Berdirinya dinasti ayyubiyah tidak terlepas dari sosok ayah shalahuddin al ayyubi yang bernama

Berdirinya dinasti ayyubiyah tidak terlepas dari sosok ayah shalahuddin al ayyubi yang bernama
Masjid Al Aqsa di Yerusalem, Palestina. (Foto: AFP)

Kastolani Sabtu, 09 Mei 2020 - 09:05:00 WIB

JAKARTA, iNews.id – Siapa tak kenal Shalahuddin Yusuf bin Najmuddin Ayyub bin Syadi atau yang lebih dikenal dengan Shalahuddin al-Ayyubi atau Saladin. Dia merupakan ksatria dan panglima Muslim yang tak mengenal takut dan paling ditakuti musuh dalam Perang Salib.

Shalahuddin al-Ayyubi adalah laki-laki dari kalangan ‘ajam (non-Arab), tidak seperti yang disangkakan oleh sebagian orang bahwa Shalahuddin adalah orang Arab, ia berasal dari suku Kurdi.

Lahir pada tahun 1138 M di Kota Tikrit, Irak, kota yang terletak antara Baghdad dan Mosul. Shalahuddin melengkapi orang-orang besar dalam sejarah Islam yang bukan berasal dari bangsa Arab, seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Tirmidzi, dan lain-lain.

Karena suatu alasan, kelahiran Shalahuddin memaksa ayahnya untuk meninggalkan Tikrit sehingga sang ayah merasa kelahiran anaknya ini menyusahkan dan merugikannya. Namun kala itu ada orang yang menasihatinya, “Engkau tidak pernah tahu, bisa jadi anakmu ini akan menjadi seorang raja yang reputasinya sangat cemerlang.”

Dari Tikrit, keluarga Kurdi ini berpindah menuju Mosul. Sang ayah, Najmuddin Ayyub tinggal bersama seorang pemimpin besar lainnya yakni Imaduddin az-Zanki. Imaduddin az-Zanki memuliakan keluarga ini, dan Shalahuddin pun tumbuh di lingkungan yang penuh keberkahan dan kerabat yang terhormat. Di lingkungan barunya dia belajar menunggang kuda, menggunakan senjata, dan tumbuh dalam lingkungan yang sangat mencintai jihad. Di tempat ini juga Shalahuddin kecil mulai mempelajari Alquran, menghafal hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mempelajari bahasa dan sastra Arab, dan ilmu-ilmu lainnya.

Sebelum kedatangan Shalahuddin al-Ayyubi, Mesir merupakan wilayah kekuasaan kerajaan Syiah, Daulah Fathimiyah. Kemudian pada masa berikutnya Dinasti Fathimiyah yang berjalan stabil mulai digoncang pergolakan di dalam negerinya. Orang-orang Turki, Sudan, dan Maroko menginginkan adanya revolusi.

Saat itu Nuruddin Mahmud, paman Shalahuddin, melihat sebuah peluang untuk menaklukkan kerajaan Syiah ini, ia berpandangan penaklukkan Daulah Fathimiyyah adalah jalan lapang untuk membebaskan Jerusalem dari kekuasaan Pasukan Salib.

Nuruddin benar-benar merealisasikan cita-citanya, ia mengirim pasukan dari Damaskus yang dipimpin oleh Asaduddin Syirkuh untuk membantu keponakannya, Shalahuddin al-Ayyubi, di Mesir.

Mengetahui kedatangan pasukan besar ini, sebagian Pasukan Salib yang berada di Mesir pun lari kocar-kacir sehingga yang dihadapi oleh Asaduddin dan Shalahuddin hanyalah orang-orang Fathimiyah saja.

Daulah Fathimiyah berhasil dihancurkan dan Shalahuddin diangkat menjadi mentrei di wilayah Mesir. Namun tidak lama menjabat sebagai menteri di Mesir, dua bulan kemudian Shalahuddin diangkat sebagai wakil dari Khalifah Dinasti Ayyubiyah.

Menaklukkan Jerusalem

Persiapan Shalahuddin untuk menggempur Pasukan Salib di Yerusalem, palestina benar-benar matang. Dia menggabungkan persiapan keimanan (non-materi) dan persiapan materi yang luar biasa.

Persiapan keimanan ia bangun dengan membersihkan akidah Syiah bathiniyah dari dada-dada kaum muslimin dengan membangun madrasah dan menyemarakakn dakwah, persatuan dan kesatuan umat ditanamkan dan dibangkitkan kesadaran mereka menghadapi Pasukan Salib.

Dengan kampanyenya ini ia berhasil menyatukan penduduk Syam, Irak, Yaman, Hijaz, dan Maroko di bawah satu komando. Dari persiapan non-materi ini terbentuklah sebuah pasukan dengan cita-cita yang sama dan memiliki landasan keimanan yang kokoh.

Dari segi fisik Shalahuddin mengadakan pembangunan makas militer, benteng-benteng perbatasan, menambah jumlah pasukan, memperbaiki kapal-kapal perang, membangun rumah sakit.

Berdirinya dinasti ayyubiyah tidak terlepas dari sosok ayah shalahuddin al ayyubi yang bernama
Benteng yang dibangun Shalahuddin al Ayyubi saat menaklukan Kota Yerusalem di Palestina. (Foto: Annees/Okezone)

Pada tahun 580 H, Shalahuddin menderita penyakit yang cukup berat, namun dari situ tekadnya untuk membebaskan Jerusalem semakin membara.

Dengan karunia Allah, Shalahuddin pun sembuh dari sakitnya. Ia mulai mewujudkan janjinya untuk membebaskan Jerusalem. Pembebasan Jerusalem bukanlah hal yang mudah, Shalahuddin dan pasukannya harus menghadapi Pasukan Salib di Hathin terlebih dahulu, perang ini dinamakan Perang Hathin, perang besar sebagai pembuka untuk menaklukkan Jerusalem. Dalam perang tersebut kaum muslimin berkekuatan 63.000 pasukan yang terdiri atas para ulama dan orang-orang salih, mereka berhasil membunuh 30000 Pasukan Salib dan menawan 30000 lainnya.

Setelah menguras energi di Hathin, akhirnya kaum muslimin tiba di al-Quds, Jerusalem, dengan jumlah pasukan yang besar tentara-tentara Allah ini mengepung kota suci itu. Perang pun berkecamuk, Pasukan Salib sekuat tenaga mempertahankan diri, beberapa pemimpin muslim pun menemui syahid mereka –insyaallah- dalam peperangan ini. Melihat keadaan ini, kaum muslimin semakin bertambah semangat untuk segera menaklukkan pasukan Salib.

Untuk memancing emosi kaum muslimin, pasukan Salib memancangkan salib besar di atas Kubatu Shakhrakh. Shalahuddin dan beberapa pasukannya segera bergerak cepat ke sisi terdekat dengan Kubbatu Shakhrakh untuk menghentikan kelancangan pasukan Salib. Kemudian kaum muslimin berhasil menjatuhkan dan membakar salib tersebut. Setelah itu, jundullah menghancurkan menara-menara dan benteng-benteng al-Quds.

Pasukan Salib mulai terpojok, merek tercerai-berai, dan mengajak berunding untuk menyerah. Namun Shalahuddin menjawab, “Aku tidak akan menyisakan seorang pun dari kaum Nasrani, sebagaimana mereka dahulu tidak menyisakan seorang pun dari umat Islam (ketika menaklukkan Jerusalem)”.

Namun pimpinan Pasukan Salib, Balian bin Bazran, mengancam “Jika kaum muslimin tidak mau menjamin keamanan kami, maka kami akan bunuh semua tahanan dari kalangan umat Islam yang jumlahnya hampir mencapai 4.000 orang, kami juga akan membunuh anak-anak dan istri-istri kami, menghancurkan bangunan-bangunan, membakar harta benda, menghancurkan Kubatu Shakhrakh, membakar apa pun yang bisa kami bakar, dan setelah itu kami akan hadapi kalian sampai darah penghabisan!

Satu orang dari kami akan membunuh satu orang dari kalian! Kebaikan apalagi yang bisa engkau harapkan!” Inilah ancaman yang diberikan Pasukan Salib kepada Shalahuddin dan pasukannya.

Shalahuddin pun mendengarkan dan menuruti kehendak Pasukan Salib dengan syarat setiap laki-laki dari mereka membayar 10 dinar, untuk perempuan 5 dinar, dan anak-anak 2 dinar. Pasukan Salib pergi meninggalkan Jerusalem dengan tertunduk dan hina. Kaum muslimin berhasil membebaskan kota suci ini untuk kedua kalinya.

Tindakan Shalahuddin yang mengurungkan niat membantai tentara Salib serta penduduk Kristen di kota itu sangat dihargai dan dihormati lawannya, terutama

dari Raja Richard I Inggris, yang lebih dikenal sebagai Richard The Lion Heart. Richard yang memimpin Perang Salib Ketiga pada tahun 1189 untuk merebut Kota Yerusalem sangat menghormati dan menilai Shalahuddin sebagai lawan yang berharga.

Shalahuddin memasuki Jerusalem pada hari Jumat 27 Rajab 583 H / 2 Oktober 1187, kota tersebut kembali ke pangkuan umat Islam setelah selama 88 tahun dikuasai oleh orang-orang Nasrani. Kemudian ia mengeluarkan salib-salib yang terdapat di Masjid al-Aqsha, membersihkannya dari segala najis dan kotoran, dan mengembalikan kehormatan masjid tersebut.

Shalahuddin wafat pada usia 55 tahun, pada 16 Shafar 589 H bertepatan dengan 21 Febeuari 1193 di Kota Damaskus. Shalahuddin wafat karena mengalami sakit demam selama 12 hari. Semoga Allah meridhai, merahmati, dan  membalas jasa-jasa engkau wahai pahlawan Islam, sang pembebas Jerusalem.

(Sumber: tafsirq, kisahmuslim)


Editor : Kastolani Marzuki

Berdirinya dinasti ayyubiyah tidak terlepas dari sosok ayah shalahuddin al ayyubi yang bernama

OLEH HASANUL RIZQA

Shalahuddin al-Ayyubi merupakan legenda dalam sejarah Islam. Sosok yang dikenal Barat sebagai Sultan Saladin itu berhasil memimpin pasukan untuk membebaskan Baitul Maqdis dari tangan agresor.

Pahlawan Pembebas al-Aqsha

Perang Salib merupakan serangkaian pertempuran yang terjadi pada 1095 hingga 1291 Masehi di Palestina. Palagan itu memperhadapkan antara kekuatan Kristen dari Eropa Barat dan daulah Islam.

Keduanya saling memperebutkan kawasan suci Baitul Maqdis. Dalam catatan sejarah, ada banyak tokoh yang mewarnai peperangan tersebut.

Di antaranya yang legendaris adalah Shalahuddin al-Ayyubi (1137-1193 M). Orang-orang Barat menyebutnya Saladin. Pemilik nama lengkap an-Nashir Shalahuddin Yusuf bin Ayyub itu juga dikenang sebagai pendiri Ayyubiyah, dinasti yang meneruskan perjuangan Wangsa Seljuk dan Zankiyah dalam membebaskan Tanah Suci.

Ayah Shalahuddin, Najmuddin Ayyub, merupakan seorang panglima perang dari Suku Kurdi. Adapun kakeknya, Syadzi, pernah menjadi gubernur Tikrit, kota tempat kelahiran Saladin.

Pamannya, Asaduddin Syirkuh, sempat menjabat komandan militer dan berjuang di sisi Nuruddin Mahmud (1118-1174 M), raja-kedua Dinasti Zankiyah. Dua bersaudara ini, Ayyub dan Syrikuh bin Syadzi, berjasa dalam membebaskan Damaskus untuk putra Imaduddin Zanki itu.

Naiknya Shalahuddin ke panggung kekuasaan tidak terlepas dari prahara yang berlangsung di Mesir. Pada 1163, Dinasti Fathimiyah yang berhaluan Syiah mengalami pergolakan politik. Tidak jelas siapa yang menjadi penguasa sesungguhnya di Kairo.

Nuruddin kemudian mengintervensi peralihan kekuasaan yang terjadi di sana. Beberapa sumber menyebut, langkah itu diambil atas bujukan wazir Fathimiyah, Syawar bin Mujir as-Sa’adi. Oleh penguasa Zankiyah tersebut, Syirkuh ditugaskan untuk berangkat ke Mesir.

Dalam menjalankan misinya, panglima Kurdi ini didampingi keponakannya, Shalahuddin, yang saat itu masih berusia 26 tahun. Dengan dukungan Syirkuh, Syawar berhasil menyingkirkan lawan-lawan politiknya, terutama Dirgham. Namun, wazir Fathimiyah itu kemudian berseteru dengan sekutu Zankiyahnya.

Puncaknya, Syawar berkhianat. Untuk melawan Syirkuh, ia berkawan dengan Raja Amalric I dari Kerajaan Latin Yerusalem. Pada 1164, pasukan Amalric merangsek masuk ke Mesir dan bergabung dengan para pendukung Syawar. Sejak Agustus-Oktober tahun yang sama, mereka mengepung benteng Syirkuh di Bilbais.

Mengetahui kabar pengepungan itu, Nuruddin bertolak dari Syam ke arah selatan. Penguasa Zankiyah itu menyerang kerajaan-kerajaan Latin, termasuk Antiokia. Bahkan, Pangeran Antiokia, Bohemond III, dapat ditawannya. Amalric langsung meninggalkan Bilbais untuk membantu Antiokia dalam membendung pasukan Nuruddin.

Hingga akhir tahun 1164, keadaaan mereda secara de facto di Mesir. Dua tahun kemudian, Syirkuh melakukan penyerangan. Syawar lagi-lagi bersekutu dengan Amalric. Pada Januari 1167, perang antara kedua belah pihak itu terjadi hingga ke selatan Kairo.

Pasukan Syirkuh dan Amalric berimbang pada Agustus 1167. Raja Latin Yerusalem itu lantas memutuskan untuk mundur. Barulah pada musim dingin setahun kemudian, Amalric memboyong pasukan Salib untuk menyerang Mesir lagi.

Kali ini, Syawar bergabung dengan kubu Syirkuh untuk menghalau Salibis. Namun, pasukan Amalric begitu kuat sehingga menunggu waktu saja untuk dapat menguasai Fustat. Syawar lantas memerintahkan seluruh penduduk sipil Fustat untuk mengungsi.

Kemudian, prajuritnya diinstruksikan untuk membumihanguskan kota tersebut agar tidak ada tersisa ketika Amalric mendudukinya.

Sementara itu, Syirkuh dapat mengusir pasukan Amalric sehingga berhasil menguasai kota-kota penting di Mesir. Pada Januari 1169, Kairo akhirnya jatuh ke tangan jenderal Kurdi tersebut. Syawar segera ditangkap, untuk kemudian dieksekusi mati sebagai pengkhianat.

Kedatangan Syirkuh disambut dengan penuh suka cita penduduk Kairo. Walaupun Fathimiyah bermazhab Syiah, mayoritas rakyat masih menganut Sunni, sehingga secara ideologis, sejalan dengan Zankiyah.

Hanya dua bulan Syirkuh menikmati kekuasaan de facto di Mesir. Ia wafat pada Februari 1169 akibat sakit pencernaan. Keponakannya, Shalahuddin, kemudian naik sebagai penggantinya.

Berkuasa

Wafatnya Syirkuh tidak secara otomatis menjadikan Shalahuddin al-Ayyubi berkuasa penuh. Saat itu, statusnya masih sebagai wazir dari raja Fathimiyah, Abu Muhammad Abdullah al-Adid. Kira-kira dua tahun sejak dirinya menggantikan sang paman, barulah panglima Kurdi tersebut menggenggam kekuasaan secara de jure maupun de facto.

Pada 1171, al-Adid meninggal dunia. Kematiannya menandakan akhir riwayat Dinasti Fathimiyah. Setelah menyingkirkan sisa-sisa wangsa Syiah itu, Shalahuddin dengan relatif cepat memperluas wilayah kekuasaannya. Dinasti Ayyubiyah yang didirikannya menjangkau hingga ke luar Mesir.

Ketangguhan militer Ayyubiyah terbukti di lapangan. Sultan Shalahuddin tidak hanya berhasil menaklukkan daerah-daerah, semisal Afrika utara, pesisir barat Jazirah Arab —termasuk Hijaz dan Yaman. Alhasil, kontrol atas jalur maritim Laut Merah sepenuhnya berada di tangannya. Dengan menguasai Makkah dan Madinah, dinasti ini pun hampir menyandang gelar kekhalifahan.

Memang, masih ada satu ganjalan untuk itu. Baitul Maqdis masih dikuasai Salibis. Maka perlahan-lahan, Shalahuddin menguasai berbagai daerah di pesisir Mediterania timur, khususnya Syam. Kerajaan-kerajaan Latin dibuatnya ketar-ketir.

Pada 1174, Nuruddin Mahmud meninggal dunia. Dengan demikian, dominasi Dinasti Zankiyah dalam dunia Islam bagai di ujung tanduk. Peran dan pengaruhnya mulai tergantikan oleh Ayyubiyah.

Di Syam, Shalahuddin dengan cepat merebut satu per satu daerah strategis, seperti Hama dan Homs. Target berikutnya adalah Halab atau Aleppo, yang di dalamnya terdapat sisa-sisa kekuatan Zankiyah. Ia mengepung kota tersebut, tetapi gagal menguasainya dalam percobaan pertama.

Kemudian, Shalahuddin memperkuat kapasitas militer daerah-daerah yang berhasil ditaklukkannya di sekitar kota tersebut. Karena itu, rakyat lokal kemudian menjulukinya “Sultan Mesir dan Syam". Reputasi pemimpin Ayyubiyah itu pada akhirnya membuat gentar Salih al-Malik, penguasa Aleppo saat itu.

Pada 1176, putra Nuruddin Mahmud tersebut menyerah. Karena memilih opsi damai, Salih al-Malik tidak dihukum Shalahuddin. Bahkan, tokoh Zankiyah itu diberi jabatan gubernur Aleppo.

Persoalan dengan sesama negeri Muslim sudah usai. Kini, Shalahuddin bisa berkonsentrasi penuh pada masalah utama, yakni Pasukan Salib. Sejak 1099, Salibis telah menduduki Baitul Makdis. Bahkan, agresor dari Eropa Barat itu juga mendirikan kerajaan-kerajaan Latin di Yerusalem, Edesa, Antiokhia, dan Tripoli.

Pada 1177, Tentara Salib berusaha menyerang Harem, sebuah kota di sisi barat Aleppo. Shalahuddin memimpin 26 ribu personel untuk mengadangnya. Dalam pertempuran di Montgisard, kaki Gunung Judea, itu, para prajurit Ayyubiyah mengalami pukulan telak.

Sang sultan kemudian memerintahkan pasukannya yang tersisa untuk mundur teratur. Meskipun unggul, balatentara Salib yang dipimpin Raja Baldwin IV tidak mengejar Muslimin. Alih-alih demikian, raja Kristen yang mengidap sakit kusta itu mengadakan perjanjian damai dengan Saladin.

Hingga awal 1180-an, masa tenggang berlangsung antara kedua belah pihak. Suasana kembali memanas sejak kematian Baldwin IV. Raja Kusta—begitu julukannya—hanya meninggalkan seorang anak laki-laki, Baldwin V, yang saat itu baru berusia lima tahun. Maka situasi politik di internal Salibis kian memanas. Banyak bangsawan Kristen berebut klaim kekuasaan.

Perang Hattin

Baldwin V meninggal dalam usia tujuh tahun. Beberapa sumber, semisal Kronik William Newburgh, menyebut keterlibatan Raymond III dari Kerajaan Latin Tripoli dalam operasi pembunuhan raja cilik itu. Kedudukannya lalu digantikan Guy Lusignan, suami dari Sibylla—ibunda Baldwin V.

Guy Lusignan berkawan dengan Raynald Chatillon, pangeran Antiokhia. Bangsawan Prancis itu sangat membenci Islam. Berkali-kali, Raynald bersama pasukannya mengganggu kafilah pedagang Muslim yang melewati rute aman—sesuai perjanjian antara Shalahuddin dan Baldwin IV. Ia pun tak segan-segan mengusik jamaah haji yang melalui Syam.

Puncaknya, Raynald mengadakan misi untuk mencuri jenazah Nabi Muhammad SAW di Madinah. Operasi itu dapat digagalkan Shalahuddin dan sekutunya di Laut Merah. Bukannya sadar diri, karib Raja Yerusalem Guy Lusignan itu semakin kalap. Dengan keji, ia membunuh seorang adik Saladin yang sedang dalam perjalanan di rute Syam.

Pada 1187, sultan Ayyubiyah itu memobilisasi militernya ke Yerusalem. Shalahuddin diiringi 30 ribu personel infanteri dan 12 ribu kavaleri.

Pada 1187, sultan Ayyubiyah itu memobilisasi militernya ke Yerusalem. Shalahuddin diiringi 30 ribu personel infanteri dan 12 ribu kavaleri. Salibis sebenarnya dapat mengambil taktik “aman”, yakni menunggu kedatangan pasukan Muslim di dalam benteng Yerusalem.

Namun, Guy memilih saran kelompok Templar untuk menghadapi pasukan Saladin di luar kota. Bertolak dari Yerusalem, raja Latin ini memimpin 20 ribu personel pasukannya.

Sultan Shalahuddin menjalankan strategi yang efektif. Dibiarkannya pasukan Salib untuk berjalan menyongsongnya. Raja Ayyubiyah itu mengetahui, berdasarkan laporan mata-matanya, pasukan Yerusalem hanya disertai perbekalan logistik yang minim. Perjalanan yang jauh dan terjal hanya akan mendegradasi moral dan semangat tempur mereka.

Kedua pasukan akhirnya bertemu di Lembah Tanduk Hattin—lokasi bekas gunung mati Kurun Hattin. Setibanya di sana, balatentara Guy Lusignan sudah sangat kelelahan. Shalahuddin seketika mengepung dan membombardir mereka dengan hujan anak panah. Salibis kocar-kacir dan frustrasi. Kemenangan diraih dengan mudah oleh Muslimin.

Pasukan Salib hanya tersisa 3.000 personel, termasuk Guy dan Raynald. Keduanya ditangkap dan dibawa ke hadapan Saladin. Berbeda dengan sikap sebelumnya yang angkuh dan menampakkan kebencian terhadap Islam, di depan sultan Ayyubiyah itu mereka melunak. Bahkan, Raynald meminta-minta air minum kepada sang musuh.