Tuliskan ayat 26 surat al araf tentang pakaian Kemudian apa fungsi utama pakaian yang terkandung dalam ayat tersebut?

(Hai anak Adam! Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian) Kami telah menciptakannya untuk kamu (untuk menutupi) guna menutupi (auratmu dan pakaian perhiasan) pakaian yang digunakan sebagai perhiasan. (Dan pakaian takwa) yakni amal saleh dan akhlak yang baik; dengan dibaca nashab karena diathafkan kepada lafal libaasan, dan dibaca rafa' sebagai mubtada sedangkan khabarnya ialah jumlah berikut ini (itulah yang lebih baik. Yang demikian itu adalah sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah) bukti-bukti yang menunjukkan kekuasaan-Nya (mudah-mudahan mereka selalu ingat) kemudian mau beriman; di dalam jumlah ini terkandung iltifat atau kata sindiran terhadap mukhathab atau orang yang diajak bicara.

Wahai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kalian pakaian untuk menutupi aurat kalian dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat. Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan anugerah yang telah diberikan-Nya kepada hamba-hamba-Nya, antara lain Dia telah menjadikan untuk mereka pakaian dan perhiasan. Pakaian untuk menutupi aurat, sedangkan perhiasan untuk memperindah penampilan lahiriah. Pakaian termasuk kebutuhan pokok, sedangkan perhiasan termasuk keperluan sampingan. Ibnu Jarir mengatakan bahwa ar-riyasy menurut istilah bahasa Arab ialah perabotan rumah tangga dan aksesori pakaian. Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dan Imam Bukhari meriwayatkan pula darinya, bahwa ar-riyasy ialah harta benda. Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid, Urwah ibnuz Zubair, As-Suddi, Adh-Dhahhak, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang. Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ar-risy artinya pakaian, sedangkan al-disy artinya kemewahan. Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa ar-riyasy artinya kecantikan. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Asbag, dari Abul Ala Asy-Syami yang menceritakan bahwa Abu Umamah memakai pakaian baru, ketika pakaiannya sampai pada tenggorokannya, ia mengucapkan doa berikut: Segala puji bagi Allah yang telah memberi saya pakaian untuk menutupi aurat saya dan untuk memperindah penampilan dalam hidup saya. Kemudian Abu Umamah mengatakan, ia pernah mendengar Umar ibnul Khattab bercerita bahwa ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Barang siapa memakai pakaian baru dan di saat memakainya hingga sampai pada tenggorokannya ia mengucapkan doa berikut, "Segala puji bagi Allah yang telah memberi saya pakaian untuk menutupi aurat saya dan untuk memperindah penampilan dalam hidup saya," kemudian ia menuju ke pakaian bekasnya dan menyedekahkannya, maka ia berada di dalam jaminan Allah dan berada di sisi Allah serta berada di dalam pemeliharaan Allah selama hidup dan mati(nya). Imam At-Tirmidzi dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui riwayat Yazid ibnu Harun, dari Asbag (yaitu Ibnu Zaid Al-Juhani) yang dinilai tsiqah oleh Yahya ibnu Mu'indan lain-lainnya. Gurunya bernama Abul Ala Asy-Syami, ia tidak dikenal melainkan hanya melalui hadits ini, tetapi hadits ini tidak ada seorang pun yang mengetengahkannya. Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ubaid, telah menceritakan kepada kami Mukhtar ibnu Nafi, dari Abu Matar, bahwa ia melihat Ali mendatangi seorang penjual kain, kemudian ia membeli sebuah baju gamis darinya dengan harga tiga dirham. Lalu ia memakainya di antara persendian tangan dan kedua mata kakinya. Ketika memakainya, ia mengucapkan doa berikut: Segala puji bagi Allah yang telah memberikan rezeki pakaian kepadaku untuk memperindah penampilanku di kalangan manusia dan untuk menutupi auratku. Ketika ditanyakan kepadanya, "Apakah doa ini darimu sendiri, ataukah engkau riwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?" Ali menjawab bahwa doa itu ia dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membacakannya di saat memakai jubah, yaitu: Segala puji bagi Allah yang telah memberiku rezeki berupa perhiasan untuk memperindah penampilan diriku di kalangan orang-orang lain dan untuk menutupi auratku. Hadits riwayat Imam Ahmad. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan pakaian takwa itulah yang lebih baik. (Al-A'raf: 26) Sebagian ulama membacanya libasat taqwa dengan harakat nasab, sedangkan sebagian yang lain membacanya rafa' sebagai mubtada, dan zalika khair berkedudukan menjadi khabar-nya. Ulama tafsir berbeda pendapat mengenai maknanya. Ikrimah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan libasut taqwa ialah pakaian yang dikenakan oleh orang-orang yang bertakwa kelak di hari kiamat. Demikian menurut riwayat Ibnu Abu Hatim. Zaid ibnu Ali, As-Suddi, Qatadah, dan Ibnu Juraij mengatakan bahwa libasut taqwa ialah iman. Sedangkan menurut Al-Aufi, dari Ibnu Abbas, libasut taqwa ialah amal saleh. Ad-Dayyal ibnu Amr meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa makna yang dimaksud ialah pertanda baik yang ada pada wajah. Disebutkan dari Urwah ibnuz Zubair bahwa libasut taqwa ialah takut kepada Allah. Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa libasut taqwa ialah bertakwa kepada Allah; dengan pakaian itu seseorang menutupi auratnya, demikianlah pengertian libasut taqwa. Pengertian semua pendapat tersebut mirip. Hal ini diperkuat dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir; ia mengatakan bahwa: telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnul Hajjaj, telah menceritakan kepadaku Ishaq ibnu Ismail, dari Sulaiman ibnu Arqam, dari Al-Hasan yang mengatakan bahwa ia pernah melihat Khalifah Usman ibnu Affan berada di atas mimbar Rasulullah dengan memakai baju gamis berkancing yang terbuka kancing-kancingnya. Lalu ia mendengarnya memerintahkan agar semua anjing dibunuh, dan ia melarang bermain burung merpati. Kemudian Khalifah Usman berkata, "Wahai manusia, bertakwalah kalian kepada Allah dalam lubuk hati kalian, karena sesungguhnya saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 'Demi Tuhan yang jiwa Muhammad ada pada genggaman kekuasaan-Nya, tidak sekali-kali seseorang memendam sesuatu dalam lubuk hatinya, melainkan Allah akan memakaikan kepadanya hal itu dalam bentuk kain selendang secara lahiriah (kelak di hari kiamat). Jika apa yang dipendamnya itu baik, maka pakaiannya baik; dan jika yang dipendamnya itu jahat, maka pakaiannya jahat (buruk) pula'." Kemudian Khalifah Usman membacakan firman-Nya: dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah. (Al-A'raf: 26); Khalifah Usman mengatakan, libasut taqwa ialah tanda yang baik. Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui riwayat Sulaiman ibnu Arqam, tetapi di dalamnya terkandung ke-dha’if-an (kelemahan). Imam Syafii, Imam Ahmad, dan Imam Bukhari meriwayatkan di dalam Kitabul Adab (Pembahasan Etika) melalui berbagai jalur yang shahih dari Al-Hasan Al-Basri, bahwa ia pernah mendengar Amirul Mukminin Usman ibnu Affan memerintahkan untuk membunuh semua anjing dan menyembelih burung-burung merpati. Hal ini dikemukakan-nya pada hari Jumat di atas mimbarnya. Adapun mengenai hadits marfu' yang melaluinya, telah diriwayatkan oleh An-Hafidzh Abul Qasim At-Ath-Thabarani di dalam kitab Mu'jamul Kabirnya. Hadisnya ini mempunyai syahid dari jalur lain."

Pada ayat-ayat yang lalu ditegaskan bahwa Allah menyuruh Adam dan istrinya keluar dari surga dan bertempat tinggal di bumi, dan dijelaskan pula bahwa setan adalah musuhnya yang sangat berbahaya. Pada ayat-ayat berikut Allah memberikan peringatan dan tuntunan kepada anak keturunan Adam akan hal-hal yang dapat memberi mereka manfaat di dunia, dan peringatan terhadap setan yang senantiasa berusaha menyesatkannya. Wahai anak cucu Adam! Ingatlah dan bersyukurlah pada Kami dengan menaati perintah Kami, karena sesungguhnya Kami telah memberikan karunia kepadamu dengan menyediakan kemudahan untuk mendapatkan pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan bagimu. Tetapi pakaian takwa, yakni dengan menghambakan diri kepada Allah dengan penuh ketulusan dan kecintaan, itulah yang lebih baik, karena hal tersebut akan mendatangkan kebahagiaan, meraih kecintaan Allah, dan menyelamatkan kamu dari azab Allah. Demikianlah Allah menceritakan tentang Adam dan istrinya. Hal tersebut merupakan sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan dengan kisah tersebut mereka, yakni manusia, menjadi ingat dan dapat mengambil pelajaran, bahwa siapa pun yang menyalahi perintah Allah dan melanggar larangan-Nya akan mendapatkan murka Allah. Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan dengan mengikuti bujuk rayunya, karena hal itu akan berakibat buruk sebagaimana halnya dia telah mengeluarkan ibu bapakmu, yakni Adam dan istrinya, dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka sehingga dia dan pengikutnya dapat mendatangimu dan menggodamu dari arah yang tidak kamu ketahui. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.

Pada ayat ini, Allah menyeru kepada anak-cucu Adam dan memperingatkan nikmat yang begitu banyak yang telah dianugerahkan-Nya agar mereka tidak melakukan maksiat, tetapi hendaklah mereka bertakwa kepada-Nya, dimana saja mereka berada, sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw: "Bertaqwalah kepada Allah di mana pun engkau berada." (Riwayat at-Tirmidzi dari Mu'adz bin Jabal) Allah yang menurunkan hujan dari langit, yang menyebabkan tumbuhnya kapas, rami, wool dan sebagainya yang kesemuanya itu dapat dijadikan bahan pakaian sesudah diolah untuk dipakai menutupi aurat kita, tubuh kita dan untuk menahan panas dan dingin dan dipakai dalam peperangan untuk menahan senjata (baju besi) pakaian juga bisa dijadikan keindahan sebagai perhiasan, satu hal yang disukai oleh Allah sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw "Sesungguhnya Allah itu sangat indah, menyenangi keindahan." (Riwayat Muslim dan at-Tirmidzi dari Ibnu Mas'ud) Ini semua merupakan pakaian dan keindahan lahiriah. Di samping itu ada lagi macam pakaian yang sifatnya rohaniah yang jauh lebih baik dari pakaian lahiriah tadi, karena ia dapat menghimpun segala macam kebaikan, yaitu takwa kepada Allah. Sabda Nabi Muhammad saw: "Hendaklah kamu bertakwa kepada Allah, karena sesungguhnya takwa itu menghimpun segala kebaikan". (Riwayat Abu Ya'la dari Abu Sa'id) Dengan takwa itu, Allah senantiasa memberikan kepada kita petunjuk untuk dapat mengatasi dan keluar dari kesulitan yang dihadapi. Dia akan memberikan kepada kita rezeki dari arah yang tidak terduga-duga sebelumnya dan selalu dimudahkan urusan kita, sebagaimana firman Allah: Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. (ath-thalaq/65: 2-3) Firman Allah: Dan barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya. (Ath-thalaq/65: 4) Segala nikmat yang telah dianugerahkan Allah seperti memberikan pakaian adalah tanda bagi kekuasaan Allah dan membuktikan kebaikan-Nya kepada anak cucu Adam a.s. maka pada tempatnyalah kalau kita selalu mengingat Allah, mensyukuri nikmat-Nya, menjauhi ajakan setan dan tidak berlebihan dalam ucapan dan lain sebagainya.

Setelah Allah menceritakan bagaimana kesudahan kedurhakaan iblis itu sampai dia diusir dengan hina dari dalam surga, Allah pun beralih kepada menceritakan Adam.


Ayat 19

“Wahai Adam! Tinggallah engkau dan istri engkau di surga itu."

Di permulaan kisah Adam, baru disebut sendirian. Malaikat diperintah sujud kepada Adam yang masih sendirian itu. Di dalam ayat ini beliau sudah mulai disebut berdua dengan istrinya. Artinya, sementara itu Allah telah menciptakan jodoh buat dia, istri buat teman hidupnya. Adapun yang diceritakan Al-Qur'an hanyalah asal mula kejadian Adam. Adapun asal mula kejadian istrinya, yang bernama Hawa itu tidaklah Al-Qur'an menceritakannya. Pengetahuan asal-usul tentang kejadian Siti Hawa, bolehlah manusia sendiri mencarinya. Karena kalau manusia telah tahu bahwa Adam terjadi dari tanah liat, tentu kejadian istrinya sudah dapat diqiyaskan oleh ahli akal. Hanya di dalam kitab Perjanjian Lama (Kejadian pasal: 2;21) diterangkan bahwa Allah mencabut sebilah tulang rusuk Adam sedang dia nyenyak tidur, lalu tulang rusuk itu diciptakan Allah menjadi seorang manusia perempuan, itulah Hawa. Ahli-ahli tafsir Al-Qur'an sebagian besar mengambil pendirian dari tulang rusuk ini pula karena ada hadits Nabi dirawikan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, mengatakan kejadian perempuan itu dari tulang rusuk.

Akan tetapi, ujung hadits itu menunjukkan bahwa perangai dan tingkah laku perempuan ada seperti tulang rusuk. Terlalu dikerasi dia patah, dibiarkan saja dia tetap bungkuk. Dan tidak pula ada hadits yang tepat mengatakan bahwa istri Adam terjadi dari tulang rusuk Adam. Ketika menafsirkan ayat Adam di surah al-Baqarah, hal ini pun telah kita perbincangkan.

Diperintahkanlah Adam dan istrinya tinggal berdiam di dalam surga itu dan firman Allah, “Maka makanlah olehmu berdua mana-mana yang kamu sukai." Setelah diberi kesempatan berdiam di dalam surga itu, diberilah keizinan bagi mereka berdua makan dan minum berenak-enak di dalamnya, sesuka hatilah memilih makanan yang berbagai ragam coraknya dalam surga itu.

“Tetapi, janganlah kamu bendua mendekat kepada pohon ini, sebab kamu akan termasuk dari mereka yang zalim."

Tegasnya, kalau kamu dekati dan kamu makan buahnya, kamu akan celaka.

Dengan ujung ayatini kita telah diberi pula pengertian bahwa pada manusia mula pertama sudah ada kebebasan. Dan sudah ditunjukkan bahwasanya kebebasan yang sejati itu ialah dengan adanya batas. Kebebasan dengan tidak mempunyai batas adalah kaos (kacau). Semua boleh dimakan, kecuali ini. Kalau batas itu dilanggar maka kebebasan tidak ada nilainya lagi. Orang yang melanggar larangan niscaya akan rugi, niscaya kebebasannya akan rusak.

Namun, kebebasan dengan adanya larangan yang tidak boleh ditempuh itu adalah tempat masuknya waswas setan. Tabiat manusia ialah ingin tahu dan ingin melanggar mana yang dilarang. Bertambah dilarang, bertambah besarlah keinginannya hendak tahu. Ada rupanya pohon yang terlarang. Sedangkan mendekat saja pun tidak boleh."Ada apa? Mengapa tidak boleh?'1 Di saat yang beginilah mudah masuknya setan,


Ayat 20

“Maka setan pun membisikkan kepada mereka keduanya yang akan menampakkan kepada keduanya dari kemaluan mereka berdua."

Dalam bahasa yang dipakai dalam ayat ialah waswas, yang kita artikan membisikkan. Bisa juga diambil langsung bahasa Arabnya itu, yaitu ditimbulkan waswas di dalam hati keduanya oleh setan. Sebab bisikan setan adalah mewaswaskan dalam jiwa. Ada pun yang setannya itu sendiri tidaklah menampakkandirinya. Setan yang memperdayakan Adam dan Hawa di surga itu belumlah setan kasar, yaitu manusia yang merayu orang lain berbuat pelanggaran. Masih setan iblis musuh ruh jahat yang tidak mau sujud bersama malaikat itu. Hadits Rasulullah saw. yang shahih pun ada menyatakan bahwa setan itu terkadang menyelusup ke dalam diri manusia dan mengalir sebagai aliran darah, memasukkan pengaruhnya. Jika setan sudah bangkit di dalam diri manusia, macam-macamlah bisik rayuan yang terdengar oleh telinga nyawa. Maksud setan memasukkan waswas atas bisik ini, di dalam ayat ini diterangkan dengan jelas, yaitu supaya Adam dan Hawa menampak kemaluan mereka, yang rupanya sebelum buah kayu yang terlarang mereka makan, mereka tidak sadar akan adanya alat kelamin mereka atau tidak peduli akan alat kelamin itu atau mungkin juga ditafsirkan tidak tahu akan gunanya.

Di dalam tafsir kita ini, kita lanjutkan saja terus menurut semangat bunyi ayat. Tidak kita tumpangi beberapa tafsir yang mengatakan bahwa ketika itu iblis menjelma atau menumpang ke dalam tubuh ular. Ini pun ada juga terdapat dalam beberapa tafsir Al-Qur'an tetapi tidak bertemu sumbernya dari hadits yang shahih. Tampak dengan jelas bahwa penafsiran dengan ular ini diambil lagi dari israiliyat atau dengan isi kitab Perjanjian Lama yang memengaruhi beberapa penafsir Islam. Maka, dari memahamkan bunyi ayat ini, dapat kita mengambil kesimpulan bahwa buah kayu yang terlarang itu kalau dimakan, manusia pertama itu akan terbuka kemaluannya atau auratnya. Di dalam ayat, aurat atau kemaluan itu disebut sau atu huma. Kita artikan kemaluan keduanya. Artinya yang asal dari sau atu, rumpun asal kata su' artinya “jahat'1. Arti lebih dalam ialah bahwa tabiat asli manusia kurang senang melihat atau memperlihatkan kemaluannya. Itu sebabnya, dalam bahasa kita aurat itu diartikan kemaluan. Tabiat manusia sendiri atau nalurinya, merasa malu melihat kemaluan atau memperlihatkan kemaluan sendiri. Sehingga kelompok manusia yang masih sangat primitif di dalam rimba Afrika atau Irian pun, walaupun masih bertelanjang, belum mengenal pakaian, kemaluan yang sedikit itu masih mereka tutup. Setan iblis yang telah lebih berpengalaman mengetahui hal itu. Namun, manusia pertama belum tahu.

“Dan dia berkata, Tidaklah melaraang Tuhan kamu berdua dari pohon ini melainkan lantunan kamu berdua akan jadi malaikat atau lantunan kamu bendua akan jadi dari orang-orang yang kekal.'"

Inilah rupanya isi bisik atau waswas yang dimasukkan setan kepada keduanya, Adam dan Hawa. Kamu berdua dilarang memakan buah ini tidak lain maksudnya ialah supaya kamu jangan jadi malaikat atau menjadi makhluk yang kekal tidak mati-mati. Di sinilah masuk bisikan setan itu. Kamu dilarang Allah memakan itu ialah supaya kamu tetap jadi manusia saja dan kalau kamu makan tentu kamu jadi malaikat. Dapatlah diteruskan dalam penafsiran kita betapa luasnya pembisikan itu. Pertama keinginan manusia supaya hidup terus, tidak mati-mati dan keinginan inilah yang dibangkitkan setan kepada Adam dan Hawa. Keinginan mempunyai kekuatan dan keluasan bergerak dalam alam ini sebagai malaikat. Atau tidak pun jadi malaikat, baik jadi manusia juga, tetapi kekal, tidak mati-mati.

Keinginan-keinginan atau naluri ini sudah ada rupanya dalam dasar jiwa Adam. Namun, dia terhalang menurutkan kata perasaan itu, sebab dia dilarang mendekati buah dan pohon yang terlarang. Bertambah dilarang bertambah timbul keinginan itu. Apalagi manusia pertama belum berpengalaman. Karena selalu dibisiki, dirayu, dan dibujuk, niscaya timbullah keraguan. Waktu itulah setan iblis bersumpah,


Ayat 21

“Dan bersumpahlah dia kepada keduanya, ‘Sesungguhnyalah aku kepada kamu berdua, dari orang yang memberi nasihat.'"

Ayat ini memberikan pula pengertian kepada kita bahwa bujuk rayu atau bisikan dan waswas yang dimasukkan ini telah dikerjakan oleh setan iblis dengan bersungguh-sungguh. Dan seakan-akan kelihatan oleh kita dari ruang celah-celah arti ayat bahwa kedua nenek kita telah menghadapi peperangan dalam hati, di antara keinginan dan larangan. Di dalam ayat selalu disebut bahwa mereka sekali keduanya dihadapi oleh setan, untuk menampakkan bagi kita bahwa untuk melemahkan pendirian laki-laki, istri pun turut dirayu. Akhirnya si setan bersumpah bahwa apa yang dikatakannya itu adalah nasihat. Kata nasihat adalah bersisi kejujuran tidak bohong. Pendeknya, si setan iblis telah mulailah waktu itu melancarkan tekadnya akan memperdayakan manusia dari muka dan dari belakang, dari kiri dan dari kanan sebagai tersebut pada ayat 17 tadi. Dan karena perkataan ini telah dikuatkan pula dengan sumpah, tentulah bertambah goyang pendirian kedua suami-istri itu.


Ayat 22

“Maka dianjurkanlah keduanya dengan tipu daya."

Kalau sudah mulai setan menganjurkan, tandanya rayuannya sudah tampak akan berhasil. Meskipun telah tampak akan berhasil, si setan laknat itu selalu juga waspada, dia tidak sekali-kali melepaskan sikap tipu dayanya sehingga terperosoklah Adam dan Hawa memakan buah yang terlarang itu. Manusia pertama belum berpengalaman."Maka setelah keduanya merasai pohon itu,"yaitu buahnya tiba-tiba."Terbukalah bagi keduanya kemaluan keduanya." Artinya setelah keduanya memakan buah itu, mulailah keduanya melihat bahwa mereka ada mempunyai alat kelamin. Masing-masing mulai sadar akan kemaluan sendiri dan kemaluan kawannya.

Ahli-ahli tafsir ada yang berkata bahwa mulanya mereka berpakaian yang indah-indah dari pakaian surga. Setelah buah itu mereka makan, pakaian surga itu tanggai dengan sendirinya. Ada pula yang mengatakan bahwa kemaluan keduanya tertutup dengan kuku, menjadi terbuka setelah makan buah itu. Dan ada pula yang mengatakan tertutup oleh semacam cahaya. Akan tetapi, karena penafsiran itu tidak dikuatkan oleh riwayat yang kuat dari Rasulullah saw„ barangkali tidak salah setelah memahami ayat itu kita menyatakan pendapat bahwa memakan buah itu menimbulkan kesadaran syahwat pada manusia? Menimbulkan kesadaran persetu-buhan pada laki-laki dan perempuan? “Dan bergegaslah keduanya menutupi atas keduanya dengan daun-daunan surga."

Artinya mulai saat itu mereka keduanya sadar akan alat kelamin masing-masing dan mulai tumbuh rasa malu melihatnya, baik melihat punya sendiri maupun melihat punya teman hidup sehingga bergegas (segera atau lekas-lekas) mengambil daun surga itu untuk menutupi aurat masing-masing. Mulailah terasa perubahan pandangan hidup maka timbullah malu dan timbullah rasa menyesal karena larangan Allah sudah dilanggar."Dan menyerulah Tuhan mereka kepada keduanya, ‘Bukankah telah Aku larang kamu berdua dari pohon itu?"‘

Setelah kamu keduanya telanjur melanggar larangan itu, kamu keduanya sudah mulai menderita, terutama menderita malu karena kemaluan tersingkap, merasa ngeri melihat diri bertelanjang.

“Dan telah Aku katakan kepada kamu berdua sesungguhnya setan itu bagi kamu berdua adalah musuh yang nyata?"

Dengan membaca surah Thaahaa ayat 117, kita dapat memahamkan ayat ini lebih jelas lagi bahwa setelah iblis itu dimurkai Allah karena tidak mau sujud kepada Adam.

Allah telah memberi peringatan kepada Adam dan istrinya supaya awas terhadap iblis sebab dia adalah musuh mereka. Rupanya karena naluri keingintahuan tadi, ditambah lagi dengan sumpah setan iblis itu bahwa dia memberi nasihat yang jujur, Adam terperosok. Allah memberi peringatan kalau rayuan iblis mereka perturutkan, mereka akan sengsara dan akan celaka. Bukanlah mereka akan jadi malaikat atau menjadi orang kekal, sebagai yang dibisikkan setan iblis, lantaran memakan buah itu, tetapi akan sengsara dan celakalah mereka, tidak layak lagi hidup di sana, sebab larangan Allah telah terlanggar. Karena teguran dan pertanyaan begitu dari Allah, sesal yang telah tumbuh sejak memakan buah itu, bertambah-tambah lagi. Insaf bahwa mereka telah disesatkan oleh musuh sendiri. Musuh yang datangnya bukan dengan kekerasan, te-tapi dengan tipu daya dan bisik-bisik dan memasukkan waswas, mencari sudut yang lemah dari benteng pertahanan manusia. Keduanya menyesal.


Ayat 23

“Keduanya menjawab, Wahai Tuhan kami! Kami telah menganiaya dia kami.'"

Inilah perkataan, doa, dan munajat (seruan) kepada Ilahi yang telah menyatakan pengakuan kesalahan. Kami telah melanggar larangan. Sekarang, tahulah kami bahwa kami telah menganiaya diri, terasa oleh kami sekarang penderitaan batin kami sendiri. Oleh karena itu ampunan Engkaulah yang kami harapkan lagi.

“Dan jika tidaklah Engkau ampuni kami dan Engkau nahmati kami, sesungguhnya jadilah kami dari orang-orang yang rugi."

Kami telah menganiaya diri kami sendiri, sebab rayuan musuh kami, si iblis kami turuti dan larangan Engkau kami langgar. Telah nyata kelemahan kami. Rasa ingin tabu yang ada dalam diri, tidak dapat kami kendalikan karena bagusnya bujukan setan. Kehendak ibiis kami turuti, kehendak Allah kami lalaikan. Maka kalau tidaklah Engkau ampuni dosa kami yang telah telanjur itu dan kalau tidaklah Engkau beri rahmat bagi kami dengan petunjuk dan hidayah sehingga buat selanjutnya kami hati-hati, niscaya rugilah kami, jiwa kami takut akan kerugian itu tetapi jalan lain untuk membangkitkan jiwa kembali kepada kebahagiaan dan kemenangan, tidak ada. Jalan hanya satu, yaitu kembali ke dalam perlindungan Engkau, berjalan di atas jalan Engkau.

Di dalam surah al-Baqarah dahulu, ayat 37, Allah telah memberitahukan pula kepada kita, bahwasanya ucapan doa yang demikian adalah Allah sendiri yang mengajarkannya kepada Adam sehingga dia dan istrinya diberi tobat. Memang, siapa pula lagi yang akan mengeluarkan insan dari kesulitannya kalau bukan Allah sendiri.

Karena permohonan yang demikian, mengakui memang diri telah bersalah dan tidak mengelak dari tanggung jawab maka Allah telah memberi ampun kepada Adam dan Hawa atas kesalahan melanggar larangan itu. Namun, keadaan Adam dan Hawa setelah memakan buah itu telah berubah pandangannya terhadap keadaan sekeliling, terutama dalam soal kelamin sudah lain. Meskipun kesalahan itu telah diberi ampun, tidak juga dia berdua layak lagi buat tinggal di dalam surga.


Ayat 24

“Dia berfirman, ‘Turunlah kamu semua!'"

Kalau semua adalah kata jamak, artinya untuk orang banyak lebih dari berdua. Mereka adalah bertiga, yaitu Adam, Hawa, dan iblis."Yang sebahagian kamu dari yang sebahagian adalah musuh." Sesudah kejadian dalam surga itu, sejak iblis tidak mau sujud, sampai dia menyatakan maksud hendak memperdayakan Adam dan Hawa dengan segenap keturunannya, dan pada waktu yang ditentukan kelak, sampai pula kepada pelaksanaan perdayaan iblis yang pertama, sampai Adam dan Hawa terperosok melanggar larangan, sudah nyatalah bahwa sebagian mereka, yaitu golongan Adam dengan istrinya dengan golongan iblis dan kaki tangannya sudah timbul permusuhan. Yang menimbulkan permusuhan pertama ialah iblis. Manusia tidak memusuhi iblis pada mulanya. Namun, karena iblis sudah bertekad untuk memusuhinya, niscaya manusia tidak dapat lagi memandang kawan kepada iblis yang seluruh hidupnya bertekad memusuhi manusia. Maka Allah memberi peringatan bahwa mau tidak mau, permusuhan ini telah ada. Di samping itu Allah pun memberitahu di mana tempat tinggal mereka yang baru.

“Dan untuk kamu di dalam bumi itu adalah tempat menetap dan untuk kekal, sampai suatu ketika."

Dengan ujung ayat ini diterangkanlah tempat kediaman yang baru itu yaitu bumi. Di tempat kediaman yang baru itulah mereka; Adam, Hawa, dan Iblis akan hidup. Berusahalah di sana dan carilah bekal untuk pulang kembali ke akhirat. Atau pulang kembali kepada Allah sebab dahulunya datang dari Allah. Tinggallah sementara waktu di sana, sampai datang satu ketika. Orang seorang hidup di dunia, kemudian mati. Anak cucu manusia itu turun-temurun meramaikan dunia sampai datang pula waktunya dunia itu dikiamatkan.

Menurut setengah tafsir lagi, kalimat ihbi-thuu boleh diartikan “turunlah kamu semuanya" dari dalamnya, yaitu dari dalam surga, yang dimaksud dengan memakai fi'il amar yang berupa jamak (perintah kepada banyak orang), bukanlah pada Adam, Hawa, dan Iblis, melainkan pada Adam dan Hawa dan anak-anak keturunan yang akan datang di belakang. Dalam kalimat jamak itu, tidak untuk iblis.

Mereka tafsirkan demikian sebab perintah khusus menyuruh turun dan keluar daripada surga kepada iblis sudah terang dalam ayat 12 di atas. Ihbith: perintah turun kepada orang seorang (mufrad).

Dan kata ahli tafsir itu pula, walaupun waktu itu yang kelihatan baru Adam dan Hawa, keturunan mereka telah ada dalam diri mereka. Pendapat penafsiran ini mereka kuatkan dengan ayat 171 dari surah ini juga, yang kita akan sampai kepadanya. Bahwa tatkala manusia telah ditentukan buat menghuni dunia ini, Allah telah menanyakan pada lembaga manusia yang akan jadi itu."Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Semuanya telah menjawab: “Memang tiada lain, kami telah naik saksi!"

Namun, tafsir yang pertama sudah dapat pula dipahamkan jika diingat lanjutan ayat yang mengatakan bahwa setelah semuanya turun dari dalam surga atau keluar dari da-lamnya."Setengah kamu bagi yang setengah adalah musuh." Bahwa yang bermusuhan itu adalah manusia dengan iblis. Dan ayat selanjutnya menegaskan lagi:


Ayat 25

“Firman'Nya (pula): Di dalamnyalah kamu akan hidup dan di dalamnya kamu semua akan mati; dan daripadanya kamu akan dikeluarkan."

Dipersambungkanlah kembali atau dikaitkan ayat 25 ini dengan ayat 10 tersebut. Beginilah asal mulanya maka manusia diberi ketetapan Allah untuk hidup di atas bumi ini sehingga diberi pula berbagai macam mata penghidupan. Dan dapatlah pula dipahamkan bahwa di dunia hanya sementara, sebab asal kejadian dari tanah akan kembali ke tanah dan akan dikeluarkan kembali dari tanah, untuk mempertanggungjawabkan kepercayaan dan amal kepada Allah. Di sini diperingatkan bahwa manusia datang ke dunia bukanlah dua suami-istri Adam dan Hawa saja, tetapi bertiga dengan musuh mereka: Iblis! Sehingga mencari bekal buat kembali kepada Allah pada satu ketika itu meminta tenaga perjuangan yang hebat dahsyat. Sebab musuh akan meng-ganggu di mana-mana, dari muka, dari belakang, dari kanan, dan dan kiri.

Dari ayat ini kita mendapat kesan perbedaan manusia dengan Iblis. Iblis berdosa dan manusia berdosa. Pangkal dosa iblis ialah takabur sehingga tidak mau diperintah sujud dan setelah ditegur dia bertambah menyombong bahkan bertekad meneruskan dosa itu guna menghancurkan musuhnya. Manusia pun berdosa tetapi bukan karena sombong, hanyalah karena belum berpengalaman, sehingga mudah dirayu. Dan setelah ditegur, manusia segera tobat. Oleh sebab itu, manusia datang ke dunia ialah sesudah diberi tobat Dan manusia pun insaf, bahwa jika tidak ada ampunan dan rahmat Allah, dosa itu bisa terulang lagi. Mereka diberi tobat dan disuruh turun ke dunia. Langsung diangkat menjadi khalifah Allah di dalam bumi. Oleh karena itu, dalam dasar atau kalau hendak diriamai filsafat ajaran Islam, tidak ada dosa waris. Dosa hanya bisa bertemu kalau manusia tidak dapat mengendalikan diri dan terperosok karena rayuan musuh besarnya. Maka dari itu, hendaklah manusia itu di dunia berjuang menegakkan kehendak suci yang ada dalam jiwanya mendekati Allah dan menentang rayuan dari musuhnya yaitu iblis.

Dan dari Al-Qur'an pun kita mendapat pelajaran bahwa iblis itu adalah dari Jin (al-Kahf ayat 50), sama-sama terjadi dari api beracun.

Maka, dalam kalangan jin itu pun tidak semuanya jadi iblis dan jadi setan. Ada pula yang baik dan menerima syariat nabi-nabi. Tentang jin yang Mukmin dapat dibaca surah al-jinn.

Ada juga perselisihan pendapat ulama, sebagai ketika menafsirkan al-Baqarah dahulu tentang surga ini, telah kita uraikan. Sebab disebut jannah, kita artikan surga, dan dia pun berarti juga kebun atau taman yang indah. Setengah ahli tafsir mengatakan jannah yang diperkatakan ini ialah surga yang dijanjikan, itu. Dan setengah lagi mengatakan bukan surga yang dijanjikan, melainkan suatu taman indah di dunia ini. Namun, di mana tempatnya kita tidak tahu. Sebab surga yang dijanjikan itu tidak akan ada sama sekali iblis di dalamnya, sebab iblis adalah ruh jahat. Yang mana pun yang benar, Allah-lah yang tahu. Kalau benarlah jannah itu ialah surga yang dijanjikan maka rupanya memang tidaklah layak manusia mencapainya dengan tidak ada pengertian dan pengalaman, pahit dan getir perjuangan hidup, menang dan kalah menghadapi musuh. Akhirnya mencapai husnul khatimah dan timbangan yang berat pada kebajikan maka ber-haklah kembali ke sana dengan tenteram, sebagai an-nafsul muthma'innah, yakni jiwa yang telah mencapai ketenteramannya sesudah dikilang, diterpa, dan digembleng berbagai ujian hidup.


SIAPAKAH YANG MULA BERSALAH? LAKI-LAKI ATAUKAH PEREMPUAN?

Apabila kita tilik ajaran Islam dari sumbernya sendiri, yaitu Al-Qur'an, yang menerangkan kisah kesalahan Adam dan Hawa ini, pada beberapa surah, jelas sekali bahwa Adam dan Hawa keduanya sama bersalah. Keduanya sama-sama digelincirkan perdayaan setan dan iblis.

Di dalam surah al-Baqarah ayat 36, jelas sekali bahwa keduanya sama-sama digelincirkan oleh iblis. Di dalam surah al-A'raaf ini pada ayat 20 sekali lagi dijelaskan bahwa mereka berdualah yang sama ditimbulkan waswas dalam hati mereka sehingga terperosok jatuh.

Namun, di dalam surah Thaahaa ayat 115, 117-120 bahwa yang dipikuli tanggung jawab atas kesalahan ini adalah Adam sendiri. Di ayat 120 pun dijelaskan bahwa yang pertama diperdayakan setan supaya memakan buah kayu terlarang itu ialah Adam. Di ayat 121 terang sekali bahwa istrinya hanya turut memakan karena yang dahulu jatuh ialah suaminya. Malahan di ujung ayat 121 itu pun jelas sekali bahwa yang mendurhakai Allah dan

yang tersesat langkahnya hanya Adam. Istrinya hanya terbawa-bawa. Demikianlah kalau Al-Qur'an kita tafsirkan dengan Al-Qur'an.

Di sini terdapat perbedaan yang jauh sekali dengan paham Yahudi dan Nasrani (Kristen) dengan paham Islam terhadap perempuan. Di dalam Kitab Kejadian (Perjanjian Lama) pasal 3 ayat 11 dan 12 kelihatan bahwa Adam mengelakkan tanggung jawab dari dirinya dan me-nyalahkan istrinya. Cobalah perhatikan!

Ayat 11:

“Maka firman Allah, ‘Siapa gerangan memberi tahu engkau bahwa engkau telanjang? Sudahkah engkau makan daripada pohon yang telah Ku-pesan jangan engkau makan buahnya."‘

Ayat 12:

“Maka sahut Adam, ‘Adapun perempuan yang telah Tuhan karuniakan kepadaku itu, yaitu memberikan daku buah pohon itu lalu kumakan."‘

Oleh sebab itu, menjadi dasar kepercayaanlah bagi pemeluk kedua agama itu bahwa yang pangkal bala, pangkal bencana, ialah perempuan.

Pokok pikiran dan pokok kepercayaan bahwa dosa pertama yang kemudian menjadi dosa waris itu adalah berasal dari dosa Hawa (Eva), dosa perempuan, karena dialah yang mula diperdayakan oleh iblis, yang masuk menyelusup ke dalam Surga Aden, menumpang dalam tubuh ular. Kalau bukan dosa Hawa tidaklah insan akan terusir dari surga dan berdosa buat selama-lamanya, turun temurun. Sehingga, salah seorang filsuf Kristen, Tertu-lian, menyatakan pendapat, “Kalau Adam tidak sampai mendurhakai Tuhannya, niscaya dia akan hidup suci bersih dan akan tetap mempunyai keturunan manusia jua, tetapi tidak dengan jalan seperti binatang ini."

Santa Augustinus menyatakan pendapat tentang perempuan, “Perempuan wajib dipandang sebagai orang yang akalnya sangat pendek, walaupun dia telah bersuami ataupun telah jadi ibu. Karena perempuan itu adalah sebangsa binatang atau makhluk yang tidak mempunyai kekuatan batin dan tidak mempunyai pikiran."

dengan tafsiran israiliyat, yang dibawakan Ka'ab al-Ahbar atau Wahab bin Munabbih, ten-tang perempuan pangkal dosa, tentang iblis menumpang dalam ular masuk surga dan se-bagainya. Semuanya itu hanya tafsir, tidak bertemu dalam Al-Qur'annya sendiri.

Dari sebab ajaran ini, sampal-sampai pa da bersetubuh pun, dalam hati kecil orang Kristen adalah dipandang sebagai akibat dosa akibat perdayaan iblis.

Setelah kita menilik pokok pangkal kepercayaan ini, pokok pangkal kepercayaan berkenaan dengan memakan buah terlarang, dapatlah kita pahamkan bahwa Hawa tersesat adalah karena patuh menurut suami saja. Oleh sebab itu, yang kena tanya terlebih dahulu bukan dia, melainkan suaminya. Dan di dalam Al-Qur'an surah Thaahaa itu jelas sekali bahwa Adam mengakui dan memikul tanggung jawab itu, lalu dia pun tobat.

Tobatnya diterima Allah, tobat istrinya pun diterima Allah. Di dalam Al-Qur'an surah Aali ‘Imraan ayat 33, jelas sekali bahwa kemudiannya dia telah dipilih oleh Allah, telah ishthafa buat memikul tanggung jawab untuk meramaikan dunia ini. Kemudian, bertemulah berpuluh ayat di dalam Al-Qur'an yang menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan, sama-sama mendapat penghargaan dari Allah karena iman dan amal. Di samping Mukmin terdapat mukminat, di samping Muslimin terdapat Muslimat, di samping qanitin terdapat qanitat (yang tunduk khusyu' kepada Allah).

Disamping … dapat sholat yang berpuasa), di samping laki-laki yang berjalan mengembara mencari kebenaran saihin, terdapat pula saihat. Dan, untuk semuanya disediakan Allah pahala dan ampunan yang besar, dengan tidak ada perbedaan. Dijelaskan lagi dalam beberapa ayat bahwa suami yang taat kepada Allah akan diikuti pula oleh istrinya yang taat sama-sama masuk surga.

Namun, kadang-kadang penafsir-penafsir Al-Qur'an lama, ada juga yang menghiasinya

(26) Wahai anak-anak Adam, sesungguhnya telah Kami turunkan atas kamu pakaian akan penutup kemaluan kamu dan pakaian perhiasan dan pakaian takwa, tetapi inilah yang lebih baik. Yang demikian itu adalah dari ayat-ayat Allah, mudah-mudahan mereka akan ingat.

(27) Wahai anak-anak Adam, janganlah sampai menipu akan kamu setan itu, sebagai telah di keluarkannya kedua ibu-bapakmu dari surga, dia tarik dari keduanya pakaian keduanya supaya kelihatan oleh keduanya kemaluan mereka. Sesungguhnya dia itu melihat kamu, dia dan golongannya, dalam pada itu kamu tidak melihat mereka. Sesungguhnya, Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.

Peringatan Allah melalui kisah Adam dan Hawa dan Iblis yang di dalam surah al-A'raaf sudah selesai dan akan bertemu lagi atau diulangkan di dalam surah yang lain. Dengan disuruhnya Adam dan Hawa bersama iblis turun ke dunia dari dalam surga itu, ber-kembang-biaklah keturunan Adam dan Hawa itu di dunia. Di dalam menafsirkan ayat ini kita tidak boleh diganggu terlebih dahulu dengan teori lain, apakah ada manusia pertama selain Adam. Yang akan kita turuti sekarang ialah se-ruan Allah kepada manusia, anak-anak Adam itu setelah mereka bertempat tinggal dalam dunia.


Ayat 26

“Wahai anak-anak Adam!"

Susunan seruan cara begini telah memberi kejelasan lagi bahwa Nabi Muhammad saw. bukanlah diutus kepada orang Arab saja, melainkan kepada seluruh manusia; kepada seluruh keturunan nenek moyang yang di zaman purbakala telah lebih dahulu men-cencang melatih (meneroka) negeri ini atau bumi ini. Bukan kepada laki-laki saja karena anak Adam adalah laki-laki dan perempuan.

“Sesunggguhnya, telah Kami turunkan atas kamu pakaian akan penutup kemaluan kamu dan pakaian perhiasan dan pakaian takwa." Dengan susunan ayat ini, dapatlah kita sambungkan kembali dengan ayat, gara-gara sampai nenek kita keluar dari surga, yaitu karena beliau keduanya telah tabu apa antikemaluan alat kelamin. Mereka malu sehingga mereka ambillah daun-daun kayu surga menutupi kemaluan itu. Di sini, sudah dibayangkan bahwa malu melihat kemaluan sendiri adalah kesadaran manusia pertama akan diri. Namun, setelah mereka berketetapan di dunia dan beranak-anak, diturunkan Allah-lah pakaian. Artinya diturunkanlah kepada mereka wahyu atau ilham sehingga dapat mengatur pakaian sekadar penutup kemaluan itu. Kemudian, diturunkan pulalah pakaian yang akan menjadi perhiasan. Dengan demikian, tampaklah bahwa manusia pun diberi tuntunan dari Allah Yang Mahatinggi akan mengenakan pakaian yang bersifat hiasan maka mengenallah manusia akan keindahan.

Di dalam ayat ini disebut riisyan, kita artikan dengan pakaian perhiasan. Sedangkan artinya yang asal ialah bulu burung. Alangkah halus bahasa wahyu itu. Bukankah bulu burung perhiasan dari burung itu sendiri? Ingatlah bagaimana indahnya burung merak dan warna-warninya bulu-bulu burung yang lain. Oleh sebab itu, di dalam ayat ini didahulukan menyebut pakaian sekadar penutup aurat, sebagaimana masih kita lihat pada bangsa-bangsa yang belum beradab. Bagaimanapun mereka bertelanjang, namun kemaluan mereka tetap mereka tutup. Mungkin begitulah juga Adam dan Hawa mulai ada di dunia

Kemudian manusia bertambah maju. Besar kemungkinan keindahan bulu burung salah satu yang memberi mereka ilham buat memakai perhiasan sehingga berdirilah sampai ke zaman kita ini pabrik-pabrik pakaian di Lanchashire dan Enschede dan negeri-negeri yang lain. Terutama perhiasaan pakaian perempuan. Tepat sekali, di atas pakaian dalam, di sebelah luarnya, kita mengenakan pakaian yang disebutkan riisyan atau bulu. Sejak zaman permulaan (primitif) bulu-bulu memegang peranan penting buat pakaian. Orang Indian Amerika menghiasi kepalanya dengan bulu burung. Raja-raja dan jenderal-jenderal di Eropa begitu pula. Al-Qur'an sendiri di dalam beberapa surah (surah an-Nahl ayat 80), menyebut pula tentang kepentingan bulu unta dan bulu kambing. Sampai sekarang orang pergi ke Kutub Utara atau Selatan berburu beruang mengambil bulunya buat pakaian perempuan (mantel bulu). Bulu burung cenderawasih, bulu burung merak, dan lain-lain. Kopiah orang Pakistan dan Afghanistan dibuat dari bulu kambing yang masih dalam kandungan, dengan menyembelih induknya yang sedang mengandung. Ke-mudian, manusia membuat warna-warni pada pakaian yang dari bulu-bulu itu, manusia pun berhias diri, bersolek, melagak, mematut diri di hadapan kaca, lalu bernyanyi mencari pasangan. Maka dari itu, orang-orang yang me-lagak dan melenggang-lenggok mematut diri dalam pepatah orang Sunda disebut, “Merak Ngibing", burung Merak menari.

Kemudian, setelah menyebut kedua macam pakaian itu, disebut Allah-lah pakaian yang ketiga, pakaian takwa. Dengan ini, diterangkan bahwa pakaian bukanlah semata-mata dua yang lahir itu saja, tetapi ada lagi pakaian ketiga yang lebih penting, yaitu pakaian takwa, pakaian jiwa.

Ibnu Zaid menafsirkan bahwa takwa itu sendirilah pakaian.

Ibnu Abbas menafsirkan bahwa iman dan amal saleh, itulah pakaian takwa dan Allah berfirman, “Tetapi inilah yang lebih baik."

Kita teringat satu syair Arab,

“Jika seseorang tidak ada memakai pakaian takwa. Samalah dia dengan bertelanjang, walaupun dia berbaju.

Memang, beberapa banyaknya terutama orang perempuan, pakaian dan perhiasan mereka itulah yang menelanjangi jiwa mereka karena di dalam tidak ada takwa.

Coba lihat lagi susunan ayat. Pakaian bermula sekadar penutup aurat, pendiridirig malu. Mengiring pakaian perhiasan untuk eloknya hubungan dengan sesama manusia. Dan akhirnya serta intinya ialah pakaian takwa untuk menangkis serangan musuh besar tadi, yaitu Iblis.

Di ujung ayat Allah berfirman,

“Yang demikian itu adalah dari ayat-ayat Allah, mudah-mudahan mereka akan ingat."

Pakaian yang tiga macam itu adalah termasuk sebagian dari ayat-ayat Allah juga. Artinya, tanda kebesaran Allah yang telah memberi manusia kemajuan hidup. Memberi manusia hidup dan akal. Boleh kita rentang panjang bahwa kemajuan berpakaian, sejak dari primitif sampai kepada perhiasan adalah kemajuan hidup manusia itu sendiri, yang disebut kebudayaan. Orang memberi istilah, kebudayaan ialah usaha dan hasil usaha manusia menyesuaikan dirinya dengan alam kelilingnya. Bayangkan sajalah ini dan rentang panjanglah. Soal kemajuan berpakaian karena pengaruh iklim dan daerah, semuanya itu menjadi ayat-ayat atau tanda bahwa manusia hidup mendapat ilham dari Allah. Apatah lagi setelah Allah memberi peringatan pakaian ketiga, yaitu Takwa. Kalau diambil arti asal dari takwa, yaitu memelihara maka pakaian lahir memelihara aurat jangan terbuka dan perhiasan memelihara rasa keindahan dan takwa memelihara jiwa.

Setelah kita masuki pergaulan hidup sesama manusia ini, terasalah oleh kita betapa pentingnya peringatan ini bagi seluruh anak Adam. Di samping pakaian yang sangat perlu penutup aurat, perlulah pakaian takwa. Di samping pakaian indah laksana perhiasan bulu bagi burung, pakaian takwa pun sama perlunya. Karena, pakaian itu pun besar pengaruhnya terhadap pribadi. Orang Inggris mengatakan, “The dress makes the man “ pakaian membentuk orang. Seorang yang miskin sehingga pakaiannya hanya sekadar perlu penutup aurat bisa saja ditumbuhi penyakit “rasa rendah diri" jika bercampur dengan orang banyak. Karena kekurangan pakaian, orang tidak berani menempuh helat ramai. Maka Allah memberi peringatan bahwa pakaian takwa lebih baik. Dengan peringatan demikian, rasa rendah diri itu pun hilang.

Sebaliknya, lantaran pakaian mewah, baju warna-warni, laki-laki dan perempuan, orang bisa jadi takabbur, mengangkat diri lebih dari semestinya. Oleh sebab itu, dilarang berpakaian dengan rasa khuyalaak, artinya takabur.

Dan di dalam ayat ini bertemu pula bahwasanya agama tidak mengharamkan pakaian berhias bahkan Allah-lah yang menurunkan ilham untuknya. Pakaian berhias yang tercela hanyalah yang tidak disertai pakaian takwa batin tadi. Oleh sebab itu, dapatlah kita turuti pada lanjutan ayat,

Ayat 27

“Wahai anak-anak Adam Janganlah sampai menipu akan kamu setan itu sebagai telah dikeluarkannya kedua ibu-bapakmu dari surga, dia tarik dari keduanya pakaian keduanya, supaya kelihatan oleh keduanya kemaluan mereka."

Sejak semula kita telah diberi peringatan oleh Allah bahwa setan telah meminta kesempatan yang luas untuk memperdayakan Adam dan anak cucunya. Dia akan datang dari muka dari belakang dan dari rusuk kanan dan rusuk kiri, dia tidak akan berhenti sebelum maksudnya berhasil. Adapun kamu wahai insan telah diberi ilham oleh Allah berpakaian yang perlu dan berpakaian perhiasan. Di dalam memakai pakaian itu janganlah kamu lupa, perdayaan setan iblis yang mula-mula sehingga nenek moyangmu melanggar larangan maka yang mula-mula sekali terbuka ialah apa arti kemaluan, sampai mereka tergopoh-gopoh dari karena sangat malu, mencabut daun kayu surga guna penutup aurat. Sebab hendaklah kamu selalu berpakaian lengkap.

Janganlah kamu lalai menjaga ketiga pakaian itu. Pengalaman nenek moyangmu hendaklah kamu jadikan pengajaran. Jika terbuka pakaian sebagai dasar pertama maka terbukalah auratmu. Sungguhlah aurat itu sangat lebih baiktertutup daripada terbuka. (Sehingga setengah ulama fiqih ada yang berpendapat makruh melihat aurat kedua pihak ketika ber-setubuh ... maaf). Pakaian perhiasan, sebagai tingkat kedua yang asal ilhamnya ialah dari bulu burung, ini pun sangat bersangkut-paut dengan kelamin tadi juga. Terutama orang perempuan. Berhias adalah salah satu alat utama perempuan. Oleh sebab itu, iblis pun bisa masuk dari pakaian perhiasan itu untuk membangkitkan nafsu kelamin (seks). Bukankah dari segi pakaian perhiasan ini iblis masuk mengacaukan dunia di zaman modern kita ini? Ingatlah apa yang diriamai “rok mini" atau “hot pants" atau “You can see" (kau boleh lihat) atau yang diisyaratkan oleh hadits Nabi,

“Berpakaian, tetapi bertelanjang."

Oleh karena itu, hendaklah kita, anak-anak Adam selalu memelihara ketiga macam pakaian itu, jangan sampai perdayaan iblis masuk lagi dari segi pakaian. Kita pakai celana dalam menutup aurat. Orang perempuan menambah dengan kutang yang baik, penutup susu. Di luar itu, kita kenakan pakaian yang bersikap berhias karena berhias termasuk nikmat Allah juga. Namun, kedua pakaian itu kita lengkapi dengan pakaian ketiga yang menjadi pakaian sejati, yaitu takwa.

In syaa Allah, dengan begini tipu daya dan rayuan setan tidak akan mudah masuk kepada kita dari segi pakaian. Kemudian, Allah memperingatkan lagi tentang setan itu, “Sesungguhnya dia itu melihat kamu, dia dan golongannya. Dalam pada itu kamu tidak melihat mereka." Di sini Allah menyatakan betapa sulit kita berjuang, karena setan selalu melihat dan memerhatikan gerak-gerik kita. Dengar juga pepatah nenek moyang, “Jerat tidak pernah melupakan balam, tetapi balam selalu lupa kepada jerat." Lantaran ini apa akal? Tentu saja mesti selalu awas dan waspada. Di sinilah perlunya pakaian takwa tadi. Sebab takwa mengandung berbagal-bagai arti, yaitu memelihara, awas, tidak putus berlindung kepada Allah, tawakal, sabar, ikhlas, dzikir (ingat kepada Allah). Maka, janganlah pakaian hanya sekadar penutup aurat atau berhias jasmani, padahal Allah dibiarkan bertelanjang.

Akhirnya diberikanlah kunci ayat, yaitu peringatan yang tegas dari Allah dan kepastian yang wajar.

“Sesungguhnya, Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman."

Orang yang tidak beriman adalah laksana telanjang. Tempat masuk setan terbuka di mana-mana, di muka, di belakang, di rusuk kanan, di rusuk tidak ada iman artinya tidak ada pegangan sebab kepercayaannya kepada Allah dan hari akhirat tidak ada atau tidak kukuh. Inilah yang mudah jatuh. Orang selalu memerlukan pimpinan, jika tidak ada pimpinan Allah, pimpinan setanlah yang akan diterimanya.

Oleh sebab itu, dengan tegas dapat dikatakan, tangkal-tangkai, ilmu kebal, azimat sihir dan mantera untuk menangkis setan, tidaklah ada yang mujarab. Yang mujarab hanyalah iman saja. Tangkal penyakit pun demikian. Kita pernah melihat di sebuah kampung berjangkit penyakit cacar. Maka, dukun-dukun menyuruh menggantungkan daun pudirig, daun jeluang hitam, daun jeluang putih dan urat penang di muka pintu rumah. Dan, seorang perempuan tengah mengandung, dukun menyuruh memakukan ladam kuda di muka pintu rumah. Dan, penyakit sampan menjadi. Kemudian, orang ramal-ramai mengadakan ratib tolak bala keliling kampung. Dan, banyak lagi contoh-contoh yang lain. Maka, timbullah pertanyaan, “Apakah ini dari iman atau takwa?"

Tidak! Ini adalah dari takhayul dan khurafat. Belum sah kalau pada itu digantungkan iman. Berpikirlah yang sehat. Kalau penyakit cacar menjadi, segeralah minta seisi kampung diberi injeksi obat sakit cacar. Bukan menggantungkan sampah-sampah, sarap-sarap daun kayu di muka pintu rumah. Mikrob atau hama atau baksil penyakit yang menular di dalam kampung itu adalah termasuk golongan setan-setan yang kita manusia tidak melihatnya, padahal mereka dapat melihat kita. Setelah diteropong dengan alat pembesar (mikroskop) barulah kelihatan di dalam setitik air beribu-ribu setan kecil itu yang dapat memusnahkan manusia sekampung.

Di kampung-kampung pada zaman setengah abad yang lalu, banyak perempuan-perempuan meninggal dunia sesaat setelah melahirkan anak.

Pada masa itu, kalau perempuan hendak melahirkan anak dibawa turun ke lantai yang kotor, di sana disuruh beranak. Sehabis anak lahir, perempuan itu banyak yang mati. Dan kematian perempuan sehabis melahirkan itu diriamai diperdayakan oleh hantu lantai. Untuk menjaga jangan sampai diperdayakan hantu lantai maka sejak hamil tujuh bulan ladam kuda telah dipakukan di muka pintu rumah. Begitu bodoh rupanya hantu lantai sehingga dia tidak berani masuk ke dalam rumah yang dihambat dengan ladam kuda.

Apakah memasang ladam ini termasuk iman? Bukan, melainkan khurafat dan tolol. Hantu lantai ialah kotoran lantai. Apabila perempuan itu melahirkan anak di tempat yang bersih, disambut dengan segala alat yang bersih oleh bidan yang bersih pula, hantu lantai hilang dan lari.

Oleh karena itu, segala tangkal, mantra, ramuan dukun yang tidak masuk akal, semuanya itu timbul karena tidak adanya iman. Meskipun ada sedikit iman tidak disempurnakan oleh ilmu. Golongan yang begini sangat takut pada setan dan hantu, tetapi mereka telah mengerjakan pekerjaan untuk memperbanyak hantu, dan memperbesar pengaruh setan.

Oleh sebab itu, iman sebagai pertahanan batin dan takwa sebagai pakaian jiwa, lalu dilengkapi lagi dengan ilmu adalah menimbulkan nur atau cahaya sehingga setan lari terbirit-birit. Hantu lantai dan setan hama tidak tahan kena cahaya. Ibnu Abbas di dalam tafsirnya pernah mengatakan bahwa manusia yang kurang iman takut kepada setan, jin dan hantu. Namun, setan dan jin dan hantu itu lebih sangat takut dan lari sejauh-jauhnya apabila bertemu dengan orang Mukmin.

Orang-orang tua mengatakan perkataan qiyas bahwasanya setan dan hantu dan jin itu lari karena tidak tahan melihat kening orang Mukmin, Di kening orang itu tertulis dengan sinar yang terang benderang kalimat “La Ilaha ikallah" tiada Tuhan melainkan Allah. Melihat itu mereka tidak tahan, takut dan lari. Pa-hamkanlah ini!

Dalam bulan Februari 1964, yaitu setelah satu bulan lebih saya ditangkap dan ditahan, siang malam saya diperiksa dan dituduhkan kepada diri saya berbagai macam fitnah. Sudah ada maksud rupanya hendak memeras keterangan dari diri saya supaya memberikan pengakuan yang cocok dengan fitnah yang telah dikarangkan dan dituduhkan kepada diri saya itu.

Pada suatu malam, polisi yang memeriksa masuk ke dalam ruang tahanan saya membawa sebuah bungkusan. Melihat bungkusan itu saya menyangka, mungkin itu sebuah tape-recorder buat merekam pengakuan saya. Bungkusan itu telah diletakkan ke bawah meja. Dan, saya terus ditanyai dan ditanyai lagi, kadang-kadang lemah-lembut dan kadang-kadang kasar dan dengan paksa. Namun, karena tidak ada suatu kejadian yang akan diakui, saya menjawab seperti biasa. Setelah bosan bertanya, polisi itu pun keluar. Dan, bungkusan itu dibawa kembali.

Besok paginya salah seorang anggota polisi yang masih muda yang sejak semalam bergiliran menjaga dan mengawal saya, masuk ke dalam kamar tahanan saya. Air matanya berlinang. Dia rupanya simpati terhadap saya. Dia berkata bahwa bungkusan semalam itu adalah alat guna menyetrum saya. Katanya pula bahwa bapak Ghazali Syahlan yang sama ditahan dengan saya, telah pernah disetrum. Dia heran juga, mengapa niat menyetrum saya itu tidak dijadikan. Dalam hati, saya bersyukur kepada Allah. Dan, saya jawab, “Mungkin bapak inspektur polisi itu timbul kasihan setelah dilihatnya bahwa usia saya sudah lanjut."

Namun, beberapa hari kemudian, setelah tempat tahanan saya akan dipindahkan dari

asrama polisi di Sukabumi itu, inspektur polisi yang datang ke kamar saya membawa bung-kusan itu masuk ke dalam kamar saya, lalu minta saya ajarkan kepadanya doa-doa yang saya baca. Dia berkata, “Pasti ada doa-doa atau ilmu-ilmu sakti yang Pak Hamka simpan. Saya minta dengan jujur agar Pak Hamka sudi mengajarkannya kepada saya."

Di sinilah kelemahan saya. Saya mengakui saja terus terang dan saya tidak sampai hati menyembunyikan bahwa saya memang banyak membaca doa-doa yang diajarkan Nabi, pada saat-saat penting, terutama ketika akan tidur. Sedangkan, pada waktu aman di rumah doa ajaran Nabi itu saya baca, apalagi pada saat percobaan begini hebat.

Dia minta diajarkan.

“Baik!" kata saya. Kemudian, saya ajarkan dan tuliskan. Karena dia orang yang tadi hen-dak menganiaya saya itu kurang fasih huruf Arab, saya tuliskan pula huruf latinnya dan saya tuliskan artinya.

“Ya Allah, aku serahkan diriku kepada Engkau. Aku hadapkan wajahku kepada Engkau. Aku pertaruhkan (titipkan) urusanku ini kepada Engkau. Aku sandarkan punggungku kepada Engkau. Aku harapkan lindungan Engkau dan aku ngeri akan murka Engkau. Tidak ada tempat berlindung dan tidak ada tempat menyelamatkan diri dari Engkau, melainkan kepada Engkau jua. Ya Allah, aku percaya kepada kitab yang Engkau turunkan dan aku percaya kepada Nabi yang celah Engkau utus."

Saya melihat wajah teman itu, dia rupanya betul-betul mempelajarinya, rupanya hendak dijadikannya bekal hidup. Dan, wajahnya bertukar dari wajah seorang pemeriksa yang ganas kepada wajah seorang murid yang ingin diberi bekal hidup. Setelah doa itu dipelajarinya, dia hendak keluar dari kamar tahanan saya dengan langkah perlahan-lahan. Namun, ketika dia hendak berdiri, saya pegang lututnya dan saya katakan, ‘Tunggu sebentar! Saya peringatkan kepada Saudara bahwa bagi saya sendiri doa-doa semacam itu hanyalah merupakan tambahan belaka. Yang pokok adalah sebagaimana yang Saudara saksikan sendiri selama saya Saudara tahan. Saya tidak pernah meninggalkan shalat lima waktu. Saya patuhi segala perintah Allah menurut kesanggupan yang ada, baru kemudian saya memohonkan perlindungan-Nya."

Sesudah itu, beberapa orang polisi pemeriksa lagi berbisik-bisik ke muka kamar saya minta diajarkan doa-doa.

Rupanya mereka salah paham. Mereka tidak jadi menganiaya saya karena mereka sendiri yang mundur, menjadi teka-teki bagi diri mereka sendiri. Kemudian, mereka menyangka bahwa saya ada mempunyai “penaruhan".

Padahal soalnya biasa saja, yaitu penyerahan yang bulat kepada Allah. Kalau Allah belum mengizinkan, tidak ada aniaya makhluk yang akan mempan. Dan, kalau aniaya itu terjadi, asal kita tawakal kepada Allah dan teguh pada takwa maka jika kita tidak ragu menerima segala ketentuan. Sebab, nabi-nabi dan orang-orang utama pun tidak kurang yang mati karena dianiaya.

Dengan perumpamaan itu, tepatlah dapat kita pahami maksud ayat yang tengah kita tafsirkan ini bahwa Allah telah menentukan bahwa setan-setan adalah pemimpin-pemimpin dari orang-orang yang tidak beriman.

***


(28) Dan, apabila mereka mengerjakan sesuatu yang keji, mereka katakan, “Telah kami dapati bapak-bapak kami atas pekerjaan itu dan Allah pun telah memerintahkannya." Katakanlah, “Sesungguhnya Allah tidaklah memerintahkan barang sesuatu yang keji-keji. Apakah kamu katakan atas Allah sesuatu yang tidak kamu ketahui."

(29) Katakanlah, “Tuhanku telah memerintahkan dengan perimbangan dan supaya kamu te-gakkan wajah-wajahmu di sisi tiap-tiap masjid dan serulah Dia, di dalam keadaan ikhlas agama untuk-Nya. Sebagaimana Dia telah memulaikan (menjadikan) kamu, kamu pun akan kembali."

(30) Satu golongan diberi-Nya petunjuk dan satu golongan (lagi) tertimpalah atas mereka kesesatan. Sesungguhnya, mereka telah mengambil setan-setan jadi pemimpin-pemimpin selain Allah dan mereka mengira bahwa mereka adalah mendapat petunjuk.


BERAGAMA TURUT-TURUTAN SAJA (TAKLID)

Di ayat yang telah lalu diterangkan bahwa pemimpin dari orang yang tidak beriman ialah setan. Kalau hati kosong dari iman maka hati yang kosong itu akan mencari pimpinan lain, pimpinan yang membawa pada sesat. Orang yang kurang percaya kepada Allah akan datang berduyun meminta perlindungan kepada dukun. Kemudian diterangkan lagi,


Ayat 28

“Dan apabila mereka mengerjakan sesuatu yang keji, mereka katakan, Telah kami dapati bapak-bapak kami atas pekerjaan itu, dan Allah pun telah memerintahkannya."

Menurut tafsir dari Ibnu Jarir, orang Arab pada zaman jahiliyyah mengerjakan thawaf ke-liling Ka'bah bertelanjang bulat, baik yang laki-laki maupun yang perempuan. Konon, yang ditutup sekadar hanya kemaluan yang malu kalau terbuka itu saja yang mereka tutup secarik kecil kulit kambing. Thawaf telanjang itu telah ditegur oleh orang Islam yang telah mendapat ajaran daripada Rasulullah saw., tetapi mereka masih saja melakukan thawaf secara demikian. Dan, kalau ditanya mengapa demikian, tidak ada lain jawab mereka hanyalah karena memang secara demikian mereka dapati yang dikerjakan nenek moyang mereka dulu. Kemudian, mereka katakan pula bahwa thawaf yang demikian tentu sudah diperintahkan Allah. Kalau tidak diperintahkan Allah, niscaya tidaklah nenek moyang mereka akan mengerjakannya. Untuk mematahkan alasan yang sangat lemah atau bukan alasan itu dan untuk menyadarkan mereka supaya beragama jangan hanya turut-tu-rutan pada pusaka nenek moyang, melainkan mempergunakan akal, Allah menyuruh Rasul menanyakan kepada mereka, “Katakanlah, ‘Sesungguhnya Allah tidaklah memerintahkan barang sesuatu yang keji-keji."‘

Dengan sambutan Rasul yang demikian, disadarkanlah akal murni mereka bahwa ber-telanjang di tempat beribadah yang begitu suci, bercampur-gaul laki-laki dan perempuan, aurat hanya ditutup dengan secarik kecil kulit kambing atau tidak tertutup sama sekali, dipandang keji oleh akal yang sehat. Sejak manusia tumbuh akal, sejak itu pula orang tidak mau memperlihatkan kemaluannya. Nabi Adam dan Siti Hawa setelah sadar bahwa mereka tidak berpakaian surga lagi dalam Taman Firdaus, segera mereka mencari daun-daun kayu untuk' menutup aurat sehingga belum

pun ada wahyu, tetapi kemanusiaan itu sendiri sejak semula telah merasai bahwa itu adalah keji. Oleh sebab itu, tidaklah masuk akal bahwa Allah memerintahkan supaya kamu thawaf laki-laki dan perempuan dengan bertelanjang.

Setelah mereka disadarkan bahwa beribadah thawaf dengan telanjang itu adalah perbuatan sangat keji dan mulai timbul kesadaran mereka bahwa itu keji sehingga mustahil bahwa Allah telah memerintahkan yang keji maka Allah memerintahkan Rasul melanjutkan pertanyaan,

“Apakah kamu katakan atas Allah sesuatu yang tidak kamu ketahui."

Di sini, tampaklah suatu soal jawab yang berdasar jalan pikiran teratur, yang menjadi sendiri, kukuh dari suatu ilmu. Mulanya disadarkan bahwa Allah tidak mungkin memerintahkan sesuatu hal yang keji. Hati kecil mereka telah mengakui bahwa perbuatan itu memang keji dan amal mereka hanya taklid turut-turutan belaka. Oleh karena itu, pertanyaan selanjutnya tidak lagi menanyakan, “Bilakah Allah telah memerintahkannya?" atau ‘Tertulis dalam kitab yang mana?" Melainkan duduk pertanyaan, “Apa sebab kamu katakan atas Allah sesuatu yang tidak kamu ketahui?" Inilah pertanyaan yang tepat kepada orang yang mengamalkan sesuatu amalan tidak berdasar pengetahuan.

Ayat ini memberikan pimpinan kepada kita bahwa sesuatu amalan agama, suatu ibadah tidaklah sah kalau hanya karena turut-turutan kepada nenek moyang saja. Kita wajib mencari sumber ibadah itu dari sumber asalnya, dari Allah dan tuntunan Rasul saw. dan yang tidak bersumber dari sana, mengada-ada, itulah yang disebut bid'ah.

Kita misalkan tentang thawaf bertelanjang sebagai riwayat lbnu Jarir ini. Orang jahiliyyah mengatakan bahwa perbuatan itu telah mereka dapati sejak nenek moyang. Kemudian, mereka kacaukan dengan alasan bahwa Allah


Ayat 28

“Dan apabila mereka mengerjakan sesuatu yang keji, mereka katakan, Telah kami dapati bapak-bapak kami atas pekerjaan itu, dan Allah pun telah memerintahkannya."

Menurut tafsir dari Ibnu Jarir, orang Arab pada zaman jahiliyyah mengerjakan thawaf ke-liling Ka'bah bertelanjang bulat, baik yang laki-laki maupun yang perempuan. Konon, yang ditutup sekadar hanya kemaluan yang malu kalau terbuka itu saja yang mereka tutup secarik kecil kulit kambing. Thawaf telanjang itu telah ditegur oleh orang Islam yang telah mendapat ajaran daripada Rasulullah saw., tetapi mereka masih saja melakukan thawaf secara demikian. Dan, kalau ditanya mengapa demikian, tidak ada lain jawab mereka hanyalah karena memang secara demikian mereka dapati yang dikerjakan nenek moyang mereka dulu. Kemudian, mereka katakan pula bahwa thawaf yang demikian tentu sudah diperintahkan Allah. Kalau tidak diperintahkan Allah, niscaya tidaklah nenek moyang mereka akan mengerjakannya. Untuk mematahkan alasan yang sangat lemah atau bukan alasan itu dan untuk menyadarkan mereka supaya beragama jangan hanya turut-tu-rutan pada pusaka nenek moyang, melainkan mempergunakan akal, Allah menyuruh Rasul menanyakan kepada mereka, “Katakanlah, ‘Sesungguhnya Allah tidaklah memerintahkan barang sesuatu yang keji-keji."‘

Dengan sambutan Rasul yang demikian, disadarkanlah akal murni mereka bahwa ber-telanjang di tempat beribadah yang begitu suci, bercampur-gaul laki-laki dan perempuan, aurat hanya ditutup dengan secarik kecil kulit kambing atau tidak tertutup sama sekali, dipandang keji oleh akal yang sehat. Sejak manusia tumbuh akal, sejak itu pula orang tidak mau memperlihatkan kemaluannya. Nabi Adam dan Siti Hawa setelah sadar bahwa mereka tidak berpakaian surga lagi dalam Taman Firdaus, segera mereka mencari daun-daun kayu untuk' menutup aurat sehingga belum pun ada wahyu, tetapi kemanusiaan itu sendiri sejak semula telah merasai bahwa itu adalah keji. Oleh sebab itu, tidaklah masuk akal bahwa Allah memerintahkan supaya kamu thawaf laki-laki dan perempuan dengan bertelanjang.

Setelah mereka disadarkan bahwa beribadah thawaf dengan telanjang itu adalah perbuatan sangat keji dan mulai timbul kesadaran mereka bahwa itu keji sehingga mustahil bahwa Allah telah memerintahkan yang keji maka Allah memerintahkan Rasul melanjutkan pertanyaan,

“Apakah kamu katakan atas Allah sesuatu yang tidak kamu ketahui."

Di sini, tampaklah suatu soal jawab yang berdasar jalan pikiran teratur, yang menjadi sendiri, kukuh dari suatu ilmu. Mulanya disadarkan bahwa Allah tidak mungkin memerintahkan sesuatu hal yang keji. Hati kecil mereka telah mengakui bahwa perbuatan itu memang keji dan amal mereka hanya taklid turut-turutan belaka. Oleh karena itu, pertanyaan selanjutnya tidak lagi menanyakan, “Bilakah Allah telah memerintahkannya?" atau ‘Tertulis dalam kitab yang mana?" Melainkan duduk pertanyaan, “Apa sebab kamu katakan atas Allah sesuatu yang tidak kamu ketahui?" Inilah pertanyaan yang tepat kepada orang yang mengamalkan sesuatu amalan tidak berdasar pengetahuan.

Ayat ini memberikan pimpinan kepada kita bahwa sesuatu amalan agama, suatu ibadah tidaklah sah kalau hanya karena turut-turutan kepada nenek moyang saja. Kita wajib mencari sumber ibadah itu dari sumber asalnya, dari Allah dan tuntunan Rasul saw. dan yang tidak bersumber dari sana, mengada-ada, itulah yang disebut bid'ah.

Kita misalkan tentang thawaf bertelanjang sebagai riwayat lbnu Jarir ini. Orang jahiliyyah mengatakan bahwa perbuatan itu telah mereka dapati sejak nenek moyang. Kemudian, mereka kacaukan dengan alasan bahwa Allah menengadah pun tidak sah. Yang dimaksud ialah khusyu tadi. Jangan sampai sebagai perbuatan orang jahiliyyah, sebagai tersebut dalam surah al-Anfaal ayat 35, beribadah sambil bersiul dan bertepuk-tepuk tangan sehingga hilang habis sirna ketekunan ibadah karena siul dan tepuk tangan.

Kemudian dijelaskan lagi, “Dan, serulah Dia," artinya bulatkanlah seruan dan doa ke-pada-Nya saja, jangan dicampur dengan yang lain."Di dalam keadaan ikhlas agama untuk-Nya" Memperjelas sekali lagi, saat berdoa hanya Allah yang diseru dan bahwa segala upacara ibadah haruslah ikhlas. Ikhlas artinya bersih suci, sejati, tidak emas bercampur loyang, bulat hati kepada Allah sehingga dimisalkan di belah dada, berani dibuka dan yang didapati di dalamnya hanya satu tujuan: untuk Allah! Apakah sebab sampai demikian?

Ujung ayat menjelaskan,

“Sebagaimana Dia telah memulaikan (menjadikan) kamu, kamu pun akan kembali."

Ujung ayat ini adalah jawaban dari pertanyaan yang terasa di hati, apa sebab kita harus khusyu mengerjakan shalat, mendirikan dan menghadapkan muka kepada Allah di tiap tempat sujud. Jawab itu ialah sebagaimana dahulunya Allah telah memuliakan kejadian kita, daripada tidak ada menjadi ada. Maka, dengan kodrat dan iradat-Nya kita pun akan ada kembali sesudah mati, atau sesudah Kiamat.


Ayat 30

“Satu golongan dibeii-Nya petunjuk dan satu gotongan (lagi) tertimpalah atas dirt meteku kesesalan “

Seluruh manusia telah diciptakan Allah dari keturunan Adam. Kemudian, hidup dalam dunia ini dan kelak akan mati. Setelah mati semuanya pun akan kembali hidup di alam lain, alam akhirat. Kebangkitan kedua kali ini menjadi dua golongan. Pertama, golongan yang mengikuti petunjuk Allah, kedua golongan yang tersesat.

Mengapa ada yang tersesat?

Lanjutan ayat telah memberikan jawaban, mengapa ada golongan yang tersesat: “Sesung-guhnya mereka telah mengambil setan-setan jadi pemimpin-pemimpin selain Allah."

Ingatlah kembali bahwa sejak semula Adam dijadikan dan iblis disuruh sujud lalu menolak, sudah tampak bahwa golongan ini akan terbagi dua. Dan, setelah iblis mencoba memercayakan Adam dan istrinya, sudah bertambah jelas bahwa golongan ini akan terbagi dua. Pada ayat 28 Allah memperingatkan bahwa apabila Adam dan keturunannya telah disuruh meninggalkan surga bersama iblis itu, barangsiapa yang mengikut petunjuk Allah, tidak usah mereka khawatir, tak usah mereka merasa takut ataupun bersedih hati. Sebab, mereka akan selamat. Di ayat 29 dijelaskan lagi bahwa orang yang menolak dan kafir, yang mendustakan ayat-ayat Allah, nerakalah tempatnya dan akan kekallah dia di dalam. Rupanya setelah hari Kiamat itu nanti, seluruh insan akan dihidupkan kembali. Sebagaimana dahulu mereka diadakan daripada tidak ada, sekarang mereka dibangkitkan pula daripada tidak ada kepada ada.

Sayyid Quthub menjelaskan lagi di dalam tafsirnya, Fi Zhilalil-Al-Qur'an, tentang tafsir ujung ayat 29 tadi bahwa sebagaimana kamu dimulaikan oleh Allah dahulu, kamu akan kembali begitu pula. Kata beliau dalam tafsirnya itu, kejadian manusia dan iblis dimulai dengan pertentangan cinta insani menegakkan kebenaran, menuju ridha Allah, berhadapan dengan perdayaan dan bujuk cumbu iblis agar manusia meninggalkan jalan Allah dan menuruti jalan mereka yang sesat. Ada di antara manusia meninggalkan jalan yang benar dan menuruti jalan iblis yang sesat. Maka, sampai hari Kiamat begitu jualah yang terjadi sebab yang pangkal mesti berujung. Golongan yang tersesat itu ialah karena mereka mengambil setan-setan jadi pimpinan. Setan-setan membujuk rayu mereka supaya meninggalkan jalan Allah yang benar, lalu berbuat yang keji dan kotor, kebencian dan permusuhan.

“Dan, mereka mengira bahwa mereka adalah mendapat petunjuk."

Demikianlah halusnya bujukan setan-setan itu sehingga di dalam kesesatan itu mereka merasa mendapat petunjuk. Yang salah mereka sangka benar, yang bengkok mereka sangka lurus. Yang batil mereka sangka hak sehingga kerap kali kejadian bahwa orang yang betul-betul hendak menegakkan kebenaran mendapat keaniayaan daripada orang yang mempertahankan barang yang salah.

Kebanyakan orang yang tersesat dalam kepercayaan dan amalan, menyangka mereka mendapat petunjuk. Mereka akan mempertahankan pendirian yang salah, seperti Fir'aun mempertahankan kekuasaannya di hadapan Musa, dan Abu Jahal mempertahankan berhalanya di hadapan Muhammad saw. Sebab, semuanya menyangka bahwa mereka di pihak yang benar. Sehingga orang yang benar-benar berdiri mempertahankan petunjuk dan hidayah Ilahi selalu mesti menghadapi perjuangan yang sengit, kadang-kadang dibayar dengan nyawa sendiri, barulah kebenaran sejati dapat tegak berhadapan dengan kebenaran saduran.