Ulama-ulama yang muncul pada abad ke-2 dan ke-3 diberi gelar

Ulama-ulama yang muncul pada abad ke-2 dan ke-3 diberi gelar

Loading Preview

Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.

Selama proses pengumpulan hadis dilakukan penjagaan dan pemeliharaan.

Wordpress.com/a

Penulisan hadis (ilustrasi).

Rep: Nashih Nasrullah Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Sebagai sumber hukum Islam, hadis telah melewati proses sejarah yang sangat panjang. Menurut Syekh ‘Abdul Ghoffar ar-Rahmani dalam Pengantar Tadwin (Pengumpulan) Hadits, proses panjang penjagaan dan pemeliharaan hadis berlangsung melalui tiga cara. Yaitu, umat yang mengamalkan hadis tersebut, hafalan (hifzun) dan tulisan (kitabah), serta periwayatan dan pengajaran.Dengan metode-metode tersebut, pengumpulan, pengklasifikasian, tabwib (penyusunan formasi), dan penulisan hadis dibagi menjadi empat periode, yakni:

Periode Pertama

Baca Juga

Periode pertama berlangsung selama rentang hidup Nabi Muhammad SAW hingga sepanjang abad pertama Hijriah. Pada masa ini, Rasulullah hidup, bergaul dan berbicara dengan masyarakat dan para sahabat, baik di masjid, rumah, pasar, maupun saat berjumpa dengan musafir. Apa yang disampaikan oleh Nabi SAW senantiasaa diperhatikan secara saksama oleh para sahabat yang menjadi periwayat hadis kendati masih berupa hafalan. Beberapa penghafal hadis terkenal pada periode ini adalah Abu Hurairah, Abdullah bin ‘Abbas, Aisyah ash-Shiddiqah, Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdullah, Anas bin Malik, dan lain-lain.

Periode Kedua

Periode ini dimulai sekitar pertengahan abad kedua Hijriah. Selama periode ini, sejumlah besar tabi’in menghimpun karya mereka dalam bentuk buku. Beberapa penghimpun hadis pada periode ini adalah Muhammad bin Syihab az-Zuhri (ia dianggap sebagai ulama hadis terbesar di zamannya), Abdul Malik bin Juraij, Mu’ammar bin Rasyid, Imam Sufyan ats-Tsauri, Imam Hammad bin Salamah, Abdullah bin al- Mubarak, dan Malik bin Anas (w. 179 H). Di antara karya tulis pada periode ini adalah Al- Muwaththa’ karya Imam Malik.

Periode Ketiga

Dimulai pada abad ke-2 H hingga akhir abad ke-4 H, ketika hadis-hadis Nabi, atsar sahabat, dan aqwal (ucapan) tabi’in dikategorisasikan, dipisahkan, dan dibedakan. Selain itu, riwayat-riwayat yang maqbulah (diterima) dihimpun secara terpisah dan buku-buku dari periode kedua diperiksa kembali untuk diautentifikasi.Pada periode ini pula, hadis-hadis dipelihara dan dijaga. Hal itu diwujudkan para ulama dengan memformulasikan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadis (lebih dari 100 ilmu) hingga menghasilkan ribuan buku mengenai hadis. Salah satu penyusun hadis yang berasal dari periode ini adalah Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H). Ia menyusun kitab Musnad Ahmad yang berisi 30 ribu hadis dalam 24 juz.

Periode Keempat

Periode ini dimulai pada abad kelima hingga hari ini. Karya-karya yang dihasilkan dalam periode ini, antara lain penjelasan (syarh), catatan kaki (hasyiah), dan penerjemahan buku-buku hadis ke dalam berbagai bahasa. Pada periode ini pula, para ulama menyusun kitab hadis dengan mencuplik dari kitab-kitab yang pernah ditulis dan disusun pada abad ketiga.

Ulama hadis selanjutnya lalu menyusun syarh atau penjelasan dari buku-buku penjelasan hadis di atas. Misalnya, Muhammad Ismail ash- Shon’ani (wafat 1182 H) menulis kitab Subulus Salam Syarh Bulughul Maram yang berisi penjelasan kitab karya Ibnu Hajar al-Asqolani itu, atau Nailul Awthar karya Qadhi asy-Syaukani yang memuat penjelasan dari kitab Muntaqa al-Akhbar.

(Baca: Awal Mula Pengumpulan Hadis)

Ulama-ulama yang muncul pada abad ke-2 dan ke-3 diberi gelar

Red: Heri Ruslan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Heri Ruslan

Memasuki abad ke-3 H, para ulama mulai memilah hadis-hadis sahih dan menyusunnya ke dalam berbagai topik.Memasuki abad ke-8 M, satu per satu penghafal hadis meninggal dunia. Meluasnya daerah kekuasaan Islam juga membuat para penghafal hadis terpencar-pencar ke berbagai wilayah. Di tengah kondisi itu, upaya pemalsuan hadis demi memuluskan berbagai kepentingan merajalela.Kondisi itu mengundang keprihatinan Umar bin Abdul Aziz (628-720 M), Khalifah  Dinasti Umayyah kedelapan yang berkuasa pada 717-720 M.  Guna mencegah punahnya hadis, Umar bin Abdul Aziz memerintahkan pembukuan hadis-hadis yang dikuasai para penghafal. Gagasan pembukuan hadis itu pun mendapat dukungan dari para ulama di zaman itu.Sang Khalifah yang dikenal jujur dan adil itu segera memerintahkan Gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amru bin Hazm (wafat 117 H) untuk mengumpulkan hadis dari para penghafal yang ada di tanah suci kedua bagi umat Islam itu. Saat itu, di Madinah terdapat dua ulama besar penghafal hadis, yakni Amrah binti Abdurrahman dan Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar as-Siddiq.‘’Kedua ulama besar itu paling banyak menerima hadis dan paling dipercaya dalam meriwayatkan hadis dari Aisyah binti Abu Bakar,’’ tulis Ensiklopedi Islam. Selain itu,  Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga memerintahkan Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (wafat 124 H) untuk menghimpun hadis yang dikuasai oleh para ulama di Hijaz dan Suriah.Sejarah peradaban Islam mencatat Az-Zuhri sebagai ulama agung dari kelompong tabiin pertama yang membukukan hadis.  Memasuki abad ke-2 H atau abad ke- 8 M, upaya  pengumpulan, penulisan, serta pembukuan hadis dilakukan secara besar-besaran.  Para ulama penghafal hadis mencurahkan perhatian mereka untuk menyelamatkan ‘’sabda Rasulullah SAW’’ yang menjadi pedoman kedua bagi umat Islam, setelah Alquran. Ulama diberbagai kota peradaban Islam telah memberi kontribusi yang besar bagi pengumpulan, penulisan, dan pembukuan buku di abad ke-2 H.Di kota Makkah, ulama yang getol dan fokus menyelamatkan hadis adalah Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij. Pembukuan hadis di kota Madinah dilakukan oleh Malik bin Anas atau Imam malik dan Muhammad bin Ishak. Kegiatan serupa juga dilakukan ulama di kota-kota peradaban Islam seperti; Basrah, Yaman, Kufah, Suriah,  Khurasan dan Rayy (Iran), serta Mesir.Upaya pengumpulan, penulisan, dan pembukuan hadis pada masa itu belum sesuai harapan. Pada masa itu, masih terjadi percampuran antara sabda Rasulullah SAW dengan fatwa sahabat dan tabiin. Hal itu tampak pada kitab Al-Muwatta  yang disusun oleh Imam Malik.Pada zaman itu, isi kitab hadis terbilang amat beragam.  Sehingga, ada  ulama yang menggolongkannya sebagai al-musnad, yakni kitab hadis yang disusun  berdasarkan urutan nama sahabat yang menerima hadis dari Rasulullah SAW. Selain itu, ada pula yang memasukan pada kategori al-jami,  yakni kitab hadis yang memuat delapan pokok masalah, yakitu akidah, hukum, tafsir, etika makan-minum, tarikh, sejarah kehidupan Nabi SAW, akhlak, serta perbuatan baik dan tercela.Ada pula yang menggolongkan kitab hadisnya sebagai al-mu’jam, yakni  kitab yang memuat hadis menurut nama sahabat, guru, kabilah,  atau tempat hadis itu didapatkan; yang diurutkan secara alfabetis.Berbagai upaya dilakukan para ulama periode berikutnya. Para tabiin dan generasi sesudah tabiin mencoba memisahkan antara sabda Rasulullah SAW dengan fatwa para sahabat dan tabiin. Para ulama pun menuliskan  hadis yang termasuk sabda Rasulullah lengkap dengan sanadnya atau dikenal sebagai al-musnad.Ulama yang generasi pertama yang menulis al-musnad adalah Abu Dawud Sulaiman Al- Tayasili (133-203 H).  Setelah itu, ulama generasi berikutnya juga menulis al-musnad. Salah seorang ulama terkemuka yang menulis kitab hadis itu adalah Ahmad bin Hanbal atau Imam Hanbali. Kitab hadisnya dikenal sebagai  Musnad al-Imam Ahmad Ibnu Hanbal. Meski telah memisahkan antara hadis sabda Rasulullah SAW dengan fatwa sahabat dan tabiin, al-musnad dianggap masih memiliki kekurangan, karena masih mencampurkan hadis sahih, hasan, daif, bahkan hadis palsu alias maudhu.Memasuki abad ke-3 H, para ulama mulai memilah hadis-hadis sahih dan menyusunnya ke dalam berbagai topik. Abad ini disebut sejarah islam sebagai era tadwin atau pembukuan Alquran. Pada masa ini, muncul ulama-ulama ahli hadis yang membukukan sabda Rasulullah SAW secara sistematis.Para ulama hadis yang muncul di abad pembukuan hadis itu antara lain;  Imam  Bukhari menyusun Sahih al-Bukhari; Imam Muslim menyusun Sahih Muslim; Abu Dawud menyusun kitab Sunan Abi Dawud; Imam Abu Isa Muhammad At-Tirmizi menyusun kitab Sunan at-Tirmizi;  Imam An-Nasai menyusun kitab Sunan An-Nasai dan Ibnu Majah atau Muhammad bin Yazid ar-Rabai al-Qazwini. Keenam kitab hadis ini kemudian dikenal dengan sebutan al-Kutub as-Sittah  atau kitab hadis yang enam.Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam menetapkan hadis keenam pada jajaran al-Kutub as-Sittah.  Sebagian ulama berpendapat, kitab yang keenam itu adalah Sunan Ibnu Hibban karya Ibnu Hibban al-Busti (270-354 H). Ulama lainnya menempatkan al-Muwatta karya Imam Malik sebagai kitab hadis keenam.

  • sejarah
  • hadis
  • penulisan
  • khazanah
  • heri ruslan

Ulama-ulama yang muncul pada abad ke-2 dan ke-3 diberi gelar

Silakan akses epaper Republika di sini Epaper Republika ...