Apa yang menjadi latar belakang pembentukan uncac bagi dunia internasional

Aset hasil tindak pidana korupsi yang diambil oleh para koruptor banyak yang dilarikan serta disembunyikan di luar negeri. Hasil korupsi disembunyikan di rekening bank di luar negeri melalui mekanisme pencucian uang sehingga upaya dalam melacak serta mengembalikan aset tersebut menjadi sulit. Tidak jarang teknik pencucian uang ini disempurnakan oleh akuntan, pengacara, dan bankir yang disewa oleh koruptor.

Dalam melakukan proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi ini, negara-negara di dunia saling melakukan kerja sama internasional dalam rangka mempermudah proses pengembalian aset ini. Tetapi dalam pelaksanaanya terdapat kendala-kendala yang disebabkan antara lain: sistem hukum yang berbeda, sistem perbankan dan finansial yang ketat dari negara di mana aset berada, praktek dalam menjalankan hukum, dan perlawanan dari pihak yang hendak diambil asetnya oleh pemerintah.

Indonesia

Indonesia sudah melakukan upaya pemberantasan korupsi sejak lama dan dalam sejarah perkembangan peraturan perundang-undangan pemberantasan korupsi, terdapat beberapa ketentuan pengembalian dan mekanisme pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Namun, berbagai peraturan perundang-undangan yang di dalamnya mengatur tentang pengembalian aset masih memiliki kelemahan-kelemahan.

Pertama, fokus utama ketentuan tentang pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi masih terbatas pada pengembalian aset di dalam negeri dan tidak ada ketentuan yang mengatur makanisme pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang ditempatkan di luar negeri. Kedua, di dalam peraturan perundang-undangan tersebut belum diatur landasan hukum serta wewenang untuk melaksanakan kerja sama internasional dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Ketiga, peraturan perundang-undangan tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan tindak pidana korupsi saat ini, dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan tindak pidana korupsi, khususnya ketentuan tentang pengembalian aset di dalam UNCAC.

UNCAC merupakan terobosan baru dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, khususnya dalam hal pengembalian aset di berbagai negara terutama Indonesia. Namun sebagai suatu peraturan yang (relatif) baru dan Indonesia sebagai salah satu negara yang sudah meratifikasi konvensi ini, terdapat permasalahan-permasalahan yang pada akhirnya menyebabkan Indonesia tidak dapat memaksimalkan usaha pengembalian aset.

Salah satu tujuan utama UNCAC adalah memperkuat langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan korupsi dengan lebih efisien dan efektif, sehingga memerlukan kerjasama antar negara yang lebih erat karena dalam kenyataannya hasil korupsi dari negara ketiga sering ditempatkan dan diinvestasikan di negara lain berdasarkan kerahasiaan bank yang bersifat konvensional.

Definisi dan Mekanisme Pengembalian Aset

Dalam UNCAC tidak dijelaskan pengertian pengembalian aset. Menurut Matthew H. Fleming, dalam dunia internasional tidak ada definisi pengembalian aset yang disepakati bersama. Fleming sendiri tidak mengemukakan rumusan definisi, tetapi menjelaskan bahwa pengembalian aset adalah proses pelaku-pelaku kejahatan yang dicabut, dirampas, dan dihilangkan haknya dari hasil tindak pidana.

Pendapat Fleming dalam bukunya Asset Recovery and Its Impact on Criminal Behavior, An Economic Taxonomy: Draft for Comments, melihat pengembalian aset sebagai: pertama, pengembalian aset sebagai proses pencabutan, perampasan, penghilangan; kedua, yang dicabut, dirampas, dihilangkan adalah hasil atau keuntungan dari tindak pidana; ketiga, salah satu tujuan pencabutan, perampasan, penghilangan adalah agar pelaku tindak pidana tidak dapat menggunakan hasil serta keuntungan-keuntungan dari tindak pidana sebagai alat atau sarana untuk melakukan tindak pidana lainnya.

Sebagaimana dijelaskan di atas, pengembalian aset tidak mempunyai definisi yang baku. Penulis menilai pengembalian aset tidak hanya merupakan proses saja, tetapi juga merupakan upaya penegakan hukum melalui serangkaian maknisme hukum tertentu. Untuk memberikan penjelasan yang komprehensif, berdasarkan pandangan-pandangan dari sarjana-sarjana sebelumnya, penulis merumuskan pengertian pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi sebagai berikut:

Pengembalian aset adalah sistem penegakan hukum yang dilakukan oleh negara korban (victim state) tindak pidana korupsi untuk mencabut, merampas, menghilangkan hak atas aset hasil tindak pidana korupsi dari pelaku tindak pidana korupsi melalui rangkaian proses dan mekanisme. Baik secara pidana maupun perdata, aset yang berada di dalam maupun disimpan di luar negeri, yang dilacak, dibekukan, dirampas, disita, dan dikembalikan kepada negara korban hasil tindak pidana korupsi, sehingga dapat mengembalikan kerugian keuangan akibat tindak pidana korupsi. Juga termasuk untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan/ atau calon pelaku tindak pidana korupsi.

Terdapat pula mekanisme dalam melakukan proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, yaitu: pertama dengan melakukan pelacakan, selanjutnya aset yang sudah dilacak dan diketahui kemudian dibekukan, terakhir, aset yang dibekukan lalu disita dan dirampas oleh badan berwenang dari negara di mana aset tersebut berada, dan kemudian dikembalikan kepada negara tempat aset tersebut diambil melalui mekanisme-mekanisme tertentu.

Kesepakatan tentang pengembalian aset tercapai karena kebutuhan untuk mendapatkan kembali aset-aset hasil tindak pidana korupsi sebagaimana harus direkonsiliasikan dengan hukum dan prosedur dari negara-negara yang dimintai bantuan. Pentingnya pengembalian aset, terutama bagi negara-negara berkembang didasarkan pada kenyataan bahwa tindak pidana korupsi telah merampas kekayaan negara-negara tersebut, sementara sumber daya sangat dibutuhkan untuk merekonstruksi dan merehabilitasi masyarakat melalui pembangunan berkelanjutan.

Mengenai proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, para pelaku tindak pidana korupsi mampu melintasi dengan bebas batas yurisdiksi dan geografis antar negara. Sementara, para penegak hukum tidak mudah menembus batas-batas yurisdiksi dan melakukan penegakkan hukum di dalam yurisdiksi negara-negara lain. Untuk itu diperlukan kerjasama yang mengglobal dalam melakukan pengejaran serta pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi.

Dengan diaturnya ketentuan mengenai bantuan hukum timbal balik di dalam UNCAC, maka upaya pengembalian aset dapat terlaksana dengan maksimal. Cara paling mudah dalam melakukan proses pengembalian aset yang berada di luar yurisdiksi negara korban adalah melalui bantuan hukum timbal balik. Ketika aset-aset hasil tindak pidana korupsi ditempatkan di luar negeri, negara korban yang diwakili oleh penyelidik, penyidik, atau lembaga otoritas dapat meminta kerjasama dengan negara penerima untuk melakukan proses pengembalian aset. hal ini sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 46 UNCAC, di mana negara-negara penerima aset harus memberikan bantuan kepada negara korban dalam rangka proses pengembalian aset.

Lebih jauh dikritisi bahwa bantuan timbal balik merupakan hakikat dari kerja sama internasional dalam pengembalian aset. UNCAC memberikan jalan keluar yang sangat mudah kepada negara-negara korban dalam melakukan proses pengembalian aset. UNCAC mewajibkan setiap negara peserta untuk memberikan bantuan (timbal balik) kepada para negara korban yang membutuhkan. Bahkan penulis melihat bahwa bantuan timbal balik ini memberikan terobosan bagi para negara korban untuk menembus batasan-batasan konvensional yang selama ini menjadi penghambat dalam proses pengembalian aset.

Dalam hal negara-negara dengan sistem perbankan yang sangat tertutup, oleh karena itu UNCAC memberikan kemudahan negara-negara korban untuk dapat menelusuri atau mengakses sistem perbankan suatu negara untuk memperoleh informasi atas aset hasil tindak pidana korupsi. Hal ini diatur dengan jelas dalam Pasal 46 ayat (8).

Penerapan dan Faktor Penghambat di Indonesia

Selama empat tahun lebih Indonesia telah meratifikasi UNCAC (2003), Indonesia sudah melakukan banyak perubahan serta kemajuan dalam upayanya memberantas korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang lahir secara tidak langsung berdasarkan UNCAC ini menandakan bahwa terdapat perubahan atas kemauan yang konkrit dalam memberantas korupsi. Dalam pelaksanaannya, Indonesia sudah melaksanakan ketentuan-ketentuan UNCAC secara umum sebagai proses pengembalian aset yang dilakukan Indonesia, seperti melakukan kerja sama bilateral, melakukan bantuan hukum timbal balik (mutual legal assistance), melakukan upaya penelusuran aset melalui perbankan dari negara lain, dan lain sebagainya.

Pada kenyataannya aset hasil tindak pidana korupsi yang dilarikan ke luar negeri dan aset yang berhasil dikembalikan ke Indonesia perbedaannya sangat besar. Perbandingan aset yang masih di luar negeri masih lebih banyak dibandingkan aset-aset hasil tindak pidana korupsi yang sudah berhasil di bawa kembali ke dalam negeri. Bahkan dapat dikatakan belum satupun aset korupsi yang dikembalikan. Hal ini tidak terjadi begitu saja, terdapat permasalahan-permasalahan yang pada prakteknya seringkali muncul dan menjadi faktor utama yang menghambat proses pengembalian aset.

Faktor-faktor penghambat atau permasalahan tersebut antara lain:

1.      Pengaturan Hukum Nasional yang tidak Menunjang Keberlakuan UNCAC di Indonesia

Semenjak UNCAC di adopsi oleh Majelis Umum PBB berdasarkan resolusi 58/ 4 tanggal 31 Oktober 2003, Indonesia telah meratifikasinya melalui Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC pada tanggal 18 April 2006.

Hingga saat ini, pemerintah belum membentuk suatu peraturan pelaksana terhadap keberlakuan UNCAC di Indonesia. UNCAC menyediakan sarana kepada para negara korban untuk dapat melakukan kerja sama internasional dalam upaya pengembalian aset, tetapi setiap negara peserta harus mempunyai suatu peraturan nasional yang dapat memberlakukan UNCAC tersebut.

Permasalahannya di sini adalah ratifikasi Indonesia terhadap UNCAC tidak menjadikan penerapan proses pengembalian aset menjadi terlaksana secara maksimal. Karena Indonesia belum memiliki pengaturan khusus mengenai proses pengembalian aset yang didasarkan atas kerja sama internasional.

2. Tidak Adanya Kemauan Politik Pemerintah yang Kuat terhadap Upaya Pemberantasan Korupsi.

Proses pengembalian aset sebagai salah satu upaya pemberantasan korupsi memerlukan dukungan kuat dari pemerintah negaranya. Kemauan politik pemerintah merupakan faktor utama yang menentukan dalam berhasil tidaknya suatu upaya pemberantasan korupsi di suatu negara, khususnya terhadap proses pengembalian aset.

Hal ini terlihat dalam proses hukum kasus mantan Presiden Soeharto, di mana hingga saat Soeharto meninggal pun belum ada satu aset pun (hasil tindak pidana korupsi) yang berhasil dikembalikan.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Dengan berlandaskan uraian di atas, terdapat beberapa kesimpulan yang diberikan sebagai berikut.

  • Mekanisme pengembalian aset yang diatur dalam peraturan perundang-undangan pemberantasan tindak pidana korupsi dan KUHAP terlalu sederhana dan masih bersifat konvensional sehingga tidak memungkinkan pengembalian aset secara efektif dan efisien. Indonesia perlu menyesuaikan peraturan perundang-undangannya dengan prinsip-prinsip dan standar-standar yang berlaku secara universal sebagaimana tercantum dalam UNCAC 2003.
  • Semenjak Indonesia meratifikasi UNCAC, proses pemberantasan korupsi terhadap pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi tidak menghasilkan peningkatan yang signifikan. Sedangkan Indonesia sudah mempunyai semua perlengkapan serta fasilitas dalam melakukan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Ini disebabakan kemauan politik (political will) pemerintah yang tidak kuat dalam membrantas korupsi yang dilakukan oleh para pejabat Indonesia, khususnya Mantan Presiden Soeharto.

Sebagai rekomendasi, Indonesia perlu menyusun undang-undang serta peraturan pelaksana yang mengatur mekanisme pengembalian aset termasuk mekanisme mengenai kerja sama internasional dalam pencegahan tindak pidana korupsi dari dalam atau yang ke luar negeri.

Dalam hubungan internasional, Indonesia harus aktif menyuarakan aksinya mengenai pemberantasan korupsi di negaranya di dalam forum-forum internasional seperti Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), sehingga masyarakat internasional sadar dan yakin bahwa Indonesia mempunyai tekad kuat dalam pemberantasan korupsi, yang pada akhirnya akan mempermudah kerja sama internasional dengan negara-negara lain dalam proses pengembalian aset.

-------

*)  Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia jurusan Hukum Hubungan Transnasional. Juara Kedua Mahasiswa Berprestasi Utama Fakultas Hukum Universitas Indonesia 2008. Sekarang sedang melakukan riset di PJKAKI KPK serta Jaringan Kerjasama Internasional ATR (Asset Tracing Recovery) KPK. Hingga saat ini aktif dalam dikusi, kampanye, serta proses pemberantasan korupsi (http://dunia-korupsi.blogspot.com). Penulis dapat dihubungi di [email protected].


States Parties shall afford one another the widest measure (huruf tebal dari penulis) of mutual legal assistance in investigations, prosecutions and judicial proceedings in relation to the offences covered by this Convention.

UNCAC, article 46 paragraph (8), menyatakan:

States Parties shall not decline to render mutual legal assistance pursuant to this article on the ground of bank secrecy. Hal ini menegaskan bahwa aturan kerahasiaan bank bukan merupakan hal yang tertutup secara mutlak lagi. Melalui prosedur dan hukum nasional suatu negara dengan menyesuaikan keberadaan UNCAC, maka negara korban dapat mengakses informasi perbankan suatu negara dalam melakukan proses pengembalian aset.


Page 2

Aset hasil tindak pidana korupsi yang diambil oleh para koruptor banyak yang dilarikan serta disembunyikan di luar negeri. Hasil korupsi disembunyikan di rekening bank di luar negeri melalui mekanisme pencucian uang sehingga upaya dalam melacak serta mengembalikan aset tersebut menjadi sulit. Tidak jarang teknik pencucian uang ini disempurnakan oleh akuntan, pengacara, dan bankir yang disewa oleh koruptor.

Dalam melakukan proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi ini, negara-negara di dunia saling melakukan kerja sama internasional dalam rangka mempermudah proses pengembalian aset ini. Tetapi dalam pelaksanaanya terdapat kendala-kendala yang disebabkan antara lain: sistem hukum yang berbeda, sistem perbankan dan finansial yang ketat dari negara di mana aset berada, praktek dalam menjalankan hukum, dan perlawanan dari pihak yang hendak diambil asetnya oleh pemerintah.

Indonesia

Indonesia sudah melakukan upaya pemberantasan korupsi sejak lama dan dalam sejarah perkembangan peraturan perundang-undangan pemberantasan korupsi, terdapat beberapa ketentuan pengembalian dan mekanisme pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Namun, berbagai peraturan perundang-undangan yang di dalamnya mengatur tentang pengembalian aset masih memiliki kelemahan-kelemahan.

Pertama, fokus utama ketentuan tentang pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi masih terbatas pada pengembalian aset di dalam negeri dan tidak ada ketentuan yang mengatur makanisme pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang ditempatkan di luar negeri. Kedua, di dalam peraturan perundang-undangan tersebut belum diatur landasan hukum serta wewenang untuk melaksanakan kerja sama internasional dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Ketiga, peraturan perundang-undangan tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan tindak pidana korupsi saat ini, dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan tindak pidana korupsi, khususnya ketentuan tentang pengembalian aset di dalam UNCAC.

UNCAC merupakan terobosan baru dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, khususnya dalam hal pengembalian aset di berbagai negara terutama Indonesia. Namun sebagai suatu peraturan yang (relatif) baru dan Indonesia sebagai salah satu negara yang sudah meratifikasi konvensi ini, terdapat permasalahan-permasalahan yang pada akhirnya menyebabkan Indonesia tidak dapat memaksimalkan usaha pengembalian aset.

Salah satu tujuan utama UNCAC adalah memperkuat langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan korupsi dengan lebih efisien dan efektif, sehingga memerlukan kerjasama antar negara yang lebih erat karena dalam kenyataannya hasil korupsi dari negara ketiga sering ditempatkan dan diinvestasikan di negara lain berdasarkan kerahasiaan bank yang bersifat konvensional.

Definisi dan Mekanisme Pengembalian Aset

Dalam UNCAC tidak dijelaskan pengertian pengembalian aset. Menurut Matthew H. Fleming, dalam dunia internasional tidak ada definisi pengembalian aset yang disepakati bersama. Fleming sendiri tidak mengemukakan rumusan definisi, tetapi menjelaskan bahwa pengembalian aset adalah proses pelaku-pelaku kejahatan yang dicabut, dirampas, dan dihilangkan haknya dari hasil tindak pidana.


Page 3

Pendapat Fleming dalam bukunya Asset Recovery and Its Impact on Criminal Behavior, An Economic Taxonomy: Draft for Comments, melihat pengembalian aset sebagai: pertama, pengembalian aset sebagai proses pencabutan, perampasan, penghilangan; kedua, yang dicabut, dirampas, dihilangkan adalah hasil atau keuntungan dari tindak pidana; ketiga, salah satu tujuan pencabutan, perampasan, penghilangan adalah agar pelaku tindak pidana tidak dapat menggunakan hasil serta keuntungan-keuntungan dari tindak pidana sebagai alat atau sarana untuk melakukan tindak pidana lainnya.

Sebagaimana dijelaskan di atas, pengembalian aset tidak mempunyai definisi yang baku. Penulis menilai pengembalian aset tidak hanya merupakan proses saja, tetapi juga merupakan upaya penegakan hukum melalui serangkaian maknisme hukum tertentu. Untuk memberikan penjelasan yang komprehensif, berdasarkan pandangan-pandangan dari sarjana-sarjana sebelumnya, penulis merumuskan pengertian pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi sebagai berikut:

Pengembalian aset adalah sistem penegakan hukum yang dilakukan oleh negara korban (victim state) tindak pidana korupsi untuk mencabut, merampas, menghilangkan hak atas aset hasil tindak pidana korupsi dari pelaku tindak pidana korupsi melalui rangkaian proses dan mekanisme. Baik secara pidana maupun perdata, aset yang berada di dalam maupun disimpan di luar negeri, yang dilacak, dibekukan, dirampas, disita, dan dikembalikan kepada negara korban hasil tindak pidana korupsi, sehingga dapat mengembalikan kerugian keuangan akibat tindak pidana korupsi. Juga termasuk untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan/ atau calon pelaku tindak pidana korupsi.

Terdapat pula mekanisme dalam melakukan proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, yaitu: pertama dengan melakukan pelacakan, selanjutnya aset yang sudah dilacak dan diketahui kemudian dibekukan, terakhir, aset yang dibekukan lalu disita dan dirampas oleh badan berwenang dari negara di mana aset tersebut berada, dan kemudian dikembalikan kepada negara tempat aset tersebut diambil melalui mekanisme-mekanisme tertentu.

Kesepakatan tentang pengembalian aset tercapai karena kebutuhan untuk mendapatkan kembali aset-aset hasil tindak pidana korupsi sebagaimana harus direkonsiliasikan dengan hukum dan prosedur dari negara-negara yang dimintai bantuan. Pentingnya pengembalian aset, terutama bagi negara-negara berkembang didasarkan pada kenyataan bahwa tindak pidana korupsi telah merampas kekayaan negara-negara tersebut, sementara sumber daya sangat dibutuhkan untuk merekonstruksi dan merehabilitasi masyarakat melalui pembangunan berkelanjutan.

Mengenai proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, para pelaku tindak pidana korupsi mampu melintasi dengan bebas batas yurisdiksi dan geografis antar negara. Sementara, para penegak hukum tidak mudah menembus batas-batas yurisdiksi dan melakukan penegakkan hukum di dalam yurisdiksi negara-negara lain. Untuk itu diperlukan kerjasama yang mengglobal dalam melakukan pengejaran serta pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi.

Dengan diaturnya ketentuan mengenai bantuan hukum timbal balik di dalam UNCAC, maka upaya pengembalian aset dapat terlaksana dengan maksimal. Cara paling mudah dalam melakukan proses pengembalian aset yang berada di luar yurisdiksi negara korban adalah melalui bantuan hukum timbal balik. Ketika aset-aset hasil tindak pidana korupsi ditempatkan di luar negeri, negara korban yang diwakili oleh penyelidik, penyidik, atau lembaga otoritas dapat meminta kerjasama dengan negara penerima untuk melakukan proses pengembalian aset. hal ini sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 46 UNCAC, di mana negara-negara penerima aset harus memberikan bantuan kepada negara korban dalam rangka proses pengembalian aset.


Page 4

Lebih jauh dikritisi bahwa bantuan timbal balik merupakan hakikat dari kerja sama internasional dalam pengembalian aset. UNCAC memberikan jalan keluar yang sangat mudah kepada negara-negara korban dalam melakukan proses pengembalian aset. UNCAC mewajibkan setiap negara peserta untuk memberikan bantuan (timbal balik) kepada para negara korban yang membutuhkan. Bahkan penulis melihat bahwa bantuan timbal balik ini memberikan terobosan bagi para negara korban untuk menembus batasan-batasan konvensional yang selama ini menjadi penghambat dalam proses pengembalian aset.

Dalam hal negara-negara dengan sistem perbankan yang sangat tertutup, oleh karena itu UNCAC memberikan kemudahan negara-negara korban untuk dapat menelusuri atau mengakses sistem perbankan suatu negara untuk memperoleh informasi atas aset hasil tindak pidana korupsi. Hal ini diatur dengan jelas dalam Pasal 46 ayat (8).

Penerapan dan Faktor Penghambat di Indonesia

Selama empat tahun lebih Indonesia telah meratifikasi UNCAC (2003), Indonesia sudah melakukan banyak perubahan serta kemajuan dalam upayanya memberantas korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang lahir secara tidak langsung berdasarkan UNCAC ini menandakan bahwa terdapat perubahan atas kemauan yang konkrit dalam memberantas korupsi. Dalam pelaksanaannya, Indonesia sudah melaksanakan ketentuan-ketentuan UNCAC secara umum sebagai proses pengembalian aset yang dilakukan Indonesia, seperti melakukan kerja sama bilateral, melakukan bantuan hukum timbal balik (mutual legal assistance), melakukan upaya penelusuran aset melalui perbankan dari negara lain, dan lain sebagainya.

Pada kenyataannya aset hasil tindak pidana korupsi yang dilarikan ke luar negeri dan aset yang berhasil dikembalikan ke Indonesia perbedaannya sangat besar. Perbandingan aset yang masih di luar negeri masih lebih banyak dibandingkan aset-aset hasil tindak pidana korupsi yang sudah berhasil di bawa kembali ke dalam negeri. Bahkan dapat dikatakan belum satupun aset korupsi yang dikembalikan. Hal ini tidak terjadi begitu saja, terdapat permasalahan-permasalahan yang pada prakteknya seringkali muncul dan menjadi faktor utama yang menghambat proses pengembalian aset.

Faktor-faktor penghambat atau permasalahan tersebut antara lain:

1.      Pengaturan Hukum Nasional yang tidak Menunjang Keberlakuan UNCAC di Indonesia

Semenjak UNCAC di adopsi oleh Majelis Umum PBB berdasarkan resolusi 58/ 4 tanggal 31 Oktober 2003, Indonesia telah meratifikasinya melalui Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC pada tanggal 18 April 2006.

Hingga saat ini, pemerintah belum membentuk suatu peraturan pelaksana terhadap keberlakuan UNCAC di Indonesia. UNCAC menyediakan sarana kepada para negara korban untuk dapat melakukan kerja sama internasional dalam upaya pengembalian aset, tetapi setiap negara peserta harus mempunyai suatu peraturan nasional yang dapat memberlakukan UNCAC tersebut.

Permasalahannya di sini adalah ratifikasi Indonesia terhadap UNCAC tidak menjadikan penerapan proses pengembalian aset menjadi terlaksana secara maksimal. Karena Indonesia belum memiliki pengaturan khusus mengenai proses pengembalian aset yang didasarkan atas kerja sama internasional.


Page 5

Aset hasil tindak pidana korupsi yang diambil oleh para koruptor banyak yang dilarikan serta disembunyikan di luar negeri. Hasil korupsi disembunyikan di rekening bank di luar negeri melalui mekanisme pencucian uang sehingga upaya dalam melacak serta mengembalikan aset tersebut menjadi sulit. Tidak jarang teknik pencucian uang ini disempurnakan oleh akuntan, pengacara, dan bankir yang disewa oleh koruptor.

Dalam melakukan proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi ini, negara-negara di dunia saling melakukan kerja sama internasional dalam rangka mempermudah proses pengembalian aset ini. Tetapi dalam pelaksanaanya terdapat kendala-kendala yang disebabkan antara lain: sistem hukum yang berbeda, sistem perbankan dan finansial yang ketat dari negara di mana aset berada, praktek dalam menjalankan hukum, dan perlawanan dari pihak yang hendak diambil asetnya oleh pemerintah.

Indonesia

Indonesia sudah melakukan upaya pemberantasan korupsi sejak lama dan dalam sejarah perkembangan peraturan perundang-undangan pemberantasan korupsi, terdapat beberapa ketentuan pengembalian dan mekanisme pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Namun, berbagai peraturan perundang-undangan yang di dalamnya mengatur tentang pengembalian aset masih memiliki kelemahan-kelemahan.

Pertama, fokus utama ketentuan tentang pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi masih terbatas pada pengembalian aset di dalam negeri dan tidak ada ketentuan yang mengatur makanisme pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang ditempatkan di luar negeri. Kedua, di dalam peraturan perundang-undangan tersebut belum diatur landasan hukum serta wewenang untuk melaksanakan kerja sama internasional dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Ketiga, peraturan perundang-undangan tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan tindak pidana korupsi saat ini, dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan tindak pidana korupsi, khususnya ketentuan tentang pengembalian aset di dalam UNCAC.

UNCAC merupakan terobosan baru dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, khususnya dalam hal pengembalian aset di berbagai negara terutama Indonesia. Namun sebagai suatu peraturan yang (relatif) baru dan Indonesia sebagai salah satu negara yang sudah meratifikasi konvensi ini, terdapat permasalahan-permasalahan yang pada akhirnya menyebabkan Indonesia tidak dapat memaksimalkan usaha pengembalian aset.

Salah satu tujuan utama UNCAC adalah memperkuat langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan korupsi dengan lebih efisien dan efektif, sehingga memerlukan kerjasama antar negara yang lebih erat karena dalam kenyataannya hasil korupsi dari negara ketiga sering ditempatkan dan diinvestasikan di negara lain berdasarkan kerahasiaan bank yang bersifat konvensional.

Definisi dan Mekanisme Pengembalian Aset

Dalam UNCAC tidak dijelaskan pengertian pengembalian aset. Menurut Matthew H. Fleming, dalam dunia internasional tidak ada definisi pengembalian aset yang disepakati bersama. Fleming sendiri tidak mengemukakan rumusan definisi, tetapi menjelaskan bahwa pengembalian aset adalah proses pelaku-pelaku kejahatan yang dicabut, dirampas, dan dihilangkan haknya dari hasil tindak pidana.

Pendapat Fleming dalam bukunya Asset Recovery and Its Impact on Criminal Behavior, An Economic Taxonomy: Draft for Comments, melihat pengembalian aset sebagai: pertama, pengembalian aset sebagai proses pencabutan, perampasan, penghilangan; kedua, yang dicabut, dirampas, dihilangkan adalah hasil atau keuntungan dari tindak pidana; ketiga, salah satu tujuan pencabutan, perampasan, penghilangan adalah agar pelaku tindak pidana tidak dapat menggunakan hasil serta keuntungan-keuntungan dari tindak pidana sebagai alat atau sarana untuk melakukan tindak pidana lainnya.

Sebagaimana dijelaskan di atas, pengembalian aset tidak mempunyai definisi yang baku. Penulis menilai pengembalian aset tidak hanya merupakan proses saja, tetapi juga merupakan upaya penegakan hukum melalui serangkaian maknisme hukum tertentu. Untuk memberikan penjelasan yang komprehensif, berdasarkan pandangan-pandangan dari sarjana-sarjana sebelumnya, penulis merumuskan pengertian pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi sebagai berikut:

Pengembalian aset adalah sistem penegakan hukum yang dilakukan oleh negara korban (victim state) tindak pidana korupsi untuk mencabut, merampas, menghilangkan hak atas aset hasil tindak pidana korupsi dari pelaku tindak pidana korupsi melalui rangkaian proses dan mekanisme. Baik secara pidana maupun perdata, aset yang berada di dalam maupun disimpan di luar negeri, yang dilacak, dibekukan, dirampas, disita, dan dikembalikan kepada negara korban hasil tindak pidana korupsi, sehingga dapat mengembalikan kerugian keuangan akibat tindak pidana korupsi. Juga termasuk untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan/ atau calon pelaku tindak pidana korupsi.

Terdapat pula mekanisme dalam melakukan proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, yaitu: pertama dengan melakukan pelacakan, selanjutnya aset yang sudah dilacak dan diketahui kemudian dibekukan, terakhir, aset yang dibekukan lalu disita dan dirampas oleh badan berwenang dari negara di mana aset tersebut berada, dan kemudian dikembalikan kepada negara tempat aset tersebut diambil melalui mekanisme-mekanisme tertentu.

Kesepakatan tentang pengembalian aset tercapai karena kebutuhan untuk mendapatkan kembali aset-aset hasil tindak pidana korupsi sebagaimana harus direkonsiliasikan dengan hukum dan prosedur dari negara-negara yang dimintai bantuan. Pentingnya pengembalian aset, terutama bagi negara-negara berkembang didasarkan pada kenyataan bahwa tindak pidana korupsi telah merampas kekayaan negara-negara tersebut, sementara sumber daya sangat dibutuhkan untuk merekonstruksi dan merehabilitasi masyarakat melalui pembangunan berkelanjutan.

Mengenai proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, para pelaku tindak pidana korupsi mampu melintasi dengan bebas batas yurisdiksi dan geografis antar negara. Sementara, para penegak hukum tidak mudah menembus batas-batas yurisdiksi dan melakukan penegakkan hukum di dalam yurisdiksi negara-negara lain. Untuk itu diperlukan kerjasama yang mengglobal dalam melakukan pengejaran serta pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi.

Dengan diaturnya ketentuan mengenai bantuan hukum timbal balik di dalam UNCAC, maka upaya pengembalian aset dapat terlaksana dengan maksimal. Cara paling mudah dalam melakukan proses pengembalian aset yang berada di luar yurisdiksi negara korban adalah melalui bantuan hukum timbal balik. Ketika aset-aset hasil tindak pidana korupsi ditempatkan di luar negeri, negara korban yang diwakili oleh penyelidik, penyidik, atau lembaga otoritas dapat meminta kerjasama dengan negara penerima untuk melakukan proses pengembalian aset. hal ini sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 46 UNCAC, di mana negara-negara penerima aset harus memberikan bantuan kepada negara korban dalam rangka proses pengembalian aset.

Lebih jauh dikritisi bahwa bantuan timbal balik merupakan hakikat dari kerja sama internasional dalam pengembalian aset. UNCAC memberikan jalan keluar yang sangat mudah kepada negara-negara korban dalam melakukan proses pengembalian aset. UNCAC mewajibkan setiap negara peserta untuk memberikan bantuan (timbal balik) kepada para negara korban yang membutuhkan. Bahkan penulis melihat bahwa bantuan timbal balik ini memberikan terobosan bagi para negara korban untuk menembus batasan-batasan konvensional yang selama ini menjadi penghambat dalam proses pengembalian aset.

Dalam hal negara-negara dengan sistem perbankan yang sangat tertutup, oleh karena itu UNCAC memberikan kemudahan negara-negara korban untuk dapat menelusuri atau mengakses sistem perbankan suatu negara untuk memperoleh informasi atas aset hasil tindak pidana korupsi. Hal ini diatur dengan jelas dalam Pasal 46 ayat (8).

Penerapan dan Faktor Penghambat di Indonesia

Selama empat tahun lebih Indonesia telah meratifikasi UNCAC (2003), Indonesia sudah melakukan banyak perubahan serta kemajuan dalam upayanya memberantas korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang lahir secara tidak langsung berdasarkan UNCAC ini menandakan bahwa terdapat perubahan atas kemauan yang konkrit dalam memberantas korupsi. Dalam pelaksanaannya, Indonesia sudah melaksanakan ketentuan-ketentuan UNCAC secara umum sebagai proses pengembalian aset yang dilakukan Indonesia, seperti melakukan kerja sama bilateral, melakukan bantuan hukum timbal balik (mutual legal assistance), melakukan upaya penelusuran aset melalui perbankan dari negara lain, dan lain sebagainya.

Pada kenyataannya aset hasil tindak pidana korupsi yang dilarikan ke luar negeri dan aset yang berhasil dikembalikan ke Indonesia perbedaannya sangat besar. Perbandingan aset yang masih di luar negeri masih lebih banyak dibandingkan aset-aset hasil tindak pidana korupsi yang sudah berhasil di bawa kembali ke dalam negeri. Bahkan dapat dikatakan belum satupun aset korupsi yang dikembalikan. Hal ini tidak terjadi begitu saja, terdapat permasalahan-permasalahan yang pada prakteknya seringkali muncul dan menjadi faktor utama yang menghambat proses pengembalian aset.

Faktor-faktor penghambat atau permasalahan tersebut antara lain:

1.      Pengaturan Hukum Nasional yang tidak Menunjang Keberlakuan UNCAC di Indonesia

Semenjak UNCAC di adopsi oleh Majelis Umum PBB berdasarkan resolusi 58/ 4 tanggal 31 Oktober 2003, Indonesia telah meratifikasinya melalui Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC pada tanggal 18 April 2006.

Hingga saat ini, pemerintah belum membentuk suatu peraturan pelaksana terhadap keberlakuan UNCAC di Indonesia. UNCAC menyediakan sarana kepada para negara korban untuk dapat melakukan kerja sama internasional dalam upaya pengembalian aset, tetapi setiap negara peserta harus mempunyai suatu peraturan nasional yang dapat memberlakukan UNCAC tersebut.

Permasalahannya di sini adalah ratifikasi Indonesia terhadap UNCAC tidak menjadikan penerapan proses pengembalian aset menjadi terlaksana secara maksimal. Karena Indonesia belum memiliki pengaturan khusus mengenai proses pengembalian aset yang didasarkan atas kerja sama internasional.

2. Tidak Adanya Kemauan Politik Pemerintah yang Kuat terhadap Upaya Pemberantasan Korupsi.

Proses pengembalian aset sebagai salah satu upaya pemberantasan korupsi memerlukan dukungan kuat dari pemerintah negaranya. Kemauan politik pemerintah merupakan faktor utama yang menentukan dalam berhasil tidaknya suatu upaya pemberantasan korupsi di suatu negara, khususnya terhadap proses pengembalian aset.

Hal ini terlihat dalam proses hukum kasus mantan Presiden Soeharto, di mana hingga saat Soeharto meninggal pun belum ada satu aset pun (hasil tindak pidana korupsi) yang berhasil dikembalikan.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Dengan berlandaskan uraian di atas, terdapat beberapa kesimpulan yang diberikan sebagai berikut.

  • Mekanisme pengembalian aset yang diatur dalam peraturan perundang-undangan pemberantasan tindak pidana korupsi dan KUHAP terlalu sederhana dan masih bersifat konvensional sehingga tidak memungkinkan pengembalian aset secara efektif dan efisien. Indonesia perlu menyesuaikan peraturan perundang-undangannya dengan prinsip-prinsip dan standar-standar yang berlaku secara universal sebagaimana tercantum dalam UNCAC 2003.
  • Semenjak Indonesia meratifikasi UNCAC, proses pemberantasan korupsi terhadap pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi tidak menghasilkan peningkatan yang signifikan. Sedangkan Indonesia sudah mempunyai semua perlengkapan serta fasilitas dalam melakukan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Ini disebabakan kemauan politik (political will) pemerintah yang tidak kuat dalam membrantas korupsi yang dilakukan oleh para pejabat Indonesia, khususnya Mantan Presiden Soeharto.

Sebagai rekomendasi, Indonesia perlu menyusun undang-undang serta peraturan pelaksana yang mengatur mekanisme pengembalian aset termasuk mekanisme mengenai kerja sama internasional dalam pencegahan tindak pidana korupsi dari dalam atau yang ke luar negeri.

Dalam hubungan internasional, Indonesia harus aktif menyuarakan aksinya mengenai pemberantasan korupsi di negaranya di dalam forum-forum internasional seperti Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), sehingga masyarakat internasional sadar dan yakin bahwa Indonesia mempunyai tekad kuat dalam pemberantasan korupsi, yang pada akhirnya akan mempermudah kerja sama internasional dengan negara-negara lain dalam proses pengembalian aset.

-------

*)  Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia jurusan Hukum Hubungan Transnasional. Juara Kedua Mahasiswa Berprestasi Utama Fakultas Hukum Universitas Indonesia 2008. Sekarang sedang melakukan riset di PJKAKI KPK serta Jaringan Kerjasama Internasional ATR (Asset Tracing Recovery) KPK. Hingga saat ini aktif dalam dikusi, kampanye, serta proses pemberantasan korupsi (http://dunia-korupsi.blogspot.com). Penulis dapat dihubungi di [email protected].


States Parties shall afford one another the widest measure (huruf tebal dari penulis) of mutual legal assistance in investigations, prosecutions and judicial proceedings in relation to the offences covered by this Convention.

UNCAC, article 46 paragraph (8), menyatakan:

States Parties shall not decline to render mutual legal assistance pursuant to this article on the ground of bank secrecy. Hal ini menegaskan bahwa aturan kerahasiaan bank bukan merupakan hal yang tertutup secara mutlak lagi. Melalui prosedur dan hukum nasional suatu negara dengan menyesuaikan keberadaan UNCAC, maka negara korban dapat mengakses informasi perbankan suatu negara dalam melakukan proses pengembalian aset.


Page 6

2. Tidak Adanya Kemauan Politik Pemerintah yang Kuat terhadap Upaya Pemberantasan Korupsi.

Proses pengembalian aset sebagai salah satu upaya pemberantasan korupsi memerlukan dukungan kuat dari pemerintah negaranya. Kemauan politik pemerintah merupakan faktor utama yang menentukan dalam berhasil tidaknya suatu upaya pemberantasan korupsi di suatu negara, khususnya terhadap proses pengembalian aset.

Hal ini terlihat dalam proses hukum kasus mantan Presiden Soeharto, di mana hingga saat Soeharto meninggal pun belum ada satu aset pun (hasil tindak pidana korupsi) yang berhasil dikembalikan.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Dengan berlandaskan uraian di atas, terdapat beberapa kesimpulan yang diberikan sebagai berikut.

  • Mekanisme pengembalian aset yang diatur dalam peraturan perundang-undangan pemberantasan tindak pidana korupsi dan KUHAP terlalu sederhana dan masih bersifat konvensional sehingga tidak memungkinkan pengembalian aset secara efektif dan efisien. Indonesia perlu menyesuaikan peraturan perundang-undangannya dengan prinsip-prinsip dan standar-standar yang berlaku secara universal sebagaimana tercantum dalam UNCAC 2003.
  • Semenjak Indonesia meratifikasi UNCAC, proses pemberantasan korupsi terhadap pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi tidak menghasilkan peningkatan yang signifikan. Sedangkan Indonesia sudah mempunyai semua perlengkapan serta fasilitas dalam melakukan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Ini disebabakan kemauan politik (political will) pemerintah yang tidak kuat dalam membrantas korupsi yang dilakukan oleh para pejabat Indonesia, khususnya Mantan Presiden Soeharto.

Sebagai rekomendasi, Indonesia perlu menyusun undang-undang serta peraturan pelaksana yang mengatur mekanisme pengembalian aset termasuk mekanisme mengenai kerja sama internasional dalam pencegahan tindak pidana korupsi dari dalam atau yang ke luar negeri.

Dalam hubungan internasional, Indonesia harus aktif menyuarakan aksinya mengenai pemberantasan korupsi di negaranya di dalam forum-forum internasional seperti Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), sehingga masyarakat internasional sadar dan yakin bahwa Indonesia mempunyai tekad kuat dalam pemberantasan korupsi, yang pada akhirnya akan mempermudah kerja sama internasional dengan negara-negara lain dalam proses pengembalian aset.

-------

*)  Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia jurusan Hukum Hubungan Transnasional. Juara Kedua Mahasiswa Berprestasi Utama Fakultas Hukum Universitas Indonesia 2008. Sekarang sedang melakukan riset di PJKAKI KPK serta Jaringan Kerjasama Internasional ATR (Asset Tracing Recovery) KPK. Hingga saat ini aktif dalam dikusi, kampanye, serta proses pemberantasan korupsi (http://dunia-korupsi.blogspot.com). Penulis dapat dihubungi di [email protected].


States Parties shall afford one another the widest measure (huruf tebal dari penulis) of mutual legal assistance in investigations, prosecutions and judicial proceedings in relation to the offences covered by this Convention.

UNCAC, article 46 paragraph (8), menyatakan:

States Parties shall not decline to render mutual legal assistance pursuant to this article on the ground of bank secrecy. Hal ini menegaskan bahwa aturan kerahasiaan bank bukan merupakan hal yang tertutup secara mutlak lagi. Melalui prosedur dan hukum nasional suatu negara dengan menyesuaikan keberadaan UNCAC, maka negara korban dapat mengakses informasi perbankan suatu negara dalam melakukan proses pengembalian aset.