Setiap umat beragama memiliki kesempatan yang sama untuk menjalankan

Moderasi beragama merupakan proses memahami sekaligus mengamalkan ajaran agama secara adil dan seimbang, agar terhindar dari perilaku ekstrem atau berlebih-lebihan saat mengimplementasikannya. Moderasi beragama bukan berarti memoderasi agama, karena agama dalam dirinya sudah mengandung prinsip moderasi, yaitu keadilan dan keseimbangan. Secara substantif, moderasi beragama sebenarnya bukan hal baru bagi bangsa kita.

Masyarakat Indonesia memiliki modal sosial dan kultural yang cukup mengakar. Kita biasa bertenggang rasa, toleran, menghormati persaudaraan, dan menghargai keragaman. Boleh dikata, nilai­nilai fundamental seperti itulah yang menjadi fondasi dan filosofi masyarakat di Nusantara dalam menjalani moderasi beragama. Nilai itu ada di semua agama karena semua agama pada dasarnya mengajarkan nilai­nilai kemanusiaan.

Moderasi harus dipahami sebagai komitmen bersama untuk menjaga keseimbangan yang paripurna, di mana setiap warga masyarakat, apa pun suku, etnis, budaya, agama, dan pilihan politiknya harus mau saling mendengarkan satu sama lain, serta saling belajar melatih  kemampuan mengelola dan mengatasi perbedaan di antara mereka. Jadi jelas bahwa moderasi beragama sangat erat terkait dengan menjaga kebersamaan dengan memiliki sikap tenggang rasa. Ini adalah sebuah warisan leluhur yang mengajarkan kita untuk saling memahami dan ikut merasakan satu sama lain yang berbeda dengan kita.

Moderasi beragama memiliki peran strategis dalam mewujudkan keharmonisan berbangsa dan bernegara. Hal ini bahkan diatur dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Dalam RPJMN tersebut, terdapat empat indikator moderasi beragama, yaitu komitmen kebangsaan, anti kekerasan, toleransi, dan ramah tradisi. Tahun 2020 menjadi salah satu momentum untuk mewujudkan moderasi beragama di Indonesia. Melalui program prioritas Kementerian Agama, tahun 2022 dicanangkan menjadi tahun toleransi, tentu ini menjadi tonggak komitmen untuk menjaga persatuan bangsa.

Bersamaan dengan pencanangan tahun toleransi ini, Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo terpilih memimpin Presidensi G20 untuk satu tahun ke depan (2021-2022). Sejak Desember 2021, Indonesia terpilih untuk memimpin kelompok 20 negara dengan ekonomi terbesar di dunia itu. Sebuah momentum untuk mengakselerasi pengembangan ekonomi Indonesia pascapandemi. Secara langsung kondusifitas kehidupan berbangsa dan bernegara akan berdampak kepada pengembangan pembangunan manusia dan infrastruktur. 

G20 Momentum Membumikan Moderasi Beragama 
Presidensi G20 Indonesia 2022 merupakan momentum membumikan moderasi beragama. Kepercayaan ini juga menjadi kesempatan Indonesia untuk menunjukkan kepada dunia tentang Bhinneka Tunggal Ika (Unity in Diversity) yang telah mengakarkuat pada ideologi Pancasila. Keberhasilan dalam mengelola keberagaman dan mengharmonisasikan cara beragama sekaligus bernegara dapat menjadi contoh bagi bangsa-bangsa di dunia.

Toleransi dan keberagaman sudah menjadi nafas Indonesia dan amanah konstitusi, “……… ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial….”, sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Ini menjadi bukti peran Indonesia dalam mewujudkan perdamaian dunia.
Dr. Katherine Marshal, wakil  Presiden Forum Lintas Agama G20 mengemukakan bahwa Indonesia memiliki kesempatan emas untuk menggaungkan keragaman lintas agama ke dalam diskusi global sehingga momentum G20 menjadi istimewa. Hal ini disampaikan pada webinar yang diselenggarakan Institut Leimena bersama The Sanneh Institute pada Februari 2022. Sudah selayaknya Indonesia menjadi laboratorium perwujudan toleransi antar umat beragama.

Lebih lanjut, pemulihan pasca pandemi covid-19 yang jadi bahasan utama pada forum G20 sejatinya tidak hanya membicarakan tema-tema merekonstruksi ekonomi global semata, kemanusiaan tentunya juga menjadi pembahasan termasuk upaya untuk memulihkan trauma pasca pandemic dalam konteks keberagamaan. 

Toleransi Membangun Iklim Ekonomi yang Kondusif
Toleransi kerukunan umat beragama sangat berpengaruh terhadap pembangunan ekonomi. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy sudah menyampaikan pentingnya menerapkan prinsip-prinsip kemerdekaan dan kebebasan untuk menumbuhkan sikap tolerasi, saling menghormati antar pemeluk agama yang berbeda dengan latar belakang sosial-budaya yang berbeda. Ihwal ini dapat menjadi modal untuk membangun bangsa Indonesia ke depannya. 

Toleransi dapat menjadi strategi untuk menciptakan iklim kondusif bagi investasi yang berkorelasi langsung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam pengembangan peluang bagi penanaman modal, toleransi menjadi hal yang penting dan mutlak untuk mendukung investasi. Hal ini sebagaimana tercantum pada survey KPPOT 2007 yang masih relevan dengan kondisi terkini.

Keamanan dan ketertiban umum menjadi variabel penting dalam menciptakan iklim ekonomi yang kondusif sebagaimana yang disebutkan dalam perspektif suprastruktur. Dalam hal ini dijelaskan bahwa konflik berdampak kontraproduktif terhadap investasi. Tentu saja, investor akan menarik mundur investasinya jika negara tujuan investasinya berkonflik dan tidak menerapkan moderasi dalam keberagaman. Sedangkan upaya untuk membangun ekonomi dan kesejahteraan masyarakat menjadi fokus pemerintah saat ini sebagai upaya untuk menciptakan lapangan kerja dan mengejar laju pertumbuhan ekonomi pasca covid. 

Dengan mengusung tema, “Recover Together, Recover Stronger” atau “Pulih Bersama, Bangkit Perkasa”, Presidensi G20 Indonesia mendorong upaya bersama untuk pulih bersama serta tumbuh lebih kuat dan berkelanjutan dengan memanfaatkan momentum G20 sebagai etalase moderasi beragama.

Nurul Badruttamam adalah Pranata Humas Ahli Muda Itjen Kemenag RI, sekaligus Sub Koordinator Humas pada Itjen Kemenag RI. Berbagai program kehumasan telah lahir dari pemikirannya dengan menjalankan prinsip kolaborasi antar humas.


Jakarta, Kominfo – Kerukunan antar umat beragama merupakan salah satu modal utama dalam menciptakan kerukunan nasional. Dengan terciptanya kerukunan nasional, maka cita-cita Indonesia untuk menjadi bangsa yang maju dan sejahtera pun dapat terwujud. Oleh karena itu, kerukunan antar umat beragama harus dibangun dan dijaga.

“Kerukunan harus kita bangun dan kita yakin dengan kerukunan antar umat beragama merupakan unsur utama daripada kerukunan nasional. Maka kerukunan nasional kita, persatuan Indonesia yang seperti diciptakan para pendiri bangsa, dapat kita jaga dan kita pertahankan untuk Indonesia Maju, Indonesia Sejahtera,” tegas Wakil Presiden (Wapres) K.H. Ma’ruf Amin usai menyusuri Terowongan Silaturahmi yang menghubungkan antara Masjid Istiqlal dengan Gereja Katedral, Jakarta, Jumat (27/08/2021).

Lebih lanjut Wapres menyampaikan, bahwa Terowongan Silaturahmi memiliki makna yang dalam. Bukan hanya sebuah lambang atau penghubung antar tempat ibadah, namun merupakan simbol saling menghormati antar pemeluk agama.

“Bukan saja hanya sekedar lambang, tapi memberikan inspirasi terbangunnya kerukunan antar umat. Antar umat Islam yang direpresentasikan oleh [Masjid] Istiqlal dan juga masyarakat atau umat Katolik yang direpresentasikan oleh [Gereja Katedral],” ungkap Wapres.

“Dan yang menarik lagi, parkir yang ada di bawah itu digunakan bersama, ya, antara Istiqlal dan Katedral,” tambahnya.

Wapres pun berharap agar terowongan ini dapat menjadi inspirasi bagi seluruh masyarakat Indonesia dengan berbagai agama yang dianutnya untuk saling menghormati dan menjalin kerukunan dengan sesama.

“Saya berharap ini benar-benar memberikan inspirasi kepada kita seluruh bangsa Indonesia,” tutur Wapres.

Pada kesempatan yang sama, Wapres juga melakukan peninjauan penerapan protokol kesehatan yang diterapkan di tempat ibadah. Ia mengungkapkan bahwa baik di Masjid Istiqlal dan di Gereja Katedral, protokol kesehatan yang diterapkan sudah sangat baik. Dimulai dari pengukuran suhu tubuh Jemaah, pengecekan kartu vaksinasi, pemberian hand sanitizer, pemberian jarak aman antar jemaah saat melakukan ibadah serta pemberlakuan kuota tertentu untuk Jemaah yang beribadah dalam satu kesempatan.

Adapun di Masjid Istiqlal, dari kapasitas maksimal dapat menampung 300.000 jemaah, saat ini kapasitas maksimum yang ditetapkan adalah 4.000 jemaah. Sedangkan di Gereja Katedral, diberlakukan penetapan 20 persen jumlah Jemaah dari kapasitas maksimalnya.

Ke depan, Wapres mengimbau kepada seluruh pengurus tempat ibadah, agar dapat menerapkan protokol kesehatan serupa, untuk keselamatan bersama. Sehingga, Jemaah sehat, ibadah pun lancar.

“Dengan adanya juga cara-cara seperti ini kita harapkan bahwa seluruh tempat-tempat ibadah baik masjid, gereja, pura dan juga tempat lain bisa menerapkan aturan ini di daerah-daerah yang levelnya sudah mulai turun ke-3 apalagi ke-2 dan seterusnya,” pungkas Wapres.

Hadir dalam peninjauan ini diantaranya Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar, dan Uskup Agung Jakarta Ignatius Kardinal Suharyo.

Sementara Wapres didampingi oleh Kepala Sekretariat Wapres Mohamad Oemar dan Staf Khusus Wapres Bambang Widianto.

Setiap umat beragama memiliki kesempatan yang sama untuk menjalankan

Menurut Wapres, transformasi digital tersebut juga harus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang kian mengandalkan transaksi non-tunai dala Selengkapnya

Setiap umat beragama memiliki kesempatan yang sama untuk menjalankan

Peringatan Nuzulul Qur’an Tingkat Kenegaraan sebagai bagian dari upaya mengingatkan betapa mulianya ajaran Al-Qur’an bagi bangsa Indones Selengkapnya

Setiap umat beragama memiliki kesempatan yang sama untuk menjalankan

Menkeu Sri Mulyani mengatakan bahwa pada tahun depan akan muncul risiko baru akibat perang di Ukraina dan ketegangan geopolitik yang menyeba Selengkapnya

Setiap umat beragama memiliki kesempatan yang sama untuk menjalankan

Wapres pun mengajak masyarakat untuk dapat bangkit bersama dalam membangun Indonesia yang lebih baik, khususnya pascapandemi yang banyak mem Selengkapnya