Syarat nikah ulang karena hamil duluan

Jakarta -

Pasangan yang hamil di luar nikah biasanya memutuskan untuk langsung menikah. Lalu bagaimana dengan hukum menikah saat hamil? Bisakah menikah di KUA saat hamil?

Kepala KUA Tebet, Jakarta Selatan, Achmad Syauki, SHI, menjelaskan tentang aturan pernikahan untuk pasangan yang sudah hamil terlebih dahulu. Sesuai aturan, pernikahan tetap bisa digelar meskipun pengantin wanita dalam kondisi hamil.

"Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 53 ayat (1),Seorang wanita hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya," ungkap Achmad Syauki kepada Wolipop.

"Tidak ada larangan menikahi wanita yang sedang hamil dan tidak memiliki suami (tidak diceraikan atau ditinggal meninggal dunia), tentu saja hal itu harus berdasarkan pengetahuan laki-laki tersebut atas kehamilan perempuan tersebut dan keridhoannya," tambah Achmad Syauki.

Berikut selengkapnya soal bisakah menikah di KUA saat hamil sesuai peraturan dalam Kompilasi Hukum Islam:

1. Kawin Hamil

Kawin hamil diatur Bab VIII pasal 53 KHI, sebagai berikut:

Pasal 53 :

(1) Seorang wanita hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.

(2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.

(3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

Ketentuan di atas sesuai dengan firman Allah SWT Surat An Nur ayat 3. Dalam surat An Nur dikatakan:

"Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan perempuan musyrik; dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin." (Depag RI., Al-Qu'ran dan Tafsirnya, jilid 6, 2009:561).

2. Wanita Hamil Dinikahi Oleh Laki-laki Yang Tidak Menghamilinya

Mazhab Syafi'i berpandangan bahwa sah perkawinan yang dilakukan oleh wanita hamil baik dengan pria yang menghamilinya maupun pria lain, tidak perlu menunggu si wanita tersebut melahirkan terlebih dahulu.

Mazhab Hanafi berpendapat bahwa sah mengawini wanita hamil baik oleh pria yang menghamilinya maupun pria lain, dengan catatan jika yang mengawininya bukan pria yang menghamilinya, maka pria itu tidak boleh mencampuri wanita tersebut hingga si anak lahir.

Lain dengan Mazhab Maliki, pelaksanaan kawin hamil menurut Malikiyyah adalah haram secara mutlak, baik pria yang menghamili atau bukan harus menunggu bayi tersebut lahir baru dapat mengawini wanita tersebut.

Kemudian Mazhab Hanbali berpendapat bahwa tidak sah menikahi wanita yang diketahui telah berbuat zina, baik laki-laki yang menzinainya maupun laki-laki yang bukan menzinainya.

Pria baru boleh mengawini wanita tersebut apabila wanita tersebut sudah habis masa iddahnya dan telah bertaubat dari perbuatan maksiat. Sedangkan KHI mengatur bahwa wanita hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya dan dapat ditafsirkan pula kata "dapat" bahwa wanita hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan laki-laki lain yang tidak menghamilinya.

Sesuai dengan Pasal 53 ayat (1) "Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya."

Biaya Nikah di KUA saat Hamil

Achmad Syauki menjelaskan bagi pasangan yang mengalami hamil di luar nikah, pernikahan bisa digelar seperti pada umumnya. Dan Kantor Urusan Agama (KUA) tidak memungut biaya untuk proses pernikahan tersebut.

"KUA hanya memungut biaya sesuai dengan PP 19/2015 tentang PNBP. Nikah di kantor dan jam kerja Rp. 0,- Nikah di luar kantor dan di luar hari dan jam kerja Rp 600 ribu," tutupnya.

Itulah penjelasan dari Kepala KUA Tebet soal bisakah menikah di KUA saat hamil. Intinya pernikahan bisa dilakukan dengan gratis di KUA selama mempelai wanita dinikahi pria yang menghamilinya dan dilakukan di kantor KUA pada saat jam kerja.

(gaf/eny)

Assalammualaikum p ustadz,

Pak ustadz, saya mau bertanya…

Apabila ada seorang wanita dan pria menikah, akan tetapi dalam kondisi wanita tersebut dalam keadaan hamil, setelah anaknya lahir apakah pasangan tersebut wajib menikah lagi???

Kalau "wajib", bagaimana cara kita menyampaikan kepada pasangan tersebut agar mau menikah lagi, agar mereka merasa tidak tersinggung???

Soalna selama ini kan yang mereka tau, kalau sudah pernah menikah, itu sudah sah.

Terima kasih sebelumnya pak ustadz

Wassalammualaikum Wr. Wb

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Menikahi wanita yang sedang dalam keadaan hamil hukumnya ada dua. Yang pertama, hukumnya haram. Yang kedua, hukumnya boleh.

Yang hukumnya haram adalah apabila yang menikahi bukan orang yang menghamili. Wanita itu dihamili olehA, sedangkan yang menikahinya B. Hukumnya haram sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, dia menuangkan air (maninya) padatanaman orang lain. (HR Abu Daud)

Yang dimaksud dengan tanaman orang lain maksudnya haram melakukan persetubuhan dengan wanita yang sudah dihamili orang lain. Baik hamilnya karena zina atau pun karena hubungan suami isteri yang sah. Pendeknya, bila seorang wanita sedang hamil, maka haram untuk disetubuhi oleh laki-laki lain, kecuali laki-laki yang menyetubuhinya.

Dari dalil di atas kita mendapatkan hukum yang kedua, yaitu yang hukumnya boleh. Yaitu wanita hamil karena zina dinikahi oleh pasangan zina yang menghamilinya. Hukumnya boleh dan tidak dilarang.

Maka seorang laki-laki menikahi pasangan zinanya yang terlanjur hamil dibolehkan, asalkan yang menyetubuhinya (mengawininya) adalah benar-benardirinya sebagai laki-lakiyang menghamilinya, bukan orang lain.

Perbedaan Pendapat TentangKebolehan Menikahinya

Memang ada sebagian pendapat yang mengharamkan menikahi wanita yang pernah dizinainya sendiri dengan berdalil kepada ayat Al-Quran Al-Kariem berikut ini:

Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mu’min. (QS. An-Nur: 3)

Namun kalau kita teliti, rupanya yang mengharamkan hanya sebagian kecil saja. Selebihnya, mayoritas para ulama membolehkan.

1. Pendapat Jumhur (mayoritas) ulama

Jumhurul fuqaha’ (mayoritas ahli fiqih) mengatakan bahwa yang dipahami dari ayat tersebut bukanlah mengharamkan untuk menikahi wanita yang pernah berzina. Bahkan mereka membolehkan menikahi wanita yang pezina sekalipun. Lalu bagaimana dengan lafaz ayat yang zahirnya mengharamkan itu?

Para fuqaha memiliki tiga alasan dalam hal ini.

  • Dalam hal ini mereka mengatakan bahwa lafaz ‘hurrima‘ atau diharamkan di dalam ayat itu bukanlah pengharaman namun tanzih (dibenci).
  • Selain itu mereka beralasan bahwa kalaulah memang diharamkan, maka lebih kepada kasus yang khusus saat ayat itu diturunkan.
  • Mereka mengatakan bahwa ayat itu telah dibatalkan ketentuan hukumnya (dinasakh) dengan ayat lainnya yaitu:

Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha Mengetahui.(QS. An-Nur: 32).

Pendapat ini juga merupakan pendapat Abu Bakar As-Shiddiq dan Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhuma. Mereka membolehkan seseorang untuk menikahi wanita pezina. Dan bahwa seseorang pernah berzina tidaklah mengharamkan dirinya dari menikah secara syah.

Pendapat mereka ini dikuatkan dengan hadits berikut:

Dari Aisyah ra berkata, "Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seseorang yang berzina dengan seorang wanita dan berniat untuk menikahinya, lalu beliau bersabda, "Awalnya perbuatan kotor dan akhirnya nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal." (HR Tabarany dan Daruquthuny).

Dan hadits berikut ini:

Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW, "Isteriku ini seorang yang suka berzina." Beliau menjawab, "Ceraikan dia!." "Tapi aku takut memberatkan diriku." "Kalau begitu mut’ahilah dia." (HR Abu Daud dan An-Nasa’i)

Selain itu juga ada hadits berikut ini

Dimasa lalu seorang bertanya kepada Ibnu Abbas ra, "Aku melakukan zina dengan seorang wanita, lalu aku diberikan rizki Allah dengan bertaubat. Setelah itu aku ingin menikahinya, namun orang-orang berkata (sambil menyitir ayat Allah), "Seorang pezina tidak menikah kecuali dengan pezina juga atau dengan musyrik’. Lalu Ibnu Abbas berkata, "Ayat itu bukan untuk kasus itu. Nikahilah dia, bila ada dosa maka aku yang menanggungnya." (HR Ibnu Hibban dan Abu Hatim)

Ibnu Umar ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang wanita, bolehkan setelah itu menikahinya? Ibnu Umar menjawab, "Ya, bila keduanya bertaubat dan memperbaiki diri."

2. Pendapat Yang Mengharamkan

Sebagian kecil ulama ada yang berpendapat untuk mengharamkan tindakan menikahi wanita yang pernah dizinainya sendiri. Paling tidak tercatat ada Aisyah, Ali bin Abi Thalib, Al-Barra’ dan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhum ajmain.

Mereka mengatakan bahwa seorang laki-laki yang menzinai wanita maka dia diharamkan untuk menikahinya. Begitu juga seorang wanita yang pernah berzina dengan laki-laki lain, maka dia diharamkan untuk dinikahi oleh laki-laki yang baik (bukan pezina).

Bahkan Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa bila seorang isteri berzina, maka wajiblah pasangan itu diceraikan. Begitu juga bila yang berzina adalah pihak suami. Tentu saja dalil mereka adalah zahir ayat yang kami sebutkan di atas (aN-Nur: 3).

Selain itu mereka juga berdalil dengan hadits dayyuts, yaitu orang yang tidak punya rasa cemburu bila isterinya serong dan tetap menjadikannya sebagai isteri.

Dari Ammar bin Yasir bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidak akan masuk surga suami yang dayyuts." (HR Abu Daud)

Di antara tokoh di zaman sekarang yang ikut mengharamkan adalah Syeikh Al-Utsaimin rahmahullah.

3. Pendapat Pertengahan

Sedangkan pendapat yang pertengahan adalah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau mengharamkan seseorang menikah dengan wanita yang masih suka berzina dan belum bertaubat. Kalaupun mereka menikah, maka nikahnya tidak syah.

Namun bila wanita itu sudah berhenti dari dosanya dan bertaubat, maka tidak ada larangan untuk menikahinya. Dan bila mereka menikah, maka nikahnya syah secara syar’i.

Nampaknya pendapat ini agak menengah dan sesuai dengan asas prikemanusiaan. Karena seseorang yang sudah bertaubat berhak untuk bisa hidup normal dan mendapatkan pasangan yang baik.

Lalu, karena penegakan syariah dan hukum hudud hanya bisa dilakukan oleh ulil amri (pemerintah) maka hukum rajam, cambuk, dan yang lain belum bisa dilakukan. Sebagai gantinya, tobat dari zina bisa dengan penyesalan, meninggalkan perbuatan tersebut, dan bertekad untuk tidak mengulangi.

Dan hukum pernikahan di antara mereka sudah sah, asalkan telah terpenuhi syarat dan rukunnya. Harus ada ijab qabul yang dilakukan oleh suami dengan ayah kandung si wanita disertai keberadaan 2 orang saksi laki-laki yang akil, baligh, merdeka, dan ‘adil.

Tidak Perlu Diulang

Kalau kita mengunakan pendapat mayoritas ulama yang mengatakan pernikahan mereka sah, maka karena akad nikah mereka sudah sah, sebenarnya tidak ada lagi keharusan untuk mengulangi akad nikah setelah bayinya lahir. Karena pada hakikatnya pernikahan mereka sudah sah. Tidak perlu lagi ada pernikahan ulang.

Buat apa diulang kalau pernikahan mereka sudah sah. Dan sejak mereka menikah, tentunya mereka telah melakukan hubungan suami isteri secara sah. Hukumnya bukan zina.

Status Anak

Adapun masalah status anak, menurut sebagian ulama, jika anak ini lahir 6 bulan setelah akad nikah, maka si anak secara otomatis sah dinasabkan pada ayahnya tanpa harus ada ikrar tersendiri.

Namun jika si jabang bayi lahir sebelum bulan keenam setelah pernikahan, maka ayahnyadipandang perlu untuk melakukan ikrar, yaitu menyatakan secara tegas bahwa si anak memang benar-benar dari darah dagingnya. Itu saja bedanya.



Bila seorang wanita yang pernah berzina itu akan menikah dengan orang lain, harus dilakukan proses istibra‘, yaitu menunggu kepastian apakah ada janin dalam perutnya atau tidak. Masa istibra’ itu menurut para ulama adalah 6 bulan. Bila dalam masa 6 bulan itu memang bisa dipastikan tidak ada janin, baru boleh dia menikah dengan orang lain.

Sedangkan bila menikah dengan laki-laki yang menzinahinya, tidak perlu dilakukan istibra’ karena kalaupun ada janin dalam perutnya, sudah bisa dipastikan bahwa janin itu anak dari orang yang menzinahinya yang kini sudah resmi menjadi suami ibunya.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

Apakah pasangan yang menikah karena hamil duluan wajib menikah kembali setelah anak lahir?

Perkawinan tersebut dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

Apakah hamil diluar nikah harus nikah lagi dalam islam?

Dikutip dari Jurnal Hukum Perdata Islam, menurut pendapat Imam Syafi'i, perkawinan akibat hamil di luar nikah adalah sah hukumnya. Perkawinan boleh dilangsungkan ketika seorang wanita dalam keadaan hamil. Baik perkawinan itu dilakukan dengan laki-laki yang menghamilinya atau dengan laki-laki yang bukan menghamilinya.

Bagaimana jika hamil diluar nikah lalu menikah?

Abstract. Imam Syafi'i berpendapat bahwa perkawinan akibat hamil diluar nikah adalah sah, perkawinan boleh dilangsungkan ketika seorang wanita dalam keadaan hamil. Baik perkawinan itu dilakuan dengan laki-laki yang menghamilinya ataupun dengan laki-laki yang bukan menghamilinya.

Hukum Menikah Dalam Keadaan Hamil Duluan?

Jadi kesimpulannya, jika seorang laki-laki menikahi wanita yang sedang mengandung anak dari orang lain, hukumnya haram (menurut Imam Malik dan Imam Ahmad).