Hukum melaksanakan sujud sahwi menurut jumhur ulama adalah

Penjelasan

Pertama : Definisi

As-sahwu dan as-sahwatu secara Bahasa artinya lupa terhadap sesuatu([1]).

Adapun definisi sujud sahwi menurut para pakar fiqih adalah sujud yang dilakukan diakhir shalat (sebelum salam) atau setelah shalat (setelah salam) untuk menutup kekurangan  disebabkan meninggalkan sebagian yang diperintahkan atau melakukan sebagian yang dilarang tanpa sengaja([2]).

Kedua : Hukum Sujud Sahwi

Sujud sahwi hukumnya wajib ([3]) jika yang ditinggalkan adalah perkara yang wajib, dan sujud sahwi hukumnya sunnah jika yang ditinggalkan adalah perkara yang sunnah.

Ketiga : Hikmah

Allah menciptakan manusia yang memiliki sifat pelupa dan syaithon sangat bersemangat untuk merusak shalat seseorang dengan penambahan, pengurangan, atau ragu sehingga Allah mensyariatkan sujud sahwi untuk penghinaan kepada syaithon dan juga untuk menambal yang kurang serta mendatangkan keridoan Allah.

Keempat : Sebab sujud sahwi

Secara umum sujud sahwi disyariatkan karena 3 sebab:

  1. Disebabkan karena tambahan
  2. Pengurangan
  3. Keraguan

Akan tetapi para Ulama sepakat bahwa:

  1. Ketika seseorang meninggalkan satu rukun atau wajib karena sengaja maka shalatnya tidak sah dan tidak ada sujud sahwi baginya karena sujud sahwi tidak bisa menambal batal sholatnya tersebut.
  2. Ketika meninggalkan yang sunnah maka tidak wajib untuk melakukan sujud sahwi.
  3. Ketika lupa dalam shalat jenazah maka tidak ada sujud sahwi karena shalat jenazah tidak ada ruku’ dan sujud.

Tata Cara Sujud Sahwi

Kapan sujud sahwi?

Secara umum para ulama sepakat bahwa sujud sahwi boleh dikerjakan sebelum salam ataupun sesudah salam([4]), hanya saja mereka berselisih manakah yang lebih afdol.([5])

Bagan kapan sujud sahwi

Hukum melaksanakan sujud sahwi menurut jumhur ulama adalah
Hukum melaksanakan sujud sahwi menurut jumhur ulama adalah
Cara mudah untuk mengingat/menghafalkan tata cara sujud sahwi secara ringkas adalah berikut ini.

  1. Apabila menambah dalam shalat (+) maka sujud sahwi letaknya setelah salam (+).
  2. Apabila mengurangi dalam shalat (-) maka maka sujud sahwi sebelum salam (-).
  3. Apabila ragu maka ada 2 kondisi:
  • Jika tidak bisa menguatkan antara 2 perkara yang diragukan maka ambil yang paling sedikit/yakin (-) dan sujud sahwinya sebelum salam (-).
  • Jika bisa menguatkan antara 2 perkara yang diragukan maka ambil yang menurutnya kuat (+) dan sujud sahwi setelah salam (+).

Detail

Karena Penambahan

PERTAMA : Menambah dalam sholat

Ada dua kondisi, (1) Menambah gerakan dan (2) Menambah bacaan

Pertama : Menambah gerakan dalam shalat

Penambahan gerakan shalat, seperti menambah ruku’ sujud, duduk, atau menambah raka’at, maka sujud sahwinya terletak setelah salam([6]).

Hikmah dilakukan sujud sahwi setelah shalat ketika melakukan penambahan agar tidak terkumpul di dalamnya 2 penambahan, karena sujud sahwi juga adalah tambahan gerakan, maka jika dikerjakan sebelum salam maka seakan-akan ada lagi tambahan dalam sholat.

Apabila seseorang menambahkan raka’at kelima dari shalat yang 4 raka’at, maka ketika ingat, hendaknya dia langsung duduk dan melakukan tasyahhud apabila belum bertasyahhud, bukan melanjutkan shalatnya, hal ini dilakukan agar tercegah dari melakukan penambahan-penambahan gerakan shalat secara sengaja.

Kedua : Menambah baca’an

Apabila seseorang menambah bacaan-bacaan yang disyariatkan seperti membaca al-fatihah, surat-surat al-quran, tasbih, atau semisalnya bukan pada tempatnya seperti seseorang membaca “subhana robbiyal a’ala” ketika ruku’ maka disini ada 2 keadaan:

  1. Dia teringat ketika masih dalam posisi ruku’ lalu membaca subhana robbiyal ‘azhim sebelum bangkit maka tidak usah melakukan sujud sahwi, karena dia tidak meninggalkan yang wajib.
  2. Dia terlupa dan meninggalkan tasbih yang wajib dibaca dalam ruku, maka wajib untuk melakukan sujud sahwi, karena dia telah meninggalkan sesuatu yang wajib.

Karena Pengurangan

KEDUA : Mengurangi gerakan shalat

Maka ada 2 kondisi (1) meninggalkan rukun dan (2) meninggalkan kewajiban:

Pertama : Apabila seseorang meninggalkan rukun shalat:

  1. Apabila yang ditinggalkan adalah takbirotul ihrom secara sengaja atau lupa maka shalatnya tidak sah.
  2. Apabila yang ditinggalkan adalah rukun selain takbirotul ihrom seperti meninggalkan duduk diantara dua sujud, maka ketika dia ingat sebelum berada di posisi duduk antara dua sujud pada raka’at berikutnya maka wajib baginya kembali, namun apabila dia ingat setelah berada pada posisi rukun yang tertinggal pada raka’at setelahnya maka raka’at sebelumnya batal dan tidak dianggap. ([7])
  3. Apabila baru teringat setelah salam (setelah sholat selesai) maka :
  • Jika meninggalkan rukun yang berada pada raka’at terakhir dan teringat setelah salam maka baginya cukup mendatangkan rukun yang tertinggal (yaitu kembali kepada rukun yang tertinggal) lalu lanjutkan dan sujud sahwi setelah salam.
    Contohnya: apabila seseorang meninggalkan duduk diantara dua sujud pada raka’at terakhir dan teringat setelah salam, maka ia segera mendatangkan rukun yang tertinggal yaitu duduk diantara dua sujud, lalu menyempurnakan sholatnya yaitu yaitu sujud yang kedua dan tasyahhud akhir, lalu salam, lalu sujud sahwi setelah salam
  • Jika yang tertinggal adalah rukun yang bukan pada raka’at terakhir maka ia wajib untuk melakukan raka’at sempurna (rakaat yang di situ rukun ia tinggalkan), lalu sempurnakan sholat dan sujud sahwi setelah salam.
    Contohnya ketika ia sholat 4 raka’at, ia lupa sehingga meninggalkan sujud ke-dua pada rakaat ketiga. Maka jika setelah salam dia baru ingat, maka dia takbir dan langsung masuk ke rakaat ke-3, dari awal, yaitu dari berdiri, lalu dia lanjutkan sholat hingga selesai rakaat ke-4, lalu dia sujud sahwi setelah salam([8]).

Kedua : Meninggalkan kewajiban

Apabila meninggalkan suatu kewajiban dari wajib-wajib shalat sebelum berpindah ke rukun berikutnya maka wajib baginya untuk kembali ke kewajiban yang tertinggal, contohnya: apabila seseorang meninggalkan tasyahhud awal, akan tetapi sebelum berdiri sempurna ke raka’at berikutnya ia teringat akan tasyahhud yang tertinggal maka wajib baginya untuk duduk tasyahhud.

apabila meninggalkan kewajiban sampai berpindah ke rukun berikutnya maka tidak wajib baginya untuk kembali, dan diganti dengan sujud sahwi sebelum salam. Berdasarkan hadits Mughiroh bin Syu’bah

إِذَا قَامَ الْإِمَامُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ فَإِنْ ذَكَرَ قَبْلَ أَنْ يَسْتَوِيَ قَائِمًا فَلْيَجْلِسْ فَإِنْ اسْتَوَى قَائِمًا فَلَا يَجْلِسْ وَيَسْجُدْ سَجْدَتَيْ السَّهْوِ

“Apabila seorang imam terlanjur berdiri pada raka’at kedua, dan ingat sebelum berdiri tegak, hendaknya ia kembali duduk, dan apabila telah berdiri tegak hendaknya ia tidak duduk dan sujudlah dua kali yaitu sujud sahwi.” ([9])

Dan juga berdasarkan hadits Abdullah Bin Buhainah,

«إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ مِنَ اثْنَتَيْنِ مِنَ الظُّهْرِ لَمْ يَجْلِسْ بَيْنَهُمَا، فَلَمَّا قَضَى صَلاَتَهُ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ، ثُمَّ سَلَّمَ بَعْدَ ذَلِكَ»

“sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dari raka’at kedua dari shalat zhuhur dan tidak duduk diantara keduanya (duduk tasyahhud awal) kemudian sujud 2 kali ketika diakhir shalatnya kemudian salam” ([10])

Karena Keraguan

KETIGA : Ragu

Ada 3 kaidah penting yang wajib diketahui berkaitan dengan keraguan dalam shalat:

  1. Ragu yang diketahui setelah selesai shalat maka keraguan tersebut tidak dianggap, tidak wajib baginya untuk melakukan sujud sahwi juga tidak wajib untuk mengulang.
  2. Apabila keraguan berupa was-was, yang terkadang muncul di fikiran kemudian menghilang maka was was ini juga tidak dianggap.
  3. Keraguan yang sangat banyak, yang disetiap gerakannya selalu dimasuki keraguan, maka ini juga tidak dianggap, karena ini penyakit. ([11])

Dan pembahasan keraguan disini adalah keraguan yang kosong dari 3 hal di atas, dan ini juga terbagi kedalam beberapa keadaan:

  1. Ragu terhadap bilangan raka’at dan tidak bisa mencari mana yang lebih kuat dari salah satu diantara keduanya.

Maka baginya ambil rakaat yang paling sedikit, contohnya: apabila seseorang ragu berapa raka’at dia sudah shalat, 3 atau 4 raka’at, maka ambil raka’at yang ke 3 lalu sempurnakan shalatnya dan sujud sahwi seblum salam, hal ini berdasarkan yang dijelaskan oleh Abu Sa’id Al-Khudry,

إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ، فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا، فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ، ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ، فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلَاتَهُ، وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا لِأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ

“Apabila salah seorang di antara kalian merasa ragu dalam shalatnya dan dia tidak tahu berapa raka’at dia shalat, tiga atau empat raka’at, maka hendaknya dia membuang keraguan tersebut dan hendaknya dia mengerjakan sesuai dengan apa yang diyakininya, kemudian sujud dua kali sebelum salam. Jika dia ternyata shalat lima raka’at, maka shalatnya tersebut akan menjadi syafaat baginya, sedangkan jika ternyata dia shalat tepat empat raka’at, maka kedua sujudnya bisa membuat marah syaitan”. ([12])

Alasannya adalah karena raka’at yang paling sedikit adalah raka’at yang diyakini sudah dikerjakan, adapun rakaat yang keempat adalah raka’at yang diragukan, dan kaidah mengatakan,

أَنَّ مَا شُكَّ فِي وُجُوْدِهِ فَالأَصْلُ عَدَمُهُ

“Apa yang diragukan keberadaannya maka asalnya adalah tidak ada”.

  1. Ragu terhadap bilangan raka’at shalat dan bisa mencari mana yang lebih kuat dari salah satunya.

Maka baginya ambil raka’at yang paling kuat menurut perkiraannya dan sujud setelah salam. Contohnya: apabila seseorang ragu dalam bilangan raka’at shalatnya antara raka’at ke 3 dan ke 4, setelah mengamati maka dia dapati bahwa dia condong berada di raka’at ke 4, maka dia sempurnakan shalatnya dan sujud sahwi setelah salam. Berdasarkan hadits Ibnu Mas’ud,

فَلْيَتَحَرَّ الصَّوَابَ فَلْيُتِمَّ عَلَيْهِ، ثُمَّ لِيُسَلِّمْ، ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ

“Maka hendaklah dia menentukan sendiri yang menurutnya benar, lalu menyempurnakan dengan pilihannya tadi kemudian salam, kemudian sujud dua kali” ([13])

Masuk dalam permasalahan ini adalah ketika makmum yang masuk kedalam shalat dan imam dalam keadaan ruku’ lalu ia ragu apakah sudah mendapatkan ruku’nya imam atau belum, maka ketika bisa mencari mana yang lebih kuat menurutnya, apabila ia merasa lebih kuat sudah mendapatkan ruku’ maka dia mendapatkan 1 raka’at tersebut, dan apabila dia merasa yang kuat disisinya dia tidak mendapatkan maka dia tidak mendapatkan, namun apabila dia tidak bisa menguatkan antara dua perkara tersebut maka dia mengambil yang paling sedikit (yakin) maka dia ambil bahwasanya dia tidak mendapatkan ruku’ tersebut.

Demikian juga ketika makmum masbuq dan dia ragu sudah masuk dalam raka’at keberapa misalnya dia ragu antara sudah masuk raka’at kedua atau ketiga, apabila dia tidak bisa mencari mana yang kuat maka dia ambil yang paling sedikit yaitu raka’at ke 2 dan sempurnakan shalatnya lalu sujud sahwi sebelum salam, akan tetapi ketika dia bisa mencari yang paling kuat dari 2 perkara maka ambil yang terkuat dan sujud sahwi sesudah salam.

Tata Cara Sujud Sahwi

Muqoddimah :

Pertama : Tata cara sujud sahwi secara umum seperti sujud dalam sholat yang biasanya

An-Nawawi Asy-Syafií berkata

سُجُودُ السَّهْوِ سَجْدَتَانِ بَيْنَهُمَا جَلْسَةٌ وَيُسَنُّ فِي هَيْئَتِهَا الِافْتِرَاشُ وَيَتَوَرَّكُ بَعْدَهُمَا إلَى أَنْ يُسَلِّمَ وَصِفَةُ السَّجْدَتَيْنِ فِي الْهَيْئَةِ وَالذِّكْرِ صِفَةُ سَجَدَاتِ الصَّلَاةِ

“Sujud sahwi adalah dua sujud, diantara keduanya duduk, dan disunnahkan dengan duduk iftirosy, dan setelah sujud kedua duduk dengan tawarruk hingga salam. Dan sifat dua sujud sahwi dalam cara dan dzikirnya sama dengan sifat sujud-sujud (yang biasa) dalam sholat”([14])

Kedua : Dalam sujud sahwi tidak ada tasyahhud.

Seperti yang telah berlalu dari hadits-hadits yang shahih bahwasanya tidak ada satupun yang menyebutkan bahwasanya Nabi melakukan tasyahhud setelah sujud sahwi, jadi cukup bagi kita untuk sujud 2 kali lalu salam tanpa melakukan tasyahhud sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits-hadits diatas. ([15])

Berikut ini cara sujud sahwi secara ringkas :

Jika sebelum salam

Pertama : Jika sujud sahwinya sebelum salam : Setelah bertasyahhud akhir lalu : Bertakbir → sujud (dengan bacaan sujud biasa)([16]) → takbir → duduk diantara dua sujud dengan duduk iftirosy (serta membaca doa duduk diantara dua sujud seperti biasa)([17]) → takbir → sujud → takbir (untuk bangkit dari sujud) dan duduk tawaruuk → salam dua kali (kanan dan kiri)

Jika setelah salam

Kedua : Jika sujud sahwinya setelah salam : Setelah salam (selesai dari sholat) lalu : Bertakbir untuk sujud([18]) → sujud (dengan membaca doa sujud yang biasa) → takbir → duduk diantara dua sujud dengan duduk iftirosy (sambil membaca doa duduk diantara dua sujud sebagaimana  biasa) → takbir → sujud kembali → takbir (untuk bangkit dari sujud) dan duduk tawarruk → salam dua kali (kanan dan kiri)

Bacaan Sujud Sahwi

Pertama : Bacaan ketika sujud = seperti bacaan sujud biasanya :

Hal ini karena tidak adanya dalil yang shahih yang menunjukan adanya dzikir/doa khusus untuk sujud sahwi, karenanya kembali kepada hukum asal, yaitu bacaan sujud sahwi sama seperti bacaan sujud pada sholat secara umumnya

An-Nawawi berkata

وَصِفَةُ السَّجْدَتَيْنِ فِي الْهَيْئَةِ وَالذِّكْرِ صِفَةُ سَجَدَاتِ الصَّلَاةِ

“Dan sifat dua sujud sahwi dalam cara dan dzikirnya sama dengan sifat sujud-sujud (yang biasa) dalam sholat”([19])

Diantara doa/dzikir sujud adalah :

سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى

 ‘subhanaa robbiyal a’laa

 artinya: Maha Suci Rabbku Yang Maha Tinggi. ([20])

سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى وَبِحَمْدِهِ

Subhana robbiyal a’laa wa bi hamdih

artinya: Maha Suci Rabbku Yang Maha Tinggi dan pujian untuk-Nya)”. Ini dibaca tiga kali. ([21])

سُبُّوحٌ قُدُّوسٌ رَبُّ الْمَلاَئِكَةِ وَالرُّوحِ

“Subbuhun qudduus, robbul malaa-ikati war ruuh

artinya: Mahasuci, Maha Qudus, Rabbnya para malaikat dan ruh -yaitu Jibril-.”([22])

Dan bacaan-bacaan sujud lainnya yang telah dijelaskan dalam bacaan-bacaan shalat.

Dan minimal membaca dzikir ini sekali (sudah sah), dan minimal kesempurnaan adalah membacanya tiga kali([23])

Bahkan dzohirnya seseorang boleh berdoa di dalam sujud sahwi sebagaimana boleh berdoa dalam sujud-sujud biasa, karena hukumnya sama. Asy-Syirbini berkata :

وَكَيْفِيَّتُهُمَا (كَسُجُودِ الصَّلَاةِ) فِي وَاجِبَاتِهِ وَمَنْدُوبَاتِهِ

“Dan tata cara dua sujud sahwi seperti sujud sholat, baik dalam perkara-perkara wajibnya maupun perkara-perkara sunnahnya” ([24])

Dan bolehnya berdoa dalam sujud sahwi telah difatwakan oleh para ulama al-Lajnah ad-Daaimah([25])

Peringatan :

Sebagian ulama memandang  ketika sujud sahwi mustahab untuk membaca

سُبْحَانَ مَنْ لَا يَنَامُ وَلَا يَسْهُو

artinya: “Maha suci Allah dzat yang tidak pernah tidur dan tidak pernah lupa”.

Bacaan ini banyak tercantum dalam kitab-kitab fiqh madzhab Syafi’i. Bahkan ini adalah pendapat 2 imam besar dalam madzhab Syafi’i yaitu Imam An-Nawawi dan Ar-Rofi’i([26]), akan tetapi bacaan ini lemah untuk dipraktikan karena beberapa sebab:

  1. Tidak ada satu penjelasan dari Rasulullah beliau membaca ini ketika sujud sahwi,
  2. Tidak ada juga atsar dari shahabat yang menjelaskan mereka membaca ini,
  3. Tidak didapati juga dari para imam madzhab yang menyatakan sunnahnya bacaan ini,
  4. Sebagian ulama Syafiíyah pun mengingkari ini, diantaranya Al-Hafiz Ibnu Hajar. Beliau berkata :

سَمِعْت بَعْضَ الْأَئِمَّةِ يَحْكِي أَنَّهُ يَسْتَحِبُّ أَنْ يَقُولَ فِيهِمَا: سُبْحَانَ مَنْ لَا يَنَامُ وَلَا يَسْهُو – أَيْ فِي سَجْدَتَيْ السَّهْوِ – قُلْت: لَمْ أَجِدْ لَهُ أَصْلًا

“Aku mendengar sebagian para imam mengatakan mustahab untuk membaca “subhaana man laa yanaamu wa laa yashuu” ketika sujud sahwi, aku katakan, “Aku tidak mendapati landasan (dari Rasulullah) untuk bacaan tersebut” ([27]).

Kedua : Bacaan ketika duduk diantara dua sujud

Demikian juga tidak ada dalil yang shahih yang menyebutkan doa/dzikir khusus untuk duduk diantara dua sujud sahwi, maka kembali kepada hukum asal untuk berdzikir/berdoa seperti doa duduk diantara dua sujud. (silahkan lihat dzikir/doa tatkala duduk diantara dua sujud)

Asy-Syirbini berkata :

قَالَ الْأَذْرَعِيُّ وَسَكَتُوا عَنْ الذِّكْرِ بَيْنَهُمَا، وَالظَّاهِرُ أَنَّهُ كَالذِّكْرِ بَيْنَ سَجْدَتَيْ صُلْبِ الصَّلَاةِ

“Al-Adzruí berkata : Dan mereka (para ulama) tidak membahas tentang dzikir diantara dua sujud, dan dzohirnya (nampaknya) seperti dzikir seperti dzikir (duduk) diantara dua sujud dalam sholat” ([28])

Adapun pernyataan bahwa tidak perlu ada dzikir sama sekali, akan tetapi cukup diam saja, maka ini keluar dari hukum asal sholat. Karena asal dalam sholat adalah untuk berdzikir, tidak ada dalam gerakan sholat yang hanya diam semata. Nabi berkata kepada Muáwiyah  bin Al-Hakam as-Sulami :

إِنَّ هَذِهِ الصَّلاَةَ لاَ يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلاَمِ النَّاسِ إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ

“Sesungguhnya shalat ini, tidak pantas di dalamnya ada percakapan manusia, karena shalat itu hanyalah tasbih, takbir dan membaca Al-Qur’an.” ([29])

Hadits ini menunjukan bahwa sholat isinya adalah dzikir dan tilawah al-Qurán, dan tidak ada dalam sholat beribadah kepada Allah dengan sekedar diam (kecuali diam dalam rangka mendengarkan bacaan imam).

Demikian juga sabda Nabi :

إِنَّ المُؤْمِنَ إِذَا كَانَ فِي الصَّلاَةِ، فَإِنَّمَا يُنَاجِي رَبَّهُ

“Sesungguhnya seorang mukmin jika sedang sholat maka ia sedang bermunajat kepada Rabbnya”([30])

Dan namanya munajaat dalam bahasa arab adalah pembicaraan antara dua pihak. Karenanya hukum asal dalam sholat adalah berbicara dengan Allah baik dengan membaca al-Qurán atau dengan berdzikir dan berdoa, dan bukan dengan diam.

Hukum-hukum dalam Sujud Sahwi

Makmum lupa

Bagi makmum yang lupa dalam shalatnya maka tidak perlu melakukan sujud sahwi, kecuali dia mengikuti imam yang melakukan sujud sahwi, sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah,

إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَلَا تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ فَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا وَإِذَا صَلَّى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا أَجْمَعُونَ

“Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya imam hanya untuk diikuti, maka janganlah menyelisihnya. Apabila ia ruku’, maka ruku’lah. Dan bila ia mengatakan ‘sami’allahu liman hamidah’, maka katakanlah,’Rabbana walakal hamdu’. Apabila ia sujud, maka sujudlah. Dan bila ia shalat dengan duduk, maka shalatlah dengan duduk semuanya” ([31])

Dan juga disebabkan karena sujud sahwi hukumnya wajib bukan rukun, dan wajib akan gugur karena mengikuti imam, contohnya ketika ada makmum masbuk yang masuk pada raka’at ke 2, maka gugur baginya untuk tasyahhud awal, karena tasyahhud awal baginya ada pada raka’at ke 3 yang dilakukan imam, maka wajib baginya untuk bangkit bersama imam. ([32])

Cara menegur imam yang lupa

Apabila imam lupa maka boleh bagi makmum mengingatkan imam tersebut dengan mengucapkan tasbih”subhanallah” untuk lelaki dan menepuk tangan untuk wanita, berdasarkan hadits Abu Huroiroh,

«التَّسْبِيحُ لِلرِّجَالِ وَالتَّصْفِيقُ لِلنِّسَاءِ»

“tasbih untuk lelaki dan tepuk tangan untuk wanita” ([33])

Jika lupa sujud sahwi

Syaikh Bin Baz mengatakan bahwa orang yang meninggalkan sujud sahwi padahal dia tahu secara syar’i hukum sujud sahwi maka shalatnya batal, adapun orang yang tidak tahu hukumnya atau karena lupa maka sah shalatnya. ([34])

Akan tetapi ketika dia meninggalkan sujud sahwi karena lupa lalu teringat masih dalam waktu yang dekat maka baginya untuk melakukan sujud sahwi tersebut, apabila jedanya lama atau sudah keluar dari tempat shalatnya maka sujud sahwi tersebut gugur, sebagian ulama mengatakan tetap wajib walau terjeda dengan waktu yang sangat lama. ([35])

Lupa berulang kali dalam 1 sholat

Apabila seseorang lupa dalam shalatnya lebih dari 1 kali maka tidak wajib baginya kecuali 2 sujud sahwi saja, karena mengulang-ulang sujud sahwi tidak disyariatkan.

Makmum yang masbuq lalu mendapati imam melakukan sujud sahwi

Kondisi makmum masbuq ada 2 :

Pertama ; Jika ia mendapati rak’at yang di situ imam mengalami kelupaan, maka ini ada 2 kondisi :

  • Jika imam sujud sahwi sebelum salam maka ia tinggal ikut imam.
  • Jika imam sujud sahwi setelah salam maka ia tidak ikut salam apalagi sujud sahwinya imam. Karena kalau ikut salam berarti sholatnya ikut selesai. Akan tetapi, jika imam salam maka ia tidak salam namun melanjutkan sholatnya, setelah itu di penghujung sholat ia sujud sahwi sendiri setelah salam([36]).

Kedua : Jika ia mendapati rakaat yang imam tidak lupa di situ. Misalnya imam mengalami lupa di rakaat ke dua, sementara ia baru gabung bersama imam pada rakaat ketiga. Maka ini ada 2 kondisi :

  • Jika imam sujud sahwi sebelum salam maka ia tinggal ikut imam sujud sahwi sama imam. Ketika imam salam maka ia tidak salam dan melanjutkan sholatnya.
  • Jika imam sujud sahwi setelah salam, maka ketika imam salam ia tidak ikut salam tetapi ia melanjutkan sholatnya, dan di penghujung sholat ia tidak perlu sujud sahwi, karena ia tidak lupa, dan ketika gabung sama imam (sebagai masbuk) pada rakaat yang imam tidak lupa.

Hukum melaksanakan sujud sahwi menurut jumhur ulama adalah
Hukum melaksanakan sujud sahwi menurut jumhur ulama adalah
FOOTNOTE:

=============================================

([1]) Lihat: Lisanul ‘Arob 14/406 Karya Ibnu Manzhur

([2]) Lihat: Al-Iqna’ Lisy-Syirbiny 2/89

([3]) Para Ulama berbeda pendapat dalam masalah hukum sujud sahwi,

Pendapat pertama: wajibnya sujud sahwi dan ini adalah pendapat Hanafiyah dan Hanabilah berdasarkan hadits ‘Alqomah,

صَلَّى بِنَا عَلْقَمَةُ الظُّهْرَ خَمْسًا، فَلَمَّا سَلَّمَ، قَالَ الْقَوْمُ: يَا أَبَا شِبْلٍ قَدْ صَلَّيْتَ خَمْسًا، قَالَ: كَلَّا، مَا فَعَلْتُ، قَالُوا: بَلَى، قَالَ: وَكُنْتُ فِي نَاحِيَةِ الْقَوْمِ، وَأَنَا غُلَامٌ، فَقُلْتُ: بَلَى، قَدْ صَلَّيْتَ خَمْسًا، قَالَ لِي: وَأَنْتَ أَيْضًا، يَا أَعْوَرُ تَقُولُ ذَاكَ؟ قَالَ قُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ: فَانْفَتَلَ فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ، ثُمَّ سَلَّمَ، ثُمَّ قَالَ: قَالَ عَبْدُ اللهِ: «صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَمْسًا»، فَلَمَّا انْفَتَلَ تَوَشْوَشَ الْقَوْمُ بَيْنَهُمْ، فَقَالَ «مَا شَأْنُكُمْ؟» قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ هَلْ زِيدَ فِي الصَّلَاةِ؟ قَالَ: «لَا»، قَالُوا: فَإِنَّكَ قَدْ صَلَّيْتَ خَمْسًا، فَانْفَتَلَ، ثُمَّ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ، ثُمَّ سَلَّمَ، ثُمَّ قَالَ: «إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ أَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ» وَزَادَ ابْنُ نُمَيْرٍ فِي حَدِيثِهِ «فَإِذَا نَسِيَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ»

“Alqamah shalat Zhuhur mengimami kami lima rakaat, ketika dia mengucapkan salam, maka suatu kaum berkata, ‘Wahai Abu Syibl, kamu telah melakukan shalat lima rakaat!.’ Dia menjawab, ‘Tidak demikian, aku tidak melakukannya.’ Mereka berkata, ‘Ya, kamu telah melakukannya.’ Perawi berkata, ‘Aku berada di sujud suatu kaum, dan aku ketika itu masih kecil. Aku berkata, ‘Ya kamu telah shalat lima rakaat.’ Dia berkata kepadaku, ‘Dan kamu juga mengatakan demikian wahai A’war? ‘ Aku menjawab, ‘Ya.’ Lalu dia berpaling, lalu bersujud dua kali, kemudian mengucapkan salam. Kemudian dia berkata, ‘Abdullah berkata, ‘Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam shalat mengimami kami lima rakaat. Ketika beliau berpaling maka kaum tersebut menggumam di antara mereka, maka beliau bertanya, ‘Ada apa dengan kalian? ‘ Mereka menjawab, ‘Wahai Rasulullah, apakah rakaat dalam shalat ditambahkan? ‘ Beliau menjawab, ‘Tidak.’ Mereka berkata, ‘Sesungguhnya kamu telah melakukan shalat lima rakaat.’ Lalu beliau berpaling kemudian sujud dua kali, kemudian mengucapkan salam. Kemudian beliau bersabda, ‘Aku hanyalah manusia biasa yang bisa lupa sebagaimana kalian juga bisa lupa.’ Ibnu Numair menambahkan dalam hadisnya, ‘Apabila salah seorang dari kalian lupa, hendaklah dia bersujud dua kali.” HR. Muslim No. 572

Sisi pendalilannya adalah dalam hadits terkandung perintah “hendaklah dia bersujud dua kali” dan perintah konsekuensinya untuk sesuatu yang wajib.

Pendapat kedua: sujud sahwi adalah sunnah, dan ini pendapat madzhab malikiyah, sama saja dikerjakan sebelum salam atau setelahnya, dan ini adalah yang terkenal dalam madzhab malikiyah, dan dikatakan dalam madzhab malikiyah bahwa sujud sahwi hukumnya wajib untuk yang terletak sebelum salam dan sunnah untuk yang setelah salam. Dan juga Madzhab Syafi’iyah mengatakan bahwa sujud sahwi sunnah berdalil dengan sabda Rasulullah, berdasarkan hadits Abu Said al-Khudri radhiyallahu anhu secara marfu’:

إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلْيُلْقِ الشَّكَّ، وَلْيَبْنِ عَلَى الْيَقِينِ، فَإِذَا اسْتَيْقَنَ التَّمَامَ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ، فَإِنْ كَانَتْ صَلَاتُهُ تَامَّةً كَانَتِ الرَّكْعَةُ نَافِلَةً وَالسَّجْدَتَانِ وَإِنْ كَانَتْ نَاقِصَةً كَانَتِ الرَّكْعَةُ تَمَامًا لِصَلَاتِهِ، وَكَانَتِ السَّجْدَتَانِ مُرْغِمَتَيِ الشَّيْطَانِ

“jika kalian ragu dalam sholatnya, maka buanglah keraguan dan bersandarlah kepada hal yang yakin. Jika telah selesai sholatnya, lalu sujud dengan dua kali sujud. Jika sholatnya ternyata telah sempurna, maka rakaat (tambahan( adalah sebagai nafilah dan (begitu juga) dua sujudnya, namun jika memang jumlah rakaat sholatnya kurang, maka rakaatnya tambahannya tadi sebagai penyempurna dan dua sujud sahwinya,  dan juga sebagai penghinaan terhadap syaithon”. (HR. Abi Dawud no. 1024, dan مُرْغِمَة artinya penghinaan Lihat: Syarh Sunan Abi Dawud 1/323).

Sisi pendalilannya adalah sabda Rasulullah “Maka rakaat adalah sebagai nafilah dan (begitu juga) dua sujudnya”. Karena nafilah artinya sunnah, yaitu sesuatu ibadah yang dikerjakan yang tidak diwajibkan baginya sebagaimana dikatakan

تَنْفَلِت إذا صليت غير الْفَرْض

Aku melakukan nafilah apabila aku shalat bukan shalat wajib”.  (Lihat Ghoriibul Hadits Libni Qutaibah 1/229).

Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang menyatakan wajibnya sujud sahwi dari perkara yang apabila ditinggalkan secara sengaja maka batal shalatnya, dan ini berdasarkan beberapa alasan:

  1. Karena dalam hadits ketika menyebutkan tentang sujud sahwi menggunakan bentuk perintah “فَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ” dan perintah asalnya untuk wajib.
  2. Adapun hadits Abu Sa’id Al-Khudry diatas

كَانَتِ الرَّكْعَةُ نَافِلَةً وَالسَّجْدَتَانِ

Maka lafaz ini tidak ada dalam shohih, karena yang ada dalam kitab shohih adalah sebagai berikut

إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ، فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا، فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ، ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ، فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلَاتَهُ، وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا لِأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ

“Apabila salah seorang di antara kalian merasa ragu dalam shalatnya dan dia tidak tahu berapa raka’at dia shalat, tiga atau empat raka’at, maka hendaknya dia membuang keraguan tersebut dan hendaknya dia mengerjakan sesuai dengan apa yang diyakininya, kemudian sujud dua kali sebelum salam. Jika dia ternyata shalat lima raka’at, maka shalatnya tersebut akan menjadi syafaat baginya, sedangkan jika ternyata dia shalat tepat empat raka’at, maka kedua sujudnya bisa membuat marah syaitan”. (HR Muslim no 571)

  1. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah pun menguatkan akan wajibnya sujud sahwi berdasarkan adanya perintah dalam hadits dan juga Rasulullah tidak pernah meninggalkan sujud sahwi. (Lihat Majmu’ Al-Fatawa 23/28).

([4]) Diantara para ulama yang menyatakan hal ini adalah :

Pertama : Ibnu Abdilbarr (dari madzhab Maliki). Setelah menyebutkan khilaf ulama tentang posisi sujud sahwi, beliau berkata :

وَكُلُّ هَؤُلَاءِ يَقُولُ إِنَّ الْمُصَلِّيَ لَوْ سَجَدَ بَعْدَ السَّلَامِ لَمْ يَضُرَّهُ وَكَذَلِكَ لَوْ سَجَدَ بَعْدَ السَّلاَمِ فِيْمَا قَالُوا فِيهِ السُّجُودُ قَبْلَ السَّلَامِ لَمْ يَضُرَّهُ ولم يَكُنْ عَلَيْهِ شَيْءٌ

“Dan mereka seluruhnya mengatakan bahwa jika seorang yang sholat sujud sahwi setelah salam maka tidak mengapa, demikian juga kalau ia sujud sahwi setelah salam pada kondisi yang menurut mereka semestinya sebelum salam maka tidak mengapa, dan tidak wajib baginya apapun” (Al-Istidzkaar 1/518)

Kedua : Al-Maawardi (dari madzhab Syafií) berkata :

لَا خِلَافَ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ أَنَّ سُجُودَ السَّهْوِ جَائِزٌ قَبْلَ السَّلَامِ، وَبَعْدَهُ وَإِنَّمَا اخْتَلَفُوا فِي الْمَسْنُونِ

“Tidak ada khilaf (perselisihan) di kalangan para fuqoha (ahli fikih) bahwasanya sujud sahwi boleh seblum salam atau sesudah salam, mereka hanyalah berselisih tentang mana yang disunnahkan (dianjurkan)” (Al-Haawi al-Kabiir 2/214)

Demikian juga An-Nawawi menukilkan ijmak akan hal ini (lihat Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 5/56-57)

Ketiga : Al-Mirdaawi (dari madzhab Hanbali), beliau berkata :

مَحَلُّ الْخِلَافِ فِي سُجُودِ السَّهْوِ: هَلْ هُوَ قَبْلَ السَّلَامِ، أَوْ بَعْدَهُ، … أَوْ مَا كَانَ مِنْ زِيَادَةٍ أَوْ نَقْصٍ؟ عَلَى سَبِيلِ الِاسْتِحْبَابِ وَالْأَفْضَلِيَّةِ، فَيَجُوزُ السُّجُودُ بَعْدَ السَّلَامِ إذَا كَانَ مَحَلُّهُ قَبْلَ السَّلَامِ وَعَكْسُهُ

“Yang menjadi topik perselisihan tentang sujud sahwi apakah sebelum salam ataukah sesudah salam….atau karena tambahan atau pengurangan?, yaitu mana yang disunnahkan dan yang lebih afdhol. Maka boleh sujud sahwi sesudah salam meski yang seharusnya sebelum salam dan sebaliknya”(Al-Inshoof 2/155)

Adapun khilaf yang timbul di kalangan para ulama sampai pada tingkatan sah atau tidak sah, maka itu khilaf yang muncul belakangan setelah terjadi ijmak. (Lihat penjelasan Ibnu Hajar di Fathul Baari 3/95)

([5]) Para Ulama berbeda pendapat dalam letak posisi sujud sahwi dalam shalat;

Pendapat pertama: bahwa sujud sahwi terletak setelah salam secara mutlak, dan ini adalah pendapat Hanafiyah mereka berdalil dengan hadits Tsauban:

«لِكُلِّ سَهْوٍ سَجْدَتَانِ بَعْدَ مَا يُسَلِّمُ»

“setiap kali lupa diganti dengan dua sujud setelah salam”. (HR. Abu dawud dan no. 1038. Baihaqy no. 3822, Ahmad no. 22417)

Pendapat kedua: sujud sahwi terletak sebelum salam, dan ini adalah pendapat syafi’iyah dalam qoul jadid berdasarkan hadits Abdullah bin buhainah ketika Rasulullah meninggalkan tasahhud awal karena lupa pada shalat zhuhur,

وَسَجَدَ وَهُوَ جَالِسٌ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ

“Dan beliau sujud sahwi dalam keadaan duduk sebelum salam”. (HR Al-Bukhari no 1230).

Dan Hanabilah berdasarkan pendapat yang mu’tamad dalam madzhab mereka juga sama dengan pendapat syafi’iyah, akan tetapi mereka mengecualikan 2 keadaan yang menyebabkan sujud sahwi terletak setelah salam:

  1. Ketika pengurangan 1 raka’at atau lebih.
  2. Ketika ragu antara 2 raka’at lalu mencari mana yang lebih kuat menurutnya.

Pendapat ketiga : membedakan antara sujud sahwi karena sebab penambahan dan pengurangan, apabila karena penambahan maka sujud sahwi terletak setelah salam, adapun apabila karena pengurangan maka sujud sahwi sebelum salam, dan ini adalah pendapat malikiyah, berdasarkan hadits Abdullah Bin Buhainah,

«إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ مِنَ اثْنَتَيْنِ مِنَ الظُّهْرِ لَمْ يَجْلِسْ بَيْنَهُمَا، فَلَمَّا قَضَى صَلاَتَهُ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ، ثُمَّ سَلَّمَ بَعْدَ ذَلِكَ»

“sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dari raka’at kedua dari shalat zhuhur dan tidak duduk diantara keduanya (duduk tasyahhud awal) kemudian sujud 2 kali ketika diakhir shalatnya kemudian salam” (HR. Bukhori no. 1225)

Adapun dalil ketika menambah melakukan sujud setelah salam berdasarkan hadits Abdullah Ibnu Mas’ud,

صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَمْسًا فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَزِيدَ فِي الصَّلاةِ قَالَ وَمَا ذَاكَ قَالُوا صَلَّيْتَ خَمْسًا قَالَ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ أَذْكُرُ كَمَا تَذْكُرُونَ وَأَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ ثُمَّ سَجَدَ سَجْدَتَيْ السَّهْوِ

“Rasulullah mengimami kami dalam shalat 5 raka’at, lalu kami berkata: “wahai Rasulullah, apakah shalat telah ditambah?”, Lalu beliau menjawab: “apa itu?”, lalu mereka berkata: “ engkau telah shalat 5 raka’at”, beliau berkata: sesungguhnya aku manusia seperti kalian, aku ingat sebagai mana kalian ingat, dan aku lupa sebagaimana kalian lupa, lalu beliau sujud sahwi 2 kali”

Dari hadits ini Rasulullah hanya melakukan sujud sahwi setelah salam karena adanya tambahan raka’at yaitu raka’at kelima.

([6]) Dalil akan hal ini adalah:

Pertama : Berdasarkan perbuatan Rasulullah yang dijelaskan dalam hadits Abdullah bin Mas’ud,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الظُّهْرَ خَمْسًا، فَقِيلَ لَهُ: أَزِيدَ فِي الصَّلاَةِ؟ فَقَالَ: «وَمَا ذَاكَ؟» قَالَ: صَلَّيْتَ خَمْسًا، فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ بَعْدَ مَا سَلَّمَ

bahwasanya Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- shalat zhuhur 5 raka’at, kemudian ditanyakan: “apakah shalat telah ditambah?”, lalu beliau bertanya: “apa itu?”, lalu dijawab: engkau telah shalat 5 raka’at, kemudian beliau sujud 2 kali setelah salam. (HR. Bukhori no. 1226)

Kedua : Hadits Abu Hurairah (yang dikenal dengan hadits Dzulyadain), beliau berkata :

صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِحْدَى صَلاَتَيِ العَشِيِّ فَصَلَّى بِنَا رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ سَلَّمَ، فَقَامَ إِلَى خَشَبَةٍ مَعْرُوضَةٍ فِي المَسْجِدِ، فَاتَّكَأَ عَلَيْهَا كَأَنَّهُ غَضْبَانُ، وَوَضَعَ يَدَهُ اليُمْنَى عَلَى اليُسْرَى، وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ، وَوَضَعَ خَدَّهُ الأَيْمَنَ عَلَى ظَهْرِ كَفِّهِ اليُسْرَى، وَخَرَجَتِ السَّرَعَانُ مِنْ أَبْوَابِ المَسْجِدِ، فَقَالُوا: قَصُرَتِ الصَّلاَةُ؟ وَفِي القَوْمِ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ، فَهَابَا أَنْ يُكَلِّمَاهُ، وَفِي القَوْمِ رَجُلٌ فِي يَدَيْهِ طُولٌ، يُقَالُ لَهُ: ذُو اليَدَيْنِ، قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَنَسِيتَ أَمْ قَصُرَتِ الصَّلاَةُ؟ قَالَ: «لَمْ أَنْسَ وَلَمْ تُقْصَرْ» فَقَالَ: «أَكَمَا يَقُولُ ذُو اليَدَيْنِ» فَقَالُوا: نَعَمْ، فَتَقَدَّمَ فَصَلَّى مَا تَرَكَ، ثُمَّ سَلَّمَ، ثُمَّ كَبَّرَ وَسَجَدَ مِثْلَ سُجُودِهِ أَوْ أَطْوَلَ، ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ وَكَبَّرَ، ثُمَّ كَبَّرَ وَسَجَدَ مِثْلَ سُجُودِهِ أَوْ أَطْوَلَ، ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ وَكَبَّرَ، فَرُبَّمَا سَأَلُوهُ: ثُمَّ سَلَّمَ؟ فَيَقُولُ: نُبِّئْتُ أَنَّ عِمْرَانَ بْنَ حُصَيْنٍ، قَالَ: ثُمَّ سَلَّمَ

”Rasulullah mengimami kami salah satu sholat siang (yaitu sholat dzuhur atau ashar -pen), maka beliau mengimami kami dua raka’at kemudian salam, lalu Rasulullah berdiri menuju sebuah kayu yang melintang di dalam masjid. Kemudian beliau bersandar diatasnya seakan-akan beliau sedang murka. Rasulullah meletakkan tangan kanannya diatas tangan kirinya dan beliau menjalin jari jemarinya dan meletakkan pipi kanannya di atas punggung telapak tangan kirinya. Orang-orang yang tergesa-gesa keluar dari pintu-pintu masjid dan mereka berkata: ”Apakah shalatnya diqoshor”. Di dalam kaum itu terdapat Abu Bakar dan Umar, namun keduanya segan untuk bertanya kepadanya. Ada seseorang yang mempunyai tangan yang panjang, ia disebut Dzul yadain, ia bertanya kepada Rasulullah: “Ya Rasulullah apakah engkau lupa ataukah shalatnya diqoshor?”. Rasulullah menjawab: ” aku tidak lupa, dan shalat nya tidak di qoshor”. Lalu Rasulullah bertanya (kepada orang-orang yang hadir): “Apakah seperti yang dikatakan Dzul Yadain?”. Para shahabat menjawab: “Benar”. Maka Rasulullah maju lalu shalat (melakukan) apa yang beliau telah tinggalkan, kemudian salam. Lalu, beliau bertakbir dan bersujud seperti sujudnya (dalam shalat) atau lebih lama. Kemudian beliau mengangkat kepala dan takbir lalu sujud sebagaimana beliau bersujud atau lebih lama, kemudian beliau mengangkat kepala dan bertakbir. Para sahabat ada yang bertanya: “apakah Rasulullah mengucapkan salam?”. Abi Huroiroh berkata:” Aku diberitahu bahwa Imron bin Hushoin berkata: Rasulullah mengucapkan salam“. (HR. Bukhori no. 482)

Dan sujud sahwi dalam hadits ini disebabkan karena penambahan salam ditengah shalatnya bukan karena pengurangan sebagaimana persangkaan kebanyakan orang, karena kekurangannya sudah Rasulullah sempurnakan setelah diingatkan oleh Dzulyadain.

([7]) Ada perbedaan pendapat dalam masalah ketika seseorang meninggalkan sebuah rukun,

Pertama: Ketika dia ingat setelah membaca alfatihah pada raka’at berikutnya maka raka’atnya sebelumnya dianggap batal dan tidak dihitung, contohnya apabila seseorang shalat di rakaat pertama dan pada sujud pertama dia langsung bangkit ke raka’at ke 2 dan dia meninggalkan 2 rukun: yaitu duduk diantara 2 sujud dan sujud yang kedua, ketika dia bangkit dan membaca al-fatihah maka raka’at yang pertama batal dan tidak dianggap, dan raka’at ke 2 tersebut dihitung sebagai raka’at pertama. Namun apabila dia ingat sebelum sempurna berdiri atau teringat sebelum membaca al-fatihah pada raka’at ke 2 maka wajib baginya kembali pada posisi yang ia tinggalkan. Dan ini adalah pendapat Hanabilah.

Kedua: Hampir sama dengan pendapat pertama, hanya saja ada perbedaan dalam batasan kapan dianggap raka’at sebelumnya batal, dan pendapat kedua ini mengatakan raka’at sebelumnya batal ketika dia sampai posisi yang sama seperti yang ia tinggalkan pada raka’at setelahnya, contohnya apabila seseorang shalat di rakaat pertama dan ketika sujud pertama dia langsung bangkit ke raka’at ke 2 dan dia meninggalkan 2 rukun: yaitu duduk diantara 2 sujud dan sujud yang kedua, ketika dia bangkit dan membaca al-fatihah atau sebelum posisi duduk diantara dua sujud maka wajib bagi dia untuk kembali pada rukun yang ia tinggalkan. Namun apabila dia ingat ketika sudah sampai posisi duduk diantara 2 sujud (posisi yang tertinggal pada raka’at pertama) maka raka’at yang pertama dianggap batal dan tidak terhitung, dan raka’at kedua tersebut dihitung sebagai raka’at pertama dan ini adalah pendapat Syafi’iyyah.

Ketiga: Apabila meninggalkan sebuah rukun dan masih mungkin didapatkan dengan mengqodho, maka baginya mengqodho, dan apabila tidak mengqodho maka shalatnya tidak sah. Dan ini adalah pendapat Hanafiyah. Dan disebutkan dalam Al-Bahrur Roiq bahwa apabila seseorang meninggalkan sujud dan teringat ketika di raka’at terakhir maka wajib baginya untuk mengqodho sujud tersebut setelah salam lalu sujud sahwi karena telah meninggalkan tartib (urutan) dalam shalat, dan tidak perlu baginya untuk mengulang gerakan setelah sujud yang tertinggal.

Keempat: Ketika dia ingat sebelum ruku’ pada raka’at berikutnya maka baginya untuk kembali kepada rukun tersebut dan ini adalah pendapat Malikiyah. Dan apabila teringat setelah ruku maka raka’at sebelumnya batal dan tidak dianggap.

Dan pendapat kedua ini adalah pendapat yang benar karena rukun-rukun shalat disyaratkan untuk dilakukan secara berurutan, dan setiap rukun yang berada setelah rukun yang tertinggal maka dia terletak bukan pada tempatnya, maka diwajibkan untuk kembali kepada rukun yang tertinggal baru melanjutkan kepada rukun-rukun yang lain, adapun ketika teringat pada rukun yang sama pada dengan rukun yang tertinggal pada raka’at berikutnya maka tidak wajib baginya untuk kembali, karena tidak ada faidahnya dia kembali pada posisi yang pertama, karena walaupun dia kembali maka dia kembali pada posisi yang sama.

([8]) Hal ini karena ketika ia meninggalkan rukun sujud ke dua di rakaat ketiga, lalu ia melanjutkan sholatnya di rakaat ke-4 hingga sampai sujud kedua di rakaat ke-4 (dan inilah rukun yang ia tinggalkan di rakaat ke-3), maka ketika itu rakaat ketiganya dianggap batal. Karenanya ketika ia ingat setelah salam ia harus mengulangi rakaat ke-3 dari awal, bukan mengulangi pada rukun yang ia tinggalkan (sujud kedua).

([9]) HR. Abu Dawud no. 872, terjadi perbedaan pendapat apabila seseorang yang telah tegak berdiri lalu kembali keposisi duduk tasyahhud:

  1. Shalatnya batal, ini adalah pendapat hanafiyah, syafi’iyyah, dan sahbub dari malikiyyah. Mereka berdalil dengan hadits mughiroh bin syu’bah, karena di hadits tersebut terdapat larangan “hendaknya ia tidak duduk” dan asal larangan untuk pengharaman. Dan juga yang menjadi alas an mereka adalah bahwa orang yang sudah tegak berdiri maka dia sudah mendatangi sebah rukun, maka rukun tersebut tidak boleh dibatalkan oleh sebuah yang wajib ataupun yang sunnah.
  2. Malikiyyah dan hanabilah berpendapat tidak batal shalatnya, akan tetapi ketika kembali maka ini buruk, adapun hanabilah membedakan antara ketika sudah mulai membaca al-fatihah dan belum, ketika berdiri lalu kembali dan dia dia belum memulai membaca maka ini makruh dan tidak membatalkan shalatnya, akan tetapi ketika sudah mulai membaca maka shalatnya batal.

([10]) HR. Bukhori no. 1225

([11]) Lihat: Asy-Syarhul Mumti’ ‘Alaa Zaadil Mustaqni’ 3/378-379

([12]) HR Muslim no. 571

([13]) HR.Al-Bukhâri no. 401

([14]) Al-Majmuu’ 4/161, lihat juga pernyataan Ibnu Qudamah al-Hanbali Asy-Syarh al-Kabiir (4/96)

([15]) Memang ada perbedaan pendapat dalam masalah tasyahhud setelah sujud sahwi;

Pendapat pertama: bahwasanya ada tasyahhud setelah sujud sahwi yang terletak sebelum salam atau setelah salam, ini adalah pendapat Al-Laitsy dan Al-Buwaithy.

Pendapat kedua: tidak ada tasyahhud setelah sujud sahwi juga tidak ada salam, ini adalah pendapat Anas, Al-Hasan, dan ‘Atho.

Pendapat ketiga: tidak ada tasyahhud untuk sujud sahwi sebelum salam adapun setelah sujud sahwi salam maka ada tasyahhud, dan ini adalah salah satu perkataan Imam Ahmad juga diambil oleh sahabat Ibnu Mas’ud, An-Nakhoi, Qotadah, Al-Hakam, Hammad, Ats-Tsaury, Asy-Syafi’I, Al-Awza’I, dan ashabur ro’yi.

Pendapat keempat: tidak ada tasyahhud untuk sujud sahwi setelah atau sebelum salam, dan ini ada pendapat Ibnul Mundzir, Al-Baihaqy, dan juga Ibnu Sirin. (lihat: Al-Mughni Libni Qudamah 2/27, Fathul Bari Libni Hajar 3/98)

Perbedaan pendapat ini disebabkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ فَارِسٍ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُثَنَّى، حَدَّثَنِي أَشْعَثُ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ، عَنْ خَالِدٍ يَعْنِي الْحَذَّاءَ، عَنْ أَبِي قِلَابَةَ، عَنْ أَبِي الْمُهَلَّبِ، عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ، «أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِهِمْ فَسَهَا، فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ، ثُمَّ تَشَهَّدَ، ثُمَّ سَلَّمَ»

“bahwasanya Nabi mengimami mereka (para sahabat) lalu lupa, kemudian sujud sahwi 2 kali, bertasyahhud, lalu salam.” HR. Abu dawud no. 1039

Hadits ini dikatakan oleh Abu Dawud dan At-Tirmidzi sebagai hadits hasan ghorib, dan Al-Hakim mengatakan hadits ini shohih sesuai dengan syarat Imam Bukhori Dan Imam Muslim,

Akan tetapi sebagian ulama melemahkan tambahan “tasyahhada” yang diriwayatkan oleh Asy’Ats karena dia menyelihi perowi-perowi yang lain yang sama-sama meriwayatkan dari Ibnu Sirin dalam hadits Imron Bin Hushoin,

Dan juga As-Sarroj dari jalur Salamah Bin ‘Alqomah dalam kisah ini, aku bertanya kepada Ibnu Sirin: “adapun tasyahhud?”, lalu Ibnu Sirin menjawab: “aku tidak pernah mendengar sedikitpun tentang tasyahhud.”

Begitu juga yang riwayat yang dihafal dari Kholid Al-Hadzdza dengan sanad ini dalam hadits Imron Bin Husoin tidak ada didalamnya penyebutan tasyahhud sebagaimana yang dikeluarkan oleh Imam Muslim, maka tambahan “tasyahhud” yang berasal dari Asy’ats dihukumi syadz. Inilah yang menyebabkan Ibnul Mundzir berkata: aku tidak menganggap adanya hadits shohih dalam tasyahhud di sujud sahwi.

Akan tetapi ada hadits selain dari Imron Bin Husoin yang menjelaskan tentang tasyahhud dpada sujud sahwi, yaitu hadits Ibnu Mas’ud yang dikeluarkan oleh Abu Dawud dan juga hadits Al-Mughiroh yang dikeluarkan oleh Al-Baihaqy, akan tetapi semuanya lemah. Lihat Fathul Bari Libni Hajar 3/99

([16]) Akan datang penjelasannya sebentar lagi

([17]) Akan datang penjelasannya sebentar lagi

([18]) Peringatan : Tidak perlu bertakbirotul ihrom lagi untuk sujud yang terletak setelah salam.

Jumhur ulama berpendapat bahwasanya ketika sujud sahwi setelah salam cukup bertakbir untuk sujud saja, tidak perlu mengulang takbirotul ihrom berdasarkan zhohir hadits yang sudah berlalu yang tidak ada penyebutan takbirotul ihrom untuk sujud sahwi yang terletak setelah salam, berdasarkan hadits Ibnu Buhainah,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ فِي الثِّنْتَيْنِ مِنَ الظُّهْرِ فَلَمْ يَجْلِسْ، فَلَمَّا قَضَى صَلَاتَهُ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ كَبَّرَ فِي كُلِّ سَجْدَةٍ وَهُوَ جَالِسٌ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ، وَسَجَدَهُمَا النَّاسُ مَعَهُ مَكَانَ مَا نَسِيَ مِنَ الْجُلُوسِ

“Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit pada raka’at kedua dari shalt zhuhur dan tidak melakukan duduk (tasyahhud awal karena lupa), setelah menyelesaikan shalatnya beliau sujud sahwi 2 kali dan bertakbir setiap sujudnya dalam keadaan beliau duduk sebelum melakukan salam, kemudian orang-orang pun ikut bersujud bersamanya sebagai pengganti dari duduk (tasyahhud awal) yang terlupakan.” (HR. An-Nasaí no. 1261)

Al-Qurthuby menghikayatkan dari perkataan Imam Malik bahwasanya setiap sujud yang diselingi oleh salam maka  harus didahului dengan takbirotul ihrom, dengan bersandarkan dengan hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dari jalur Hammad Bin Zaid dari Hisyam dari Hassan dari Ibnu Sirin yang didalamnya disebutkan adanya takbirotul ihrom untuk sujud sahwi yang terletak setalh salam, akan tetapi Abu dawud berkata tidak satu orangpun yang meriwayatkan takbirotul ihrom untuk sujud sahwi setelah salam kecuali Hammad dan mengisyaratkan akan syadznya tambahan takbirotul ihrom ini.

([19]) Al-Majmuu’ 4/161, lihat juga pernyataan Ibnu Qudamah al-Hanbali Asy-Syarh al-Kabiir (4/96)

([20]) HR Abu Daud 1/230 no. 871

([21]) HR. Abu Daud 1/230 no. 870   

([22]) HR. Muslim 1/353 no. 487 dan Ahmad dalam musnadnya 40/73 no 24063

([23]) Lihat Fatawa al-Lajnah Ad-Daaimah 6/445 no 10518

([24]) Mughni al-Muhtaaj 1/438

([25]) Lihat Fataawa al-Lajnah ad-Daaimah 6/445 no 10518

([26]) Lihat: Asnal Matholib Fii Syarhi Roudhit Tholib 1/195

([27]) At-Talkhish Al-Habir 2/12

([28]) Mughni al-Muhtaaj 1/439

([29]) HR. Muslim, no. 537

([30]) HR Al-Bukhari no 413 dan Muslim no 551

([31]) HR. Bukhari no. 378 dan Muslim no. 412

([32]) Lihat: Asy-Syarhul Mumti’ ‘Alaa Zaadil Mustaqni’ 3/387

([33]) HR. Muslim no. 422, adapun madzhab imam malik maka wajib bagi lelaki dan wanita untuk bertasbih berdasarkan keumuman hadits

مَنْ نَابَهُ شَيْءٌ فِي صَلَاتِهِ، فَلْيَقُلْ: سُبْحَانَ اللَّهِ

“barang siapa yang ditimpa sesuatu (lupa) dalam shalatnya maka ucapkanlah subhanallah” Hr bukhori 1218.

Sisi pendalilannya adalah karena مَنْ disini umum mencakup lelaki dan wanita

Akan tetapi yang lebih kuat adalah untuk wanita bertepuk tangan, karena dalam hadits ini terdapat sebelumnya lafaz

إِنَّمَا التَّصْفِيحُ لِلنِّسَاءِ، مَنْ نَابَهُ شَيْءٌ فِي صَلاَتِهِ فَلْيَقُلْ: سُبْحَانَ اللَّهِ

Sesungguhnya tepuk tangan hanya untuk wanita, barang siapa ditimpa sesuatu (lupa) dalam shalatnya maka ucapkanlah “subhanallah”. Hr Bukhori 1218.

Dalam lafaz lain,

إِنَّمَا التَّصْفِيقُ لِلنِّسَاءِ،

“bertepuktangan hanya untuk wanita”. Hr Bukhori 1234.

([34]) https://binbaz.org.sa/fatwas/10866/%D8%AD%D9%83%D9%85-%D8%B5%D9%84%D8%A7%D8%A9-%D9%85%D9%86-%D8%AA%D8%B1%D9%83-%D8%B3%D8%AC%D9%88%D8%AF-%D8%A7%D9%84%D8%B3%D9%87%D9%88

([35]) Lihat: Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah At-Turkiyah 24/240

([36]) Lihat: Lihat Risalah Fii Sujudis Sahwi Karya Syaikh Utsaimin