dan disempurnakan ( 4 rakaat) bagi salat hadhar (tidak safar).” (Muttafaqun ‘alaihi)
  • Dari ‘Aisyah ra berkata: “Diwajibkan salat 2 rakaat yang belakang sekali Nabi hijrah, maka diwajibkan 4 rakaat dan dibiarkan salat safar seperti semula (2 rakaat).” (HR Bukhari) Dalam riwayat Imam Ahmad menambahkan : “Kecuali Maghrib, sebab Maghrib yaitu salat witir di malam hari dan salat Subuh supaya memanjangkan bacaan di dua rakaat tersebut.”

Siapa Yang Diperbolehkan Salat Qashar

Salat qashar merupakan salah satu keringanan yang diberikan Allah. Salat qashar hanya boleh dilakukan oleh orang yang sedang bepergian (musafir). Dan diperbolehkan melaksanakannya bersama Salat Jamak

Jarak Qashar

Seorang musafir dapat mengambil rukhsoh salat dengan mengqashar dan menjama’ jika telah memenuhi jarak tertentu. Beberapa hadits tentang jarak yang diijinkan untuk melakukan salat qashar :

  • Dari Yahya bin Yazid al-Hana?i bicara, aku berdiskusi pada Anas bin Malik tentang jarak salat Qashar. Anas menjawab: “Yaitu Rasulullah SAW jika keluar menempuh jarak 3 mil atau 3 farsakh beliau salat dua rakaat.” (HR Muslim)
  • Dari Ibnu Abbas bicara, Rasulullah SAW bersabda: “Wahai penduduk Mekkah janganlah kalian mengqashar salat kurang dari 4 burd dari Mekah ke Asfaan.” (HR at-Tabrani, ad-Daruqutni, hadits mauquf)
  • Dari Ibnu Syaibah dari arah yang lain berkata: “Qashar salat dalam jarak perjalanan sehari semalam.”

Yaitu Ibnu Umar ra dan Ibnu Abbas ra mengqashar salat dan membuka puasa pada perjalanan menempuh jarak 4 burd yaitu 16 farsakh.

Ibnu Abbas menjelaskan jarak minimal dibolehkannya qashar salat yaitu 4 burd atau 16 farsakh. 1 farsakh = 5541 meter sehingga 16 Farsakh = 88,656 km. Dan begitulah yang dilaksanakan sahabat seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar. Sedangkan hadits Ibnu Syaibah menunjukkan bahwa qashar salat yaitu perjalanan sehari semalam. Dan ini yaitu perjalanan kaki normal atau perjalanan unta normal. Dan setelah diukur ternyata jaraknya yaitu sekitar 4 burd atau 16 farsakh atau 88,656 km. Dan gagasan inilah yang diyakini mayoritas ulama seperti imam Malik, imam asy-Syafi’i dan imam Ahmad serta pengikut ketiga imam tadi.

Tentang masafah (jarak tempuh) yang seseorang dibolehkan mengqoshor shalat, Ibnu al-Mundzir menceriterakan, bahwa mempunyai kurang lebih 20 gagasan ulama yang berbeda-beda tentang itu (lihat Fathul Bari/ Juz III/ hal. 473/ Bab tentang في كم يقصر الصلاة ؟

Lama Waktu Qashar

Jika seseorang musafir akan masuk suatu kota atau daerah dan bertekad tinggal disana maka beliau dapat melakukan qashar dan jama’ salat. Menurut gagasan imam Malik dan Asy-Syafi’i yaitu 4 hari, selain hari masuk kota dan keluar kota. Sehingga jika sudah menempuh 4 hari beliau mesti melakukan salat yang sempurna. Adapaun musafir yang tidak akan menetap maka beliau senantiasa mengqashar salat selagi sedang dalam keadaan safar.

Bicara Ibnul Qoyyim: “Rasulullah SAW tinggal di Tabuk 20 hari mengqashar salat.” Dituturkan Ibnu Abbas dalam riwayat Bukhari: “Rasulullah SAW melaksanakan salat di sebagian safarnya 19 hari, salat dua rakaat. Dan kami jika safar 19 hari, salat dua rakaat, tetapi jika lebih dari 19 hari, maka kami salat dengan sempurna.”

Kebaikan budi pekerti Salat Qashar

Seorang musafir boleh berjamaah dengan Imam yang muqim (tidak musafir). Begitu juga beliau boleh menjadi imam bagi makmum yang muqim. Seandainya beliau menjadi makmum pada imam yang muqim, maka beliau mesti mengikuti imam dengan melakukan salat Imam (tidak mengqashar). Tetapi seandainya beliau menjadi Imam maka boleh saja mengqashar salatnya, dan makmum menyempurnakan rakaat salatnya setelah imammya salam.

Untuk Musafir Yang Lebih Dari 4 Hari

Menurut Jumhur (mayoritas) ulama’ seorang musafir yang sudah memilihkan lama musafirnya lebih dari empat hari maka beliau tidak boleh mengqashar salatnya. Tetapi seandainya waktunya empat hari atau kurang maka beliau boleh mengqasharnya. Dan jika Seseorang mengalami ketidakpastian jumlah hari beliau musafir boleh saja menjama’ dan mengqashar salatnya.

Kebaikan budi pekerti Salat Sunnah Bagi Musafir

Sunah bagi musafir untuk tidak melakukan salat sunah rawatib (salat sunah sesudah dan sebelum salat wajib), Kecuali salat witir dan Tahajjud, sebab Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu melakukannya tidak sewenang-wenang dalam keadaan musafir atau muqim. Dan begitu juga salat- salat sunah yang mempunyai penyebabnya seperti salat Tahiyatul Masjid, salat gerhana, dan salat janazah.

Rujukan


edunitas.com


Page 3

Salat Qashar yaitu melakukan salat dengan meringkas/mengurangi jumlah raka'at salat yang bersangkutan. Salat Qashar merupakan keringanan yang diberikan kepada mereka yang sedang melakukan perjalanan (safar). Adapun salat yang dapat diqashar yaitu salat dzhuhur, ashar dan isya, dimana raka'at yang aslinya berjumlah 4 dikurangi/diringkas menjadi 2 raka'at saja.

Dalil Naqli Salat Qashar

  • “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar salat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu yaitu musuh yang nyata bagimu.” (QS an-Nisaa’ 101)
  • Dari ‘Aisyah ra berkata : “Awal diwajibkan salat yaitu dua rakaat, yang belakang sekali diteguhkan bagi salat safar dan disempurnakan ( 4 rakaat) bagi salat hadhar (tidak safar).” (Muttafaqun ‘alaihi)
  • Dari ‘Aisyah ra berkata: “Diwajibkan salat 2 rakaat yang belakang sekali Nabi hijrah, maka diwajibkan 4 rakaat dan dibiarkan salat safar seperti semula (2 rakaat).” (HR Bukhari) Dalam riwayat Imam Ahmad menambahkan : “Kecuali Maghrib, sebab Maghrib yaitu salat witir di malam hari dan salat Subuh supaya memanjangkan bacaan di dua rakaat tersebut.”

Siapa Yang Diperbolehkan Salat Qashar

Salat qashar merupakan salah satu keringanan yang diberikan Allah. Salat qashar hanya boleh dilakukan oleh orang yang sedang bepergian (musafir). Dan diperbolehkan melaksanakannya bersama Salat Jamak

Jarak Qashar

Seorang musafir dapat mengambil rukhsoh salat dengan mengqashar dan menjama’ jika telah memenuhi jarak tertentu. Beberapa hadits tentang jarak yang diijinkan untuk melakukan salat qashar :

  • Dari Yahya bin Yazid al-Hana?i bicara, aku berdiskusi pada Anas bin Malik tentang jarak salat Qashar. Anas menjawab: “Yaitu Rasulullah SAW jika keluar menempuh jarak 3 mil atau 3 farsakh beliau salat dua rakaat.” (HR Muslim)
  • Dari Ibnu Abbas bicara, Rasulullah SAW bersabda: “Wahai penduduk Mekkah janganlah kalian mengqashar salat kurang dari 4 burd dari Mekah ke Asfaan.” (HR at-Tabrani, ad-Daruqutni, hadits mauquf)
  • Dari Ibnu Syaibah dari arah yang lain berkata: “Qashar salat dalam jarak perjalanan sehari semalam.”

Yaitu Ibnu Umar ra dan Ibnu Abbas ra mengqashar salat dan membuka puasa pada perjalanan menempuh jarak 4 burd yaitu 16 farsakh.

Ibnu Abbas menjelaskan jarak minimal dibolehkannya qashar salat yaitu 4 burd atau 16 farsakh. 1 farsakh = 5541 meter sehingga 16 Farsakh = 88,656 km. Dan begitulah yang dilaksanakan sahabat seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar. Sedangkan hadits Ibnu Syaibah menunjukkan bahwa qashar salat yaitu perjalanan sehari semalam. Dan ini yaitu perjalanan kaki normal atau perjalanan unta normal. Dan setelah diukur ternyata jaraknya yaitu sekitar 4 burd atau 16 farsakh atau 88,656 km. Dan gagasan inilah yang diyakini mayoritas ulama seperti imam Malik, imam asy-Syafi’i dan imam Ahmad serta pengikut ketiga imam tadi.

Tentang masafah (jarak tempuh) yang seseorang dibolehkan mengqoshor shalat, Ibnu al-Mundzir menceriterakan, bahwa mempunyai kurang lebih 20 gagasan ulama yang berbeda-beda tentang itu (lihat Fathul Bari/ Juz III/ hal. 473/ Bab tentang في كم يقصر الصلاة ؟

Lama Waktu Qashar

Jika seseorang musafir akan masuk suatu kota atau daerah dan bertekad tinggal disana maka beliau dapat melakukan qashar dan jama’ salat. Menurut gagasan imam Malik dan Asy-Syafi’i yaitu 4 hari, selain hari masuk kota dan keluar kota. Sehingga jika sudah menempuh 4 hari beliau mesti melakukan salat yang sempurna. Adapaun musafir yang tidak akan menetap maka beliau senantiasa mengqashar salat selagi sedang dalam keadaan safar.

Bicara Ibnul Qoyyim: “Rasulullah SAW tinggal di Tabuk 20 hari mengqashar salat.” Dituturkan Ibnu Abbas dalam riwayat Bukhari: “Rasulullah SAW melaksanakan salat di sebagian safarnya 19 hari, salat dua rakaat. Dan kami jika safar 19 hari, salat dua rakaat, tetapi jika lebih dari 19 hari, maka kami salat dengan sempurna.”

Kebaikan budi pekerti Salat Qashar

Seorang musafir boleh berjamaah dengan Imam yang muqim (tidak musafir). Begitu juga beliau boleh menjadi imam bagi makmum yang muqim. Seandainya beliau menjadi makmum pada imam yang muqim, maka beliau mesti mengikuti imam dengan melakukan salat Imam (tidak mengqashar). Tetapi seandainya beliau menjadi Imam maka boleh saja mengqashar salatnya, dan makmum menyempurnakan rakaat salatnya setelah imammya salam.

Untuk Musafir Yang Lebih Dari 4 Hari

Menurut Jumhur (mayoritas) ulama’ seorang musafir yang sudah memilihkan lama musafirnya lebih dari empat hari maka beliau tidak boleh mengqashar salatnya. Tetapi seandainya waktunya empat hari atau kurang maka beliau boleh mengqasharnya. Dan jika Seseorang mengalami ketidakpastian jumlah hari beliau musafir boleh saja menjama’ dan mengqashar salatnya.

Kebaikan budi pekerti Salat Sunnah Bagi Musafir

Sunah bagi musafir untuk tidak melakukan salat sunah rawatib (salat sunah sesudah dan sebelum salat wajib), Kecuali salat witir dan Tahajjud, sebab Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu melakukannya tidak sewenang-wenang dalam keadaan musafir atau muqim. Dan begitu juga salat- salat sunah yang mempunyai penyebabnya seperti salat Tahiyatul Masjid, salat gerhana, dan salat janazah.

Rujukan


edunitas.com


Page 4

Salat Qashar yaitu melakukan salat dengan meringkas/mengurangi jumlah raka'at salat yang bersangkutan. Salat Qashar merupakan keringanan yang diberikan kepada mereka yang sedang melakukan perjalanan (safar). Adapun salat yang dapat diqashar yaitu salat dzhuhur, ashar dan isya, dimana raka'at yang aslinya berjumlah 4 dikurangi/diringkas menjadi 2 raka'at saja.

Dalil Naqli Salat Qashar

  • “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar salat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu yaitu musuh yang nyata bagimu.” (QS an-Nisaa’ 101)
  • Dari ‘Aisyah ra berkata : “Awal diwajibkan salat yaitu dua rakaat, yang belakang sekali diteguhkan bagi salat safar dan disempurnakan ( 4 rakaat) bagi salat hadhar (tidak safar).” (Muttafaqun ‘alaihi)
  • Dari ‘Aisyah ra berkata: “Diwajibkan salat 2 rakaat yang belakang sekali Nabi hijrah, maka diwajibkan 4 rakaat dan dibiarkan salat safar seperti semula (2 rakaat).” (HR Bukhari) Dalam riwayat Imam Ahmad menambahkan : “Kecuali Maghrib, sebab Maghrib yaitu salat witir di malam hari dan salat Subuh supaya memanjangkan bacaan di dua rakaat tersebut.”

Siapa Yang Diperbolehkan Salat Qashar

Salat qashar merupakan salah satu keringanan yang diberikan Allah. Salat qashar hanya boleh dilakukan oleh orang yang sedang bepergian (musafir). Dan diperbolehkan melaksanakannya bersama Salat Jamak

Jarak Qashar

Seorang musafir dapat mengambil rukhsoh salat dengan mengqashar dan menjama’ jika telah memenuhi jarak tertentu. Beberapa hadits tentang jarak yang diijinkan untuk melakukan salat qashar :

  • Dari Yahya bin Yazid al-Hana?i bicara, aku berdiskusi pada Anas bin Malik tentang jarak salat Qashar. Anas menjawab: “Yaitu Rasulullah SAW jika keluar menempuh jarak 3 mil atau 3 farsakh beliau salat dua rakaat.” (HR Muslim)
  • Dari Ibnu Abbas bicara, Rasulullah SAW bersabda: “Wahai penduduk Mekkah janganlah kalian mengqashar salat kurang dari 4 burd dari Mekah ke Asfaan.” (HR at-Tabrani, ad-Daruqutni, hadits mauquf)
  • Dari Ibnu Syaibah dari arah yang lain berkata: “Qashar salat dalam jarak perjalanan sehari semalam.”

Yaitu Ibnu Umar ra dan Ibnu Abbas ra mengqashar salat dan membuka puasa pada perjalanan menempuh jarak 4 burd yaitu 16 farsakh.

Ibnu Abbas menjelaskan jarak minimal dibolehkannya qashar salat yaitu 4 burd atau 16 farsakh. 1 farsakh = 5541 meter sehingga 16 Farsakh = 88,656 km. Dan begitulah yang dilaksanakan sahabat seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar. Sedangkan hadits Ibnu Syaibah menunjukkan bahwa qashar salat yaitu perjalanan sehari semalam. Dan ini yaitu perjalanan kaki normal atau perjalanan unta normal. Dan setelah diukur ternyata jaraknya yaitu sekitar 4 burd atau 16 farsakh atau 88,656 km. Dan gagasan inilah yang diyakini mayoritas ulama seperti imam Malik, imam asy-Syafi’i dan imam Ahmad serta pengikut ketiga imam tadi.

Tentang masafah (jarak tempuh) yang seseorang dibolehkan mengqoshor shalat, Ibnu al-Mundzir menceriterakan, bahwa mempunyai kurang lebih 20 gagasan ulama yang berbeda-beda tentang itu (lihat Fathul Bari/ Juz III/ hal. 473/ Bab tentang في كم يقصر الصلاة ؟

Lama Waktu Qashar

Jika seseorang musafir akan masuk suatu kota atau daerah dan bertekad tinggal disana maka beliau dapat melakukan qashar dan jama’ salat. Menurut gagasan imam Malik dan Asy-Syafi’i yaitu 4 hari, selain hari masuk kota dan keluar kota. Sehingga jika sudah menempuh 4 hari beliau mesti melakukan salat yang sempurna. Adapaun musafir yang tidak akan menetap maka beliau senantiasa mengqashar salat selagi sedang dalam keadaan safar.

Bicara Ibnul Qoyyim: “Rasulullah SAW tinggal di Tabuk 20 hari mengqashar salat.” Dituturkan Ibnu Abbas dalam riwayat Bukhari: “Rasulullah SAW melaksanakan salat di sebagian safarnya 19 hari, salat dua rakaat. Dan kami jika safar 19 hari, salat dua rakaat, tetapi jika lebih dari 19 hari, maka kami salat dengan sempurna.”

Kebaikan budi pekerti Salat Qashar

Seorang musafir boleh berjamaah dengan Imam yang muqim (tidak musafir). Begitu juga beliau boleh menjadi imam bagi makmum yang muqim. Seandainya beliau menjadi makmum pada imam yang muqim, maka beliau mesti mengikuti imam dengan melakukan salat Imam (tidak mengqashar). Tetapi seandainya beliau menjadi Imam maka boleh saja mengqashar salatnya, dan makmum menyempurnakan rakaat salatnya setelah imammya salam.

Untuk Musafir Yang Lebih Dari 4 Hari

Menurut Jumhur (mayoritas) ulama’ seorang musafir yang sudah memilihkan lama musafirnya lebih dari empat hari maka beliau tidak boleh mengqashar salatnya. Tetapi seandainya waktunya empat hari atau kurang maka beliau boleh mengqasharnya. Dan jika Seseorang mengalami ketidakpastian jumlah hari beliau musafir boleh saja menjama’ dan mengqashar salatnya.

Kebaikan budi pekerti Salat Sunnah Bagi Musafir

Sunah bagi musafir untuk tidak melakukan salat sunah rawatib (salat sunah sesudah dan sebelum salat wajib), Kecuali salat witir dan Tahajjud, sebab Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu melakukannya tidak sewenang-wenang dalam keadaan musafir atau muqim. Dan begitu juga salat- salat sunah yang mempunyai penyebabnya seperti salat Tahiyatul Masjid, salat gerhana, dan salat janazah.

Rujukan


edunitas.com


Page 5

Salat Qashar yaitu melakukan salat dengan meringkas/mengurangi jumlah raka'at salat yang bersangkutan. Salat Qashar merupakan keringanan yang diberikan kepada mereka yang sedang melakukan perjalanan (safar). Adapun salat yang dapat diqashar yaitu salat dzhuhur, ashar dan isya, dimana raka'at yang aslinya berjumlah 4 dikurangi/diringkas menjadi 2 raka'at saja.

Dalil Naqli Salat Qashar

  • “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar salat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu yaitu musuh yang nyata bagimu.” (QS an-Nisaa’ 101)
  • Dari ‘Aisyah ra berkata : “Awal diwajibkan salat yaitu dua rakaat, yang belakang sekali diteguhkan bagi salat safar dan disempurnakan ( 4 rakaat) bagi salat hadhar (tidak safar).” (Muttafaqun ‘alaihi)
  • Dari ‘Aisyah ra berkata: “Diwajibkan salat 2 rakaat yang belakang sekali Nabi hijrah, maka diwajibkan 4 rakaat dan dibiarkan salat safar seperti semula (2 rakaat).” (HR Bukhari) Dalam riwayat Imam Ahmad menambahkan : “Kecuali Maghrib, sebab Maghrib yaitu salat witir di malam hari dan salat Subuh supaya memanjangkan bacaan di dua rakaat tersebut.”

Siapa Yang Diperbolehkan Salat Qashar

Salat qashar merupakan salah satu keringanan yang diberikan Allah. Salat qashar hanya boleh dilakukan oleh orang yang sedang bepergian (musafir). Dan diperbolehkan melaksanakannya bersama Salat Jamak

Jarak Qashar

Seorang musafir dapat mengambil rukhsoh salat dengan mengqashar dan menjama’ jika telah memenuhi jarak tertentu. Beberapa hadits tentang jarak yang diijinkan untuk melakukan salat qashar :

  • Dari Yahya bin Yazid al-Hana?i bicara, aku berdiskusi pada Anas bin Malik tentang jarak salat Qashar. Anas menjawab: “Yaitu Rasulullah SAW jika keluar menempuh jarak 3 mil atau 3 farsakh beliau salat dua rakaat.” (HR Muslim)
  • Dari Ibnu Abbas bicara, Rasulullah SAW bersabda: “Wahai penduduk Mekkah janganlah kalian mengqashar salat kurang dari 4 burd dari Mekah ke Asfaan.” (HR at-Tabrani, ad-Daruqutni, hadits mauquf)
  • Dari Ibnu Syaibah dari arah yang lain berkata: “Qashar salat dalam jarak perjalanan sehari semalam.”

Yaitu Ibnu Umar ra dan Ibnu Abbas ra mengqashar salat dan membuka puasa pada perjalanan menempuh jarak 4 burd yaitu 16 farsakh.

Ibnu Abbas menjelaskan jarak minimal dibolehkannya qashar salat yaitu 4 burd atau 16 farsakh. 1 farsakh = 5541 meter sehingga 16 Farsakh = 88,656 km. Dan begitulah yang dilaksanakan sahabat seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar. Sedangkan hadits Ibnu Syaibah menunjukkan bahwa qashar salat yaitu perjalanan sehari semalam. Dan ini yaitu perjalanan kaki normal atau perjalanan unta normal. Dan setelah diukur ternyata jaraknya yaitu sekitar 4 burd atau 16 farsakh atau 88,656 km. Dan gagasan inilah yang diyakini mayoritas ulama seperti imam Malik, imam asy-Syafi’i dan imam Ahmad serta pengikut ketiga imam tadi.

Tentang masafah (jarak tempuh) yang seseorang dibolehkan mengqoshor shalat, Ibnu al-Mundzir menceriterakan, bahwa mempunyai kurang lebih 20 gagasan ulama yang berbeda-beda tentang itu (lihat Fathul Bari/ Juz III/ hal. 473/ Bab tentang في كم يقصر الصلاة ؟

Lama Waktu Qashar

Jika seseorang musafir akan masuk suatu kota atau daerah dan bertekad tinggal disana maka beliau dapat melakukan qashar dan jama’ salat. Menurut gagasan imam Malik dan Asy-Syafi’i yaitu 4 hari, selain hari masuk kota dan keluar kota. Sehingga jika sudah menempuh 4 hari beliau mesti melakukan salat yang sempurna. Adapaun musafir yang tidak akan menetap maka beliau senantiasa mengqashar salat selagi sedang dalam keadaan safar.

Bicara Ibnul Qoyyim: “Rasulullah SAW tinggal di Tabuk 20 hari mengqashar salat.” Dituturkan Ibnu Abbas dalam riwayat Bukhari: “Rasulullah SAW melaksanakan salat di sebagian safarnya 19 hari, salat dua rakaat. Dan kami jika safar 19 hari, salat dua rakaat, tetapi jika lebih dari 19 hari, maka kami salat dengan sempurna.”

Kebaikan budi pekerti Salat Qashar

Seorang musafir boleh berjamaah dengan Imam yang muqim (tidak musafir). Begitu juga beliau boleh menjadi imam bagi makmum yang muqim. Seandainya beliau menjadi makmum pada imam yang muqim, maka beliau mesti mengikuti imam dengan melakukan salat Imam (tidak mengqashar). Tetapi seandainya beliau menjadi Imam maka boleh saja mengqashar salatnya, dan makmum menyempurnakan rakaat salatnya setelah imammya salam.

Untuk Musafir Yang Lebih Dari 4 Hari

Menurut Jumhur (mayoritas) ulama’ seorang musafir yang sudah memilihkan lama musafirnya lebih dari empat hari maka beliau tidak boleh mengqashar salatnya. Tetapi seandainya waktunya empat hari atau kurang maka beliau boleh mengqasharnya. Dan jika Seseorang mengalami ketidakpastian jumlah hari beliau musafir boleh saja menjama’ dan mengqashar salatnya.

Kebaikan budi pekerti Salat Sunnah Bagi Musafir

Sunah bagi musafir untuk tidak melakukan salat sunah rawatib (salat sunah sesudah dan sebelum salat wajib), Kecuali salat witir dan Tahajjud, sebab Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu melakukannya tidak sewenang-wenang dalam keadaan musafir atau muqim. Dan begitu juga salat- salat sunah yang mempunyai penyebabnya seperti salat Tahiyatul Masjid, salat gerhana, dan salat janazah.

Rujukan


edunitas.com


Page 6

Salat Jamak yaitu salat yg diterapkan dengan mengumpulkan dua salat mesti dalam satu saat, seperti salat Zuhur dengan Asar dan salat Magrib dengan salat Isya (khusus dalam perjalanan)[1]. Adapun pasangan salat yang bisa dijamak yaitu salat Dzuhur dengan Ashar atau salat Maghrib dengan Isya. Salat jamak dibedakan menjadi dua tipe yakni:

  • Jama' Taqdim penggabungan pelaksanaan dua salat dalam satu saat dengan cara memajukan salat yang belum masuk saat ke dalam salat yang sudah masuk saatnya (seperti penggabungan pelaksanaan salat Asar dengan salat Zuhur pada saat salat Zuhur atau pelaksanaan salat Isya dengan salat Magrib pada saat salat Magrib)[2].
  • Jama' Ta'khir penggabungan pelaksanaan dua salat dalam satu saat dengan cara mengundurkan salat yang sudah masuk saat ke dalam saat salat yang berikutnya (seperti penggabungan pelaksanaan salat Zuhur dengan salat Asar pada saat salat Asar, atau pelaksanaan salat Magrib dengan salat Isya pada saat salat Isya)[2]

Syarat jamak takdim

  1. Tertib. Apabila musafir akan memainkan jamak salat dengan jamak taqdim, karenanya dia mesti mendahulukan salat yang punya saat terlebih dahulu. Semisal musafir akan menjamak salat maghrib dengan shoalt isya', karenanya dia mesti mengerjakan salat maghrib terlebih dahulu. Apabila yang dikerjakan terlebih dahulu yaitu salat isya', karenanya salat salat isya'nya tak sama berat. Dan apabila dia sedang mau memainkan jamak, karenanya mesti mengulangi salat isya'nya sesudah salat maghrib.
  2. Niat jamak pada saat salat yang pertama. Apabila musafir mau memainkan salat jamak dengan jamak taqdim, karenanya diharuskan niat jamak pada saat pelaksanaan salat yang pertama. Jadi, selagi musholli sedang dalam salat yang pertama (asal sebelum salam), saat niat jamak sedang ada, namun yang semakin patut, niat jamak diterapkan bersamaan dengan takbiratul ihram.
  3. Muwalah (bersegera). Antara kedua salat tak ada antara saat yang dianggap lama. Apabila dalam jamak terdapat pemisah (renggang waktu) yang dianggap lama, seperti memainkan salat sunah, karenanya musholli tak dapat memainkan jamak dan mesti mengakhirkan salat yang kedua serta mengerjakannya pada saat yang semestinya.
  4. Sedang berstatus musafir sampai berhentinya salat yang kedua. Orang yang menjamak salatnya mesti berstatus musafir sampai berhentinya salat yang kedua. Apabila sebelum memainkan salat yang kedua ada niatan muqim, karenanya musholli tak boleh memainkan jamak, karena udzurnya dianggap habis dan mesti mengakhirkan salat yang kedua pada saatnya.[3]

Syarat jamak ta'khir

  1. Niat menjamak ta'khir pada saat shalat yang pertama. Misalnya, bila saat shalat zhuhur sudah tiba, karenanya beliau berniat akan memainkan shalat zhuhur tersebut nanti pada saat ashar.
  2. Pada masa datangnya saat shalat yang kedua, beliau sedang dalam perjalanan. Misalnya, seseorang berniat akan memainkan shalat zhuhur pada saat ashar. Ketika saat ashar tiba beliau sedang berada dalam perjalanan. Dalam jamak ta'khir, shalat yang dijamak boleh dikerjakan tak menurut urutan saatnya. Misalnya shalat zhuhur dan ashar, boleh dikerjakan zhuhur dahulu atau ashar dahulu. Di samping itu antara shalat yang pertama dan yang kedua tak perlu beruntun (muwalat). Jadi boleh diselingi dengan afal lain, misalnya shalat sunat rawatib.[3]

Perbedaan Pandangan antara Sunni dan Syi'ah

Pendapat dari Empat Mazhab Sunni:

  1. Pendapat Mazhab Hanafi
    • Hanafi meyakini bahwa pelaksanaan men-jama' salat tidaklah ada kekuatan hukum, patut dalam perjalanan ataupun tak, dengan segala jenis masalah kecuali dalam dua kasus-Hari Arafah dan pada masa malam Muzdalifah dalam bermacam kondisi tertentu.
  2. Pendapat Mazhab Syafi'i
    • Syafi'i meyakini diperbolehkannya pelaksanaan men-jama' salat untuk para musafir perjalanan jauh (safar) dan masa hujan serta salju dalam kondisi tertentu. Untuk mereka, pelaksanaan men-jama' salat seharusnya tak diperbolehkan dalam situasi gelap, berangin, takut atau sakit.
  3. Pendapat Mazhab Maliki
    • Maliki menganggap argumen untuk memainkan men-jama' salat sebagai berikut: sakit, hujan, berlumpur, situasi gelap pada akhir bulan purnama dan pada Hari Arafah serta Malam Muzdalifah untuk yang sedang memainkan haji dalam kondisi tertentu.
  4. Pendapat Mazhab Hambali
    • Hambali memperbolehkan pelaksanaan men-jama' salat masa Hari Arafah dan Malam Muzdalifah dan untuk para musafir, pasien-pasien, ibu menyusui, wanita dengan haid amat sangat, orang yang berjalin-jalin buang cairan kecil, orang yang tak dapat membersihkan dirinya sendiri, orang yang tak dapat membedakan saat, dan orang yang takut kehilangan benda/barang kepemilikannya, kesehatannya atau reputasinya dan juga dalam kondisi hujan, salju, dingin, berawan dan berlumpur. Mereka juga menyebutkan beberapa kondisi lainnya.

Pendapat Perawi Hadits lainnya

  1. Pendapat Ibnu Syabramah
    • Ibnu Syabramah memperbolehkan pelaksanaan men-jama' salat karena beberapa argumen dan bahkan tanpa kondisi khusus selama hal tersebut tak berganti menjadi suatu kebiasaan.
  2. Pendapat Ibnu Mundzir dan Ibnu Sirin
    • Ibnu Mundzir dan Ibnu Sirin, menurut Qaffal, memperbolehkan pelaksanaan men-jama' salat dalam segala kondisi tanpa syarat apapun.

Dalil yang memperkuat adalah:

Dari Muadz bin Jabal: “Bahwa Rasulullah SAW pada masa perang Tabuk, bila matahari sudah condong dan belum berangkat karenanya menjama’ salat antara Dzuhur dan Asar. Dan bila sudah dalam perjalanan sebelum matahari condong, karenanya mengakhirkan salat dzuhur sampai selesai untuk salat Asar. Dan pada saat salat Maghrib sama juga, bila matahari sudah tenggelam sebelum berangkat karenanya menjama’ antara Maghrib dan ‘Isya. Tetapi bila sudah berangkat sebelum matahari matahari tenggelam karenanya mengakhirkan saat salat Maghrib sampai selesai untuk salat ‘Isya, akhir menjama’ keduanya.” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).

Mazhab Syi'ah seperti Dua Belas Imam berpendapat bahwa setiap orang walaupun tak dalam perjalanan jauh, berdiam di rumahnya, tak berada dalam situasi sakit, dapat menjama' salat, patut jama' taqdim maupun jama' ta'khir. Dalil yang memperkuat hal tersebut adalah:

Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula salat) subuh. Sesungguhnya salat subuh itu disaksikan (oleh malaikat). (QS. al-Israa' [17]:78)

Dalil-dalil lain yang memperkuat hal ini ada dalam Ringkasan Shahih Muslim, Kitab Salat Musafir, Bab 6: Menjamak Dua Salat ketika Bermukim (Di Rumah, Tak Bepergian);

Ibnu Abbas r.a. bercakap, "Rasulullah pernah menjama' salat Dzuhur dan salat Ashar, dan menjama' Maghrib dan Isya di Madinah bukan karena khauf (sedang berperang) dan bukan karena hujan."Menurut hadits Waki', dia bercakap, "Diri sendiri tanyakan untuk Ibnu Abbas, 'Mengapa dia memainkan hal itu?" Ibnu Abbas menjawab, 'Supaya dia tak menyulitkan umatnya.'"Menurut hadits Mu'awiyah, ditanyakan untuk Ibnu Abbas, "Apa maksud Nabi berbuat demikian?" Dia menjawab, "Dia bermaksud tak menyulitkan umatnya." (Muslim 2/152)[4]

Pustaka

Pranala luar


edunitas.com


Page 7

Salat Jamak yaitu salat yg diterapkan dengan mengumpulkan dua salat mesti dalam satu saat, seperti salat Zuhur dengan Asar dan salat Magrib dengan salat Isya (khusus dalam perjalanan)[1]. Adapun pasangan salat yang bisa dijamak yaitu salat Dzuhur dengan Ashar atau salat Maghrib dengan Isya. Salat jamak dibedakan menjadi dua tipe yakni:

  • Jama' Taqdim penggabungan pelaksanaan dua salat dalam satu saat dengan cara memajukan salat yang belum masuk saat ke dalam salat yang sudah masuk saatnya (seperti penggabungan pelaksanaan salat Asar dengan salat Zuhur pada saat salat Zuhur atau pelaksanaan salat Isya dengan salat Magrib pada saat salat Magrib)[2].
  • Jama' Ta'khir penggabungan pelaksanaan dua salat dalam satu saat dengan cara mengundurkan salat yang sudah masuk saat ke dalam saat salat yang berikutnya (seperti penggabungan pelaksanaan salat Zuhur dengan salat Asar pada saat salat Asar, atau pelaksanaan salat Magrib dengan salat Isya pada saat salat Isya)[2]

Syarat jamak takdim

  1. Tertib. Apabila musafir akan memainkan jamak salat dengan jamak taqdim, karenanya dia mesti mendahulukan salat yang punya saat terlebih dahulu. Semisal musafir akan menjamak salat maghrib dengan shoalt isya', karenanya dia mesti mengerjakan salat maghrib terlebih dahulu. Apabila yang dikerjakan terlebih dahulu yaitu salat isya', karenanya salat salat isya'nya tak sama berat. Dan apabila dia sedang mau memainkan jamak, karenanya mesti mengulangi salat isya'nya sesudah salat maghrib.
  2. Niat jamak pada saat salat yang pertama. Apabila musafir mau memainkan salat jamak dengan jamak taqdim, karenanya diharuskan niat jamak pada saat pelaksanaan salat yang pertama. Jadi, selagi musholli sedang dalam salat yang pertama (asal sebelum salam), saat niat jamak sedang ada, namun yang semakin patut, niat jamak diterapkan bersamaan dengan takbiratul ihram.
  3. Muwalah (bersegera). Antara kedua salat tak ada antara saat yang dianggap lama. Apabila dalam jamak terdapat pemisah (renggang waktu) yang dianggap lama, seperti memainkan salat sunah, karenanya musholli tak dapat memainkan jamak dan mesti mengakhirkan salat yang kedua serta mengerjakannya pada saat yang semestinya.
  4. Sedang berstatus musafir sampai berhentinya salat yang kedua. Orang yang menjamak salatnya mesti berstatus musafir sampai berhentinya salat yang kedua. Apabila sebelum memainkan salat yang kedua ada niatan muqim, karenanya musholli tak boleh memainkan jamak, karena udzurnya dianggap habis dan mesti mengakhirkan salat yang kedua pada saatnya.[3]

Syarat jamak ta'khir

  1. Niat menjamak ta'khir pada saat shalat yang pertama. Misalnya, bila saat shalat zhuhur sudah tiba, karenanya beliau berniat akan memainkan shalat zhuhur tersebut nanti pada saat ashar.
  2. Pada masa datangnya saat shalat yang kedua, beliau sedang dalam perjalanan. Misalnya, seseorang berniat akan memainkan shalat zhuhur pada saat ashar. Ketika saat ashar tiba beliau sedang berada dalam perjalanan. Dalam jamak ta'khir, shalat yang dijamak boleh dikerjakan tak menurut urutan saatnya. Misalnya shalat zhuhur dan ashar, boleh dikerjakan zhuhur dahulu atau ashar dahulu. Di samping itu antara shalat yang pertama dan yang kedua tak perlu beruntun (muwalat). Jadi boleh diselingi dengan afal lain, misalnya shalat sunat rawatib.[3]

Perbedaan Pandangan antara Sunni dan Syi'ah

Pendapat dari Empat Mazhab Sunni:

  1. Pendapat Mazhab Hanafi
    • Hanafi meyakini bahwa pelaksanaan men-jama' salat tidaklah ada kekuatan hukum, patut dalam perjalanan ataupun tak, dengan segala jenis masalah kecuali dalam dua kasus-Hari Arafah dan pada masa malam Muzdalifah dalam bermacam kondisi tertentu.
  2. Pendapat Mazhab Syafi'i
    • Syafi'i meyakini diperbolehkannya pelaksanaan men-jama' salat untuk para musafir perjalanan jauh (safar) dan masa hujan serta salju dalam kondisi tertentu. Untuk mereka, pelaksanaan men-jama' salat seharusnya tak diperbolehkan dalam situasi gelap, berangin, takut atau sakit.
  3. Pendapat Mazhab Maliki
    • Maliki menganggap argumen untuk memainkan men-jama' salat sebagai berikut: sakit, hujan, berlumpur, situasi gelap pada akhir bulan purnama dan pada Hari Arafah serta Malam Muzdalifah untuk yang sedang memainkan haji dalam kondisi tertentu.
  4. Pendapat Mazhab Hambali
    • Hambali memperbolehkan pelaksanaan men-jama' salat masa Hari Arafah dan Malam Muzdalifah dan untuk para musafir, pasien-pasien, ibu menyusui, wanita dengan haid amat sangat, orang yang berjalin-jalin buang cairan kecil, orang yang tak dapat membersihkan dirinya sendiri, orang yang tak dapat membedakan saat, dan orang yang takut kehilangan benda/barang kepemilikannya, kesehatannya atau reputasinya dan juga dalam kondisi hujan, salju, dingin, berawan dan berlumpur. Mereka juga menyebutkan beberapa kondisi lainnya.

Pendapat Perawi Hadits lainnya

  1. Pendapat Ibnu Syabramah
    • Ibnu Syabramah memperbolehkan pelaksanaan men-jama' salat karena beberapa argumen dan bahkan tanpa kondisi khusus selama hal tersebut tak berganti menjadi suatu kebiasaan.
  2. Pendapat Ibnu Mundzir dan Ibnu Sirin
    • Ibnu Mundzir dan Ibnu Sirin, menurut Qaffal, memperbolehkan pelaksanaan men-jama' salat dalam segala kondisi tanpa syarat apapun.

Dalil yang memperkuat adalah:

Dari Muadz bin Jabal: “Bahwa Rasulullah SAW pada masa perang Tabuk, bila matahari sudah condong dan belum berangkat karenanya menjama’ salat antara Dzuhur dan Asar. Dan bila sudah dalam perjalanan sebelum matahari condong, karenanya mengakhirkan salat dzuhur sampai selesai untuk salat Asar. Dan pada saat salat Maghrib sama juga, bila matahari sudah tenggelam sebelum berangkat karenanya menjama’ antara Maghrib dan ‘Isya. Tetapi bila sudah berangkat sebelum matahari matahari tenggelam karenanya mengakhirkan saat salat Maghrib sampai selesai untuk salat ‘Isya, akhir menjama’ keduanya.” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).

Mazhab Syi'ah seperti Dua Belas Imam berpendapat bahwa setiap orang walaupun tak dalam perjalanan jauh, berdiam di rumahnya, tak berada dalam situasi sakit, dapat menjama' salat, patut jama' taqdim maupun jama' ta'khir. Dalil yang memperkuat hal tersebut adalah:

Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula salat) subuh. Sesungguhnya salat subuh itu disaksikan (oleh malaikat). (QS. al-Israa' [17]:78)

Dalil-dalil lain yang memperkuat hal ini ada dalam Ringkasan Shahih Muslim, Kitab Salat Musafir, Bab 6: Menjamak Dua Salat ketika Bermukim (Di Rumah, Tak Bepergian);

Ibnu Abbas r.a. bercakap, "Rasulullah pernah menjama' salat Dzuhur dan salat Ashar, dan menjama' Maghrib dan Isya di Madinah bukan karena khauf (sedang berperang) dan bukan karena hujan."Menurut hadits Waki', dia bercakap, "Diri sendiri tanyakan untuk Ibnu Abbas, 'Mengapa dia memainkan hal itu?" Ibnu Abbas menjawab, 'Supaya dia tak menyulitkan umatnya.'"Menurut hadits Mu'awiyah, ditanyakan untuk Ibnu Abbas, "Apa maksud Nabi berbuat demikian?" Dia menjawab, "Dia bermaksud tak menyulitkan umatnya." (Muslim 2/152)[4]

Pustaka

Pranala luar


edunitas.com


Page 8

Salat Jamak yaitu salat yg diterapkan dengan mengumpulkan dua salat mesti dalam satu saat, seperti salat Zuhur dengan Asar dan salat Magrib dengan salat Isya (khusus dalam perjalanan)[1]. Adapun pasangan salat yang bisa dijamak yaitu salat Dzuhur dengan Ashar atau salat Maghrib dengan Isya. Salat jamak dibedakan menjadi dua tipe yakni:

  • Jama' Taqdim penggabungan pelaksanaan dua salat dalam satu saat dengan cara memajukan salat yang belum masuk saat ke dalam salat yang sudah masuk saatnya (seperti penggabungan pelaksanaan salat Asar dengan salat Zuhur pada saat salat Zuhur atau pelaksanaan salat Isya dengan salat Magrib pada saat salat Magrib)[2].
  • Jama' Ta'khir penggabungan pelaksanaan dua salat dalam satu saat dengan cara mengundurkan salat yang sudah masuk saat ke dalam saat salat yang berikutnya (seperti penggabungan pelaksanaan salat Zuhur dengan salat Asar pada saat salat Asar, atau pelaksanaan salat Magrib dengan salat Isya pada saat salat Isya)[2]

Syarat jamak takdim

  1. Tertib. Apabila musafir akan memainkan jamak salat dengan jamak taqdim, karenanya dia mesti mendahulukan salat yang punya saat terlebih dahulu. Semisal musafir akan menjamak salat maghrib dengan shoalt isya', karenanya dia mesti mengerjakan salat maghrib terlebih dahulu. Apabila yang dikerjakan terlebih dahulu yaitu salat isya', karenanya salat salat isya'nya tak sama berat. Dan apabila dia sedang mau memainkan jamak, karenanya mesti mengulangi salat isya'nya sesudah salat maghrib.
  2. Niat jamak pada saat salat yang pertama. Apabila musafir mau memainkan salat jamak dengan jamak taqdim, karenanya diharuskan niat jamak pada saat pelaksanaan salat yang pertama. Jadi, selagi musholli sedang dalam salat yang pertama (asal sebelum salam), saat niat jamak sedang ada, namun yang semakin patut, niat jamak diterapkan bersamaan dengan takbiratul ihram.
  3. Muwalah (bersegera). Antara kedua salat tak ada antara saat yang dianggap lama. Apabila dalam jamak terdapat pemisah (renggang waktu) yang dianggap lama, seperti memainkan salat sunah, karenanya musholli tak dapat memainkan jamak dan mesti mengakhirkan salat yang kedua serta mengerjakannya pada saat yang semestinya.
  4. Sedang berstatus musafir sampai berhentinya salat yang kedua. Orang yang menjamak salatnya mesti berstatus musafir sampai berhentinya salat yang kedua. Apabila sebelum memainkan salat yang kedua ada niatan muqim, karenanya musholli tak boleh memainkan jamak, karena udzurnya dianggap habis dan mesti mengakhirkan salat yang kedua pada saatnya.[3]

Syarat jamak ta'khir

  1. Niat menjamak ta'khir pada saat shalat yang pertama. Misalnya, bila saat shalat zhuhur sudah tiba, karenanya beliau berniat akan memainkan shalat zhuhur tersebut nanti pada saat ashar.
  2. Pada masa datangnya saat shalat yang kedua, beliau sedang dalam perjalanan. Misalnya, seseorang berniat akan memainkan shalat zhuhur pada saat ashar. Ketika saat ashar tiba beliau sedang berada dalam perjalanan. Dalam jamak ta'khir, shalat yang dijamak boleh dikerjakan tak menurut urutan saatnya. Misalnya shalat zhuhur dan ashar, boleh dikerjakan zhuhur dahulu atau ashar dahulu. Di samping itu antara shalat yang pertama dan yang kedua tak perlu beruntun (muwalat). Jadi boleh diselingi dengan afal lain, misalnya shalat sunat rawatib.[3]

Perbedaan Pandangan antara Sunni dan Syi'ah

Pendapat dari Empat Mazhab Sunni:

  1. Pendapat Mazhab Hanafi
    • Hanafi meyakini bahwa pelaksanaan men-jama' salat tidaklah ada kekuatan hukum, patut dalam perjalanan ataupun tak, dengan segala jenis masalah kecuali dalam dua kasus-Hari Arafah dan pada masa malam Muzdalifah dalam bermacam kondisi tertentu.
  2. Pendapat Mazhab Syafi'i
    • Syafi'i meyakini diperbolehkannya pelaksanaan men-jama' salat untuk para musafir perjalanan jauh (safar) dan masa hujan serta salju dalam kondisi tertentu. Untuk mereka, pelaksanaan men-jama' salat seharusnya tak diperbolehkan dalam situasi gelap, berangin, takut atau sakit.
  3. Pendapat Mazhab Maliki
    • Maliki menganggap argumen untuk memainkan men-jama' salat sebagai berikut: sakit, hujan, berlumpur, situasi gelap pada akhir bulan purnama dan pada Hari Arafah serta Malam Muzdalifah untuk yang sedang memainkan haji dalam kondisi tertentu.
  4. Pendapat Mazhab Hambali
    • Hambali memperbolehkan pelaksanaan men-jama' salat masa Hari Arafah dan Malam Muzdalifah dan untuk para musafir, pasien-pasien, ibu menyusui, wanita dengan haid amat sangat, orang yang berjalin-jalin buang cairan kecil, orang yang tak dapat membersihkan dirinya sendiri, orang yang tak dapat membedakan saat, dan orang yang takut kehilangan benda/barang kepemilikannya, kesehatannya atau reputasinya dan juga dalam kondisi hujan, salju, dingin, berawan dan berlumpur. Mereka juga menyebutkan beberapa kondisi lainnya.

Pendapat Perawi Hadits lainnya

  1. Pendapat Ibnu Syabramah
    • Ibnu Syabramah memperbolehkan pelaksanaan men-jama' salat karena beberapa argumen dan bahkan tanpa kondisi khusus selama hal tersebut tak berganti menjadi suatu kebiasaan.
  2. Pendapat Ibnu Mundzir dan Ibnu Sirin
    • Ibnu Mundzir dan Ibnu Sirin, menurut Qaffal, memperbolehkan pelaksanaan men-jama' salat dalam segala kondisi tanpa syarat apapun.

Dalil yang memperkuat adalah:

Dari Muadz bin Jabal: “Bahwa Rasulullah SAW pada masa perang Tabuk, bila matahari sudah condong dan belum berangkat karenanya menjama’ salat antara Dzuhur dan Asar. Dan bila sudah dalam perjalanan sebelum matahari condong, karenanya mengakhirkan salat dzuhur sampai selesai untuk salat Asar. Dan pada saat salat Maghrib sama juga, bila matahari sudah tenggelam sebelum berangkat karenanya menjama’ antara Maghrib dan ‘Isya. Tetapi bila sudah berangkat sebelum matahari matahari tenggelam karenanya mengakhirkan saat salat Maghrib sampai selesai untuk salat ‘Isya, akhir menjama’ keduanya.” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).

Mazhab Syi'ah seperti Dua Belas Imam berpendapat bahwa setiap orang walaupun tak dalam perjalanan jauh, berdiam di rumahnya, tak berada dalam situasi sakit, dapat menjama' salat, patut jama' taqdim maupun jama' ta'khir. Dalil yang memperkuat hal tersebut adalah:

Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula salat) subuh. Sesungguhnya salat subuh itu disaksikan (oleh malaikat). (QS. al-Israa' [17]:78)

Dalil-dalil lain yang memperkuat hal ini ada dalam Ringkasan Shahih Muslim, Kitab Salat Musafir, Bab 6: Menjamak Dua Salat ketika Bermukim (Di Rumah, Tak Bepergian);

Ibnu Abbas r.a. bercakap, "Rasulullah pernah menjama' salat Dzuhur dan salat Ashar, dan menjama' Maghrib dan Isya di Madinah bukan karena khauf (sedang berperang) dan bukan karena hujan."Menurut hadits Waki', dia bercakap, "Diri sendiri tanyakan untuk Ibnu Abbas, 'Mengapa dia memainkan hal itu?" Ibnu Abbas menjawab, 'Supaya dia tak menyulitkan umatnya.'"Menurut hadits Mu'awiyah, ditanyakan untuk Ibnu Abbas, "Apa maksud Nabi berbuat demikian?" Dia menjawab, "Dia bermaksud tak menyulitkan umatnya." (Muslim 2/152)[4]

Pustaka

Pranala luar


edunitas.com


Page 9

Salat Jamak yaitu salat yg diterapkan dengan mengumpulkan dua salat mesti dalam satu saat, seperti salat Zuhur dengan Asar dan salat Magrib dengan salat Isya (khusus dalam perjalanan)[1]. Adapun pasangan salat yang bisa dijamak yaitu salat Dzuhur dengan Ashar atau salat Maghrib dengan Isya. Salat jamak dibedakan menjadi dua tipe yakni:

  • Jama' Taqdim penggabungan pelaksanaan dua salat dalam satu saat dengan cara memajukan salat yang belum masuk saat ke dalam salat yang sudah masuk saatnya (seperti penggabungan pelaksanaan salat Asar dengan salat Zuhur pada saat salat Zuhur atau pelaksanaan salat Isya dengan salat Magrib pada saat salat Magrib)[2].
  • Jama' Ta'khir penggabungan pelaksanaan dua salat dalam satu saat dengan cara mengundurkan salat yang sudah masuk saat ke dalam saat salat yang berikutnya (seperti penggabungan pelaksanaan salat Zuhur dengan salat Asar pada saat salat Asar, atau pelaksanaan salat Magrib dengan salat Isya pada saat salat Isya)[2]

Syarat jamak takdim

  1. Tertib. Apabila musafir akan memainkan jamak salat dengan jamak taqdim, karenanya dia mesti mendahulukan salat yang punya saat terlebih dahulu. Semisal musafir akan menjamak salat maghrib dengan shoalt isya', karenanya dia mesti mengerjakan salat maghrib terlebih dahulu. Apabila yang dikerjakan terlebih dahulu yaitu salat isya', karenanya salat salat isya'nya tak sama berat. Dan apabila dia sedang mau memainkan jamak, karenanya mesti mengulangi salat isya'nya sesudah salat maghrib.
  2. Niat jamak pada saat salat yang pertama. Apabila musafir mau memainkan salat jamak dengan jamak taqdim, karenanya diharuskan niat jamak pada saat pelaksanaan salat yang pertama. Jadi, selagi musholli sedang dalam salat yang pertama (asal sebelum salam), saat niat jamak sedang ada, namun yang semakin patut, niat jamak diterapkan bersamaan dengan takbiratul ihram.
  3. Muwalah (bersegera). Antara kedua salat tak ada antara saat yang dianggap lama. Apabila dalam jamak terdapat pemisah (renggang waktu) yang dianggap lama, seperti memainkan salat sunah, karenanya musholli tak dapat memainkan jamak dan mesti mengakhirkan salat yang kedua serta mengerjakannya pada saat yang semestinya.
  4. Sedang berstatus musafir sampai berhentinya salat yang kedua. Orang yang menjamak salatnya mesti berstatus musafir sampai berhentinya salat yang kedua. Apabila sebelum memainkan salat yang kedua ada niatan muqim, karenanya musholli tak boleh memainkan jamak, karena udzurnya dianggap habis dan mesti mengakhirkan salat yang kedua pada saatnya.[3]

Syarat jamak ta'khir

  1. Niat menjamak ta'khir pada saat shalat yang pertama. Misalnya, bila saat shalat zhuhur sudah tiba, karenanya beliau berniat akan memainkan shalat zhuhur tersebut nanti pada saat ashar.
  2. Pada masa datangnya saat shalat yang kedua, beliau sedang dalam perjalanan. Misalnya, seseorang berniat akan memainkan shalat zhuhur pada saat ashar. Ketika saat ashar tiba beliau sedang berada dalam perjalanan. Dalam jamak ta'khir, shalat yang dijamak boleh dikerjakan tak menurut urutan saatnya. Misalnya shalat zhuhur dan ashar, boleh dikerjakan zhuhur dahulu atau ashar dahulu. Di samping itu antara shalat yang pertama dan yang kedua tak perlu beruntun (muwalat). Jadi boleh diselingi dengan afal lain, misalnya shalat sunat rawatib.[3]

Perbedaan Pandangan antara Sunni dan Syi'ah

Pendapat dari Empat Mazhab Sunni:

  1. Pendapat Mazhab Hanafi
    • Hanafi meyakini bahwa pelaksanaan men-jama' salat tidaklah ada kekuatan hukum, patut dalam perjalanan ataupun tak, dengan segala jenis masalah kecuali dalam dua kasus-Hari Arafah dan pada masa malam Muzdalifah dalam bermacam kondisi tertentu.
  2. Pendapat Mazhab Syafi'i
    • Syafi'i meyakini diperbolehkannya pelaksanaan men-jama' salat untuk para musafir perjalanan jauh (safar) dan masa hujan serta salju dalam kondisi tertentu. Untuk mereka, pelaksanaan men-jama' salat seharusnya tak diperbolehkan dalam situasi gelap, berangin, takut atau sakit.
  3. Pendapat Mazhab Maliki
    • Maliki menganggap argumen untuk memainkan men-jama' salat sebagai berikut: sakit, hujan, berlumpur, situasi gelap pada akhir bulan purnama dan pada Hari Arafah serta Malam Muzdalifah untuk yang sedang memainkan haji dalam kondisi tertentu.
  4. Pendapat Mazhab Hambali
    • Hambali memperbolehkan pelaksanaan men-jama' salat masa Hari Arafah dan Malam Muzdalifah dan untuk para musafir, pasien-pasien, ibu menyusui, wanita dengan haid amat sangat, orang yang berjalin-jalin buang cairan kecil, orang yang tak dapat membersihkan dirinya sendiri, orang yang tak dapat membedakan saat, dan orang yang takut kehilangan benda/barang kepemilikannya, kesehatannya atau reputasinya dan juga dalam kondisi hujan, salju, dingin, berawan dan berlumpur. Mereka juga menyebutkan beberapa kondisi lainnya.

Pendapat Perawi Hadits lainnya

  1. Pendapat Ibnu Syabramah
    • Ibnu Syabramah memperbolehkan pelaksanaan men-jama' salat karena beberapa argumen dan bahkan tanpa kondisi khusus selama hal tersebut tak berganti menjadi suatu kebiasaan.
  2. Pendapat Ibnu Mundzir dan Ibnu Sirin
    • Ibnu Mundzir dan Ibnu Sirin, menurut Qaffal, memperbolehkan pelaksanaan men-jama' salat dalam segala kondisi tanpa syarat apapun.

Dalil yang memperkuat adalah:

Dari Muadz bin Jabal: “Bahwa Rasulullah SAW pada masa perang Tabuk, bila matahari sudah condong dan belum berangkat karenanya menjama’ salat antara Dzuhur dan Asar. Dan bila sudah dalam perjalanan sebelum matahari condong, karenanya mengakhirkan salat dzuhur sampai selesai untuk salat Asar. Dan pada saat salat Maghrib sama juga, bila matahari sudah tenggelam sebelum berangkat karenanya menjama’ antara Maghrib dan ‘Isya. Tetapi bila sudah berangkat sebelum matahari matahari tenggelam karenanya mengakhirkan saat salat Maghrib sampai selesai untuk salat ‘Isya, akhir menjama’ keduanya.” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).

Mazhab Syi'ah seperti Dua Belas Imam berpendapat bahwa setiap orang walaupun tak dalam perjalanan jauh, berdiam di rumahnya, tak berada dalam situasi sakit, dapat menjama' salat, patut jama' taqdim maupun jama' ta'khir. Dalil yang memperkuat hal tersebut adalah:

Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula salat) subuh. Sesungguhnya salat subuh itu disaksikan (oleh malaikat). (QS. al-Israa' [17]:78)

Dalil-dalil lain yang memperkuat hal ini ada dalam Ringkasan Shahih Muslim, Kitab Salat Musafir, Bab 6: Menjamak Dua Salat ketika Bermukim (Di Rumah, Tak Bepergian);

Ibnu Abbas r.a. bercakap, "Rasulullah pernah menjama' salat Dzuhur dan salat Ashar, dan menjama' Maghrib dan Isya di Madinah bukan karena khauf (sedang berperang) dan bukan karena hujan."Menurut hadits Waki', dia bercakap, "Diri sendiri tanyakan untuk Ibnu Abbas, 'Mengapa dia memainkan hal itu?" Ibnu Abbas menjawab, 'Supaya dia tak menyulitkan umatnya.'"Menurut hadits Mu'awiyah, ditanyakan untuk Ibnu Abbas, "Apa maksud Nabi berbuat demikian?" Dia menjawab, "Dia bermaksud tak menyulitkan umatnya." (Muslim 2/152)[4]

Pustaka

Pranala luar


edunitas.com


Page 10

Salat Duha (Arab: صلاة الضحى) yaitu salat sunah yang dilaksanakan seorang muslim ketika waktu duha. Waktu duha yaitu waktu ketika matahari mulai naik kurang bertambah 7 hasta sejak terbitnya (kira-kira pukul tujuh pagi) sampai waktu zuhur. Banyak rakaat salat duha minimal 2 rakaat dan maksimal 12 rakaat. Dan dilaksanakan dalam satuan 2 rakaat sekali salam.

Faedah

Faedah atau faedah salat duha yang dapat diperoleh dan dirasakan oleh orang yang menerapkan salat duha yaitu dapat melapangkan dada dalam segala hal terutama dalam hal rizki, sebab banyak orang yang terlibat dalam hal ini.[2]

Dr. Ebrahim Kazim, seorang dokter, peneliti, serta direktur dari Trinidad Islamic Academy-menyatakan bahwa gerakan teratur dari shalat menguatkan otot berserta tendonnya, sendi serta berefek luar biasa terhadap sistem kardiovaskular.[2]

Terlebih lagi shalat dhuha tidak hanya bermanfaat kepada mempersiapkan diri menghadapi hari dengan rangkaian gerakan teraturnya, tetapi juga menangkal stress yang mungkin timbul dalam keaktifan sehari-hari, berdasarkan dengan keterangan dr. Ebrahim Kazim tentang shalat, "Mempunyai ketegangan yang lenyap karena tubuh secara fisiologis mengelurakan zat-zat seperti enkefalin dan endorfin. Zat ini sejenis morfin, termasuk opiat. Efek keduanya juga tidak berbeda dengan opiate yang lain. Bedanya, zat ini alami, dibuat sendiri oleh tubuh, sehingga bertambah mempunyai faedahnya dan terkontrol."[2]

Hadis terkait

Hadis rasulullah terkait salat duha selang lain :

  • "Benda/barang siapa salat Duha 12 rakaat, Allah akan membuatkan kepadanya istana disurga." (H.R. Tirmiji dan Sisa dari pembakaran Majah)
  • "Siapapun yang menerapkan salat duha dengan langgeng, akan diampuni dosanya oleh Allah, sekalipun dosa itu sebanyak buih di lautan." (H.R Tirmidzi)
  • Dari Ummu Hani bahwa rasulullah
    Jarak tempuh perjalanan yang diperbolehkan untuk melaksanakan shalat jama dan qashar adalah
    salat dhuha 8 rakaat dan bersalam tiap dua rakaat. (HR Sisa dari pembakaran Daud)
  • Dari Zaid bin Arqam bercakap, "Nabi
    Jarak tempuh perjalanan yang diperbolehkan untuk melaksanakan shalat jama dan qashar adalah
    keluar ke masyarakat Quba dan mereka masih salat dhuha." Ia bersabda, "Salat awwabin (duha‘) yang belakang sekalinya sampai panas menyengat (tengah hari)." (HR Ahmad Muslim dan Tirmidzi)
  • Rasulullah bersabda di dalam hadits Qudsi, Allah SWT berfirman, “Wahai anak Adam, jangan sekali-kali engkau malas mengerjakan empat rakaat salat duha, karena dengan salat tersebut, Diri sendiri cukupkan kepentinganmu pada sore harinya.” (HR Hakim & Thabrani)
  • "Barangsiapa yang masih berdiam diri di masjid atau tempat salatnya sesudah salat shubuh karena melakukan iktikaf, berzikir, dan melakukan dua rakaat salat dhuha disertai tidak bercakap sesuatu kecuali kebaikan, maka dosa-dosanya akan diampuni meskipun banyaknya menjadi lebih buih di lautan." (HR Sisa dari pembakaran Daud)
  • Dari Abi Zar dari nabi
    Jarak tempuh perjalanan yang diperbolehkan untuk melaksanakan shalat jama dan qashar adalah
    , dia bersabda, Setiap pagi mempunyai kewajiban kepada bersedekah kepada tiap-tiap persendian (ruas). Tiap-tiap tasbih yaitu sedekah, riap-tiap tahlil yaitu sedekah, tiap-tiap takbir yaitu sedekah, dan menganjurkan kebaikan serta mencegah kemungkaran itu sedekah. Cukuplah menggantikan semua itu dengan dua raka'at salat dhuha.” (HR Muslim)

Doa salat dhuha

Pada dasarnya doa sesudah salat duha dapat mempergunakan doa apapun. Bahkan pernah tercatat nabi beristighfar seusai shalat duha dan dilanjutkan dengan doa lain. Doa yang biasa dilaksanakan selepas salat duha adalah:

اَللهُمَّ اِنَّ الضُّحَآءَ ضُحَاءُكَ، وَالْبَهَاءَ بَهَاءُكَ، وَالْجَمَالَ جَمَالُكَ، وَالْقُوَّةَ قُوَّتُكَ، وَالْقُدْرَةَ قُدْرَتُكَ، وَالْعِصْمَةَ عِصْمَتُكَ. اَللهُمَّ اِنْ كَانَ رِزْقَى فِى السَّمَآءِ فَأَنْزِلْهُ وَاِنْ كَانَ فِى اْلاَرْضِ فَأَخْرِجْهُ وَاِنْ كَانَ مُعَسَّرًا فَيَسِّرْهُ وَاِنْ كَانَ حَرَامًا فَطَهِّرْهُ وَاِنْ كَانَ بَعِيْدًا فَقَرِّبْهُ بِحَقِّ ضُحَاءِكَ وَبَهَاءِكَ وَجَمَالِكَ وَقُوَّتِكَ وَقُدْرَتِكَ آتِنِىْ مَآاَتَيْتَ عِبَادَكَ الصَّالِحِيْنَ

Dalam tulisan latin: "Allahumma innad dhuha-a dhuha-uka, wal baha-a baha-uka, wal jamala jamaluka, wal quwwata quwwatuka, wal qudrota qudrotuka, wal 'ismata 'ismatuka. Allahumma in kana rizqi fis sama-i fa-anzilhu, wa in kana fil ardhi fa akhrijhu, wa in kana mu’assaron fa yassirhu, wa in kana haroman fathohhirhu, wa in kana ba’idan faqorribhu, bihaqqi dhuha-ika, wa baha-ika, wa jamalika, wa quwwatika, wa qudrotika, aatini ma atayta 'ibadakas sholihin".

Artinya: "Ya Allah, bahwasannya waktu dhuha itu yaitu waktu dhuha-Mu, dan keagungan itu yaitu keagungan-Mu, dan keindahan itu yaitu keindahan-Mu, dan daya itu yaitu kekuatan-Mu, dan perlindungan itu yaitu perlindungan-Mu. Ya Allah, jika rizkiku masih di atas langit, maka turunkanlah, jika masih di dalam bumi, maka keluarkanlah, jika masih sukar, maka mudahkanlah, jika (ternyata) haram, maka sucikanlah, jika masih jauh, maka dekatkanlah, Berkat waktu dhuha, keagungan, keindahan, daya dan kekuasaan-Mu, limpahkanlah kepada kami segala yang telah Engkau limpahkan kepada hamba-hambaMU yang sholeh".

  • Dalam Fatwa Mufti Markaz Al Fatawa – Asy Syabkah Al Islamiyah, Dr ‘Abdullah Al Faqih, Fatwa no. 53488, 1 Sya’ban 1425, diterangkan:

do’a Dhuha seperti ini (“Allahumma innadhuha dhuha-uka, wal bahaa baha-uka, wal jamala jamaluka, wal quwwata quwwatuka, wal qudrota qudrotuka, wal ‘ismata ‘ismatuka ...dst) tidak ditemukan dalam berbagai kitab yang menyandarkan doa ini sebagai hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Do'a seperti itu ditulis oleh Asy Syarwani dalam Syarh Al Minhaj dan Ad Dimyathi dalam I’anatuth Tholibiin, namun doa ini tidak dinyatakan sebagai hadis.

Surah-surah yang paling adun dibaca

Surah-surah yang paling adun dibaca ketika salat duha adalah:

Surah yang paling disunahkan ketika salat dhuha yaitu:

Kepada rakaat berikutnya:

Referensi

  1. ^ a b c Faedah Salat Duha Secara Medis

Daftar pustaka

  • Azzet, Akhmad Muhaimin (2010). 7 Prosedur Supaya Rezeki Lebih Bertambah dan Barakah (dalam bahasa Indonesia). Yogyakarta: Diva Press. ISBN 978-602-955-504-2. 
  • Ghazali, Imam (2008). Bertambah Kaya Lewat Shalat Dhuha (dalam bahasa Indonesia). Mitra Press. ISBN 978-979-17230-1-5. 
  • Rifai, Moh. (2010). Risalah Tuntunan Shalat Lengkap (dalam bahasa Indonesia). Semarang: PT Karya Toha Putra. 

Pranala luar

  • Apakah Mempunyai Bacaan Surat Tertentu dalam Sholat Dhuha di Rumaysho.com

edunitas.com


Page 11

Salat Duha (Arab: صلاة الضحى) yaitu salat sunah yang dilaksanakan seorang muslim ketika waktu duha. Waktu duha yaitu waktu ketika matahari mulai naik kurang bertambah 7 hasta sejak terbitnya (kira-kira pukul tujuh pagi) sampai waktu zuhur. Banyak rakaat salat duha minimal 2 rakaat dan maksimal 12 rakaat. Dan dilaksanakan dalam satuan 2 rakaat sekali salam.

Faedah

Faedah atau faedah salat duha yang dapat diperoleh dan dirasakan oleh orang yang menerapkan salat duha yaitu dapat melapangkan dada dalam segala hal terutama dalam hal rizki, sebab banyak orang yang terlibat dalam hal ini.[2]

Dr. Ebrahim Kazim, seorang dokter, peneliti, serta direktur dari Trinidad Islamic Academy-menyatakan bahwa gerakan teratur dari shalat menguatkan otot berserta tendonnya, sendi serta berefek luar biasa terhadap sistem kardiovaskular.[2]

Terlebih lagi shalat dhuha tidak hanya bermanfaat kepada mempersiapkan diri menghadapi hari dengan rangkaian gerakan teraturnya, tetapi juga menangkal stress yang mungkin timbul dalam keaktifan sehari-hari, berdasarkan dengan keterangan dr. Ebrahim Kazim tentang shalat, "Mempunyai ketegangan yang lenyap karena tubuh secara fisiologis mengelurakan zat-zat seperti enkefalin dan endorfin. Zat ini sejenis morfin, termasuk opiat. Efek keduanya juga tidak berbeda dengan opiate yang lain. Bedanya, zat ini alami, dibuat sendiri oleh tubuh, sehingga bertambah mempunyai faedahnya dan terkontrol."[2]

Hadis terkait

Hadis rasulullah terkait salat duha selang lain :

  • "Benda/barang siapa salat Duha 12 rakaat, Allah akan membuatkan kepadanya istana disurga." (H.R. Tirmiji dan Sisa dari pembakaran Majah)
  • "Siapapun yang menerapkan salat duha dengan langgeng, akan diampuni dosanya oleh Allah, sekalipun dosa itu sebanyak buih di lautan." (H.R Tirmidzi)
  • Dari Ummu Hani bahwa rasulullah
    Jarak tempuh perjalanan yang diperbolehkan untuk melaksanakan shalat jama dan qashar adalah
    salat dhuha 8 rakaat dan bersalam tiap dua rakaat. (HR Sisa dari pembakaran Daud)
  • Dari Zaid bin Arqam bercakap, "Nabi
    Jarak tempuh perjalanan yang diperbolehkan untuk melaksanakan shalat jama dan qashar adalah
    keluar ke masyarakat Quba dan mereka masih salat dhuha." Ia bersabda, "Salat awwabin (duha‘) yang belakang sekalinya sampai panas menyengat (tengah hari)." (HR Ahmad Muslim dan Tirmidzi)
  • Rasulullah bersabda di dalam hadits Qudsi, Allah SWT berfirman, “Wahai anak Adam, jangan sekali-kali engkau malas mengerjakan empat rakaat salat duha, karena dengan salat tersebut, Diri sendiri cukupkan kepentinganmu pada sore harinya.” (HR Hakim & Thabrani)
  • "Barangsiapa yang masih berdiam diri di masjid atau tempat salatnya sesudah salat shubuh karena melakukan iktikaf, berzikir, dan melakukan dua rakaat salat dhuha disertai tidak bercakap sesuatu kecuali kebaikan, maka dosa-dosanya akan diampuni meskipun banyaknya menjadi lebih buih di lautan." (HR Sisa dari pembakaran Daud)
  • Dari Abi Zar dari nabi
    Jarak tempuh perjalanan yang diperbolehkan untuk melaksanakan shalat jama dan qashar adalah
    , dia bersabda, Setiap pagi mempunyai kewajiban kepada bersedekah kepada tiap-tiap persendian (ruas). Tiap-tiap tasbih yaitu sedekah, riap-tiap tahlil yaitu sedekah, tiap-tiap takbir yaitu sedekah, dan menganjurkan kebaikan serta mencegah kemungkaran itu sedekah. Cukuplah menggantikan semua itu dengan dua raka'at salat dhuha.” (HR Muslim)

Doa salat dhuha

Pada dasarnya doa sesudah salat duha dapat mempergunakan doa apapun. Bahkan pernah tercatat nabi beristighfar seusai shalat duha dan dilanjutkan dengan doa lain. Doa yang biasa dilaksanakan selepas salat duha adalah:

اَللهُمَّ اِنَّ الضُّحَآءَ ضُحَاءُكَ، وَالْبَهَاءَ بَهَاءُكَ، وَالْجَمَالَ جَمَالُكَ، وَالْقُوَّةَ قُوَّتُكَ، وَالْقُدْرَةَ قُدْرَتُكَ، وَالْعِصْمَةَ عِصْمَتُكَ. اَللهُمَّ اِنْ كَانَ رِزْقَى فِى السَّمَآءِ فَأَنْزِلْهُ وَاِنْ كَانَ فِى اْلاَرْضِ فَأَخْرِجْهُ وَاِنْ كَانَ مُعَسَّرًا فَيَسِّرْهُ وَاِنْ كَانَ حَرَامًا فَطَهِّرْهُ وَاِنْ كَانَ بَعِيْدًا فَقَرِّبْهُ بِحَقِّ ضُحَاءِكَ وَبَهَاءِكَ وَجَمَالِكَ وَقُوَّتِكَ وَقُدْرَتِكَ آتِنِىْ مَآاَتَيْتَ عِبَادَكَ الصَّالِحِيْنَ

Dalam tulisan latin: "Allahumma innad dhuha-a dhuha-uka, wal baha-a baha-uka, wal jamala jamaluka, wal quwwata quwwatuka, wal qudrota qudrotuka, wal 'ismata 'ismatuka. Allahumma in kana rizqi fis sama-i fa-anzilhu, wa in kana fil ardhi fa akhrijhu, wa in kana mu’assaron fa yassirhu, wa in kana haroman fathohhirhu, wa in kana ba’idan faqorribhu, bihaqqi dhuha-ika, wa baha-ika, wa jamalika, wa quwwatika, wa qudrotika, aatini ma atayta 'ibadakas sholihin".

Artinya: "Ya Allah, bahwasannya waktu dhuha itu yaitu waktu dhuha-Mu, dan keagungan itu yaitu keagungan-Mu, dan keindahan itu yaitu keindahan-Mu, dan daya itu yaitu kekuatan-Mu, dan perlindungan itu yaitu perlindungan-Mu. Ya Allah, jika rizkiku masih di atas langit, maka turunkanlah, jika masih di dalam bumi, maka keluarkanlah, jika masih sukar, maka mudahkanlah, jika (ternyata) haram, maka sucikanlah, jika masih jauh, maka dekatkanlah, Berkat waktu dhuha, keagungan, keindahan, daya dan kekuasaan-Mu, limpahkanlah kepada kami segala yang telah Engkau limpahkan kepada hamba-hambaMU yang sholeh".

  • Dalam Fatwa Mufti Markaz Al Fatawa – Asy Syabkah Al Islamiyah, Dr ‘Abdullah Al Faqih, Fatwa no. 53488, 1 Sya’ban 1425, diterangkan:

do’a Dhuha seperti ini (“Allahumma innadhuha dhuha-uka, wal bahaa baha-uka, wal jamala jamaluka, wal quwwata quwwatuka, wal qudrota qudrotuka, wal ‘ismata ‘ismatuka ...dst) tidak ditemukan dalam berbagai kitab yang menyandarkan doa ini sebagai hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Do'a seperti itu ditulis oleh Asy Syarwani dalam Syarh Al Minhaj dan Ad Dimyathi dalam I’anatuth Tholibiin, namun doa ini tidak dinyatakan sebagai hadis.

Surah-surah yang paling adun dibaca

Surah-surah yang paling adun dibaca ketika salat duha adalah:

Surah yang paling disunahkan ketika salat dhuha yaitu:

Kepada rakaat berikutnya:

Referensi

  1. ^ a b c Faedah Salat Duha Secara Medis

Daftar pustaka

  • Azzet, Akhmad Muhaimin (2010). 7 Prosedur Supaya Rezeki Lebih Bertambah dan Barakah (dalam bahasa Indonesia). Yogyakarta: Diva Press. ISBN 978-602-955-504-2. 
  • Ghazali, Imam (2008). Bertambah Kaya Lewat Shalat Dhuha (dalam bahasa Indonesia). Mitra Press. ISBN 978-979-17230-1-5. 
  • Rifai, Moh. (2010). Risalah Tuntunan Shalat Lengkap (dalam bahasa Indonesia). Semarang: PT Karya Toha Putra. 

Pranala luar

  • Apakah Mempunyai Bacaan Surat Tertentu dalam Sholat Dhuha di Rumaysho.com

edunitas.com


Page 12

Salat Duha (Arab: صلاة الضحى) yaitu salat sunah yang dilaksanakan seorang muslim ketika waktu duha. Waktu duha yaitu waktu ketika matahari mulai naik kurang bertambah 7 hasta sejak terbitnya (kira-kira pukul tujuh pagi) sampai waktu zuhur. Banyak rakaat salat duha minimal 2 rakaat dan maksimal 12 rakaat. Dan dilaksanakan dalam satuan 2 rakaat sekali salam.

Faedah

Faedah atau faedah salat duha yang dapat diperoleh dan dirasakan oleh orang yang menerapkan salat duha yaitu dapat melapangkan dada dalam segala hal terutama dalam hal rizki, sebab banyak orang yang terlibat dalam hal ini.[2]

Dr. Ebrahim Kazim, seorang dokter, peneliti, serta direktur dari Trinidad Islamic Academy-menyatakan bahwa gerakan teratur dari shalat menguatkan otot berserta tendonnya, sendi serta berefek luar biasa terhadap sistem kardiovaskular.[2]

Terlebih lagi shalat dhuha tidak hanya bermanfaat kepada mempersiapkan diri menghadapi hari dengan rangkaian gerakan teraturnya, tetapi juga menangkal stress yang mungkin timbul dalam keaktifan sehari-hari, berdasarkan dengan keterangan dr. Ebrahim Kazim tentang shalat, "Mempunyai ketegangan yang lenyap karena tubuh secara fisiologis mengelurakan zat-zat seperti enkefalin dan endorfin. Zat ini sejenis morfin, termasuk opiat. Efek keduanya juga tidak berbeda dengan opiate yang lain. Bedanya, zat ini alami, dibuat sendiri oleh tubuh, sehingga bertambah mempunyai faedahnya dan terkontrol."[2]

Hadis terkait

Hadis rasulullah terkait salat duha selang lain :

  • "Benda/barang siapa salat Duha 12 rakaat, Allah akan membuatkan kepadanya istana disurga." (H.R. Tirmiji dan Sisa dari pembakaran Majah)
  • "Siapapun yang menerapkan salat duha dengan langgeng, akan diampuni dosanya oleh Allah, sekalipun dosa itu sebanyak buih di lautan." (H.R Tirmidzi)
  • Dari Ummu Hani bahwa rasulullah
    Jarak tempuh perjalanan yang diperbolehkan untuk melaksanakan shalat jama dan qashar adalah
    salat dhuha 8 rakaat dan bersalam tiap dua rakaat. (HR Sisa dari pembakaran Daud)
  • Dari Zaid bin Arqam bercakap, "Nabi
    Jarak tempuh perjalanan yang diperbolehkan untuk melaksanakan shalat jama dan qashar adalah
    keluar ke masyarakat Quba dan mereka masih salat dhuha." Ia bersabda, "Salat awwabin (duha‘) yang belakang sekalinya sampai panas menyengat (tengah hari)." (HR Ahmad Muslim dan Tirmidzi)
  • Rasulullah bersabda di dalam hadits Qudsi, Allah SWT berfirman, “Wahai anak Adam, jangan sekali-kali engkau malas mengerjakan empat rakaat salat duha, karena dengan salat tersebut, Diri sendiri cukupkan kepentinganmu pada sore harinya.” (HR Hakim & Thabrani)
  • "Barangsiapa yang masih berdiam diri di masjid atau tempat salatnya sesudah salat shubuh karena melakukan iktikaf, berzikir, dan melakukan dua rakaat salat dhuha disertai tidak bercakap sesuatu kecuali kebaikan, maka dosa-dosanya akan diampuni meskipun banyaknya menjadi lebih buih di lautan." (HR Sisa dari pembakaran Daud)
  • Dari Abi Zar dari nabi
    Jarak tempuh perjalanan yang diperbolehkan untuk melaksanakan shalat jama dan qashar adalah
    , dia bersabda, Setiap pagi mempunyai kewajiban kepada bersedekah kepada tiap-tiap persendian (ruas). Tiap-tiap tasbih yaitu sedekah, riap-tiap tahlil yaitu sedekah, tiap-tiap takbir yaitu sedekah, dan menganjurkan kebaikan serta mencegah kemungkaran itu sedekah. Cukuplah menggantikan semua itu dengan dua raka'at salat dhuha.” (HR Muslim)

Doa salat dhuha

Pada dasarnya doa sesudah salat duha dapat mempergunakan doa apapun. Bahkan pernah tercatat nabi beristighfar seusai shalat duha dan dilanjutkan dengan doa lain. Doa yang biasa dilaksanakan selepas salat duha adalah:

اَللهُمَّ اِنَّ الضُّحَآءَ ضُحَاءُكَ، وَالْبَهَاءَ بَهَاءُكَ، وَالْجَمَالَ جَمَالُكَ، وَالْقُوَّةَ قُوَّتُكَ، وَالْقُدْرَةَ قُدْرَتُكَ، وَالْعِصْمَةَ عِصْمَتُكَ. اَللهُمَّ اِنْ كَانَ رِزْقَى فِى السَّمَآءِ فَأَنْزِلْهُ وَاِنْ كَانَ فِى اْلاَرْضِ فَأَخْرِجْهُ وَاِنْ كَانَ مُعَسَّرًا فَيَسِّرْهُ وَاِنْ كَانَ حَرَامًا فَطَهِّرْهُ وَاِنْ كَانَ بَعِيْدًا فَقَرِّبْهُ بِحَقِّ ضُحَاءِكَ وَبَهَاءِكَ وَجَمَالِكَ وَقُوَّتِكَ وَقُدْرَتِكَ آتِنِىْ مَآاَتَيْتَ عِبَادَكَ الصَّالِحِيْنَ

Dalam tulisan latin: "Allahumma innad dhuha-a dhuha-uka, wal baha-a baha-uka, wal jamala jamaluka, wal quwwata quwwatuka, wal qudrota qudrotuka, wal 'ismata 'ismatuka. Allahumma in kana rizqi fis sama-i fa-anzilhu, wa in kana fil ardhi fa akhrijhu, wa in kana mu’assaron fa yassirhu, wa in kana haroman fathohhirhu, wa in kana ba’idan faqorribhu, bihaqqi dhuha-ika, wa baha-ika, wa jamalika, wa quwwatika, wa qudrotika, aatini ma atayta 'ibadakas sholihin".

Artinya: "Ya Allah, bahwasannya waktu dhuha itu yaitu waktu dhuha-Mu, dan keagungan itu yaitu keagungan-Mu, dan keindahan itu yaitu keindahan-Mu, dan daya itu yaitu kekuatan-Mu, dan perlindungan itu yaitu perlindungan-Mu. Ya Allah, jika rizkiku masih di atas langit, maka turunkanlah, jika masih di dalam bumi, maka keluarkanlah, jika masih sukar, maka mudahkanlah, jika (ternyata) haram, maka sucikanlah, jika masih jauh, maka dekatkanlah, Berkat waktu dhuha, keagungan, keindahan, daya dan kekuasaan-Mu, limpahkanlah kepada kami segala yang telah Engkau limpahkan kepada hamba-hambaMU yang sholeh".

  • Dalam Fatwa Mufti Markaz Al Fatawa – Asy Syabkah Al Islamiyah, Dr ‘Abdullah Al Faqih, Fatwa no. 53488, 1 Sya’ban 1425, diterangkan:

do’a Dhuha seperti ini (“Allahumma innadhuha dhuha-uka, wal bahaa baha-uka, wal jamala jamaluka, wal quwwata quwwatuka, wal qudrota qudrotuka, wal ‘ismata ‘ismatuka ...dst) tidak ditemukan dalam berbagai kitab yang menyandarkan doa ini sebagai hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Do'a seperti itu ditulis oleh Asy Syarwani dalam Syarh Al Minhaj dan Ad Dimyathi dalam I’anatuth Tholibiin, namun doa ini tidak dinyatakan sebagai hadis.

Surah-surah yang paling adun dibaca

Surah-surah yang paling adun dibaca ketika salat duha adalah:

Surah yang paling disunahkan ketika salat dhuha yaitu:

Kepada rakaat berikutnya:

Referensi

  1. ^ a b c Faedah Salat Duha Secara Medis

Daftar pustaka

  • Azzet, Akhmad Muhaimin (2010). 7 Prosedur Supaya Rezeki Lebih Bertambah dan Barakah (dalam bahasa Indonesia). Yogyakarta: Diva Press. ISBN 978-602-955-504-2. 
  • Ghazali, Imam (2008). Bertambah Kaya Lewat Shalat Dhuha (dalam bahasa Indonesia). Mitra Press. ISBN 978-979-17230-1-5. 
  • Rifai, Moh. (2010). Risalah Tuntunan Shalat Lengkap (dalam bahasa Indonesia). Semarang: PT Karya Toha Putra. 

Pranala luar

  • Apakah Mempunyai Bacaan Surat Tertentu dalam Sholat Dhuha di Rumaysho.com

edunitas.com


Page 13

Salat Duha (Arab: صلاة الضحى) yaitu salat sunah yang dilaksanakan seorang muslim ketika waktu duha. Waktu duha yaitu waktu ketika matahari mulai naik kurang bertambah 7 hasta sejak terbitnya (kira-kira pukul tujuh pagi) sampai waktu zuhur. Banyak rakaat salat duha minimal 2 rakaat dan maksimal 12 rakaat. Dan dilaksanakan dalam satuan 2 rakaat sekali salam.

Faedah

Faedah atau faedah salat duha yang dapat diperoleh dan dirasakan oleh orang yang menerapkan salat duha yaitu dapat melapangkan dada dalam segala hal terutama dalam hal rizki, sebab banyak orang yang terlibat dalam hal ini.[2]

Dr. Ebrahim Kazim, seorang dokter, peneliti, serta direktur dari Trinidad Islamic Academy-menyatakan bahwa gerakan teratur dari shalat menguatkan otot berserta tendonnya, sendi serta berefek luar biasa terhadap sistem kardiovaskular.[2]

Terlebih lagi shalat dhuha tidak hanya bermanfaat kepada mempersiapkan diri menghadapi hari dengan rangkaian gerakan teraturnya, tetapi juga menangkal stress yang mungkin timbul dalam keaktifan sehari-hari, berdasarkan dengan keterangan dr. Ebrahim Kazim tentang shalat, "Mempunyai ketegangan yang lenyap karena tubuh secara fisiologis mengelurakan zat-zat seperti enkefalin dan endorfin. Zat ini sejenis morfin, termasuk opiat. Efek keduanya juga tidak berbeda dengan opiate yang lain. Bedanya, zat ini alami, dibuat sendiri oleh tubuh, sehingga bertambah mempunyai faedahnya dan terkontrol."[2]

Hadis terkait

Hadis rasulullah terkait salat duha selang lain :

  • "Benda/barang siapa salat Duha 12 rakaat, Allah akan membuatkan kepadanya istana disurga." (H.R. Tirmiji dan Sisa dari pembakaran Majah)
  • "Siapapun yang menerapkan salat duha dengan langgeng, akan diampuni dosanya oleh Allah, sekalipun dosa itu sebanyak buih di lautan." (H.R Tirmidzi)
  • Dari Ummu Hani bahwa rasulullah
    Jarak tempuh perjalanan yang diperbolehkan untuk melaksanakan shalat jama dan qashar adalah
    salat dhuha 8 rakaat dan bersalam tiap dua rakaat. (HR Sisa dari pembakaran Daud)
  • Dari Zaid bin Arqam bercakap, "Nabi
    Jarak tempuh perjalanan yang diperbolehkan untuk melaksanakan shalat jama dan qashar adalah
    keluar ke masyarakat Quba dan mereka masih salat dhuha." Ia bersabda, "Salat awwabin (duha‘) yang belakang sekalinya sampai panas menyengat (tengah hari)." (HR Ahmad Muslim dan Tirmidzi)
  • Rasulullah bersabda di dalam hadits Qudsi, Allah SWT berfirman, “Wahai anak Adam, jangan sekali-kali engkau malas mengerjakan empat rakaat salat duha, karena dengan salat tersebut, Diri sendiri cukupkan kepentinganmu pada sore harinya.” (HR Hakim & Thabrani)
  • "Barangsiapa yang masih berdiam diri di masjid atau tempat salatnya sesudah salat shubuh karena melakukan iktikaf, berzikir, dan melakukan dua rakaat salat dhuha disertai tidak bercakap sesuatu kecuali kebaikan, maka dosa-dosanya akan diampuni meskipun banyaknya menjadi lebih buih di lautan." (HR Sisa dari pembakaran Daud)
  • Dari Abi Zar dari nabi
    Jarak tempuh perjalanan yang diperbolehkan untuk melaksanakan shalat jama dan qashar adalah
    , dia bersabda, Setiap pagi mempunyai kewajiban kepada bersedekah kepada tiap-tiap persendian (ruas). Tiap-tiap tasbih yaitu sedekah, riap-tiap tahlil yaitu sedekah, tiap-tiap takbir yaitu sedekah, dan menganjurkan kebaikan serta mencegah kemungkaran itu sedekah. Cukuplah menggantikan semua itu dengan dua raka'at salat dhuha.” (HR Muslim)

Doa salat dhuha

Pada dasarnya doa sesudah salat duha dapat mempergunakan doa apapun. Bahkan pernah tercatat nabi beristighfar seusai shalat duha dan dilanjutkan dengan doa lain. Doa yang biasa dilaksanakan selepas salat duha adalah:

اَللهُمَّ اِنَّ الضُّحَآءَ ضُحَاءُكَ، وَالْبَهَاءَ بَهَاءُكَ، وَالْجَمَالَ جَمَالُكَ، وَالْقُوَّةَ قُوَّتُكَ، وَالْقُدْرَةَ قُدْرَتُكَ، وَالْعِصْمَةَ عِصْمَتُكَ. اَللهُمَّ اِنْ كَانَ رِزْقَى فِى السَّمَآءِ فَأَنْزِلْهُ وَاِنْ كَانَ فِى اْلاَرْضِ فَأَخْرِجْهُ وَاِنْ كَانَ مُعَسَّرًا فَيَسِّرْهُ وَاِنْ كَانَ حَرَامًا فَطَهِّرْهُ وَاِنْ كَانَ بَعِيْدًا فَقَرِّبْهُ بِحَقِّ ضُحَاءِكَ وَبَهَاءِكَ وَجَمَالِكَ وَقُوَّتِكَ وَقُدْرَتِكَ آتِنِىْ مَآاَتَيْتَ عِبَادَكَ الصَّالِحِيْنَ

Dalam tulisan latin: "Allahumma innad dhuha-a dhuha-uka, wal baha-a baha-uka, wal jamala jamaluka, wal quwwata quwwatuka, wal qudrota qudrotuka, wal 'ismata 'ismatuka. Allahumma in kana rizqi fis sama-i fa-anzilhu, wa in kana fil ardhi fa akhrijhu, wa in kana mu’assaron fa yassirhu, wa in kana haroman fathohhirhu, wa in kana ba’idan faqorribhu, bihaqqi dhuha-ika, wa baha-ika, wa jamalika, wa quwwatika, wa qudrotika, aatini ma atayta 'ibadakas sholihin".

Artinya: "Ya Allah, bahwasannya waktu dhuha itu yaitu waktu dhuha-Mu, dan keagungan itu yaitu keagungan-Mu, dan keindahan itu yaitu keindahan-Mu, dan daya itu yaitu kekuatan-Mu, dan perlindungan itu yaitu perlindungan-Mu. Ya Allah, jika rizkiku masih di atas langit, maka turunkanlah, jika masih di dalam bumi, maka keluarkanlah, jika masih sukar, maka mudahkanlah, jika (ternyata) haram, maka sucikanlah, jika masih jauh, maka dekatkanlah, Berkat waktu dhuha, keagungan, keindahan, daya dan kekuasaan-Mu, limpahkanlah kepada kami segala yang telah Engkau limpahkan kepada hamba-hambaMU yang sholeh".

  • Dalam Fatwa Mufti Markaz Al Fatawa – Asy Syabkah Al Islamiyah, Dr ‘Abdullah Al Faqih, Fatwa no. 53488, 1 Sya’ban 1425, diterangkan:

do’a Dhuha seperti ini (“Allahumma innadhuha dhuha-uka, wal bahaa baha-uka, wal jamala jamaluka, wal quwwata quwwatuka, wal qudrota qudrotuka, wal ‘ismata ‘ismatuka ...dst) tidak ditemukan dalam berbagai kitab yang menyandarkan doa ini sebagai hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Do'a seperti itu ditulis oleh Asy Syarwani dalam Syarh Al Minhaj dan Ad Dimyathi dalam I’anatuth Tholibiin, namun doa ini tidak dinyatakan sebagai hadis.

Surah-surah yang paling adun dibaca

Surah-surah yang paling adun dibaca ketika salat duha adalah:

Surah yang paling disunahkan ketika salat dhuha yaitu:

Kepada rakaat berikutnya:

Referensi

  1. ^ a b c Faedah Salat Duha Secara Medis

Daftar pustaka

  • Azzet, Akhmad Muhaimin (2010). 7 Prosedur Supaya Rezeki Lebih Bertambah dan Barakah (dalam bahasa Indonesia). Yogyakarta: Diva Press. ISBN 978-602-955-504-2. 
  • Ghazali, Imam (2008). Bertambah Kaya Lewat Shalat Dhuha (dalam bahasa Indonesia). Mitra Press. ISBN 978-979-17230-1-5. 
  • Rifai, Moh. (2010). Risalah Tuntunan Shalat Lengkap (dalam bahasa Indonesia). Semarang: PT Karya Toha Putra. 

Pranala luar

  • Apakah Mempunyai Bacaan Surat Tertentu dalam Sholat Dhuha di Rumaysho.com

edunitas.com


Page 14

Tags (tagged): said, nursi, unkris, nurs bedi, zzaman, said nurs 1878, 23 maret, 1960, 2, menulis risale, i nur, sebuah, karya tafsir al, quran, halaman, ia, dikenal sebutan bedi, zzaman berarti, about, the birth date, of said, nurs, which exist in, a, pusat, ilmu, pengetahuan said nursi, s life, birth, and early childhood, kategori said, pusat ilmu pengetahuan, said nursi


Page 15

Tags (tagged): said, nursi, unkris, 1878, nurs sebuah, desa, bitlis province ottoman, empire, penting, risale, i nur dipengaruhi, quran imam, ali, im m i, zzaman said, nurs, 1878 23 maret, 1960 2, seorang, halaman ia dikenal, sebutan bedi, zzaman, berarti, pusat ilmu, pengetahuan k, pr, from bediuzzaman said, nursi s, life, birth and early, said nursi, pusat, ilmu pengetahuan, nursi unkris


Page 16

Tags (tagged): said, nursi, unkris, 1878, nurs sebuah, desa, bitlis province ottoman, empire, penting, risale, i nur dipengaruhi, quran imam, ali, im m i, zzaman said, nurs, 1878 23 maret, 1960 2, seorang, halaman ia dikenal, sebutan bedi, zzaman, berarti, center of, studies k, pr, from bediuzzaman said, nursi s, life, birth and early, said nursi, center, of studies, nursi unkris


Page 17

Salat Duha (Arab: صلاة الضحى) adalah salat sunah yang dilakukan seorang muslim ketika ketika duha. Ketika duha adalah ketika ketika matahari mulai naik kurang semakin 7 hasta semenjak terbitnya (kira-kira pukul tujuh pagi) sampai ketika zuhur. Banyak rakaat salat duha minimal 2 rakaat dan maksimal 12 rakaat. Dan dilakukan dalam satuan 2 rakaat sekali salam.

Guna

Guna atau guna salat duha yang mampu diperoleh dan dirasakan oleh orang yang menerapkan salat duha adalah mampu melapangkan dada dalam segala hal terutama dalam hal rizki, sebab banyak orang yang terlibat dalam hal ini.[2]

Dr. Ebrahim Kazim, seorang dokter, peneliti, serta direktur dari Trinidad Islamic Academy-menyatakan bahwa gerakan teratur dari shalat menguatkan otot berserta tendonnya, sendi serta berefek luar biasa terhadap sistem kardiovaskular.[2]

Terlebih lagi shalat dhuha tidak hanya berguna untuk mempersiapkan diri menghadapi hari dengan rangkaian gerakan teraturnya, tapi juga menangkal stress yang mungkin timbul dalam acara sehari-hari, sesuai dengan keterangan dr. Ebrahim Kazim tentang shalat, "Ada ketegangan yang hilang karena tubuh secara fisiologis mengelurakan zat-zat seperti enkefalin dan endorfin. Zat ini sejenis morfin, termasuk opiat. Efek keduanya juga tidak berlainan dengan opiate lainnya. Bedanya, zat ini alami, dihasilkan sendiri oleh tubuh, sehingga semakin ada gunanya dan terkontrol."[2]

Hadis terkait

Hadis rasulullah terkait salat duha selang lain :

  • "Benda/barang siapa salat Duha 12 rakaat, Allah akan membuatkan untuknya istana disurga." (H.R. Tirmiji dan Debu Majah)
  • "Siapapun yang menerapkan salat duha dengan langgeng, akan diampuni dosanya oleh Allah, sekalipun dosa itu sebanyak buih di lautan." (H.R Tirmidzi)
  • Dari Ummu Hani bahwa rasulullah
    Jarak tempuh perjalanan yang diperbolehkan untuk melaksanakan shalat jama dan qashar adalah
    salat dhuha 8 rakaat dan bersalam tiap dua rakaat. (HR Debu Daud)
  • Dari Zaid bin Arqam berucap, "Nabi
    Jarak tempuh perjalanan yang diperbolehkan untuk melaksanakan shalat jama dan qashar adalah
    keluar ke masyarakat Quba dan mereka sedang salat dhuha." Beliau bersabda, "Salat awwabin (duha‘) belakangnya sampai panas menyengat (tengah hari)." (HR Ahmad Muslim dan Tirmidzi)
  • Rasulullah bersabda di dalam hadits Qudsi, Allah SWT berfirman, “Wahai anak Adam, jangan sekali-kali engkau malas mengerjakan empat rakaat salat duha, karena dengan salat tersebut, Aku cukupkan kebutuhanmu pada sore harinya.” (HR Hakim & Thabrani)
  • "Barangsiapa yang sedang berdiam diri di masjid atau tempat salatnya sesudah salat shubuh karena menerapkan iktikaf, berzikir, dan menerapkan dua rakaat salat dhuha didampingi tidak berucap sesuatu kecuali kegunaan, karenanya dosa-dosanya akan diampuni meskipun banyaknya melebihi buih di lautan." (HR Debu Daud)
  • Dari Abi Zar dari nabi
    Jarak tempuh perjalanan yang diperbolehkan untuk melaksanakan shalat jama dan qashar adalah
    , dia bersabda, Setiap pagi ada kewajiban untuk bersedekah untuk tiap-tiap persendian (ruas). Tiap-tiap tasbih adalah sedekah, riap-tiap tahlil adalah sedekah, tiap-tiap takbir adalah sedekah, dan menganjurkan kegunaan serta mencegah kemungkaran itu sedekah. Cukuplah menggantikan semua itu dengan dua raka'at salat dhuha.” (HR Muslim)

Doa salat dhuha

Pada dasarnya doa sesudah salat duha mampu menggunakan doa apapun. Bahkan pernah tercatat nabi beristighfar seusai shalat duha dan dilanjutkan dengan doa lain. Doa yang biasa dilakukan selepas salat duha adalah:

اَللهُمَّ اِنَّ الضُّحَآءَ ضُحَاءُكَ، وَالْبَهَاءَ بَهَاءُكَ، وَالْجَمَالَ جَمَالُكَ، وَالْقُوَّةَ قُوَّتُكَ، وَالْقُدْرَةَ قُدْرَتُكَ، وَالْعِصْمَةَ عِصْمَتُكَ. اَللهُمَّ اِنْ كَانَ رِزْقَى فِى السَّمَآءِ فَأَنْزِلْهُ وَاِنْ كَانَ فِى اْلاَرْضِ فَأَخْرِجْهُ وَاِنْ كَانَ مُعَسَّرًا فَيَسِّرْهُ وَاِنْ كَانَ حَرَامًا فَطَهِّرْهُ وَاِنْ كَانَ بَعِيْدًا فَقَرِّبْهُ بِحَقِّ ضُحَاءِكَ وَبَهَاءِكَ وَجَمَالِكَ وَقُوَّتِكَ وَقُدْرَتِكَ آتِنِىْ مَآاَتَيْتَ عِبَادَكَ الصَّالِحِيْنَ

Dalam tulisan latin: "Allahumma innad dhuha-a dhuha-uka, wal baha-a baha-uka, wal jamala jamaluka, wal quwwata quwwatuka, wal qudrota qudrotuka, wal 'ismata 'ismatuka. Allahumma in kana rizqi fis sama-i fa-anzilhu, wa in kana fil ardhi fa akhrijhu, wa in kana mu’assaron fa yassirhu, wa in kana haroman fathohhirhu, wa in kana ba’idan faqorribhu, bihaqqi dhuha-ika, wa baha-ika, wa jamalika, wa quwwatika, wa qudrotika, aatini ma atayta 'ibadakas sholihin".

Artinya: "Ya Allah, bahwasannya ketika dhuha itu adalah ketika dhuha-Mu, dan keagungan itu adalah keagungan-Mu, dan keindahan itu adalah keindahan-Mu, dan kekuatan itu adalah kekuatan-Mu, dan perlindungan itu adalah perlindungan-Mu. Ya Allah, bila rizkiku sedang di atas langit, karenanya turunkanlah, bila sedang di dalam bumi, karenanya keluarkanlah, bila sedang sukar, karenanya mudahkanlah, bila (ternyata) haram, karenanya sucikanlah, bila sedang jauh, karenanya dekatkanlah, Berkat ketika dhuha, keagungan, keindahan, kekuatan dan kekuasaan-Mu, limpahkanlah untuk kami segala yang telah Engkau limpahkan untuk hamba-hambaMU yang sholeh".

  • Dalam Fatwa Mufti Markaz Al Fatawa – Asy Syabkah Al Islamiyah, Dr ‘Abdullah Al Faqih, Fatwa no. 53488, 1 Sya’ban 1425, diterangkan:

do’a Dhuha seperti ini (“Allahumma innadhuha dhuha-uka, wal bahaa baha-uka, wal jamala jamaluka, wal quwwata quwwatuka, wal qudrota qudrotuka, wal ‘ismata ‘ismatuka ... .dst) tidak ditemukan dalam berbagai kitab yang menyandarkan doa ini sebagai hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Do'a seperti itu ditulis oleh Asy Syarwani dalam Syarh Al Minhaj dan Ad Dimyathi dalam I’anatuth Tholibiin, namun doa ini tidak diceritakan sebagai hadis.

Surah-surah yang paling adil dibaca

Surah-surah yang paling adil dibaca ketika salat duha adalah:

Surah yang paling disunahkan ketika salat dhuha yaitu:

Untuk rakaat berikutnya:

Referensi

  1. ^ a b c Guna Salat Duha Secara Medis

Daftar pustaka

  • Azzet, Akhmad Muhaimin (2010). 7 Cara Supaya Rezeki Makin Lebih dan Barakah (dalam bahasa Indonesia). Yogyakarta: Diva Press. ISBN 978-602-955-504-2. 
  • Ghazali, Imam (2008). Lebih Kaya Lewat Shalat Dhuha (dalam bahasa Indonesia). Mitra Press. ISBN 978-979-17230-1-5. 
  • Rifai, Moh. (2010). Risalah Tuntunan Shalat Lengkap (dalam bahasa Indonesia). Semarang: PT Karya Toha Putra. 

Pranala luar

  • Apakah Ada Bacaan Surat Tertentu dalam Sholat Dhuha di Rumaysho.com

edunitas.com


Page 18

Salat Duha (Arab: صلاة الضحى) adalah salat sunah yang dilakukan seorang muslim ketika ketika duha. Ketika duha adalah ketika ketika matahari mulai naik kurang semakin 7 hasta semenjak terbitnya (kira-kira pukul tujuh pagi) sampai ketika zuhur. Banyak rakaat salat duha minimal 2 rakaat dan maksimal 12 rakaat. Dan dilakukan dalam satuan 2 rakaat sekali salam.

Guna

Guna atau guna salat duha yang mampu diperoleh dan dirasakan oleh orang yang menerapkan salat duha adalah mampu melapangkan dada dalam segala hal terutama dalam hal rizki, sebab banyak orang yang terlibat dalam hal ini.[2]

Dr. Ebrahim Kazim, seorang dokter, peneliti, serta direktur dari Trinidad Islamic Academy-menyatakan bahwa gerakan teratur dari shalat menguatkan otot berserta tendonnya, sendi serta berefek luar biasa terhadap sistem kardiovaskular.[2]

Terlebih lagi shalat dhuha tidak hanya berguna untuk mempersiapkan diri menghadapi hari dengan rangkaian gerakan teraturnya, tapi juga menangkal stress yang mungkin timbul dalam acara sehari-hari, sesuai dengan keterangan dr. Ebrahim Kazim tentang shalat, "Ada ketegangan yang hilang karena tubuh secara fisiologis mengelurakan zat-zat seperti enkefalin dan endorfin. Zat ini sejenis morfin, termasuk opiat. Efek keduanya juga tidak berlainan dengan opiate lainnya. Bedanya, zat ini alami, dihasilkan sendiri oleh tubuh, sehingga semakin ada gunanya dan terkontrol."[2]

Hadis terkait

Hadis rasulullah terkait salat duha selang lain :

  • "Benda/barang siapa salat Duha 12 rakaat, Allah akan membuatkan untuknya istana disurga." (H.R. Tirmiji dan Debu Majah)
  • "Siapapun yang menerapkan salat duha dengan langgeng, akan diampuni dosanya oleh Allah, sekalipun dosa itu sebanyak buih di lautan." (H.R Tirmidzi)
  • Dari Ummu Hani bahwa rasulullah
    Jarak tempuh perjalanan yang diperbolehkan untuk melaksanakan shalat jama dan qashar adalah
    salat dhuha 8 rakaat dan bersalam tiap dua rakaat. (HR Debu Daud)
  • Dari Zaid bin Arqam berucap, "Nabi
    Jarak tempuh perjalanan yang diperbolehkan untuk melaksanakan shalat jama dan qashar adalah
    keluar ke masyarakat Quba dan mereka sedang salat dhuha." Beliau bersabda, "Salat awwabin (duha‘) belakangnya sampai panas menyengat (tengah hari)." (HR Ahmad Muslim dan Tirmidzi)
  • Rasulullah bersabda di dalam hadits Qudsi, Allah SWT berfirman, “Wahai anak Adam, jangan sekali-kali engkau malas mengerjakan empat rakaat salat duha, karena dengan salat tersebut, Aku cukupkan kebutuhanmu pada sore harinya.” (HR Hakim & Thabrani)
  • "Barangsiapa yang sedang berdiam diri di masjid atau tempat salatnya sesudah salat shubuh karena menerapkan iktikaf, berzikir, dan menerapkan dua rakaat salat dhuha didampingi tidak berucap sesuatu kecuali kegunaan, karenanya dosa-dosanya akan diampuni meskipun banyaknya melebihi buih di lautan." (HR Debu Daud)
  • Dari Abi Zar dari nabi
    Jarak tempuh perjalanan yang diperbolehkan untuk melaksanakan shalat jama dan qashar adalah
    , dia bersabda, Setiap pagi ada kewajiban untuk bersedekah untuk tiap-tiap persendian (ruas). Tiap-tiap tasbih adalah sedekah, riap-tiap tahlil adalah sedekah, tiap-tiap takbir adalah sedekah, dan menganjurkan kegunaan serta mencegah kemungkaran itu sedekah. Cukuplah menggantikan semua itu dengan dua raka'at salat dhuha.” (HR Muslim)

Doa salat dhuha

Pada dasarnya doa sesudah salat duha mampu menggunakan doa apapun. Bahkan pernah tercatat nabi beristighfar seusai shalat duha dan dilanjutkan dengan doa lain. Doa yang biasa dilakukan selepas salat duha adalah:

اَللهُمَّ اِنَّ الضُّحَآءَ ضُحَاءُكَ، وَالْبَهَاءَ بَهَاءُكَ، وَالْجَمَالَ جَمَالُكَ، وَالْقُوَّةَ قُوَّتُكَ، وَالْقُدْرَةَ قُدْرَتُكَ، وَالْعِصْمَةَ عِصْمَتُكَ. اَللهُمَّ اِنْ كَانَ رِزْقَى فِى السَّمَآءِ فَأَنْزِلْهُ وَاِنْ كَانَ فِى اْلاَرْضِ فَأَخْرِجْهُ وَاِنْ كَانَ مُعَسَّرًا فَيَسِّرْهُ وَاِنْ كَانَ حَرَامًا فَطَهِّرْهُ وَاِنْ كَانَ بَعِيْدًا فَقَرِّبْهُ بِحَقِّ ضُحَاءِكَ وَبَهَاءِكَ وَجَمَالِكَ وَقُوَّتِكَ وَقُدْرَتِكَ آتِنِىْ مَآاَتَيْتَ عِبَادَكَ الصَّالِحِيْنَ

Dalam tulisan latin: "Allahumma innad dhuha-a dhuha-uka, wal baha-a baha-uka, wal jamala jamaluka, wal quwwata quwwatuka, wal qudrota qudrotuka, wal 'ismata 'ismatuka. Allahumma in kana rizqi fis sama-i fa-anzilhu, wa in kana fil ardhi fa akhrijhu, wa in kana mu’assaron fa yassirhu, wa in kana haroman fathohhirhu, wa in kana ba’idan faqorribhu, bihaqqi dhuha-ika, wa baha-ika, wa jamalika, wa quwwatika, wa qudrotika, aatini ma atayta 'ibadakas sholihin".

Artinya: "Ya Allah, bahwasannya ketika dhuha itu adalah ketika dhuha-Mu, dan keagungan itu adalah keagungan-Mu, dan keindahan itu adalah keindahan-Mu, dan kekuatan itu adalah kekuatan-Mu, dan perlindungan itu adalah perlindungan-Mu. Ya Allah, bila rizkiku sedang di atas langit, karenanya turunkanlah, bila sedang di dalam bumi, karenanya keluarkanlah, bila sedang sukar, karenanya mudahkanlah, bila (ternyata) haram, karenanya sucikanlah, bila sedang jauh, karenanya dekatkanlah, Berkat ketika dhuha, keagungan, keindahan, kekuatan dan kekuasaan-Mu, limpahkanlah untuk kami segala yang telah Engkau limpahkan untuk hamba-hambaMU yang sholeh".

  • Dalam Fatwa Mufti Markaz Al Fatawa – Asy Syabkah Al Islamiyah, Dr ‘Abdullah Al Faqih, Fatwa no. 53488, 1 Sya’ban 1425, diterangkan:

do’a Dhuha seperti ini (“Allahumma innadhuha dhuha-uka, wal bahaa baha-uka, wal jamala jamaluka, wal quwwata quwwatuka, wal qudrota qudrotuka, wal ‘ismata ‘ismatuka ... .dst) tidak ditemukan dalam berbagai kitab yang menyandarkan doa ini sebagai hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Do'a seperti itu ditulis oleh Asy Syarwani dalam Syarh Al Minhaj dan Ad Dimyathi dalam I’anatuth Tholibiin, namun doa ini tidak diceritakan sebagai hadis.

Surah-surah yang paling adil dibaca

Surah-surah yang paling adil dibaca ketika salat duha adalah:

Surah yang paling disunahkan ketika salat dhuha yaitu:

Untuk rakaat berikutnya:

Referensi

  1. ^ a b c Guna Salat Duha Secara Medis

Daftar pustaka

  • Azzet, Akhmad Muhaimin (2010). 7 Cara Supaya Rezeki Makin Lebih dan Barakah (dalam bahasa Indonesia). Yogyakarta: Diva Press. ISBN 978-602-955-504-2. 
  • Ghazali, Imam (2008). Lebih Kaya Lewat Shalat Dhuha (dalam bahasa Indonesia). Mitra Press. ISBN 978-979-17230-1-5. 
  • Rifai, Moh. (2010). Risalah Tuntunan Shalat Lengkap (dalam bahasa Indonesia). Semarang: PT Karya Toha Putra. 

Pranala luar

  • Apakah Ada Bacaan Surat Tertentu dalam Sholat Dhuha di Rumaysho.com

edunitas.com


Page 19

Salat Duha (Arab: صلاة الضحى) adalah salat sunah yang dilakukan seorang muslim ketika ketika duha. Ketika duha adalah ketika ketika matahari mulai naik kurang semakin 7 hasta semenjak terbitnya (kira-kira pukul tujuh pagi) sampai ketika zuhur. Banyak rakaat salat duha minimal 2 rakaat dan maksimal 12 rakaat. Dan dilakukan dalam satuan 2 rakaat sekali salam.

Guna

Guna atau guna salat duha yang mampu diperoleh dan dirasakan oleh orang yang menerapkan salat duha adalah mampu melapangkan dada dalam segala hal terutama dalam hal rizki, sebab banyak orang yang terlibat dalam hal ini.[2]

Dr. Ebrahim Kazim, seorang dokter, peneliti, serta direktur dari Trinidad Islamic Academy-menyatakan bahwa gerakan teratur dari shalat menguatkan otot berserta tendonnya, sendi serta berefek luar biasa terhadap sistem kardiovaskular.[2]

Terlebih lagi shalat dhuha tidak hanya berguna untuk mempersiapkan diri menghadapi hari dengan rangkaian gerakan teraturnya, tapi juga menangkal stress yang mungkin timbul dalam acara sehari-hari, sesuai dengan keterangan dr. Ebrahim Kazim tentang shalat, "Ada ketegangan yang hilang karena tubuh secara fisiologis mengelurakan zat-zat seperti enkefalin dan endorfin. Zat ini sejenis morfin, termasuk opiat. Efek keduanya juga tidak berlainan dengan opiate lainnya. Bedanya, zat ini alami, dihasilkan sendiri oleh tubuh, sehingga semakin ada gunanya dan terkontrol."[2]

Hadis terkait

Hadis rasulullah terkait salat duha selang lain :

  • "Benda/barang siapa salat Duha 12 rakaat, Allah akan membuatkan untuknya istana disurga." (H.R. Tirmiji dan Debu Majah)
  • "Siapapun yang menerapkan salat duha dengan langgeng, akan diampuni dosanya oleh Allah, sekalipun dosa itu sebanyak buih di lautan." (H.R Tirmidzi)
  • Dari Ummu Hani bahwa rasulullah
    Jarak tempuh perjalanan yang diperbolehkan untuk melaksanakan shalat jama dan qashar adalah
    salat dhuha 8 rakaat dan bersalam tiap dua rakaat. (HR Debu Daud)
  • Dari Zaid bin Arqam berucap, "Nabi
    Jarak tempuh perjalanan yang diperbolehkan untuk melaksanakan shalat jama dan qashar adalah
    keluar ke masyarakat Quba dan mereka sedang salat dhuha." Beliau bersabda, "Salat awwabin (duha‘) belakangnya sampai panas menyengat (tengah hari)." (HR Ahmad Muslim dan Tirmidzi)
  • Rasulullah bersabda di dalam hadits Qudsi, Allah SWT berfirman, “Wahai anak Adam, jangan sekali-kali engkau malas mengerjakan empat rakaat salat duha, karena dengan salat tersebut, Aku cukupkan kebutuhanmu pada sore harinya.” (HR Hakim & Thabrani)
  • "Barangsiapa yang sedang berdiam diri di masjid atau tempat salatnya sesudah salat shubuh karena menerapkan iktikaf, berzikir, dan menerapkan dua rakaat salat dhuha didampingi tidak berucap sesuatu kecuali kegunaan, karenanya dosa-dosanya akan diampuni meskipun banyaknya melebihi buih di lautan." (HR Debu Daud)
  • Dari Abi Zar dari nabi
    Jarak tempuh perjalanan yang diperbolehkan untuk melaksanakan shalat jama dan qashar adalah
    , dia bersabda, Setiap pagi ada kewajiban untuk bersedekah untuk tiap-tiap persendian (ruas). Tiap-tiap tasbih adalah sedekah, riap-tiap tahlil adalah sedekah, tiap-tiap takbir adalah sedekah, dan menganjurkan kegunaan serta mencegah kemungkaran itu sedekah. Cukuplah menggantikan semua itu dengan dua raka'at salat dhuha.” (HR Muslim)

Doa salat dhuha

Pada dasarnya doa sesudah salat duha mampu menggunakan doa apapun. Bahkan pernah tercatat nabi beristighfar seusai shalat duha dan dilanjutkan dengan doa lain. Doa yang biasa dilakukan selepas salat duha adalah:

اَللهُمَّ اِنَّ الضُّحَآءَ ضُحَاءُكَ، وَالْبَهَاءَ بَهَاءُكَ، وَالْجَمَالَ جَمَالُكَ، وَالْقُوَّةَ قُوَّتُكَ، وَالْقُدْرَةَ قُدْرَتُكَ، وَالْعِصْمَةَ عِصْمَتُكَ. اَللهُمَّ اِنْ كَانَ رِزْقَى فِى السَّمَآءِ فَأَنْزِلْهُ وَاِنْ كَانَ فِى اْلاَرْضِ فَأَخْرِجْهُ وَاِنْ كَانَ مُعَسَّرًا فَيَسِّرْهُ وَاِنْ كَانَ حَرَامًا فَطَهِّرْهُ وَاِنْ كَانَ بَعِيْدًا فَقَرِّبْهُ بِحَقِّ ضُحَاءِكَ وَبَهَاءِكَ وَجَمَالِكَ وَقُوَّتِكَ وَقُدْرَتِكَ آتِنِىْ مَآاَتَيْتَ عِبَادَكَ الصَّالِحِيْنَ

Dalam tulisan latin: "Allahumma innad dhuha-a dhuha-uka, wal baha-a baha-uka, wal jamala jamaluka, wal quwwata quwwatuka, wal qudrota qudrotuka, wal 'ismata 'ismatuka. Allahumma in kana rizqi fis sama-i fa-anzilhu, wa in kana fil ardhi fa akhrijhu, wa in kana mu’assaron fa yassirhu, wa in kana haroman fathohhirhu, wa in kana ba’idan faqorribhu, bihaqqi dhuha-ika, wa baha-ika, wa jamalika, wa quwwatika, wa qudrotika, aatini ma atayta 'ibadakas sholihin".

Artinya: "Ya Allah, bahwasannya ketika dhuha itu adalah ketika dhuha-Mu, dan keagungan itu adalah keagungan-Mu, dan keindahan itu adalah keindahan-Mu, dan kekuatan itu adalah kekuatan-Mu, dan perlindungan itu adalah perlindungan-Mu. Ya Allah, bila rizkiku sedang di atas langit, karenanya turunkanlah, bila sedang di dalam bumi, karenanya keluarkanlah, bila sedang sukar, karenanya mudahkanlah, bila (ternyata) haram, karenanya sucikanlah, bila sedang jauh, karenanya dekatkanlah, Berkat ketika dhuha, keagungan, keindahan, kekuatan dan kekuasaan-Mu, limpahkanlah untuk kami segala yang telah Engkau limpahkan untuk hamba-hambaMU yang sholeh".

  • Dalam Fatwa Mufti Markaz Al Fatawa – Asy Syabkah Al Islamiyah, Dr ‘Abdullah Al Faqih, Fatwa no. 53488, 1 Sya’ban 1425, diterangkan:

do’a Dhuha seperti ini (“Allahumma innadhuha dhuha-uka, wal bahaa baha-uka, wal jamala jamaluka, wal quwwata quwwatuka, wal qudrota qudrotuka, wal ‘ismata ‘ismatuka ... .dst) tidak ditemukan dalam berbagai kitab yang menyandarkan doa ini sebagai hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Do'a seperti itu ditulis oleh Asy Syarwani dalam Syarh Al Minhaj dan Ad Dimyathi dalam I’anatuth Tholibiin, namun doa ini tidak diceritakan sebagai hadis.

Surah-surah yang paling adil dibaca

Surah-surah yang paling adil dibaca ketika salat duha adalah:

Surah yang paling disunahkan ketika salat dhuha yaitu:

Untuk rakaat berikutnya:

Referensi

  1. ^ a b c Guna Salat Duha Secara Medis

Daftar pustaka

  • Azzet, Akhmad Muhaimin (2010). 7 Cara Supaya Rezeki Makin Lebih dan Barakah (dalam bahasa Indonesia). Yogyakarta: Diva Press. ISBN 978-602-955-504-2. 
  • Ghazali, Imam (2008). Lebih Kaya Lewat Shalat Dhuha (dalam bahasa Indonesia). Mitra Press. ISBN 978-979-17230-1-5. 
  • Rifai, Moh. (2010). Risalah Tuntunan Shalat Lengkap (dalam bahasa Indonesia). Semarang: PT Karya Toha Putra. 

Pranala luar

  • Apakah Ada Bacaan Surat Tertentu dalam Sholat Dhuha di Rumaysho.com

edunitas.com


Page 20

Salat Duha (Arab: صلاة الضحى) adalah salat sunah yang dilakukan seorang muslim ketika ketika duha. Ketika duha adalah ketika ketika matahari mulai naik kurang semakin 7 hasta semenjak terbitnya (kira-kira pukul tujuh pagi) sampai ketika zuhur. Banyak rakaat salat duha minimal 2 rakaat dan maksimal 12 rakaat. Dan dilakukan dalam satuan 2 rakaat sekali salam.

Guna

Guna atau guna salat duha yang mampu diperoleh dan dirasakan oleh orang yang menerapkan salat duha adalah mampu melapangkan dada dalam segala hal terutama dalam hal rizki, sebab banyak orang yang terlibat dalam hal ini.[2]

Dr. Ebrahim Kazim, seorang dokter, peneliti, serta direktur dari Trinidad Islamic Academy-menyatakan bahwa gerakan teratur dari shalat menguatkan otot berserta tendonnya, sendi serta berefek luar biasa terhadap sistem kardiovaskular.[2]

Terlebih lagi shalat dhuha tidak hanya berguna untuk mempersiapkan diri menghadapi hari dengan rangkaian gerakan teraturnya, tapi juga menangkal stress yang mungkin timbul dalam acara sehari-hari, sesuai dengan keterangan dr. Ebrahim Kazim tentang shalat, "Ada ketegangan yang hilang karena tubuh secara fisiologis mengelurakan zat-zat seperti enkefalin dan endorfin. Zat ini sejenis morfin, termasuk opiat. Efek keduanya juga tidak berlainan dengan opiate lainnya. Bedanya, zat ini alami, dihasilkan sendiri oleh tubuh, sehingga semakin ada gunanya dan terkontrol."[2]

Hadis terkait

Hadis rasulullah terkait salat duha selang lain :

  • "Benda/barang siapa salat Duha 12 rakaat, Allah akan membuatkan untuknya istana disurga." (H.R. Tirmiji dan Debu Majah)
  • "Siapapun yang menerapkan salat duha dengan langgeng, akan diampuni dosanya oleh Allah, sekalipun dosa itu sebanyak buih di lautan." (H.R Tirmidzi)
  • Dari Ummu Hani bahwa rasulullah
    Jarak tempuh perjalanan yang diperbolehkan untuk melaksanakan shalat jama dan qashar adalah
    salat dhuha 8 rakaat dan bersalam tiap dua rakaat. (HR Debu Daud)
  • Dari Zaid bin Arqam berucap, "Nabi
    Jarak tempuh perjalanan yang diperbolehkan untuk melaksanakan shalat jama dan qashar adalah
    keluar ke masyarakat Quba dan mereka sedang salat dhuha." Beliau bersabda, "Salat awwabin (duha‘) belakangnya sampai panas menyengat (tengah hari)." (HR Ahmad Muslim dan Tirmidzi)
  • Rasulullah bersabda di dalam hadits Qudsi, Allah SWT berfirman, “Wahai anak Adam, jangan sekali-kali engkau malas mengerjakan empat rakaat salat duha, karena dengan salat tersebut, Aku cukupkan kebutuhanmu pada sore harinya.” (HR Hakim & Thabrani)
  • "Barangsiapa yang sedang berdiam diri di masjid atau tempat salatnya sesudah salat shubuh karena menerapkan iktikaf, berzikir, dan menerapkan dua rakaat salat dhuha didampingi tidak berucap sesuatu kecuali kegunaan, karenanya dosa-dosanya akan diampuni meskipun banyaknya melebihi buih di lautan." (HR Debu Daud)
  • Dari Abi Zar dari nabi
    Jarak tempuh perjalanan yang diperbolehkan untuk melaksanakan shalat jama dan qashar adalah
    , dia bersabda, Setiap pagi ada kewajiban untuk bersedekah untuk tiap-tiap persendian (ruas). Tiap-tiap tasbih adalah sedekah, riap-tiap tahlil adalah sedekah, tiap-tiap takbir adalah sedekah, dan menganjurkan kegunaan serta mencegah kemungkaran itu sedekah. Cukuplah menggantikan semua itu dengan dua raka'at salat dhuha.” (HR Muslim)

Doa salat dhuha

Pada dasarnya doa sesudah salat duha mampu menggunakan doa apapun. Bahkan pernah tercatat nabi beristighfar seusai shalat duha dan dilanjutkan dengan doa lain. Doa yang biasa dilakukan selepas salat duha adalah:

اَللهُمَّ اِنَّ الضُّحَآءَ ضُحَاءُكَ، وَالْبَهَاءَ بَهَاءُكَ، وَالْجَمَالَ جَمَالُكَ، وَالْقُوَّةَ قُوَّتُكَ، وَالْقُدْرَةَ قُدْرَتُكَ، وَالْعِصْمَةَ عِصْمَتُكَ. اَللهُمَّ اِنْ كَانَ رِزْقَى فِى السَّمَآءِ فَأَنْزِلْهُ وَاِنْ كَانَ فِى اْلاَرْضِ فَأَخْرِجْهُ وَاِنْ كَانَ مُعَسَّرًا فَيَسِّرْهُ وَاِنْ كَانَ حَرَامًا فَطَهِّرْهُ وَاِنْ كَانَ بَعِيْدًا فَقَرِّبْهُ بِحَقِّ ضُحَاءِكَ وَبَهَاءِكَ وَجَمَالِكَ وَقُوَّتِكَ وَقُدْرَتِكَ آتِنِىْ مَآاَتَيْتَ عِبَادَكَ الصَّالِحِيْنَ

Dalam tulisan latin: "Allahumma innad dhuha-a dhuha-uka, wal baha-a baha-uka, wal jamala jamaluka, wal quwwata quwwatuka, wal qudrota qudrotuka, wal 'ismata 'ismatuka. Allahumma in kana rizqi fis sama-i fa-anzilhu, wa in kana fil ardhi fa akhrijhu, wa in kana mu’assaron fa yassirhu, wa in kana haroman fathohhirhu, wa in kana ba’idan faqorribhu, bihaqqi dhuha-ika, wa baha-ika, wa jamalika, wa quwwatika, wa qudrotika, aatini ma atayta 'ibadakas sholihin".

Artinya: "Ya Allah, bahwasannya ketika dhuha itu adalah ketika dhuha-Mu, dan keagungan itu adalah keagungan-Mu, dan keindahan itu adalah keindahan-Mu, dan kekuatan itu adalah kekuatan-Mu, dan perlindungan itu adalah perlindungan-Mu. Ya Allah, bila rizkiku sedang di atas langit, karenanya turunkanlah, bila sedang di dalam bumi, karenanya keluarkanlah, bila sedang sukar, karenanya mudahkanlah, bila (ternyata) haram, karenanya sucikanlah, bila sedang jauh, karenanya dekatkanlah, Berkat ketika dhuha, keagungan, keindahan, kekuatan dan kekuasaan-Mu, limpahkanlah untuk kami segala yang telah Engkau limpahkan untuk hamba-hambaMU yang sholeh".

  • Dalam Fatwa Mufti Markaz Al Fatawa – Asy Syabkah Al Islamiyah, Dr ‘Abdullah Al Faqih, Fatwa no. 53488, 1 Sya’ban 1425, diterangkan:

do’a Dhuha seperti ini (“Allahumma innadhuha dhuha-uka, wal bahaa baha-uka, wal jamala jamaluka, wal quwwata quwwatuka, wal qudrota qudrotuka, wal ‘ismata ‘ismatuka ... .dst) tidak ditemukan dalam berbagai kitab yang menyandarkan doa ini sebagai hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Do'a seperti itu ditulis oleh Asy Syarwani dalam Syarh Al Minhaj dan Ad Dimyathi dalam I’anatuth Tholibiin, namun doa ini tidak diceritakan sebagai hadis.

Surah-surah yang paling adil dibaca

Surah-surah yang paling adil dibaca ketika salat duha adalah:

Surah yang paling disunahkan ketika salat dhuha yaitu:

Untuk rakaat berikutnya:

Referensi

  1. ^ a b c Guna Salat Duha Secara Medis

Daftar pustaka

  • Azzet, Akhmad Muhaimin (2010). 7 Cara Supaya Rezeki Makin Lebih dan Barakah (dalam bahasa Indonesia). Yogyakarta: Diva Press. ISBN 978-602-955-504-2. 
  • Ghazali, Imam (2008). Lebih Kaya Lewat Shalat Dhuha (dalam bahasa Indonesia). Mitra Press. ISBN 978-979-17230-1-5. 
  • Rifai, Moh. (2010). Risalah Tuntunan Shalat Lengkap (dalam bahasa Indonesia). Semarang: PT Karya Toha Putra. 

Pranala luar

  • Apakah Ada Bacaan Surat Tertentu dalam Sholat Dhuha di Rumaysho.com

edunitas.com


Page 21

Salat Jamak yaitu salat yg diterapkan dengan mengumpulkan dua salat wajib dalam satu waktu, seperti salat Zuhur dengan Asar dan salat Magrib dengan salat Isya (khusus dalam perjalanan)[1]. Adapun pasangan salat yang bisa dijamak adalah salat Dzuhur dengan Ashar atau salat Maghrib dengan Isya. Salat jamak dibedakan menjadi dua tipe yakni:

  • Jama' Taqdim penggabungan pelaksanaan dua salat dalam satu waktu dengan metode memajukan salat yang belum masuk waktu ke dalam salat yang telah masuk waktunya (seperti penggabungan pelaksanaan salat Asar dengan salat Zuhur pada waktu salat Zuhur atau pelaksanaan salat Isya dengan salat Magrib pada waktu salat Magrib)[2].
  • Jama' Ta'khir penggabungan pelaksanaan dua salat dalam satu waktu dengan metode mengundurkan salat yang sudah masuk waktu ke dalam waktu salat yang berikutnya (seperti penggabungan pelaksanaan salat Zuhur dengan salat Asar pada waktu salat Asar, atau pelaksanaan salat Magrib dengan salat Isya pada waktu salat Isya)[2]

Syarat jamak takdim

  1. Tertib. Apabila musafir akan memainkan jamak salat dengan jamak taqdim, maka dia harus mendahulukan salat yang punya waktu terlebih dahulu. Semisal musafir akan menjamak salat maghrib dengan shoalt isya', maka dia harus mengerjakan salat maghrib terlebih dahulu. Apabila yang dikerjakan terlebih dahulu adalah salat isya', maka salat salat isya'nya tidak sah. Dan apabila dia masih bersedia memainkan jamak, maka harus mengulangi salat isya'nya setelah salat maghrib.
  2. Niat jamak pada waktu salat yang pertama. Apabila musafir bersedia memainkan salat jamak dengan jamak taqdim, maka diharuskan niat jamak pada waktu pelaksanaan salat yang pertama. Jadi, selagi musholli masih dalam salat yang pertama (asal sebelum salam), waktu niat jamak masih benar, namun yang semakin adun, niat jamak dipertontonkan bersamaan dengan takbiratul ihram.
  3. Muwalah (bersegera). Selang kedua salat tidak benar selang waktu yang dianggap lama. Apabila dalam jamak terdapat pemisah (renggang waktu) yang dianggap lama, seperti memainkan salat sunah, maka musholli tidak dapat memainkan jamak dan harus mengakhirkan salat yang kedua serta mengerjakannya pada waktu yang semestinya.
  4. Masih berstatus musafir hingga beresnya salat yang kedua. Orang yang menjamak salatnya harus berstatus musafir hingga beresnya salat yang kedua. Apabila sebelum melaksanakan salat yang kedua benar niatan muqim, maka musholli tidak boleh memainkan jamak, sebab udzurnya dianggap mandek dan harus mengakhirkan salat yang kedua pada waktunya.[3]

Syarat jamak ta'khir

  1. Niat menjamak ta'khir pada waktu shalat yang pertama. Misalnya, jika waktu shalat zhuhur telah tiba, maka ia berniat akan melaksanakan shalat zhuhur tersebut nanti pada waktu ashar.
  2. Pada saat datangnya waktu shalat yang kedua, ia masih dalam perjalanan. Misalnya, seseorang berniat akan melaksanakan shalat zhuhur pada waktu ashar. Ketika waktu ashar tiba ia masih berada dalam perjalanan. Dalam jamak ta'khir, shalat yang dijamak boleh dikerjakan tidak menurut urutan waktunya. Misalnya shalat zhuhur dan ashar, boleh dikerjakan zhuhur dahulu atau ashar dahulu. Di samping itu selang shalat yang pertama dan yang kedua tidak perlu bersambung (muwalat). Sah boleh diselingi dengan tingkah laku lain, misalnya shalat sunat rawatib.[3]

Perbedaan Pandangan selang Sunni dan Syi'ah

Argumen dari Empat Mazhab Sunni:

  1. Argumen Mazhab Hanafi
    • Hanafi meyakini bahwa pelaksanaan men-jama' salat tidaklah memiliki daya hukum, adun dalam perjalanan ataupun tidak, dengan segala jenis persoalan kecuali dalam dua kasus-Hari Arafah dan pada saat malam Muzdalifah dalam berbagai keadaan tertentu.
  2. Argumen Mazhab Syafi'i
    • Syafi'i meyakini diperbolehkannya pelaksanaan men-jama' salat untuk para musafir perjalanan jauh (safar) dan saat hujan serta salju dalam keadaan tertentu. Untuk mereka, pelaksanaan men-jama' salat seharusnya tidak diperbolehkan dalam keadaan gelap, berangin, takut atau sakit.
  3. Argumen Mazhab Maliki
    • Maliki menganggap gagasan untuk melaksanakan men-jama' salat sebagai berikut: sakit, hujan, berlumpur, keadaan gelap pada kesudahan bulan purnama dan pada Hari Arafah serta Malam Muzdalifah untuk yang masih melaksanakan haji dalam keadaan tertentu.
  4. Argumen Mazhab Hambali
    • Hambali memperbolehkan pelaksanaan men-jama' salat saat Hari Arafah dan Malam Muzdalifah dan untuk para musafir, pasien-pasien, ibu menyusui, wanita dengan haid banyak sekali, orang yang bertali-tali buang cairan kecil, orang yang tidak dapat membuat supaya bersih dirinya sendiri, orang yang tidak dapat membedakan waktu, dan orang yang takut kehilangan barang kepemilikannya, kesehatannya atau reputasinya dan juga dalam keadaan hujan, salju, dingin, berawan dan berlumpur. Mereka juga menyebutkan beberapa keadaan lainnya.

Argumen Perawi Hadits lainnya

  1. Argumen Ibnu Syabramah
    • Ibnu Syabramah memperbolehkan pelaksanaan men-jama' salat sebab beberapa gagasan dan bahkan tanpa keadaan khusus selama hal tersebut tidak berubah menjadi suatu norma budaya.
  2. Argumen Ibnu Mundzir dan Ibnu Sirin
    • Ibnu Mundzir dan Ibnu Sirin, menurut Qaffal, memperbolehkan pelaksanaan men-jama' salat dalam segala keadaan tanpa syarat apapun.

Dalil yang memperkuat adalah:

Dari Muadz bin Jabal: “Bahwa Rasulullah SAW pada saat perang Tabuk, jika matahari telah condong dan belum berangkat maka menjama’ salat selang Dzuhur dan Asar. Dan jika sudah dalam perjalanan sebelum matahari condong, maka mengakhirkan salat dzuhur hingga selesai untuk salat Asar. Dan pada waktu salat Maghrib sama juga, jika matahari telah tenggelam sebelum berangkat maka menjama’ selang Maghrib dan ‘Isya. Tetapi jika sudah berangkat sebelum matahari matahari tenggelam maka mengakhirkan waktu salat Maghrib hingga selesai untuk salat ‘Isya, kesudahan menjama’ keduanya.” (HR Sisa dari pembakaran Dawud dan at-Tirmidzi).

Mazhab Syi'ah seperti Dua Belas Imam berpendapat bahwa setiap orang walaupun tidak dalam perjalanan jauh, berdiam di rumahnya, tidak berada dalam keadaan sakit, dapat menjama' salat, adun jama' taqdim maupun jama' ta'khir. Dalil yang memperkuat hal tersebut adalah:

Dirikanlah salat dari setelah matahari tergelincir hingga gelap malam dan (dirikanlah pula salat) subuh. Sesungguhnya salat subuh itu disaksikan (oleh malaikat). (QS. al-Israa' [17]:78)

Dalil-dalil lain yang memperkuat hal ini benar dalam Ringkasan Shahih Muslim, Kitab Salat Musafir, Bab 6: Menjamak Dua Salat ketika Bermukim (Di Rumah, Tidak Bepergian);

Ibnu Abbas r.a. bercakap, "Rasulullah pernah menjama' salat Dzuhur dan salat Ashar, dan menjama' Maghrib dan Isya di Madinah bukan sebab khauf (sedang berperang) dan bukan sebab hujan."Menurut hadits Waki', dia bercakap, "Diri sendiri tanyakan kepada Ibnu Abbas, 'Mengapa ia memainkan hal itu?" Ibnu Abbas menjawab, 'Supaya ia tidak menyulitkan umatnya.'"Menurut hadits Mu'awiyah, ditanyakan kepada Ibnu Abbas, "Apa maksud Nabi berbuat demikian?" Dia menjawab, "Ia bermaksud tidak menyulitkan umatnya." (Muslim 2/152)[4]

Pustaka

Pranala luar


edunitas.com


Page 22

Salat Jamak yaitu salat yg diterapkan dengan mengumpulkan dua salat wajib dalam satu waktu, seperti salat Zuhur dengan Asar dan salat Magrib dengan salat Isya (khusus dalam perjalanan)[1]. Adapun pasangan salat yang bisa dijamak adalah salat Dzuhur dengan Ashar atau salat Maghrib dengan Isya. Salat jamak dibedakan menjadi dua tipe yakni:

  • Jama' Taqdim penggabungan pelaksanaan dua salat dalam satu waktu dengan metode memajukan salat yang belum masuk waktu ke dalam salat yang telah masuk waktunya (seperti penggabungan pelaksanaan salat Asar dengan salat Zuhur pada waktu salat Zuhur atau pelaksanaan salat Isya dengan salat Magrib pada waktu salat Magrib)[2].
  • Jama' Ta'khir penggabungan pelaksanaan dua salat dalam satu waktu dengan metode mengundurkan salat yang sudah masuk waktu ke dalam waktu salat yang berikutnya (seperti penggabungan pelaksanaan salat Zuhur dengan salat Asar pada waktu salat Asar, atau pelaksanaan salat Magrib dengan salat Isya pada waktu salat Isya)[2]

Syarat jamak takdim

  1. Tertib. Apabila musafir akan memainkan jamak salat dengan jamak taqdim, maka dia harus mendahulukan salat yang punya waktu terlebih dahulu. Semisal musafir akan menjamak salat maghrib dengan shoalt isya', maka dia harus mengerjakan salat maghrib terlebih dahulu. Apabila yang dikerjakan terlebih dahulu adalah salat isya', maka salat salat isya'nya tidak sah. Dan apabila dia masih bersedia memainkan jamak, maka harus mengulangi salat isya'nya setelah salat maghrib.
  2. Niat jamak pada waktu salat yang pertama. Apabila musafir bersedia memainkan salat jamak dengan jamak taqdim, maka diharuskan niat jamak pada waktu pelaksanaan salat yang pertama. Jadi, selagi musholli masih dalam salat yang pertama (asal sebelum salam), waktu niat jamak masih benar, namun yang semakin adun, niat jamak dipertontonkan bersamaan dengan takbiratul ihram.
  3. Muwalah (bersegera). Selang kedua salat tidak benar selang waktu yang dianggap lama. Apabila dalam jamak terdapat pemisah (renggang waktu) yang dianggap lama, seperti memainkan salat sunah, maka musholli tidak dapat memainkan jamak dan harus mengakhirkan salat yang kedua serta mengerjakannya pada waktu yang semestinya.
  4. Masih berstatus musafir hingga beresnya salat yang kedua. Orang yang menjamak salatnya harus berstatus musafir hingga beresnya salat yang kedua. Apabila sebelum melaksanakan salat yang kedua benar niatan muqim, maka musholli tidak boleh memainkan jamak, sebab udzurnya dianggap mandek dan harus mengakhirkan salat yang kedua pada waktunya.[3]

Syarat jamak ta'khir

  1. Niat menjamak ta'khir pada waktu shalat yang pertama. Misalnya, jika waktu shalat zhuhur telah tiba, maka ia berniat akan melaksanakan shalat zhuhur tersebut nanti pada waktu ashar.
  2. Pada saat datangnya waktu shalat yang kedua, ia masih dalam perjalanan. Misalnya, seseorang berniat akan melaksanakan shalat zhuhur pada waktu ashar. Ketika waktu ashar tiba ia masih berada dalam perjalanan. Dalam jamak ta'khir, shalat yang dijamak boleh dikerjakan tidak menurut urutan waktunya. Misalnya shalat zhuhur dan ashar, boleh dikerjakan zhuhur dahulu atau ashar dahulu. Di samping itu selang shalat yang pertama dan yang kedua tidak perlu bersambung (muwalat). Sah boleh diselingi dengan tingkah laku lain, misalnya shalat sunat rawatib.[3]

Perbedaan Pandangan selang Sunni dan Syi'ah

Argumen dari Empat Mazhab Sunni:

  1. Argumen Mazhab Hanafi
    • Hanafi meyakini bahwa pelaksanaan men-jama' salat tidaklah memiliki daya hukum, adun dalam perjalanan ataupun tidak, dengan segala jenis persoalan kecuali dalam dua kasus-Hari Arafah dan pada saat malam Muzdalifah dalam berbagai keadaan tertentu.
  2. Argumen Mazhab Syafi'i
    • Syafi'i meyakini diperbolehkannya pelaksanaan men-jama' salat untuk para musafir perjalanan jauh (safar) dan saat hujan serta salju dalam keadaan tertentu. Untuk mereka, pelaksanaan men-jama' salat seharusnya tidak diperbolehkan dalam keadaan gelap, berangin, takut atau sakit.
  3. Argumen Mazhab Maliki
    • Maliki menganggap gagasan untuk melaksanakan men-jama' salat sebagai berikut: sakit, hujan, berlumpur, keadaan gelap pada kesudahan bulan purnama dan pada Hari Arafah serta Malam Muzdalifah untuk yang masih melaksanakan haji dalam keadaan tertentu.
  4. Argumen Mazhab Hambali
    • Hambali memperbolehkan pelaksanaan men-jama' salat saat Hari Arafah dan Malam Muzdalifah dan untuk para musafir, pasien-pasien, ibu menyusui, wanita dengan haid banyak sekali, orang yang bertali-tali buang cairan kecil, orang yang tidak dapat membuat supaya bersih dirinya sendiri, orang yang tidak dapat membedakan waktu, dan orang yang takut kehilangan barang kepemilikannya, kesehatannya atau reputasinya dan juga dalam keadaan hujan, salju, dingin, berawan dan berlumpur. Mereka juga menyebutkan beberapa keadaan lainnya.

Argumen Perawi Hadits lainnya

  1. Argumen Ibnu Syabramah
    • Ibnu Syabramah memperbolehkan pelaksanaan men-jama' salat sebab beberapa gagasan dan bahkan tanpa keadaan khusus selama hal tersebut tidak berubah menjadi suatu norma budaya.
  2. Argumen Ibnu Mundzir dan Ibnu Sirin
    • Ibnu Mundzir dan Ibnu Sirin, menurut Qaffal, memperbolehkan pelaksanaan men-jama' salat dalam segala keadaan tanpa syarat apapun.

Dalil yang memperkuat adalah:

Dari Muadz bin Jabal: “Bahwa Rasulullah SAW pada saat perang Tabuk, jika matahari telah condong dan belum berangkat maka menjama’ salat selang Dzuhur dan Asar. Dan jika sudah dalam perjalanan sebelum matahari condong, maka mengakhirkan salat dzuhur hingga selesai untuk salat Asar. Dan pada waktu salat Maghrib sama juga, jika matahari telah tenggelam sebelum berangkat maka menjama’ selang Maghrib dan ‘Isya. Tetapi jika sudah berangkat sebelum matahari matahari tenggelam maka mengakhirkan waktu salat Maghrib hingga selesai untuk salat ‘Isya, kesudahan menjama’ keduanya.” (HR Sisa dari pembakaran Dawud dan at-Tirmidzi).

Mazhab Syi'ah seperti Dua Belas Imam berpendapat bahwa setiap orang walaupun tidak dalam perjalanan jauh, berdiam di rumahnya, tidak berada dalam keadaan sakit, dapat menjama' salat, adun jama' taqdim maupun jama' ta'khir. Dalil yang memperkuat hal tersebut adalah:

Dirikanlah salat dari setelah matahari tergelincir hingga gelap malam dan (dirikanlah pula salat) subuh. Sesungguhnya salat subuh itu disaksikan (oleh malaikat). (QS. al-Israa' [17]:78)

Dalil-dalil lain yang memperkuat hal ini benar dalam Ringkasan Shahih Muslim, Kitab Salat Musafir, Bab 6: Menjamak Dua Salat ketika Bermukim (Di Rumah, Tidak Bepergian);

Ibnu Abbas r.a. bercakap, "Rasulullah pernah menjama' salat Dzuhur dan salat Ashar, dan menjama' Maghrib dan Isya di Madinah bukan sebab khauf (sedang berperang) dan bukan sebab hujan."Menurut hadits Waki', dia bercakap, "Diri sendiri tanyakan kepada Ibnu Abbas, 'Mengapa ia memainkan hal itu?" Ibnu Abbas menjawab, 'Supaya ia tidak menyulitkan umatnya.'"Menurut hadits Mu'awiyah, ditanyakan kepada Ibnu Abbas, "Apa maksud Nabi berbuat demikian?" Dia menjawab, "Ia bermaksud tidak menyulitkan umatnya." (Muslim 2/152)[4]

Pustaka

Pranala luar


edunitas.com


Page 23

Salat Jamak yaitu salat yg diterapkan dengan mengumpulkan dua salat wajib dalam satu waktu, seperti salat Zuhur dengan Asar dan salat Magrib dengan salat Isya (khusus dalam perjalanan)[1]. Adapun pasangan salat yang bisa dijamak adalah salat Dzuhur dengan Ashar atau salat Maghrib dengan Isya. Salat jamak dibedakan menjadi dua tipe yakni:

  • Jama' Taqdim penggabungan pelaksanaan dua salat dalam satu waktu dengan metode memajukan salat yang belum masuk waktu ke dalam salat yang telah masuk waktunya (seperti penggabungan pelaksanaan salat Asar dengan salat Zuhur pada waktu salat Zuhur atau pelaksanaan salat Isya dengan salat Magrib pada waktu salat Magrib)[2].
  • Jama' Ta'khir penggabungan pelaksanaan dua salat dalam satu waktu dengan metode mengundurkan salat yang sudah masuk waktu ke dalam waktu salat yang berikutnya (seperti penggabungan pelaksanaan salat Zuhur dengan salat Asar pada waktu salat Asar, atau pelaksanaan salat Magrib dengan salat Isya pada waktu salat Isya)[2]

Syarat jamak takdim

  1. Tertib. Apabila musafir akan memainkan jamak salat dengan jamak taqdim, maka dia harus mendahulukan salat yang punya waktu terlebih dahulu. Semisal musafir akan menjamak salat maghrib dengan shoalt isya', maka dia harus mengerjakan salat maghrib terlebih dahulu. Apabila yang dikerjakan terlebih dahulu adalah salat isya', maka salat salat isya'nya tidak sah. Dan apabila dia masih bersedia memainkan jamak, maka harus mengulangi salat isya'nya setelah salat maghrib.
  2. Niat jamak pada waktu salat yang pertama. Apabila musafir bersedia memainkan salat jamak dengan jamak taqdim, maka diharuskan niat jamak pada waktu pelaksanaan salat yang pertama. Jadi, selagi musholli masih dalam salat yang pertama (asal sebelum salam), waktu niat jamak masih benar, namun yang semakin adun, niat jamak dipertontonkan bersamaan dengan takbiratul ihram.
  3. Muwalah (bersegera). Selang kedua salat tidak benar selang waktu yang dianggap lama. Apabila dalam jamak terdapat pemisah (renggang waktu) yang dianggap lama, seperti memainkan salat sunah, maka musholli tidak dapat memainkan jamak dan harus mengakhirkan salat yang kedua serta mengerjakannya pada waktu yang semestinya.
  4. Masih berstatus musafir hingga beresnya salat yang kedua. Orang yang menjamak salatnya harus berstatus musafir hingga beresnya salat yang kedua. Apabila sebelum melaksanakan salat yang kedua benar niatan muqim, maka musholli tidak boleh memainkan jamak, sebab udzurnya dianggap mandek dan harus mengakhirkan salat yang kedua pada waktunya.[3]

Syarat jamak ta'khir

  1. Niat menjamak ta'khir pada waktu shalat yang pertama. Misalnya, jika waktu shalat zhuhur telah tiba, maka ia berniat akan melaksanakan shalat zhuhur tersebut nanti pada waktu ashar.
  2. Pada saat datangnya waktu shalat yang kedua, ia masih dalam perjalanan. Misalnya, seseorang berniat akan melaksanakan shalat zhuhur pada waktu ashar. Ketika waktu ashar tiba ia masih berada dalam perjalanan. Dalam jamak ta'khir, shalat yang dijamak boleh dikerjakan tidak menurut urutan waktunya. Misalnya shalat zhuhur dan ashar, boleh dikerjakan zhuhur dahulu atau ashar dahulu. Di samping itu selang shalat yang pertama dan yang kedua tidak perlu bersambung (muwalat). Sah boleh diselingi dengan tingkah laku lain, misalnya shalat sunat rawatib.[3]

Perbedaan Pandangan selang Sunni dan Syi'ah

Argumen dari Empat Mazhab Sunni:

  1. Argumen Mazhab Hanafi
    • Hanafi meyakini bahwa pelaksanaan men-jama' salat tidaklah memiliki daya hukum, adun dalam perjalanan ataupun tidak, dengan segala jenis persoalan kecuali dalam dua kasus-Hari Arafah dan pada saat malam Muzdalifah dalam berbagai keadaan tertentu.
  2. Argumen Mazhab Syafi'i
    • Syafi'i meyakini diperbolehkannya pelaksanaan men-jama' salat untuk para musafir perjalanan jauh (safar) dan saat hujan serta salju dalam keadaan tertentu. Untuk mereka, pelaksanaan men-jama' salat seharusnya tidak diperbolehkan dalam keadaan gelap, berangin, takut atau sakit.
  3. Argumen Mazhab Maliki
    • Maliki menganggap gagasan untuk melaksanakan men-jama' salat sebagai berikut: sakit, hujan, berlumpur, keadaan gelap pada kesudahan bulan purnama dan pada Hari Arafah serta Malam Muzdalifah untuk yang masih melaksanakan haji dalam keadaan tertentu.
  4. Argumen Mazhab Hambali
    • Hambali memperbolehkan pelaksanaan men-jama' salat saat Hari Arafah dan Malam Muzdalifah dan untuk para musafir, pasien-pasien, ibu menyusui, wanita dengan haid banyak sekali, orang yang bertali-tali buang cairan kecil, orang yang tidak dapat membuat supaya bersih dirinya sendiri, orang yang tidak dapat membedakan waktu, dan orang yang takut kehilangan barang kepemilikannya, kesehatannya atau reputasinya dan juga dalam keadaan hujan, salju, dingin, berawan dan berlumpur. Mereka juga menyebutkan beberapa keadaan lainnya.

Argumen Perawi Hadits lainnya

  1. Argumen Ibnu Syabramah
    • Ibnu Syabramah memperbolehkan pelaksanaan men-jama' salat sebab beberapa gagasan dan bahkan tanpa keadaan khusus selama hal tersebut tidak berubah menjadi suatu norma budaya.
  2. Argumen Ibnu Mundzir dan Ibnu Sirin
    • Ibnu Mundzir dan Ibnu Sirin, menurut Qaffal, memperbolehkan pelaksanaan men-jama' salat dalam segala keadaan tanpa syarat apapun.

Dalil yang memperkuat adalah:

Dari Muadz bin Jabal: “Bahwa Rasulullah SAW pada saat perang Tabuk, jika matahari telah condong dan belum berangkat maka menjama’ salat selang Dzuhur dan Asar. Dan jika sudah dalam perjalanan sebelum matahari condong, maka mengakhirkan salat dzuhur hingga selesai untuk salat Asar. Dan pada waktu salat Maghrib sama juga, jika matahari telah tenggelam sebelum berangkat maka menjama’ selang Maghrib dan ‘Isya. Tetapi jika sudah berangkat sebelum matahari matahari tenggelam maka mengakhirkan waktu salat Maghrib hingga selesai untuk salat ‘Isya, kesudahan menjama’ keduanya.” (HR Sisa dari pembakaran Dawud dan at-Tirmidzi).

Mazhab Syi'ah seperti Dua Belas Imam berpendapat bahwa setiap orang walaupun tidak dalam perjalanan jauh, berdiam di rumahnya, tidak berada dalam keadaan sakit, dapat menjama' salat, adun jama' taqdim maupun jama' ta'khir. Dalil yang memperkuat hal tersebut adalah:

Dirikanlah salat dari setelah matahari tergelincir hingga gelap malam dan (dirikanlah pula salat) subuh. Sesungguhnya salat subuh itu disaksikan (oleh malaikat). (QS. al-Israa' [17]:78)

Dalil-dalil lain yang memperkuat hal ini benar dalam Ringkasan Shahih Muslim, Kitab Salat Musafir, Bab 6: Menjamak Dua Salat ketika Bermukim (Di Rumah, Tidak Bepergian);

Ibnu Abbas r.a. bercakap, "Rasulullah pernah menjama' salat Dzuhur dan salat Ashar, dan menjama' Maghrib dan Isya di Madinah bukan sebab khauf (sedang berperang) dan bukan sebab hujan."Menurut hadits Waki', dia bercakap, "Diri sendiri tanyakan kepada Ibnu Abbas, 'Mengapa ia memainkan hal itu?" Ibnu Abbas menjawab, 'Supaya ia tidak menyulitkan umatnya.'"Menurut hadits Mu'awiyah, ditanyakan kepada Ibnu Abbas, "Apa maksud Nabi berbuat demikian?" Dia menjawab, "Ia bermaksud tidak menyulitkan umatnya." (Muslim 2/152)[4]

Pustaka

Pranala luar


edunitas.com


Page 24

Salat Jamak yaitu salat yg diterapkan dengan mengumpulkan dua salat wajib dalam satu waktu, seperti salat Zuhur dengan Asar dan salat Magrib dengan salat Isya (khusus dalam perjalanan)[1]. Adapun pasangan salat yang bisa dijamak adalah salat Dzuhur dengan Ashar atau salat Maghrib dengan Isya. Salat jamak dibedakan menjadi dua tipe yakni:

  • Jama' Taqdim penggabungan pelaksanaan dua salat dalam satu waktu dengan metode memajukan salat yang belum masuk waktu ke dalam salat yang telah masuk waktunya (seperti penggabungan pelaksanaan salat Asar dengan salat Zuhur pada waktu salat Zuhur atau pelaksanaan salat Isya dengan salat Magrib pada waktu salat Magrib)[2].
  • Jama' Ta'khir penggabungan pelaksanaan dua salat dalam satu waktu dengan metode mengundurkan salat yang sudah masuk waktu ke dalam waktu salat yang berikutnya (seperti penggabungan pelaksanaan salat Zuhur dengan salat Asar pada waktu salat Asar, atau pelaksanaan salat Magrib dengan salat Isya pada waktu salat Isya)[2]

Syarat jamak takdim

  1. Tertib. Apabila musafir akan memainkan jamak salat dengan jamak taqdim, maka dia harus mendahulukan salat yang punya waktu terlebih dahulu. Semisal musafir akan menjamak salat maghrib dengan shoalt isya', maka dia harus mengerjakan salat maghrib terlebih dahulu. Apabila yang dikerjakan terlebih dahulu adalah salat isya', maka salat salat isya'nya tidak sah. Dan apabila dia masih bersedia memainkan jamak, maka harus mengulangi salat isya'nya setelah salat maghrib.
  2. Niat jamak pada waktu salat yang pertama. Apabila musafir bersedia memainkan salat jamak dengan jamak taqdim, maka diharuskan niat jamak pada waktu pelaksanaan salat yang pertama. Jadi, selagi musholli masih dalam salat yang pertama (asal sebelum salam), waktu niat jamak masih benar, namun yang semakin adun, niat jamak dipertontonkan bersamaan dengan takbiratul ihram.
  3. Muwalah (bersegera). Selang kedua salat tidak benar selang waktu yang dianggap lama. Apabila dalam jamak terdapat pemisah (renggang waktu) yang dianggap lama, seperti memainkan salat sunah, maka musholli tidak dapat memainkan jamak dan harus mengakhirkan salat yang kedua serta mengerjakannya pada waktu yang semestinya.
  4. Masih berstatus musafir hingga beresnya salat yang kedua. Orang yang menjamak salatnya harus berstatus musafir hingga beresnya salat yang kedua. Apabila sebelum melaksanakan salat yang kedua benar niatan muqim, maka musholli tidak boleh memainkan jamak, sebab udzurnya dianggap mandek dan harus mengakhirkan salat yang kedua pada waktunya.[3]

Syarat jamak ta'khir

  1. Niat menjamak ta'khir pada waktu shalat yang pertama. Misalnya, jika waktu shalat zhuhur telah tiba, maka ia berniat akan melaksanakan shalat zhuhur tersebut nanti pada waktu ashar.
  2. Pada saat datangnya waktu shalat yang kedua, ia masih dalam perjalanan. Misalnya, seseorang berniat akan melaksanakan shalat zhuhur pada waktu ashar. Ketika waktu ashar tiba ia masih berada dalam perjalanan. Dalam jamak ta'khir, shalat yang dijamak boleh dikerjakan tidak menurut urutan waktunya. Misalnya shalat zhuhur dan ashar, boleh dikerjakan zhuhur dahulu atau ashar dahulu. Di samping itu selang shalat yang pertama dan yang kedua tidak perlu bersambung (muwalat). Sah boleh diselingi dengan tingkah laku lain, misalnya shalat sunat rawatib.[3]

Perbedaan Pandangan selang Sunni dan Syi'ah

Argumen dari Empat Mazhab Sunni:

  1. Argumen Mazhab Hanafi
    • Hanafi meyakini bahwa pelaksanaan men-jama' salat tidaklah memiliki daya hukum, adun dalam perjalanan ataupun tidak, dengan segala jenis persoalan kecuali dalam dua kasus-Hari Arafah dan pada saat malam Muzdalifah dalam berbagai keadaan tertentu.
  2. Argumen Mazhab Syafi'i
    • Syafi'i meyakini diperbolehkannya pelaksanaan men-jama' salat untuk para musafir perjalanan jauh (safar) dan saat hujan serta salju dalam keadaan tertentu. Untuk mereka, pelaksanaan men-jama' salat seharusnya tidak diperbolehkan dalam keadaan gelap, berangin, takut atau sakit.
  3. Argumen Mazhab Maliki
    • Maliki menganggap gagasan untuk melaksanakan men-jama' salat sebagai berikut: sakit, hujan, berlumpur, keadaan gelap pada kesudahan bulan purnama dan pada Hari Arafah serta Malam Muzdalifah untuk yang masih melaksanakan haji dalam keadaan tertentu.
  4. Argumen Mazhab Hambali
    • Hambali memperbolehkan pelaksanaan men-jama' salat saat Hari Arafah dan Malam Muzdalifah dan untuk para musafir, pasien-pasien, ibu menyusui, wanita dengan haid banyak sekali, orang yang bertali-tali buang cairan kecil, orang yang tidak dapat membuat supaya bersih dirinya sendiri, orang yang tidak dapat membedakan waktu, dan orang yang takut kehilangan barang kepemilikannya, kesehatannya atau reputasinya dan juga dalam keadaan hujan, salju, dingin, berawan dan berlumpur. Mereka juga menyebutkan beberapa keadaan lainnya.

Argumen Perawi Hadits lainnya

  1. Argumen Ibnu Syabramah
    • Ibnu Syabramah memperbolehkan pelaksanaan men-jama' salat sebab beberapa gagasan dan bahkan tanpa keadaan khusus selama hal tersebut tidak berubah menjadi suatu norma budaya.
  2. Argumen Ibnu Mundzir dan Ibnu Sirin
    • Ibnu Mundzir dan Ibnu Sirin, menurut Qaffal, memperbolehkan pelaksanaan men-jama' salat dalam segala keadaan tanpa syarat apapun.

Dalil yang memperkuat adalah:

Dari Muadz bin Jabal: “Bahwa Rasulullah SAW pada saat perang Tabuk, jika matahari telah condong dan belum berangkat maka menjama’ salat selang Dzuhur dan Asar. Dan jika sudah dalam perjalanan sebelum matahari condong, maka mengakhirkan salat dzuhur hingga selesai untuk salat Asar. Dan pada waktu salat Maghrib sama juga, jika matahari telah tenggelam sebelum berangkat maka menjama’ selang Maghrib dan ‘Isya. Tetapi jika sudah berangkat sebelum matahari matahari tenggelam maka mengakhirkan waktu salat Maghrib hingga selesai untuk salat ‘Isya, kesudahan menjama’ keduanya.” (HR Sisa dari pembakaran Dawud dan at-Tirmidzi).

Mazhab Syi'ah seperti Dua Belas Imam berpendapat bahwa setiap orang walaupun tidak dalam perjalanan jauh, berdiam di rumahnya, tidak berada dalam keadaan sakit, dapat menjama' salat, adun jama' taqdim maupun jama' ta'khir. Dalil yang memperkuat hal tersebut adalah:

Dirikanlah salat dari setelah matahari tergelincir hingga gelap malam dan (dirikanlah pula salat) subuh. Sesungguhnya salat subuh itu disaksikan (oleh malaikat). (QS. al-Israa' [17]:78)

Dalil-dalil lain yang memperkuat hal ini benar dalam Ringkasan Shahih Muslim, Kitab Salat Musafir, Bab 6: Menjamak Dua Salat ketika Bermukim (Di Rumah, Tidak Bepergian);

Ibnu Abbas r.a. bercakap, "Rasulullah pernah menjama' salat Dzuhur dan salat Ashar, dan menjama' Maghrib dan Isya di Madinah bukan sebab khauf (sedang berperang) dan bukan sebab hujan."Menurut hadits Waki', dia bercakap, "Diri sendiri tanyakan kepada Ibnu Abbas, 'Mengapa ia memainkan hal itu?" Ibnu Abbas menjawab, 'Supaya ia tidak menyulitkan umatnya.'"Menurut hadits Mu'awiyah, ditanyakan kepada Ibnu Abbas, "Apa maksud Nabi berbuat demikian?" Dia menjawab, "Ia bermaksud tidak menyulitkan umatnya." (Muslim 2/152)[4]

Pustaka

Pranala luar


edunitas.com


Page 25

Tags (tagged): 4 Title of articles, 4 April, 4 BC, 4 large round PSSI Championship First Division 1983, 4 large round PSSI Championship First Division 1985, 4-3-3, 4-4-2, 4-cylinder engine, 40, 41, 410, 420 's BC, 427 BC, 45 University of Mataram, 451, 46, 470, 483 BC, 4th century, 4th century BC, 4th millennium BC


Page 26

Tags (tagged): 4 Title of articles, 4 April, 4 BC, 4 large round PSSI Championship First Division 1983, 4 large round PSSI Championship First Division 1985, 4-3-3, 4-4-2, 4-cylinder engine, 40, 41, 410, 420 's BC, 427 BC, 45 University of Mataram, 451, 46, 470, 483 BC, 4th century, 4th century BC, 4th millennium BC