Seni teater adalah seni kolektif yang artinya

Teater adalah bentuk kesenian yang diwujudnyatakan dalam permainan sebuah tokoh dengan aktingnya dalam suatu cerita melalui adegan per adegan yang digambarkan dalam suatu peristiwa yang terjadi dalam satu naskah. Seni teater disebut seni kolektif karena dipentaskan melibatkan banyak orang. Orang-orang tersebut memerankan berbagai tokoh,action,dengan beraneka busana,tata rias yang digunakan

,serta penataan artistik yang pertunjukan yang menarik.


Page 2

Advertisement

Seni teater adalah seni kolektif yang artinya
Teater adalah Kerja Kolektif

PojokSeni.com - Seniman teater akan menyepakati bahwa seni teater merupakan sebuah kerja kolektif. Sebuah pementasan teater akan melibatkan banyak orang, bahkan dari berbagai disiplin ilmu berbeda. Mereka menggaet ahli tata rias, ahli busana, ahli lampu dan kelistrikan, ahli pertukangan, ahli manajemen dan bisnis, di samping membawa ahli di bidang teater.

Lampu-lampu yang menyirami panggung dengan cahaya adalah hasil kerja orang-orang yang paham di bidang kelistrikan, pencahayaan dan sebagainya. Begitu pula tata rias yang mewarnai wajah para aktor. Busana yang digunakannya juga buah karya seorang penjahit dan ahli busana yang handal. 

Namun, teater Indonesia hingga hari ini selalu merujuk ke nama seseorang. Entah itu sutradara, atau mungkin pendiri grup. Namanya akan disebut berbarengan dengan tepukan tangan lebih meriah, sehabis sebuah pertunjukan.

Maka ketika nama itu menghilang, begitu juga dengan grupnya. Tak banyak grup teater yang masih bertahan dengan nama yang masih besar, sebagaimana ketika "empunya" masih ada.

Berbanding terbalik dengan sistem kerja teater yang kolektif, nama satu orang di dalam satu grup kadang memiliki nilai jual yang lebih tinggi ketimbang grupnya. Bahkan, di banyak kesempatan, orang-orang lebih memilih menyaksikan satu nama berceramah tentang teater, ketimbang menyaksikan pementasan teater yang tidak ada satu nama itu. 

Faktanya, grup teater adalah tempat di mana karya-karya "empunya" tadi menjadi hidup. Teks-teks yang ditulis penulis naskah kenamaan menjadi berbunyi di atas panggung. Lebih dari itu, kerja kolektif tim di balik sebuah pementasan teater juga paling berpengaruh pada  tumbuh kembangnya sebuah ekosistem seni di satu daerah bahkan di satu negara.

Eksistensi grup teater memang cukup dipandang, tapi kalah pamor dengan eksistensi satu nama. Seakan-akan, satu nama itu masih jauh lebih berpengaruh pada satu grup teater. Dan seakan-akan, teater adalah kerja perorangan yang "dibantu" banyak orang.

Di tengah kondisi tersebut, Indonesia dihajar pula oleh pandemi yang entah kapan selesainya. Pertunjukan teater mati suri, memindahkannya ke layar kaca atau di-daring-kan tak juga menjawab dan memenuhi hasrat pemain dan penonton teater. Ada satu hal yang hilang, satu hal yang menjadi kekuatan utama teater: interaksi tubuh.

Di tengah eksistensi grup yang kalah pamor dengan satu nama, ancaman pandemi yang memindahkan panggung ke layar digital, sekarang muncul pula wacana untuk memajukan praktik kolaborasi di panggung teater. Dengan memadukan berbagai orang dari lintas disiplin seni seperti sastra, tari, rupa dan musik ke satu pertunjukan teater. 

Terdengar indah, tapi sayangnya lagi-lagi pertunjukan itu akan menjadi ancaman baru bagi sebuah grup teater. Dulunya, satu grup teater akan diperkuat oleh personel-personel yang berasal dari berbagai lintas seni. Teater butuh anggota yang memelajari seni rupa untuk memperkuat dekorasi dan properti, butuh pula koreografer untuk memperkuat tari (bila mementaskan teater-tari), juga butuh sastrawan untuk menjadi penulis naskah (dramawan), dan akhirnya butuh musisi untuk penata musik. Tapi mereka tetap dalam kesatuan satu grup, yang berjuang sama-sama untuk menumbuhkan grup mereka.

Bila grup telah mendapatkan kepercayaan, atau katakanlah elektabilitas (seperti di Pemilu), maka grup itu akan mendapatkan banyak penonton, juga mendapatkan banyak proyek tambahan atau sebagainya. Itu penting bagi keberlangsungan sebuah grup, yang akhirnya dapat "menghidupi sekaligus dihidupi" oleh anggotanya sendiri.

Tapi bagaimana bila pertunjukan yang hadir -katakanlah pasca pandemi- merupakan pertunjukan dari "gabungan" individu-individu yang sudah punya nama sendiri-sendiri dari berbagai lintas disiplin?

Balik lagi ke "marwah" teater sebagai ranah kerja kolektif, maka grup teater yang mesti mengambil andil besar dan mendapatkan peluang besar. Bukan individu di dalamnya. Itu (menurut hemat kami) berarti seseorang yang mengambil keuntungan dari kerja kolektif ia dan rekan-rekannya.

Kembali ke hipotesis awal, bisa disimpulkan bahwa premis yang ingin diangkat "teater adalah kerja kolektif, maka grup teater adalah manifestasinya". Grup teater adalah ujung tombak dari regenerasi teater. Grup teater juga menjadi media para seniman teater bereksperimentasi, berlatih, mengkaji dan menciptakan.

Sudah terlalu banyak cobaan menimpa grup teater. Nama-nama seniman teater besar negeri ini, ketika meninggal dunia atau pensiun saja, akan diikuti dengan dekadensi nama grup teaternya. 

Maka, supremasi seni teater akan menjadi omong kosong bila yang dimunculkan kembali adalah nama-nama individu. Itu tentu berlawanan dengan semangat teater sebagai ranah kerja kolektif.   

Teater yang sebenarnya tidak dalam keadaan beku. Hanya saja, ekosistem sekitarnya yang membeku. Diperparah dengan munculnya egoisme dari setiap individu.

Advertisement

Teater adalah Kerja Kolektif

PojokSeni.com - Seniman teater akan menyepakati bahwa seni teater merupakan sebuah kerja kolektif. Sebuah pementasan teater akan melibatkan banyak orang, bahkan dari berbagai disiplin ilmu berbeda. Mereka menggaet ahli tata rias, ahli busana, ahli lampu dan kelistrikan, ahli pertukangan, ahli manajemen dan bisnis, di samping membawa ahli di bidang teater.

Lampu-lampu yang menyirami panggung dengan cahaya adalah hasil kerja orang-orang yang paham di bidang kelistrikan, pencahayaan dan sebagainya. Begitu pula tata rias yang mewarnai wajah para aktor. Busana yang digunakannya juga buah karya seorang penjahit dan ahli busana yang handal. 

Namun, teater Indonesia hingga hari ini selalu merujuk ke nama seseorang. Entah itu sutradara, atau mungkin pendiri grup. Namanya akan disebut berbarengan dengan tepukan tangan lebih meriah, sehabis sebuah pertunjukan.

Maka ketika nama itu menghilang, begitu juga dengan grupnya. Tak banyak grup teater yang masih bertahan dengan nama yang masih besar, sebagaimana ketika "empunya" masih ada.

Berbanding terbalik dengan sistem kerja teater yang kolektif, nama satu orang di dalam satu grup kadang memiliki nilai jual yang lebih tinggi ketimbang grupnya. Bahkan, di banyak kesempatan, orang-orang lebih memilih menyaksikan satu nama berceramah tentang teater, ketimbang menyaksikan pementasan teater yang tidak ada satu nama itu. 

Faktanya, grup teater adalah tempat di mana karya-karya "empunya" tadi menjadi hidup. Teks-teks yang ditulis penulis naskah kenamaan menjadi berbunyi di atas panggung. Lebih dari itu, kerja kolektif tim di balik sebuah pementasan teater juga paling berpengaruh pada  tumbuh kembangnya sebuah ekosistem seni di satu daerah bahkan di satu negara.

Eksistensi grup teater memang cukup dipandang, tapi kalah pamor dengan eksistensi satu nama. Seakan-akan, satu nama itu masih jauh lebih berpengaruh pada satu grup teater. Dan seakan-akan, teater adalah kerja perorangan yang "dibantu" banyak orang.

Di tengah kondisi tersebut, Indonesia dihajar pula oleh pandemi yang entah kapan selesainya. Pertunjukan teater mati suri, memindahkannya ke layar kaca atau di-daring-kan tak juga menjawab dan memenuhi hasrat pemain dan penonton teater. Ada satu hal yang hilang, satu hal yang menjadi kekuatan utama teater: interaksi tubuh.

Di tengah eksistensi grup yang kalah pamor dengan satu nama, ancaman pandemi yang memindahkan panggung ke layar digital, sekarang muncul pula wacana untuk memajukan praktik kolaborasi di panggung teater. Dengan memadukan berbagai orang dari lintas disiplin seni seperti sastra, tari, rupa dan musik ke satu pertunjukan teater. 

Terdengar indah, tapi sayangnya lagi-lagi pertunjukan itu akan menjadi ancaman baru bagi sebuah grup teater. Dulunya, satu grup teater akan diperkuat oleh personel-personel yang berasal dari berbagai lintas seni. Teater butuh anggota yang memelajari seni rupa untuk memperkuat dekorasi dan properti, butuh pula koreografer untuk memperkuat tari [bila mementaskan teater-tari], juga butuh sastrawan untuk menjadi penulis naskah [dramawan], dan akhirnya butuh musisi untuk penata musik. Tapi mereka tetap dalam kesatuan satu grup, yang berjuang sama-sama untuk menumbuhkan grup mereka.

Bila grup telah mendapatkan kepercayaan, atau katakanlah elektabilitas [seperti di Pemilu], maka grup itu akan mendapatkan banyak penonton, juga mendapatkan banyak proyek tambahan atau sebagainya. Itu penting bagi keberlangsungan sebuah grup, yang akhirnya dapat "menghidupi sekaligus dihidupi" oleh anggotanya sendiri.

Tapi bagaimana bila pertunjukan yang hadir -katakanlah pasca pandemi- merupakan pertunjukan dari "gabungan" individu-individu yang sudah punya nama sendiri-sendiri dari berbagai lintas disiplin?

Balik lagi ke "marwah" teater sebagai ranah kerja kolektif, maka grup teater yang mesti mengambil andil besar dan mendapatkan peluang besar. Bukan individu di dalamnya. Itu [menurut hemat kami] berarti seseorang yang mengambil keuntungan dari kerja kolektif ia dan rekan-rekannya.

Kembali ke hipotesis awal, bisa disimpulkan bahwa premis yang ingin diangkat "teater adalah kerja kolektif, maka grup teater adalah manifestasinya". Grup teater adalah ujung tombak dari regenerasi teater. Grup teater juga menjadi media para seniman teater bereksperimentasi, berlatih, mengkaji dan menciptakan.

Sudah terlalu banyak cobaan menimpa grup teater. Nama-nama seniman teater besar negeri ini, ketika meninggal dunia atau pensiun saja, akan diikuti dengan dekadensi nama grup teaternya. 

Maka, supremasi seni teater akan menjadi omong kosong bila yang dimunculkan kembali adalah nama-nama individu. Itu tentu berlawanan dengan semangat teater sebagai ranah kerja kolektif.   

Teater yang sebenarnya tidak dalam keadaan beku. Hanya saja, ekosistem sekitarnya yang membeku. Diperparah dengan munculnya egoisme dari setiap individu.

itu seni kolektif adalah aliansi antara dua atau lebih seniman yang berbagi ideologi dan sudut pandang, bekerja sendiri untuk mencapai tujuan bersama; Tujuan-tujuan ini dapat bervariasi sesuai dengan niat pengungkapan.

Karakteristik kelompok seni kolektif adalah bahwa dalam banyak kasus mereka dapat saling berhubungan dalam bahasa estetika yang diuraikan.

Yaitu, walaupun dipahami bahwa ada kontribusi dari berbagai penulis dalam karya kolektif, hasil akhir tampaknya menunjukkan bahwa seluruh rangkaian dibuat oleh pencipta yang sama; dalam beberapa karya hampir mustahil untuk membedakan bagian individu dari masing-masing seniman.

Ciptaan kolektif mengelola metodologi luas yang akan diusulkan oleh kelompok seniman tergantung pada hubungan, motivasi, dan tujuan mereka.

Sama seperti perjanjian konseptualisasi sebelumnya dapat muncul untuk mendapatkan dampak persatuan dalam pekerjaan yang dilakukan, itu juga dapat membangun proses yang jelas bebas, spontan dan segera yang membuat pekerjaan terbuka untuk intervensi baru tanpa memiliki sketsa atau batasan yang ditentukan.

Beberapa kelompok seniman bahkan dapat hidup dan bekerja bersama, berbagi dalam satu ukuran manfaat dari produksi mereka, hak milik, dan juga risiko yang dibawa beberapa proposal ke tingkat keamanan, legalitas, dan opini publik..

Seni kolektif melalui seniman

Kelompok-kelompok seniman berkumpul di sekitar opini politik, ekonomi dan sosial mereka; estetika dan ideologis di mana transmisi pemikiran dan nilai dicari melalui dukungan dan promosi karya untuk mencapai tujuan bersama.

Sebuah contoh yang jelas dari kolektif seni, adalah munculnya kelompok rap yang selama beberapa dekade telah menciptakan gerakan budaya secara keseluruhan di dunia, memperjelas sudut pandang mereka, ketidaksesuaian sosial, penyelamatan nilai-nilai, kebangkitan nurani dan lebih banyak lagi.

Dengan cara ini, karya musik dan rasional kelompok rap memberi kehidupan pada subkultur seperti hip hop yang menambahkan bentuk-bentuk lain seperti melanggar [menari] dan grafiti.

Seni kolektif dapat dilakukan di bawah disiplin ilmu tertentu atau campuran, mulai dari musik, seni pertunjukan seperti tari atau akting, pertunjukan, melukis dalam semua bentuknya, fotografi, seni audiovisual, patung, sastra dalam puisi atau prosa, instalasi, desain, arsitektur, mode, antara lain.

Beberapa motivator seni kolektif cenderung tidak selalu dengan tujuan yang jelas atau tujuan yang terorganisir dengan ambisi terstruktur.

Kelompok-kelompok yang diorganisir untuk penciptaan sebuah karya tidak selalu permanen atau berkelanjutan, karena para motivator dapat dengan mudah melakukan kerja bersama untuk berbagi di antara para seniman, mengurangi biaya produksi dan promosi, berbagi ruang atau bahan, antara inisiatif lain.

Integrasi dalam kolektif seni membawa para seniman pertumbuhan dalam debat gagasan, adopsi pendekatan yang berbeda, pengembangan kecerdasan kelompok yang dihasilkan oleh kombinasi beberapa disiplin optik dan artistik yang memperkaya kapasitas penciptaan individu dan peralatan.

Kelompok-kelompok seni kolektif, seperti yang dikenal saat ini, muncul pada tahun 70-an sebagai gerakan sosial dalam periode historis yang dilanda oleh teroris, ancaman nuklir, divisi sosial dalam oposisi atau mendukung wacana paling kanan dari zaman.

Ini mengarah pada alternatif pemikiran dan sikap liberal, protes dan ekspresi artistik tanpa lelucon, melanggar semua konvensi.

Gerakan-gerakan ini menjadi pilar dasar untuk pengembangan adegan kreatif, menghasilkan suksesi kelompok-kelompok artistik pengaruh besar dan dengan kapasitas kreatif yang sangat besar yang mencari pengalaman untuk memecahkan stereotip masyarakat, kritik dan institusi seni, memerintah di bawah arahan mereka sendiri.

Beberapa kolektif artistik yang berpengaruh

Kolektif seni telah memainkan peran penting dalam sejarah seni belakangan ini, karena keragaman dan aliansi ganda yang dapat berkisar dari beberapa seniman hingga jumlah yang bisa melebihi seratus bahkan mencapai ribuan seniman yang terlibat dalam acara kerja atau seni.

Gerakan kolektif memungkinkan anonimitas tertentu yang memicu risiko dan tantangan yang berbeda, melaksanakan proyek-proyek ambisi besar yang melanggar batasan yang dapat ditemukan oleh artis solo.

Pembentukan kelompok telah terjadi ketika telah diperlukan untuk campur tangan dalam menanggapi situasi tertentu dari realitas sosial-politik dari suatu tempat tertentu, menghasilkan gerakan sosial dampak dan kesadaran.

Beberapa kolektif seni yang dapat dinamai untuk menetapkan tren dalam dekade terakhir dan yang memunculkan inisiatif baru adalah:

Gadis Gerilya

Kolektif anonim yang dipimpin oleh seniman feminis ini didirikan pada tahun 1985, dan telah dihormati namanya dengan menggunakan strategi seni gerilya untuk mendorong gerakan seni feminin.

Kelompok ini biasanya menggunakan topeng gorila, stoking jala dan rok mini, simbol ikon pergerakan dan komunikasi mereka.

Mereka menyatakan bahwa tidak ada orang atau bahkan keluarga atau pasangan mereka yang mengetahui identitas mereka, menolak untuk mengakui jumlah total wanita yang membentuk tim mereka; diyakini bahwa itu terdiri dari sekitar 20 atau 30 seniman. Proposal mereka didasarkan pada tindakan, poster, dan papan iklan.

Gelitin

Kelompok ini terdiri dari 4 seniman Austria yang bertemu pada tahun 1978 dan yang mulai diperhatikan berkat kerja keras mereka di awal tahun 90-an..

Hingga 2005 mereka menyimpan nama Gelatin [gelatin], dan kemudian diganti menjadi Gelitin. Usulannya didasarkan pada tindakan skala besar, instalasi dan intervensi ruang yang berbeda satu sama lain dalam skala dan ambisi. Mereka dicirikan dengan bersikap subversif dan biasanya melibatkan publik dalam tindakan mereka.

Contoh karyanya adalah karyanya Zap dari Pipi [2005] di mana mereka menciptakan es raksasa dengan sampel urin beku dari pengunjung ke Moscow Biennial.

Salah satu karya Gelitin yang paling terkenal adalah Hase, kelinci pink 55 meter dipasang di sebuah bukit di Tuscany, Italia, yang akan tetap berada di lokasi sampai tahun 2025.

Archigram

Itu adalah kelompok arsitektur avant-garde yang didirikan pada tahun 60-an yang berfokus pada proposal futuristik, pro-komunis, antihero dan sangat terinspirasi oleh teknologi..

Kelompok ini mengeksplorasi kapsul ruang angkasa, gambar konsumsi massa, kelangsungan hidup, menawarkan perspektif yang menggiurkan tentang masa depan mesin di mana masalah sosial dan lingkungan dihilangkan mengubah kenyataan menjadi bahasa mereka sendiri..

Karya-karyanya berfungsi sebagai inspirasi bagi seniman dan proyek teknologi lainnya. Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah The Walking City [1964], yang terdiri dari unsur-unsur hidup raksasa yang menyerupai campuran mesin dan serangga yang dapat melakukan perjalanan melalui kota, di belakang fondasi situasional keseluruhan.

Fluxus

Ini adalah gerakan artistik yang diakui oleh campuran disiplin ilmu seperti seni audiovisual, sastra dan musik.

Film ini disutradarai oleh George Maciunas dan temannya Almus Salcius, serta kolaborator seperti Joseph Beuys, Dick Higgins, Nam June Paik dan Yoko Ono yang mengeksplorasi seni interpretatif, puisi, dan musik eksperimental. Salah satu karya paling terkenal dari grup ini adalah "Skor Acara" dan "Peristiwa".

Referensi

  1. Jacqueline Clyde Artis kolektif Bekerja. [2015]. Sumber: widewalls.ch.
  2. Tampak kolektif terkemuka dunia seni: modernedition.com.
  3. A Long History of Art Collectives: socialart.com.
  4. Alan Moore Pengantar umum untuk kerja kolektif dalam seni modern. [2005]. Diperoleh dari: liminar.com.ar.
  5. Armi Lee. Seni kolektif dari sudut pandang pemirsa. Diperoleh dari: artfacts.net.

Video yang berhubungan