Apa latar belakang perlawanan Pattimura di Maluku?

Perang Pattimura merupakan bentuk perlawanan masyrakat Maluku dalam melawan penjajah. Maluku merupakan daerah yang kaya dengan rempah-rempah. Maka dari itu, banyak bangsa lain yang datang ke Maluku untuk berdagang. Seiring berjalannya waktu, kehadiran bangsa lain ternyata membuat kehidupan masyarakat Maluku terganggu terutama dalam tatanan ekonomi.

Bagaimanakah kronologis perlawanan rakyat Maluku dalam mengusir penjajah? Simak penjelasannya berikut ini.

Mengutip dari buku “Sejarah Indonesia SMA/MA/SMK/MAK Kelas XI Semester 1”, latar belakang Perang Pattimura diawali dengan kedatangan bangsa barat ke tanah Maluku untuk melakukan perdagangan. Maluku menjadi salah satu daerah yang banyak dituju orang-orang Eropa karena kekayaan yang dimilikinya. Hasil alam yang melimpah membuat daerah ini mendapat julukan “mutiara dari timur”.

Kekayaan yang ada di dalamnya membuat bangsa Eropa datang berbondong-bondong datang ke tanah Maluku. Kedatangan orang-orang Eropa awalnya hanya untuk berdagang saja, namun seiring berjalannya waktu mereka semakin berkuasa dan membuat masyarakat Maluku merasa terganggu.

Pada masa pemerintahan Inggris di bawah Raffles, keadaan Maluku cukup tenang karena Inggris bersedia membayar hasil bumi rakyat Maluku. Kegiatan kerja rodi berkurang dan para pemuda diberi kesempatan bekerja di dinas angkatan perang Inggris.

Namun kondisi berubah saat Hinida Belanda datang. Kegiatan monopoli perdagangan di Maluku kembali diperketat. Dengan demikian, beban masyarakat semakin besar. Pasalnya, selain penyerahan wajib, masyarakat Maluku juga wajib kerja paksa, menyerahkan ikan asin, dendeng, dan kopi.

Advertising

Advertising

Jika diketahui ada yang melanggar, maka pemerintah Hindia Belanda akan bertindak tegas untuk menghukum. Selain penyerahan sejumlah hasil Bumi, pada masa Hindia Belanda juga terjadi desas desus bahwa para guru akan diberhentikan dan para pemuda akan dijadikan tentara di luar Maluku.

Kabar tersebut membuat situasi semakin panas. Hal lain yang juga menyulut kemarahan masyarakat Maluku yaitu sikap arogan dan sewenang-wenang dari Redisen Saparua. Sikap tidak terpuji itu tercerminkan saat masyarakat menuntut pembayaran atas perahu yang dijualnya ke Belanda.

Pada saat itu, Belanda enggan untuk membayar perahu tersebut. Para pembuat perahu kemudian mengancam akan mogok apabila tidak dibayarkan. Residen Saparua Van den Berg menolak tuntutan tersebut. Kejadian ini membuat kebencian rakyat Maluku semakin bertambah.  

Baca Juga

Ketidakadilan yang diterima rakyat Maluku membuat banyak pemuda Maluku melakukan serangkaian pertemuan rahasia. Contohnya pertemuan yang diadakan di Pulau Haruku, pulau yang dihuni umat Islam..

Kemudian pada tanggal 14 Mei 1817, mereka mengadakan pertemuan kembali di Pulau Saparua (pulau yang dihuni umat Kristiani) atau lebih tepatnya di Hutan Kayu Putih. Dalam pertemuan tersebut disipulkan bahwa rakyat Maluku tidak ingin menderita. Maka dari itu, mereka perlu melawan untuk menetang Belanda.

Thomas Matulessi atau yang kemudian dikenal sebagai Pattimura dipercaya sebagai pemimpin. Penunjukkan tersebut dikarenakan Pattimura pernah bekerja di dinas angkatan perang Inggris. Dari pengalamannya tersebut, harapannya bisa menguntungkan rakyat Maluku.

Pergerakan Perang Pattimura

Perlawanan masyarakat Maluku dimulai dengan menghancurkan kapal Belanda yang ada di pelabuhan. Setelah itu, para pejuang menuju Benteng Duurstede. Ternyata di benteng tersebut sudah berkumpul pasukan Belanda. Maka dari itu, terjadilah pertempuran antara pejuang Maluku dengan pasukan Belanda.

Pasukan Maluku dipimpin oleh Christina Martha Tiahahu, Tomas Pattiwwail, dan Lucas Latumahina. Sedangkan pasukan Belanda di pimpin oleh Residen van den Berg. Pada tertempuran kali ini, Residen van den Bergs terbunuh dan pasukan Maluku berhasil menguasai benteng Duurstede.

Belanda kemudian meminta bantuan dari Ambon sejumlah 300 prajurit yang dipimpin oleh Mayor Beetjes. Namun bantuan ini berhasil digagalkan pasukan Pattimura. Dalam peristiwa ini, Mayor Beetjes juga terbunuh. Kemenangan tersebut membuat pejuang lain semakin bersemangat.

Selanjutnya Pattimura fokus menyerang Benteng Zeelandia di Pulau Haruku. Melihat strategi ini, maka pasukan Belanda, kemudian mempekuat pertahanan di benteng. Patroli juga diperketat, sehingga Pattimura dan pasukannya gagal menembus Benteng Zeelandia.

Selain melakukan bergerak dengan perlawanan fisik, upaya perundingan juga dilakukan. Sayangnya perundingan tersebut tidak menemui kesepakatan antar kedua belah pihak. Hingga akhirnya Belanda mengerahkan seluruh kekuatannya termasuk bantuan dari Batavia untuk merebut Benteng Duurstede.

Agustus 1817 Saparua diblokade, Benteng Duurstede dikepung berserta tembakan meriam yang bertubi-tubi. Satu persatu perlawanan di luar benteng lumpuh. Daerah di kepualauan kemudian bisa dikuasai Belanda.

Kondisi tersebut membuat Pattimura memerintahkan pasukannya untuk meloloskan diri dan meninggalkan tempat pertahannya. Dengan demikian, Benteng Duurstede berhasil di kuasai Belanda. Pattimura dan pasukannya terus melawan dengan cara bergerilya.

Namun pada bukan November, beberapa pasukan Pattimura tertangkap salah satunya Kapitan Paulus Tiahahu (ayah Christina Martha Tiahahu). Kapitan Paulus kemudian dijatuhi hukuman mati. Mendengar kabar tersebut, Christina Martha Tiahahu marah dan segera pergi ke hutan untuk bergerilya.

Baca Juga

Meskipun sudah menguasai benteng dan berhasil menghukum mati Kapitan Paulus, Belanda belum puas sebelum berhasil menangkap Pattimura. Bahkan, Belanda mengumumkan siapapun yang berhasil menangkap Pattimura akan diberi hadiah 1000 gulden.

Setelah enam bulan memimpin perlawanan, akhirnya Pattimura tertangkap tanggal 16 Desember 1817, Pattimura kemudian digantung di alun-alun Kota Ambon. Tokoh Perang Pattimura lainnya yaitu Christina Martha Tiahahu lalu melanjutkan perang gerilya walaupun akhirnya tertangkap juga.

Christina tidak dihukum mati, namun dia dibuang bersama 39 orang lainnya ke Jawa untuk melaksanakan kerja rodi. Dikisahkan bahwa dalam kapan, Christina Martha Tiahahu melakukan aksi mogok makan dan enggan buka mulut.

Ia kemudian jatuh sakit dan meninggal dunia pada 2 Januari 1818. Jenazahnya dibuang ke laut antara Pulau Buru dan Pulau Tiga. Meninggalnya Christina Martha Tiahahu menjadi petanda berakhirnya Perang Pattimura.  

Baca Juga

Perlawanan yang dilakukan oleh Pattimura dan pejuang lainnya ternyata memberikan dampak yang berarti untuk masyarakat Maluku pada saat itu. Jika dilihat dari cerita sejarahnya, perlawanan tersebut berhasil merebut salah satu benteng pertahanan Belanda yaitu Benteng Duurstede.

Meskipun pada akhirnya benteng tersebut kembali dikuasai Belanda, setidaknya para pejuang Maluku sudah membuktikan bahwa mereka tidak bisa remehkan. Semangat itulah yang kemudian menjadi modal untuk melakukan perlawanan lain.

Latar Belakang Terjadinya Perlawanan Pattimura di Saparua – Imperialisme dan Kolonialisme memang membuat bangsa kita sengsara, tapi dari kesengsaraan yang diakibatkan oleh penindasan tersebut kemudian memunculkan perlawanan-perlawanan terhadap penjajah. Perlawanan ini sebagai bentuk usaha dalam melepaskan dari belenggu penjajah dan mengusirnya dari tanah Indonesia.  

Salah satu bentuk perlawanan terhadap penjajah dilakukan oleh rakyat Maluku, salah satu tokoh yang paling terkenal gigih perjuangannya adalah Pattimura. Pattimura bersama rakyat Maluku berperang melawan penjajahan Belanda, perang Pattimura ini terjadi sekitar tahun 1817.

Lalu apa yang melatarbelakangi terjadi perlawanan Pattimura di Saparua, Maluku?

Latar Belakang Perlawanan Pattimura di Saparua, Maluku

Maluku merupakan salah satu wilayah penghasil rempah-rempah yang sangat melmpah, maluku bersama-sama wilayah disekitarnya sering diibaratkan sebagai “mutiara dari timur” yang diperebutkan oleh bangsa-bangsa Eropa.

Bangsa-bangsa Eropa awalnya memang hanya untuk berdagang, tapi lama kelamaan mereka ingin berkuasa dan melakukan monopoli di wilayah tersebut. Bahkan sampai melakukan penjajahan yang sangat tidak manusiawi seperti penindasan, penyiksaan sampai dengan kerja paksa.   

Penjajahan yang cukup memberatkan rakyat Indonesia ini terjadi pada jaman penjajahan Belanda, rakyat diminta untuk menyerahkan upeti, penyerahan ikan asin, dendeng, kopi dan kerja paksa. Ditambah lagi terdengar desas desus bahwa guru akan diberhentikan sebagai penghematan. Belanda juga memanfaatkan para pemuda untuk dijadikan sebagai tentara di luar Maluku.  

Dari penderitaan yang dialami ditambah dengan desas-desus itu membuat rakyat maluku semakin geram, apalagi sikap dari Residen Saparua juga sewenang-wenang terhadap rakyat maluku. Sebagai contoh adalah ketika Belanda tidak mau membayar perahu yang Belanda pesan terhadap Maluku.   

Bangsa Belanda tidak pernah menghargai jasa-jasa orang Maluku, sudah diberi ikan asin secara gratis tapi malah bertindak semaunya dengan tidak membayar perahu yang telah dibuatkan. Para pembuat perahu kemudian menuntut agar dibayar, jika tidak maka akan mogok kerja. Tuntutan itu kemudian ditolak oleh Residen Saparua Van den Berg.   

Atas perlakuan pihak Kolonial Belanda yang tidak adil dan beradab itu, kemudian menyulut kemarahan rakyat Maluku. Para tokoh dan pemuda Maluku kemudian melakukan pertemuan rahasia. Seperti pada pertemuan rahasia di Pulau Haruku, dan juga di Pulau Saparua pada tanggal 14 Mei 1817.  

Dari berbagai pertemuan rahasia tersebut, mendapatkan kesimpulan bahwa rakyat Maluku tidak ingin terus menderita di bawah keserakahan dan kekajaman Belanda.

Dari sinilah dimulainya perlawanan Maluku melawahan Penjajahan Belanda. Perlawanan ini dipimpin oleh Thomas Matulessy, seorang mantan pegawai di dinas angkatan perang Inggris. Thomas Matulessy ini kemudian mendapat gelar Pattimura.  

Jadi ada beberapa latar belakang terjadinya perlawanan Pattimura di Saparua, yaitu : 

  • Tindakan sewenang-wenang Pihak Kolonial Belanda yang menyengsarakan rakyat seperti kerja paksa, penyerahan paksa ikan asing, kopi dan rempah-rempah.
  • Pihak Belanda tidak menghargai jasa rakyat Maluku dalam membuat kapal.
  • Muncul desas desus bahwa para guru akan diberhentikan untuk penghematan, dan para pemuda dijadikan tentara di luar Maluku.
  • Kesengsaraan masyarakat maluku akibat penjajahan Kolonial Belanda.

Baca juga : Beberapa Ketentuan Tanam Paksa di Indonesia

Gigihnya Perlawanan Pattimura Melawan Penjajah Belanda

Apa latar belakang perlawanan Pattimura di Maluku?

Pattimura merupakan gelar yang diberikan kepada Thomas Matulessy, hingga sampai sekarang lebih kita kenal sebagai Pattimura. Pattimura merupakan seseorang mantan pegawai di dinas angkatan perang Inggris, sehingga dipercaya mampu memimpin rakyat maluku.  

Rakyat Maluku merasa terjajah dan merasakan penderitaan akibat penjajahan yang dilakukan oleh pihak kolonial Belanda, kebijakan yang cukup menyengsarakan rakyat tersebut antara lain penyerahan paksa, kerja paksa dan beberapa tindakan kejam jika rakyat tidak mau patuh terhadap bangsa Belanda.

Gigihnya Perlawanan Pattimura Melawan Penjajah Belanda – merupakan gelar yang diberikan kepada Thomas Matulessy, hingga sampai sekarang lebih kita kenal sebagai Pattimura. Pattimura merupakan seseorang mantan pegawai di dinas angkatan perang Inggris, sehingga dipercaya mampu memimpin rakyat maluku.  

Rakyat Maluku merasa terjajah dan merasakan penderitaan akibat penjajahan yang dilakukan oleh pihak kolonial Belanda, kebijakan yang cukup menyengsarakan rakyat tersebut antara lain penyerahan paksa, kerja paksa dan beberapa tindakan kejam jika rakyat tidak mau patuh terhadap bangsa Belanda.

Akhirnya terjadilah pertempuran antara pejuang Maluku dengan para pasukan Belanda. Dalam peperangan itu, para pejuang Maluku dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Christina Martha Tiahahu, Thomas Pattiwwail, dan Lucas Latumahina.  

Para pejuang Maluku melawan hanya dengan peralatan sederhana seperti pedang dan keris, sementara para tentara Belanda sudah memiliki peralatan canggih, sehingga tembakan-tembakan meriam tidak dapat dihindari oleh para pejuang Maluku.   

Tanpa menyerah, para pejuang Maluku terus mengepung Benteng Duurstede, dan satu persatu para pejuang Maluku dapat memanjat dan masuk ke dalam benteng. Residen terbunuh dan Benteng Duurstede dapat dikuasai oleh para pejuang Maluku. Karena kemenangan dalam peperangan ini, semangat para pejuang terus menggelora dan bertekad akan melawan Belanda sampai titik darah penghabisan.  

Karena kekahalannya tersebut, Belanda kemudian meminta bantuan tentara dari Ambon. Sebanyak 300 prajurit yang dipimpin oleh Mayor Beetjes didatangkan dari Ambon dan dikawal oleh dua kapal perang.   Namun, bantuan prajurit ini berhasil digagalkan oleh pasukan Pattimura, bahkan pemimpinnya juga terbunuh. Dua kemenangan ini menambah semangat para pejuang Maluku untuk melawan Belanda.  

Selanjutnya Pattimura berfokus menyerang Belanda yang berada di Benteng Zeelandia di Pulau Haruku. Namun, Belanda sepertinya sudah menduga akan penyerangan selanjutnya, sehingga Belanda memperkuat pertahanan di Benteng Zeelandia, akibatnya Pattimura gagal menembus Benteng Zeelandia.  

Belanda ingin sekali kembali ke Benteng Duurstede, salah satunya dengan menawarkan berbagai kesepakatan, namun gagal. Akhirnya dengan mendapatkan bantuan dari Batavia, pada bulan Agustus 1817 Belanda menyerang Saparua untuk merebut Benteng Duurstede. Satu persatu pertahanan di luar benteng dapat ditembus, akhirnya daerah kepulauan itu jatuh kembali ke tangan Belanda.  

Sementara Pattimura dan pasukkannya berhasil meloloskan diri dan meninggalkan tempat pertahanannya. Kekalahan ini tidak menyurutkan semangat Pattimura dan pejuangnya dalam melawan Belanda, Pattimura bersama pasukkannya terus melawan dengan gerilya.

Namun pada bulan November beberapa pembantu Pattimura tertangkap seperti Kapitan Paulus Tiahahu (ayah Christina Martha Tiahahu) yang kemudian dijatuhi hukuman mati.  

Mendengar ayahandanya telah gugur, Christina Martha Tiahahu marah dan segera pergi ke hutan untuk bergerilya melawan Belanda.  

Belanda masih terus memburu Pattimura beserta pasukkannya, bahkan Belanda mengadakan sayembara bagi siapapun yang dapat menangkap Pattimura akan diberi hadian 1.000 gulden.   

Akhirnya setelah memimpin 6 bulan perawanan, Pattimura tertangkap dan pada tanggal 16 Desember 1817 Pattimura dihukum gantung di alun-alun Kota Ambon. Sementara Christina Martha Tiahahu bersama pejuang yang lain juga tertangkap, namun tidak dikenai hukuman mati melainkan dibuang ke Jawa untuk dijadikan sebagai pekerja Rodi.  

Dikisahkan bahwa Christina Martha Tiahahu meninggal diperjalanan akibat sakit, sehingga jenazahnya dibuang ke laut antara Pulau Buru dan Pulau Tiga. Berakhirlah perlawanan Pattimura bersama para pejuangnya.   Pattimura memang sudah tidak ada, namun namanya akan selalu harum dan semangat perjuangannya marilah kita teruskan demi Indonesia yang lebih baik.