Banyak orang mungkin berpendapat bahwa syarat menjadi PKP adalah memiliki badan usaha berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Anggapan ini jelas keliru, karena supaya bisa dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), bentuk badan usaha tak mesti harus PT. Syarat menjadi PKP lebih dititikberatkan pada peredaran bruto per tahun serta kepada kesiapan seorang pengusaha atau perusahaan dalam mengemban kewajiban-kewajiban yang melekat pada status PKP tersebut. Sementara, terkait status badan usaha sebenarnya pemerintah tidak membatasi pada satu bentuk badan hukum usaha tertentu. Artinya, bentuk badan hukum bukanlah menjadi syarat mutlak bagi seorang pengusaha untuk dikukuhkan sebagai PKP. Badan Usaha Sebagai PKPTelah disebutkan sebelumnya, bahwa syarat menjadi PKP tidaklah dibatasi dalam badan usaha atau badan hukum usaha tertentu. Konsekuensi dari syarat menjadi PKP yang tidak dibatasi pada satu bentuk usaha tertentu ini adalah, setiap bentuk usaha dan wajib pajak perorangan berhak mengajukan diri sebagai PKP. Badan usaha yang dimaksud ini bisa dalam bentuk PT, Commanditaire Vennootschap atau CV, Perusahaan Dagang (PD), Koperasi, Usaha Kecil Menengah (UKM) bahkan perusahaan perorangan. Kesemuanya berhak mengajukan diri sebagai PKP, asalkan telah memenuhi semua syarat menjadi PKP. Tidak dibatasinya bentuk badan usaha sebagai syarat menjadi PKP ini agaknya mengacu pada subjek pajak yang tertera pada Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh), dimana subjek pajak ini mengatur mengenai siapa-siapa saja yang menjadi subjek pelaku ketentuan perpajakan. Subjek pajak yang dimaksud antara lain:
Penjabaran mengenai bentuk Badan dinyatakan dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cata Perpajakan (UU KUP), dimana pada Pasal 1 Ayat (3) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Badan adalah: “sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap“. Nah, mengacu pada pengertian yang termaktub dalam UU KUP ini, dapat ditegaskan bahwa syarat menjadi PKP bisa dilalui oleh berbagai bentuk badan usaha, tak terbatas pada PT saja. Agar dikukuhkan menjadi PKP, maka seorang pengusaha, baik itu wajib pajak pribadi ataupun wajib pajak badan harus memenuhi syarat subjektif dan objektif sebagai syarat menjadi PKP. Adapun poin-poin dalam syarat subjektif dan objektif adalah sebagai berikut: 1. Syarat objektif
2. Syarat subjektif
Di luar dua syarat ini, seorang pengusaha atau badan usaha juga harus memiliki pendapatan dalam 1 tahun buku yang mencapai Rp 4,8 miliar. Namun, apabila pendapatan dalam satu tahun belum mencapai Rp 4,8 miliar pun tetap bisa mengajukan diri menjadi PKP, asalkan telah memenuhi persyaratan objektif dan objektif. Banyak badan usaha, termasuk UKM yang meski pendapatan dalam satu tahun belum mencapai Rp 4,8 miliar mengajukan diri sebagai PKP, lantaran dengan status PKP seorang pengusaha atau suatu badan usaha bisa lebih leluasa bergerak. Artinya, dengan status PKP ini, transaksi dengan pihak pemerintah dan swasta besar jadi lebih mudah.
Berdasarkan UU KUP, Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya. Wajib pajak (WP) yang biasanya dikukuhkan menjadi PKP adalah WP yang memiliki usaha yang berkaitan langsung dengan PPN, seperti pemilik swalayan dan kontraktor. Untuk mendaftarkan NPWP Anda menjadi PKP maka ada syarat subjektif dan objektif yang harus Anda penuhi.
Syarat Objektif PKP Dalam peraturan perpajakan hanya disebutkan bahwa syarat objektif adalah gambaran kegiatan usaha, namun secara umum dapat diperinci sebagai berikut.
Aturan dalam PMK 182/PMK.03/2015 belum menerangkan secara jelas tentang persyaratan menjadi PKP, untuk itulah artikel ini kami buat. (Sumber: DJP Perpajakan)
Catatan Ekstens - Untuk mendapatkan penjelasan yang lebih detilnya maka kita harus lihat di Undang-undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (untuk selanjutnya disebut UU KUP) tepatnya di penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU KUP. Berikut definisinya:
Yang menjadi Subjek Pajak adalah:
Subjek Pajak terdiri dari Subjek Pajak dalam negeri dan Subjek Pajak luar negeri.
Yang dimaksud dengan Subjek Pajak dalam negeri adalah :
1. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;
2. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia;
3. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.
Yang dimaksud dengan Subjek Pajak luar negeri adalah :
1. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;
2. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Sedangkan ketentuan mengenai objek pajak tercantum dalam pasal 4 sebagai berikut: Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk : 1. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini;
2. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
4. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk : a. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal; b. keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota; c. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha; d. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan; 5. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya; 6. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang; 7. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; 9. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; 10. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala; 11. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah; 12. keuntungan karena selisih kurs mata uang asing; 13. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva; 15. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas; 16. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak. Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Jadi bila Subjek Pajak di atas memperoleh penghasilan sebagaimana yang saya sebutkan dalam masalah objek pajak dan mempunyai kewajiban pelaksanaan pemotongan dan pemungutan maka ini berarti subjek pajak tersebut telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif. Setelah mengetahui Persyaratan Subjektif dan Objektif Wajib Pajak, maka selanjutnya adalah ketahui juga Kewajiban dan Hak Wajib Pajak. Salah satu kewajiban yang harus dipenuhi adalah mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Silakan klik disini untuk mengetahui Kewajiban dan Hak Wajib Pajak lainnya atau dengarkan sosialisasi kami di radio KLCBS. Demikian, semoga bermanfaat... Dibuka Kelas Pajak Gratis Cara Mengajukan Permohonan Narasumber dari DJP Page 2
Lapor SPT Hari Ini Catatan Ekstens - Belakangan ini banyak pertanyaan wajib pajak terkait permohonan Electronic Filing Identification Numb... Read More |