Apa hukum meratapi orang yang telah meninggal dunia?

Apa hukum meratapi orang yang telah meninggal dunia?

Tidak ada manusia yang kekal hidup diatas dunia ini. Bahkan setiap yang bernyawa pasti merasakan mati. Kematian manusia itu sudah ditakdirkan Allah Swt. Tidak ada satupun manusia yang tahu kapan ajalnya tiba. yang jelasnya ajal itu pasti, hanya menunggu gilirannya masing-masing. Terbukti sudah banyak orang-orang yang kita cintai yang telah mendahului kita, sehingga meninggalkan kesedihan yang mendalam bagi kita yang ditinggalkan. Sebab manusia itu memilki sifat sedih, setiap kesedihan tak jarang kita menangis. Akan tetapi diantara umat Islam ada yang berlebihan bersedihnya disaat di tinggal mati oleh orang-orang yang di cintainya. dalam artian meratapi orang yang sudah mati. Di antara tradisi yang diberantas oleh Islam, yaitu tradisi jahiliah yang berkenaan dengan masalah kematian, misalnya: meratap, teriak-teriak dan berlebih-lebihan  dalam melahirkan kesusahan dan kedukaan.

Islam mengajar ummatnya, bahwa mati hanyalah sekedar pindah dari satu tempat ke tempat lain, bukan musnah sama sekali, tidak pula hilang begitu saja. Sedang duka tidak dapat menghidupkan orang yang sudah mati dan tidak dapat menolak takdir Allah. Oleh karena itu setiap mu'min harus menerima kematian ini sebagaimana halnya menerima musibah, yaitu harus sabar dengan mencari keridhaan Allah serta mengambil suatu pelajaran dengan mengharapkan pertemuan abadi di akhirat, sambil mengulang-ulang kalimat inna lillahi wainna ilaihi raji'un (sesungguhnya kami adalah milik Allah, dan kepadaNyalah kami akan kembali). Lalu bagaimana hukum meratapi orang yang sudah meninggal menurut Islam?

Adapun apa yang diperbuat oleh orang-orang jahiliah, adalah mungkar dan haram yang tidak diakui oleh Rasulullah Saw, sebagaimana sabdanya:

"Tidak termasuk golongan kami orang yang menampar pipi dan merobek-robek pakaian dan menyeru dengan seruan jahiliah." (HR. Bukhari)

Tidak halal seorang muslim memakai tanda khusus untuk berkabung atau tidak berhias atau mengganti pakaian dan gerak yang sudah biasa, demi menampakkan perasaan duka dan sedih. Kecuali isteri karena ditinggal mati oleh suaminya, dia harus melakukan berkabung selama empat bulan sepuluh hari, guna memenuhi hak suami dan demi ikatan suci yang telah menghubungkan antara keduanya. Sehingga dia tidak menampakkan perhiasan dan tidak menjadi sasaran mata orang-orang yang hendak meminangnya selama dalam iddah itu. Yang oleh Islam dianggap sebagai melanjutkan beberapa hak suami dalam perkawinannya yang telah terdahulu dan sebagai anyaman  atas perkawinan yang lalu. Tetapi kalau yang mati itu kebetulan bukan suami, misalnya ayah, anak atau saudara, maka tidak halal seorang perempuan berkabung lebih dari tiga hari.

Zainab binti Abu Salamah meriwayatkan dari Ummu Habibah isteri Nabi Saw. ketika ayahnya, Abu Sufyan meninggal dunia. Dia juga meriwayatkan dari Zainab binti Jahsy ketika saudaranya yang laki-laki meninggal dunia. Kedua isteri Nabi ini tidak memakai uangi-uangian, kemudian ia berkata: "Demi Allah, saya tidak lagi memerlukan wangi- wangian, namun saya mendengar Rasulullah Saw. bersabda:

"Tidak halal seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berkabung karena kematian, lebih dari tiga malam, kecuali atas kematian suami, maka harus berkabung empat bulan sepuluh hari." (HR. Bukhari)

Berkabungnya isteri karena meninggalnya suami adalah wajib yang samasekali tidak boleh diabaikannya, sebab ada satu riwayat sebagai berikut:

"Telah datang seorang perempuan kepada Nabi Saw. kemudian ia berkata: sesungguhnya anak perempuanku ditinggal mati oleh suaminya dan matanya menjadi bengkak (karena menangis), apakah boleh saya suruh dia memakai celak? Maka jawab Rasulullah: Tidak! Dua kali atau tiga kali, tiap kali ditanya selalu menjawab tidak." (HR. Bukhari dari Ummu Habibah)

Ini menunjukkan, haramnya berhias dalam waktu yang telah ditentukan. Adapun susah tanpa melewati batas dan menangis tanpa teriak-teriak, termasuk masalah fitrah (pembawaan). Oleh karena itu tidaklah berdosa. Diriwayatkan, bahwa Umar Ibnul-khattab pernah mendengar sementara perempuan menangis karena kematian Khalid bin al-Walid, kemudian ada sementara orang laki- laki yang hendak melarangnya, maka kepada si laki-laki tersebut, Umar berkata:

"Biarkanlah dia menangis karena kematian Abu Sulaiman ini (Khalid bin Walid), selama tangisnya itu tidak menabur-naburkan debu di atas kepalanya dan tidak teriak-teriak."

Apa hukum meratapi orang yang telah meninggal dunia?

Soalan:Mana satu menangis yang haram masa kematian dan mana satu menangis yang tidak haram? Benarkah dikata orang, syaitan masuk ke dalam rumah yang ada orang menangis kerana kematian?

Jawapan:

Hukum menangis ketika berlaku kematian adakalanya diharamkan dan adakalanya diharuskan.

Menangis yang haram

Menangis ketika berlaku kematian yang diharamkan oleh syarak dan dilaknat pelakunya disebut sebagai niyahah.

Erti niyahah ialah meratapi akan mayat atau meraung yakni berteriak mengangkat suara atau menangis dengan bertempik atau terlolong-lolong atau menampar-nampar pipi atau mengoyak pakaian atau berguling-guling dan sebagainya dari kelakuan menangis yang jahiliah.

Advertisement

Telah diriwayatkan daripada Abu Hurairah r.a. Nabi SAW bersabda:

اثْنَتَانِ فِي النَّاسِ هُمَا بِهِمْ كُفْرٌ الطَّعْنُ فِي النَّسَبِ وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ

Ertinya: “Dua perbuatan pada manusia yang keduanya adalah perbuatan orang kafir iaitu menghina pada keturunan dan berteriak atas mayat.” (Hadis riwayat Muslim)

Dan diriwayatkan daripada Ibnu Mas’ud r.a. Nabi SAW bersabda:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ ضَرَبَ الْخُدُودَ، وَشَقَّ الْجُيُوبَ، وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ

Ertinya: “Bukan dari amalan kami mereka yang menampar pipi (ketika kematian) dan mengoyakkan pakaian dan menyeru dengan ucapan-ucapan jahiliah.” (Hadis riwayat Syeikhain)

Dan telah diriwayatkan daripada Anas r.a.:

أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَى عَلَى امْرَأَةٍ تَبْكِي عَلَى صَبِيٍّ لَهَا فَقَالَ لَهَا اتَّقِي اللَّهَ وَاصْبِرِي قَالَتْ وَمَا تُبَالِي أَنْتَ بِمُصِيبَتِي فَلَمَّا ذَهَبَ قِيلَ لَهَا إِنَّهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَهَا مِثْلُ الْمَوْتِ فَأَتَتْ بَابَهُ فَلَمْ تَجِدْ عَلَى بَابِهِ بَوَّابِينَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَمْ أَعْرِفْكَ فَقَالَ إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ أَوَّلِ صَدْمَةٍ

Ertinya: “Sungguhnya Nabi SAW telah lalu kepada seorang perempuan yang sedang menangis atas anaknya (yang mati). Maka Nabi SAW berkata baginya: Takutlah kamu akan Allah dan bersabarlah. Kata perempuan itu: Dan apa engkau peduli dengan musibah yang menimpa aku. Maka ketika Nabi SAW beredar seorang telah memberitahu perempuan itu bahawasanya yang bercakap dengannya tadi ialah Rasulullah SAW. Perempuan itu telah kematian anaknya (kerana itu dia jadi bersangatan perasaannya). Lalu dia datang ke rumah Nabi SAW dan didapatinya tidak ada orang yang menunggu pada pintunya. Kemudian berkata perempuan itu: Wahai Rasulullah. Aku tidak mengenali akan engkau (meminta uzur). Maka sabdanya : Hanyalah sabar itu ketika permulaan (datang musibah).” (Hadith riwayat Muslim)

Berkata Imam Al-Qurtubi:

الظاهر: أنَّه كان في بكائها قدر زائد من نوحٍ، أو غيره ولهذا أمرها بالتقوى

Ertinya: “Bermula yang zahirnya bahawasanya pada tangisan perempuan itu lebih daripada meratap atau lainnya maka kerana itulah Nabi SAW menyuruhnya supaya takut kepada Allah.” (Kitab Al-Mufhim)

Dan berkata Imam Nawawi:

أَمَّا النَّدْبُ وَالنِّيَاحَةُ وَلَطْمُ الْخَدِّ وَشَقُّ الْجَيْبِ وَخَمْشُ الْوَجْهِ وَنَشْرُ الشَّعْرِ وَالدُّعَاءُ بِالْوَيْلِ وَالثُّبُورِ فَكُلُّهَا مُحَرَّمَةٌ بِاتِّفَاقِ الْأَصْحَابِ

Ertinya: “Dan adapun menangis dengan meraung yakini mengangkat suara seperti bertempik terlolong-lolong dan meratap dan menampar pipi dan mengoyakkan pakaian dan menggaruk akan muka dan menarik-narik rambut dan menyeru dengan ucapan-ucapan jahiliah seperti berkata matilah aku atau binasalah aku maka sekaliannya haram dengan sepakat Ashab.” (Kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhazzab)

Oleh kerana itu wajib atas siapa yang melihat akan meratap atau berteriak ketika berlaku kematian ini mengingkarinya dan melarangnya kerana perbuatan tersebut adalah haram dan dilaknat.

Telah diriwayatkan daripada Abu Malik Al-Asy’ari r.a. Nabi SAW telah bersabda:

النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ، وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ

Ertinya: “Orang yang meratap ketika kematian jika dia tidak bertaubat sebelum matinya akan diazab pada hari kiamat nanti di atas badannya baju daripada belakin yang panas dan tudung daripada kudis.” (Hadis riwayat Ahmad dan Al-Baihaqi)

Menangis yang harus

Menangis ketika kematian yang diharuskan ialah yang tiada padanya meratap atau meraung berteriak mengangkat suara atau menjerit-jerit atau mengoyak pakaian atau menampar pipi dan menarik-narik rambut dan seumpamanya dari perbuatan jahiliah.

Telah berkata oleh Imam As-Syairazi:

ويجوز البكاء على الميت من غير ندب ولا نياحة

Ertinya: “Dan harus menangis atas mayat daripada ketiadaan mengangkat suara dan meratap.” (Kitab At-Tanbih)

Berkata Imam Taqiyyudin Ad-Dimasyqi:

وَلَا بَأْس بالبكاء على الْمَيِّت من غير نوح وَلَا شقّ جيب وَلَا ضرب خد

Ertinya: “Dan tiada mengapa dengan menangis atas mayat yang ketiadaan meratap dan tiada mengoyakkan pakaian dan tiada menampar-nampar pipi.” (Kitab Kifayatul Akhyar)

Dan ulamak berdalil tentang harus menangis tanpa meratap dan niyahah itu dengan beberapa hadis dan di antaranya:

Hadis yang diriwayatkan daripada Anas bin Malik r.a. beliau berkata ketika putera Rasulullah SAW yang bernama Ibrahim meninggal dunia kerana demam panas baginda telah menangis kerana kesedihan lalu berkata Abdul Rahman bin Auf r.a. kepada baginda:

وَأَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ يَا ابْنَ عَوْفٍ إِنَّهَا رَحْمَةٌ ثُمَّ أَتْبَعَهَا بِأُخْرَى فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعُ وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ وَلَا نَقُولُ إِلَّا مَا يَرْضَى رَبُّنَا وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ

Ertinya: “Dan engkau pun menangis wahai Rasulullah? Maka sabda Rasulullah SAW: Wahai anak Auf. Sungguhnya ia adalah rahmat. Kemudian Rasulullah bersabda: Bahawasanya mata itu menitiskan air dan hati itu bersedih dan tiada kami sebut melainkan barang yang diredhai oleh Tuhan kami sahaja. Dan sungguhnya kami dengan perpisahan denganmu wahai Ibrahim sedang bersedih.” (Hadis riwayat Bukhari)

Maka menangis ketika kematian kerana hati berdukacita dengan hanya mengalirkan air mata bukan sampai meratap atau niyahah tidaklah menjadi dosa atau kesalahan kerana fitrah manusia yang bersedih apabila kehilangan sesuatu yang dia kasihi dan tidaklah syariat itu melarang perkara fitrah.

Diriwayatkan daripada Ibnu Mas’ud r.a. Nabi SAW bersabda:

إِنَّ اللَّهَ جَلَّ وَعَلَا لَا يُعَذِّبِ بِدَمْعِ الْعَيْنِ، وَلَا بِحُزْنِ الْقَلْبِ، وَلَكِنْ يُعَذِّبُ بِهَذَا أَوْ يَرْحَمُ” – وَأَشَارَ إِلَى لِسَانِهِ

Ertinya: “Sungguhnya Allah tidak akan mengazab dengan sebab air mata yang mengalir dan tidak dengan sebab hati yang bersedih akan tetapi Allah Taala mengazab dengan sebab lidah (yakni meratap) atau mengasihi.” (Hadis riwayat Ibnu Hibban)

Syaitan masuk rumah yang ada orang menangis

Memang benar syaitan akan masuk ke dalam rumah yang ada orang yang meratap ketika berlaku kematian dalam rumah tersebut.

Telah diriwayatkan daripada Ummu Salamah r.a. beliau berkata:

لَمَّا مَاتَ أَبُو سَلَمَةَ قُلْتُ غَرِيبٌ وَفِي أَرْضِ غُرْبَةٍ لَأَبْكِيَنَّهُ بُكَاءً يُتَحَدَّثُ عَنْهُ فَكُنْتُ قَدْ تَهَيَّأْتُ لِلْبُكَاءِ عَلَيْهِ إِذْ أَقَبَلَتْ امْرَأَةٌ مِنْ الصَّعِيدِ تُرِيدُ أَنْ تُسْعِدَنِي فَاسْتَقْبَلَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ أَتُرِيدِينَ أَنْ تُدْخِلِي الشَّيْطَانَ بَيْتًا أَخْرَجَهُ اللَّهُ مِنْهُ مَرَّتَيْنِ فَكَفَفْتُ عَنْ الْبُكَاءِ فَلَمْ أَبْكِ

Ertinya: “Ketika Abu Salamah meninggal dunia aku telah berkata: Dia orang asing dan mati ia di negeri yang asing. Aku akan meratap sepuas hatiku biar sampai jadi perbualan manusia atasnya. Tiba-tiba datang pula seorang perempuan dari kampung hendaklah menolong aku meratap. Lalu datang Rasulullah SAW bersabda: Adakah kamu ingin memasukkan syaitan ke dalam rumah yang Allah telah keluarkannya? Dua kali Rasulullah berkata seperti itu. Maka aku pun menahan dari menangis dan tidak akan meratapinya.” (Hadis riwayat Muslim dan ada dikeluarkan juga oleh Al-Baihaqi dan Ibnu Al-Munzhir)

Wallahua’lam – HARAKAHDAILY 23/2/2021