Strategi awal Pieter Both ketika sampai di Jayakarta agar posisinya aman adalah dengan cara

Selama melakukan aksi monopoli perdagangannya di Nusantara, VOC cukup sering berpindah-pindah markas, mulanya berada di Banten lalu Ambon dan akhirnya Jayakarta. Perpindahan tersebut disebabkan adanya persaingan hingga pertempuran dengan pihak lain seperti EIC (Inggris).

Show

Sejak tahun 1611 VOC sudah membuka pos perdagangan di Jayakarta dan kemudian dijadikan sebagai markas permanen oleh Jan Piterzoon Coen. Ia mengetahui bahwa wilayah tersebut mempunyai potensi yang besar dan bagus untuk misi monopoli perdagangan hingga melanggengkan kekuasaan VOC di sana.

Tentu perpindahan tersebut didorong oleh beberapa alasan khusus. Simak penjelasannya berikut.

1. Ambon tidak cukup menguntungkan bagi VOC.

Memang di daerah Maluku, termasuk Ambon menjadi pusat penghasil rempah-rempah, objek yang selama selalu dicari-cari oleh Belanda sebagai bahan monopoli perdagangan. Namun, lokasinya tidak cukup strategis karena dilihat dari pengalaman selama di sana, tidak banyak kapal dagang asing yang singgah di wilayah tersebut.

Terlebih sebagian besar wilayah Maluku juga dikuasai oleh kongsi dagang lain milik Inggris yaitu EIC sehingga menjadikannya sering bersitegang dan perang. Selain itu juga masih ada pesaing lain asal Eropa seperti Spanyol dan Portugis yang cukup kuat.

Akhirnya ketika Jan Piterzoon Coen diangkat menjadi gubernur jendral untuk VOC tahun 1618, ia mulai memikirkan soal keuntungan dan mencari pengganti pusat atau markas yang baru. Ia mengetahui bahwa di Nusantara Barat terdapat wilayah yang mempunyai pelabuhan sangat ramai, sibuk, dan strategis, yaitu Jayakarta.

2. Ingin memperkokoh kekuasannya di Nusantara.

Dikutip dari Sejarah Indonesia Modern karya Ricklefs, prinsip yang diyakini Coen adalah bahwa VOC tidak akan bisa menguasai perdagangan tanpa melakukan perang dan sebaliknya, tidak bisa melakukan perang tanpa menguasai perdagangan.

Hal itulah yang menunjukkan bahwa ia ingin mendapat kekuasaan penuh dan kokoh dalam menjalankan monopoli perdagangan di Nusantara. Hal itu bisa terwujud dengan mengambil Batavia dan menjadikannya sebagai pusat perdagangan, administrasi, hingga militer. Mengingat wilayah tersebut sudah dikenal sebagai jalaur perdagangan internasional dan berpengaruh.

Benar, akhirnya VOC bisa melanggengkan kekuasaannya hingga ratusan tahun setelah penaklukan Kota Jayakarta hingga akhirnya melahirkan kolonialisme di Nusantara, khususnya Jawa.

3. Letaknya yang strategis.

Jayakarta dikenal sebagai wilayah yang strategis. Hal itu sudah diungkapkan oleh pejelajah terkenal, Tome Pires pada pertengahan abad ke-16. Waktu itu Batavia masih bernama Jayakarta yang mempunyai pelabuhan terbaik dan begitu ramai di kawasan Jawa.

Lokasi berada di Nusantara bagian Barat yang terhubung dengan banyak pelabuhan serta mudah diakses. Tak hanya itu, dari pelabuhan Jayakarta tersebut mereka juga lebih mudah berlayar ke banyak tempat seperti ke wilayah Nusantara bagian Timur, Timur Jauh, hingga Eropa.

4. Cukup aman dari pesaing.

Awalnya pihak VOC yang dipimpin oleh Jan Pieterzoon Coen awal tahun 1619 harus melawan Inggris untuk mendapatkan kekuasaan penuh atas Jayakarta. Selain itu mereka juga harus mengalahkan Banten, sebab wilayah wilayah yang diincar oleh VOC berada di bawah kekuasaan Kesultanan Banten.

Beberapa bulan kemudian, tepatnya Mei 1619 Coen kembali ke Batavia untuk menguasainya secara penuh. Hal pertama yang dilakukannya adalah menyerang kota dan meratakannya dengan tanah, sehingga Jayakarta benar-benar takluk oleh VOC. Dengan begitu di sana tidak ada pesaing yang cukup berat baginya.

Dengan begitu, menurut Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern mereka bisa membangun pusat militer dan adiministrasi untuk kebutuhan perdagangan mereka dengan lebih leluasa. Sebab, tidak ada lagi saingan terberat mereka dalam hal perdagangan di wilayah tersebut.

Coen juga mulai membuat pemukiman khusus bagi mereka yang ikut serta membantu VOC. Baru kemudian ia mengganti nama Jayakarta menjadi Batavia dan diresmikan pada 4 Maret 1621.

Jakarta -

Gubernur jenderal VOC yang pertama menjabat pada tahun 1610. Apakah detikers tahu, siapa dia?

VOC merupakan kepanjangan dari Vereenidge Oostindische Compagnie. Mengutip dari buku Pilkada: Mencari Pemimpin Daerah karya Ayu Widowati Johannes, kantor VOC pertama kali berlokasi di Ambon.

VOC berkantor di Ambon sejak tahun 1610 hingga 1619. Namun, karena terdesak dengan penaklukan Portugis, maka VOC pindah ke Jayakarta atau Batavia di tahun 1619. Dan Gubernur Jenderal VOC yang pertama adalah Pieter Both.

Melansir dari laman resmi Dinas Komunikasi, Informatika dan Statistik Pemprov DKI Jakarta, Pieter Both lahir di Amersfoot. Ia menjabat sebagai Gubernur Jenderal VOC sejak tahun 1610 hingga 1614.

Saat ia memegang kekuasaan, markas utama dari VOC adalah di atas kapal dagang mereka. Sesekali mereka berlabuh di Banten dan membuang jangkar di Maluku.

Pelabuhan transit yang pertama kali dipilih adalah Banten, namun VOC selanjutnya mulai melirik Jayakarta. Sebabnya, kala itu Kesultanan Banten masih terlalu kuat bagi VOC.

Namun, Belanda pada akhirnya tetap memperoleh izin dari penguasa Banten untuk membangun gudang di Jayakarta. Pendirian gudang tersebut adalah berdasarkan perjanjian antara L. Herminte, Pieter Both, dan Pangeran Jayakarta, Wijayakrama.

Pada awal pembangunannya di tahun 1611, gudang atau loji tersebut dibangun dengan bahan-bahan tak permanen. Pada tahun 1613 barulah bahan kayu dan bambu yang awalnya digunakan, diganti dengan bahan-bahan batu.

Mulanya, dibangun gudang yang dinamai Nassau, lalu Belanda membangun lagi yang lain dengan nama Maun'tius.

Kendati begitu, pengganti Pieter Both, yakni Geritz Reijnst dan Laurens Real justru lebih sibuk di Maluku. Sehingga, kedua gudang ini tidak begitu diperhatikan.

Kembali mengutip dari buku Pilkada: Mencari Pemimpin Daerah, selama Pieter Both berkuasa, ia menyelesaikan kontrak dengan masyarakat Maluku, menaklukkan TImor, serta mengusir Spanyol dari Tidore.

Daftar Gubernur Jenderal VOC dari pertama hingga terakhir

1. Pieter Both: 1610-1614

2. Gerard Reynst: 1614-1615

3. Laurens Reael: 1615-1619

4. Jan Pieterszoon Coen: 1617 (diangkat), 1618 (dikonfirmasi), 1619 (resmi), 1623 (akhir jabatan)

5. Pieter de Carpentier: 1623-1627

6. Jan Pieterszoon Coen: 1624 (diangkat kembali), 1627 (resmi), 1629 (akhir jabatan)

7. Jacques Specx: 1629-1632

8. Hendrik Brouwer: 1632-1636

9. Antonio van Diemen: 1636-1645

10. Cornelis van der Lijn: 1645 (diangkat), 1646 (resmi), 1650 (akhir jabatan)

11. Carel Reyniersz: 1650 (diangkat), 1651 (resmi), 1653 (akhir jabatan)

12. Joan Maetsuycker: 1653-1678

13. Rijckloff van Goens: 1678-1681

14. Cornelis Speelman: 1681-1684

15. Johannes Camphuys: 1684- 1691

16. Willem van Outhoorn: 1690 (diangkat), 1691 (resmi), 1704 (akhir jabatan)

17. Joan van Hoorn: 1704-1709

18. Abraham van Riebeeck: 1709-1713

19. Christoffel van Swol: 1713-1718

20. Hendrick Zwaardecroon: 1718 (diangkat), 1720 (resmi), 1725 (akhir jabatan)

21. Mattheus de Haan: 1724 (dinagkat), 1725 (resmi), 1729 (akhir jabatan)

22. Diederik Durven: 1729-1732

23. Dirk van Cloon: 1732-1735

24. Abraham Patras: 1735-1737

25. Adrian Valckenier: 1737-1741

26. Johannes thedens: 1741-1743

27. Gustaaf Willem Baron van Imhoff: 1743-1750

28. Jacob Mossel: 1750- 1761

29. Petrus Albertus van der Parra: 1761-1775

30. Jeremias van Riemsdijk: 1775-1777

31. Reinier de Klerk: 1777 (diangkat), 1778 (resmi), 1780 (akhir jabatan)

32. Willem Arnold Alting: 1780 (pejabat sementara), 1780 (resmi), 1797 (akhir jabatan).

Dari rincian di atas, dapat disimpulkan bahwa Gubernur Jenderal VOC yang pertama adalah Pieter Both. Sedangkan yang terakhir adalah Willem Arnold Alting. Selamat belajar, detikers!

Simak Video "Memahami Pengukuran Hisab Rukyat Hilal dari Lembang Bandung"



(nah/nwy)

Penduduk Batavia menjulukinya Mur Jangkung. Entah dari mana asalnya nama Mur itu. Yang jelas, Jan Pieterszoon Coen yang bertubuh kurus memang memiliki tinggi badan di atas rata-rata alias jangkung. Postur cekingnya didukung sorot mata yang amat tajam dan menusuk, seolah-olah selalu menyelidik apapun yang sedang ditatapnya.

Dikutip dari buku Romi Zarman berjudul Di Bawah Kuasa Antisemitisme: Orang Yahudi di Hindia Belanda 1861-1942 (2018), ada karya sastra Jawa pra-kolonial bertajuk “Baron Sakendar" yang memuat hikayat tentang Moer Djang Koen. Namun, tulis Zamran, hikayat ini tidak memberikan jawaban apa-apa mengenai silsilah julukan itu (hlm. 42).

Lidah pribumi melafalkan Moer Djang Koen menjadi Mur Jangkung, dan kebetulan pula orang Belanda itu memang bertubuh jangkung. Kata “Djang" dan “Koen" juga bisa merujuk kepada “Jan" dan “Coen". Namun, sekali lagi, belum diketahui mengenai “Mur" yang turut disematkan dalam hikayat maupun julukan bagi Jan Pieterszoon Coen.

Jan Pieterszoon Coen lahir di Hoorn, Belanda, pada 8 Januari 1587. Ia belajar ilmu dagang di Roma, Italia, sejak usia 13, sekaligus mempelajari berbagai macam bahasa asing.

Sempat pulang ke kampung halamannya, Coen lantas mengadu nasib ke timur jauh. Pada 22 Desember 1607, ia mengikuti kapten kapal Belanda yang bekerja untuk VOC, Pieter Willemszoon Verhoeff, berniaga rempah-rempah hingga ke Nusantara. Inilah untuk pertama kali Coen menginjakkan kaki di tanah yang kelak bakal dikuasainya.

Coen dengan mata kepalanya sendiri menyaksikan bagaimana Kapten Verhoeff dan rekan-rekannya sesama orang Belanda dibantai di Banda. Beruntung, Coen yang turut dalam armada itu sebagai juru tulis, berhasil lolos dan menyelamatkan diri.

Kejadian tragis tersebut ternyata justru berbuah berkah bagi Coen. Kariernya di VOC melesat dengan relatif cepat. Bahkan, pada 18 April 1618 saat usianya baru 31 tahun, Coen ditunjuk menempati jabatan tertinggi sebagai Gubernur Jenderal VOC kendati baru diresmikan setahun berikutnya.

Berebut Sunda Kelapa Penunjukan Jan Pieterszoon Coen sebagai Gubernur Jenderal VOC terjadi lantaran pejabat sebelumnya, Laurens Reael, meletakkan jabatannya. Reael merasa sudah tidak sanggup lagi menghadapi persoalan dengan Kesultanan Banten yang dibantu oleh Inggris, pesaing utama VOC dalam perdagangan di kawasan Asia, khususnya Asia Tenggara. (adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); Baca juga: Raja Banten, Sultan "Resmi" Pertama di Nusantara Selain itu, Reael juga berselisih paham dengan Dewan Direksi VOC atau The Heeren XVII terkait kebijakan dagang dalam persaingan dengan Inggris. Mundurnya Reael pada 1617 membuka jalan karier gemilang bagi Coen. Para petinggi VOC memilih Coen karena dinilai cemerlang, menguasai ilmu dagang dan berbagai bahasa, juga tegas serta berpengalaman di usia yang masih sangat muda.Coen harus menghadapi persoalan yang belum dituntaskan Reael. Seabrek pekerjaan menantinya, termasuk protes keras Maluku yang menentang kebijakan monopoli VOC, harga lada di Batam yang melangit karena ulah Inggris dan Cina, perlawanan dari laskar-laskar pendukung Kesultanan Mataram Islam di Jepara, juga permasalahan dengan Kesultanan Banten di Jayakarta yang direcoki Inggris.Dari semua urusan yang sebenarnya sama-sama mendesak itu, Coen memutuskan untuk merampungkan persoalan Jayakarta terlebih dulu. Coen melihat potensi Jayakarta sebagai kota pesisir yang ramai dan lokasinya strategis. Jayakarta, dalam pandangan Coen, cocok dijadikan sebagai pusat kegiatan VOC yang sebelumnya ada di Maluku. Baca juga: Belanda Melepas Manhattan Demi Pulau Kecil di Maluku Pamor Jayakarta memang sudah terdengar sejak berpuluh-puluh warsa silam. Tempat ini sebelumnya bernama Sunda Kelapa dan berada di wilayah kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Kerajaan ini merupakan kerajaan Sunda yang berpusat di Bogor, dan eksis hingga 1579 Masehi.Sanusi Pane dalam Sedjarah Indonesia (1955) menuliskan, Sunda Kelapa pada masa Pajajaran sudah dikenal sebagai kota pelabuhan internasional. Bandar dagang ini menjadi tempat bertemunya kaum saudagar dari berbagai penjuru dunia, termasuk dari Eropa dan Timur Tengah (hlm. 27). Selain itu, para peniaga lintas bangsa dari negeri-negeri Melayu, India, Jepang, serta Cina juga kerap singgah di Sunda Kelapa, selain para pedagang dan nelayan dari berbagai daerah di Nusantara. Baca juga: Salakanagara, Kerajaan (Sunda) Tertua di Nusantara Tahun 1522, Pajajaran berselisih dengan tiga kerajaan Islam, yakni Cirebon, Demak, dan Banten. Pajajaran kemudian meminta bantuan Portugis yang kala itu memang beraktivitas di Nusantara. Namun, pertempuran dimenangkan oleh pasukan gabungan kerajaan Islam yang dipimpin Fatahillah. Setelah kemenangan itu, Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta, dan dipimpin oleh pejabat khusus yang ditunjuk oleh Kesultanan Demak. Setelah Demak runtuh pada 1554 karena konflik internal, Jayakarta dikelola oleh Kesultanan Banten.Hingga kemudian, Belanda datang dan ingin menguasai perdagangan di sekitar Selat Sunda, termasuk mengambilalih Jayakarta. Ambisi ini tentu saja ditentang oleh Banten dan lantas meminta bantuan Inggris yang memang cukup berpengaruh di perairan Malaka. Dari sinilah, VOC di bawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen mempersiapkan misi merebut Jayakarta.

Pemimpin Muda yang Ambisius Armada VOC pertamakali berlabuh ke dermaga Jayakarta pada 1596. Benny G. Setiono melalui buku berjudul Tionghoa dalam Pusaran Politik (2008) mengungkapkan, saat itu terdapat kurang lebih 3.000 rumah, sebagian besar di antaranya dikelilingi pagar tanaman hijau (hlm. 78). Baca juga: Benarkah Fatahillah Membantai Rakyat Betawi? Untuk memperoleh izin berdagang, VOC harus membayar 1.200 real kepada pejabat pribumi yang ditugaskan memimpin wilayah itu, yang dikenal sebagai Pangeran Jayakarta. Maka, lanjut Setiono, sejak saat itu kapal-kapal Belanda diizinkan singgah di pelabuhan Jayakarta. Kompeni juga diperbolehkan membangun pos dagang dan gudang di kawasan itu.Hingga akhirnya, Jan Pieterszoon Coen melihat bahwa amat menguntungkan bagi VOC jika Jayakarta mampu dikuasai. Kepada The Heeren XVII, pada 1614 Coen mengatakan bahwa VOC tidak akan dapat menguasai perdagangan tanpa melakukan peperangan dan sebaliknya. Coen menegaskan, hanya ada satu cara untuk memperkokoh kekuasaan VOC, yaitu menghancurkan semua pihak yang merintangi, termasuk dalam urusan Jayakarta.Coen memang seorang ahli strategi dagang yang ulung. Dipaparkan Bernard Hubertus Maria Vlekke dalam Nusantara: Sejarah Indonesia (2008), langkah awalnya adalah dengan menghentikan semua pembelian lada (hlm. 155). Kebijakan ini tentu saja mengacaukan pasar perdagangan lada.Coen kemudian mengancam akan memindahkan semua pabrik milik VOC ke Jayakarta. Selain itu, ia juga bernegosiasi dengan para pedagang Cina. Ketika Inggris mulai ikut campur dalam situasi ini, Coen hampir bisa memaksakan harga lada turun drastis hingga 50%. (adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); Baca juga: Perjanjian Zaragoza: Ketika Dunia Hanya Milik Spanyol & Portugis Kesultanan Banten yang turut merasa terancam dengan sepak-terjang Coen pun menjalin kerjasama dengan Inggris. Keduanya punya musuh bersama, yakni VOC. Terjadilah pertempuran di laut, pasukan gabungan Banten dan Inggris mulai menyerang kapal-kapal Cina yang hendak merapat ke Jayakarta.VOC, yang sebelumnya sudah memiliki kantor dagang di Jayakarta, tentunya tidak tinggal diam. Seperti yang dituliskan Vlekke, Coen memerintahkan gudang kompeni di Jayakarta diubah menjadi benteng pertahanan, dan mulai menyerang pos-pos dagang milik Inggris di lokasi yang sama (hlm. 155). Pasukan Coen membakar habis semua aset Inggris di Jayakarta.Kubu Inggris tentu saja murka dan mengancam akan memotong seluruh jalur komunikasi VOC dengan dunia luar. Inggris mengerahkan 11 kapal tempurnya untuk berpatroli di sekitar perairan Jayakarta. Perang terbuka segera dimulai.

J.P. Coen Menaklukkan Jayakarta Jan Pieterszoon Coen tak gentar. Pada awal 1619 itu, ia memimpin 7 kapal Belanda untuk menghadapi armada perang Inggris dan pecahlah pertempuran selama 3 jam. Hasilnya, VOC kewalahan dan akhirnya kalah. Coen terpaksa mundur, meninggalkan garnisunnya di Jayakarta dan berpesan kepada mereka untuk bertahan sampai titik darah penghabisan. Baca juga: Melayu, Islam, dan Politisasi Pribumi ala Kolonial Coen berlayar jauh menuju Maluku, pusat VOC kala itu, sembari mengkoordinasikan kembali pasukannya. Ia juga menulis surat kepada para petinggi VOC di Negeri Belanda dan melaporkan kekalahannya itu. Coen meminta tambahan pasukan serta kapal tempur untuk melawan Inggris (hlm. 156).Benteng VOC di Jayakarta ternyata selamat. Pasalnya, lawan-lawan mereka sibuk ribut sendiri terkait kepemilikan Jayakarta. Inggris dan Banten berebut hak milik atas kota pelabuhan itu. Begitu pula dengan Pangeran Jayakarta yang ternyata juga menyimpan hasrat serupa.Perpecahan tersebut dimanfaatkan betul oleh Coen berlayar kembali dari Maluku. Tanggal 28 Mei 1619, armada Coen memasuki benteng VOC di Jayakarta dan segera bersiap melakukan penyerangan. Dua hari kemudian, Coen memimpin 1.000 orang menyerbu pos-pos musuh mereka yang sedang lengah. Baca juga: Pertempuran Malaya Mengakhiri Penjajahan Belanda di Indonesia Tanggal 30 Mei 1619, Coen berhasil menguasai Jayakarta dan hanya kehilangan 1 orang prajuritnya yang tewas. Coen memerintahkan pasukannya untuk membumihanguskan kota pelabuhan yang kemudian diduduki sepenuhnya oleh VOC. Di saat yang sama, sebagaimana disebutkan dalam buku Sejarah Nasional: Ketika Nusantara Berbicara karya Joko Darmawan, Coen juga mengirimkan 17 armada lautnya untuk menyerang pelabuhan Banten (hlm. 22). VOC meraih kemenangan mutlak. Inggris kabur, Banten kewalahan, dan Jayakarta pun berhasil direbut.Di atas puing-puing Jayakarta, Coen memerintahkan pembangunan sebuah benteng baru yang lebih besar dan kuat. Selain itu, ia juga membangun kota kecil untuk tempat bermukim orang-orang Belanda yang telah turut bertempur bersamanya. Kota itulah yang dikenal sebagai Batavia, kendati Coen sebenarnya ingin memberinya nama Nieuw Hoorn alias Hoorn Baru, mengacu kepada kota kelahirannya di Belanda. Namun, usulan Coen terkait penamaan itu tidak disetujui para petinggi VOC. Baca juga: 13 Hari Pembantaian Orang Cina di Jakarta Tanggal 4 Maret 1621, nama Batavia dikukuhkan. Pemerintah daerahnya pun dibentuk. Sejak saat itu, Batavia resmi menjadi pusat kekuasaan VOC. Dari sinilah Belanda mengendalikan Nusantara hingga berabad-abad lamanya. Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan menarik lainnya Iswara N Raditya (tirto.id - isw/ivn) Penulis: Iswara N Raditya Editor: Ivan Aulia Ahsan