Revolusi hijau Dalam pembahasan ini kita akan melihat gerakan revolusi hijau, Dalam hal ini termasuk penerapan, kritik, dan dampaknya, jadi silakan simak ulasan berikut untuk pemahaman dan pemahaman yang lebih baik. Pada artikel ini, saya akan menjelaskan pengertian Revolusi Hijau, Revolusi Hijau, dan dampak positif dan negatif dari Revolusi Hijau. Seperti yang Anda ketahui, pertumbuhan penduduk dunia terus meningkat dari waktu ke waktu, terutama di negara-negara berkembang. Tentu saja keadaan ini harus dibarengi atau didukung dengan peningkatan pangan. Hal ini berdasarkan pernyataan Thomas Robert Malthus, dan harus diakui bahwa kapasitas sumber daya alam sebagai penghasil pangan terbatas. Untuk itu diperlukan upaya pengembangan sumber daya alam (SDA) yang digunakan dalam pengembangan produksi pangan. Memahami revolusi hijau Pengertian Revolusi Hijau adalah upaya pengembangan teknologi pertanian untuk meningkatkan produksi pangan. Transisi dari pertanian teknologi tradisional ke pertanian mutakhir atau modern. Revolusi Hijau diprakarsai oleh Ford dan Rockefeller Foundation. Yayasan Rockefeller mengembangkan gandum di Meksiko (1950) dan beras di Filipina (1960). Revolusi Hijau berfokus pada kredit seperti beras, jagung dan gandum. (Sereal adalah tanaman gandum). Revolusi Hijau didasarkan pada empat pilar penting: Pasokan air dengan sistem irigasi, Penggunaan pupuk kimia secara optimal, Aplikasi pestisida berdasarkan tingkat serangan hama Penggunaan varietas unggul sebagai bahan tanam berkualitas tinggi. Penerapan teknik non-tradisional ini menggandakan hasil tanaman pangan dan memungkinkan padi ditanam tiga kali setahun di lokasi tertentu. Revolusi Hijau Indonesia Di negara kita, Indonesia, Revolusi Industri telah terjadi melalui perluasan dan penguatan pertanian. Area yang terbatas, menyebabkan perkembangan eskalasi lebih lanjut. Penguatan dilakukan melalui Panca Usaha Tani (5 peternakan). Baca Juga : Pengertian Hedonisme Adalah Teknologi pengolahan lahan pertanian Pengaturan irigasi Pemupukan Pemberantasan parasit Penggunaan benih yang baik Dampak revolusi hijau Konsekuensi dari satu metode memang memiliki efek positif dan negatif, dan Revolusi Hijau berikutnya juga memiliki efek positif dan negatif pada Revolusi Hijau. Dampak positif Revolusi Hijau Peningkatan produksi beras dan gandum meningkatkan kepuasan pangan (karbohidrat). Contoh Indonesia sendiri adalah Indonesia yang mengimpor beras untuk swasembada. Dampak negatif dari Revolusi Hijau adalah: Penurunan produksi protein akibat pengembangan padi-padian (sebagai sumber karbohidrat) tidak sejalan dengan pengembangan sumber pangan protein, dan lahan pertanian diubah menjadi sawah. Penurunan keanekaragaman hayati. Dengan penggunaan pupuk yang terus menerus, tanaman menjadi tergantung pada pupuk. Penggunaan pestisida menyebabkan munculnya strain parasit baru yang resisten. Revolusi Hijau telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang serius dan telah dikritik oleh para pemangku kepentingan yang sadar akan kelestarian lingkungan. Dari pihak yang mendukung Revolusi Industri, mereka mengatakan kerusakan tersebut bukan karena Revolusi Industri, melainkan akses teknologi yang tidak mengikuti aturan yang telah ditetapkan. Revolusi Hijau telah dikritik dengan meningkatnya kesadaran akan kelestarian lingkungan karena menyebabkan kerusakan lingkungan yang serius. Di pihak pendukungnya, kerusakan tersebut terlihat bukan karena Revolusi Hijau, tetapi karena penggunaan teknologi yang berlebihan yang tidak mempertimbangkan aturan yang telah ditetapkan. Selain kritik di atas, terdapat kritik bahwa Revolusi Hijau tidak berdampak substansial di kawasan Afrika dan karenanya tidak dapat menjangkau semua tingkatan negara berkembang. Dapat dipastikan bahwa Revolusi Hijau hanya menguntungkan para produsen pupuk, pestisida, benih, serta petani bermodal kuat.Demikian informasi mengenai revolusi hujau secara umum. Semoga bermanfaat dan bisa menambah wawasan temen-temen semua. Terimakasih. Baca Juga : Sejarah Romusha dan Masuknya Jepang ke Indonesia Revolusi Hijau adalah sebutan tidak resmi yang dipakai untuk menggambarkan perubahan fundamental dalam penggunaan teknologi budidaya pertanian yang dimulai pada tahun 1950-an hingga 1980-an di banyak negara berkembang, terutama di Asia. Hasil yang nyata adalah tercapainya swasembada sejumlah bahan pangan di beberapa negara yang sebelumnya selalu kekurangan persediaan pangan (pokok), seperti India, Bangladesh, Tiongkok, Vietnam, Thailand, serta Indonesia, untuk menyebut beberapa negara. Norman Borlaug, penerima penghargaan Nobel Perdamaian 1970, adalah orang yang dipandang sebagai konseptor utama gerakan ini. Revolusi Hijau merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut sebuah program peningkatan produksi pangan per hektar lahan yang dimulai pertama kali di Meksiko pada 1940-an.[1] Revolusi hijau diawali oleh Ford dan Rockefeller Foundation, yang mengembangkan gandum di Meksiko (1950) dan padi di Filipina (1960).[2] Selanjutnya bukan hanya beras dan gandum saja yang produksinya ditingkatkan dengan mekanisme revolusi hijau,melainkan juga sorgum, jagung, millet, ubi bayu, dan buncis.[3] Konsep Revolusi Hijau yang di Indonesia dikenal sebagai gerakan Bimas (bimbingan masyarakat) adalah program nasional untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya swasembada beras.[4] Tujuan tersebut dilatarbelakangi mitos bahwa beras adalah komoditas strategis baik ditinjau dari segi ekonomi, politik dan sosial. Gerakan Bimas berintikan tiga komponen pokok, yaitu penggunaan teknologi yang sering disebut Panca Usaha Tani, penerapan kebijakan harga sarana dan hasil reproduksi serta adanya dukungan kredit dan infrastruktur.Gerakan ini berhasil menghantarkan Indonesia pada swasembada beras.
Revolusi hijau memiliki dampak positif dan dampak negatif. Dari sisi positifnya, revolusi hijau ini mampu meningkatkan produksi pangan pokok seperti padi dan gandum. Kedua jenis bahan makanan ini hingga sekarang masih masuk dua makanan pokok yang paling banyak dikonsumsi masyarakat dunia.[6] Dengan melihat proyeksi pertumbuhan penduduk yang condong di kawasan Afrika, Asia Selatan,dan Asia Tenggara hingga tahun 2050, maka salah satu yang dikuatirkan oleh para pakar pertanian adalah apakah ke depan produksi padi dan gandum global akan mampu memenuhi kebutuhan manusia. Untuk itulah kemudian muncul gagasan tentang revolusi hijau berikutnya, yang berbeda dengan revolusi hijau sebelumnya .
Dalam revolusi hijau berikutnya atau revolusi hijau baru ini yang ditekankan adalah teknologi rekayasa genetika yang telah dikembangkan sejak tahun 1990-an. Ilmuwan saat ini telah mampu memanipulasi gen tanaman, sehingga lebih aman penyakit dan bisa hidup dengan jumlah air yang terbatas. Di Amerika, produk pertanian dengan menggunakan rekayasa genetika sudah umum, tapi keamanan produk ini masih dipertanyakan di Eropa.
Djurfeldt, Goran (2005). The African Food Crisis: Lessons from the Asian Green Revolution. London: Cabi Publishing. hlm. 3. ISBN 0851999980. Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
|