Sebutkan nama panglima pertama yang ditugaskan untuk menghadapi imperium persia

Selama kurang lebih 10 tahun masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, Islam berhasil memperluas pengaruhnya ke wilayah-wilayah di luar Jazirah Arab melalui berbagai penaklukan yang dilakukan oleh pasukan-pasukan Muslim di bawah komando Khalifah Umar.

Menurut berbagai catatan sejarah, Umar bin Khattab berhasil membebaskan banyak wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh Imperium Romawi dan Persia.

Segala bentuk tindakan yang dilakukan oleh pemerintahan Umar untuk menghadapi dua kekuatan besar itu, bukan hanya berdasarkan atas kepentingan agama saja, melainkan ada kepentingan politik yang harus dilakukan untuk proses penyebaran pengaruh Islam.

Terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi munculnya konflik antara umat Islam dengan bangsa Romawi dan Persia, yang pada akhirnya mendorong umat Muslim melakukan serangkaian penaklukan pada wilayah-wilayah kekuasaan bangsa Persia dan Romawi.

Pertama, bangsa Romawi dan Persia menunjukan sikap tidak hormat terhadap niat baik umat Islam untuk menjalin sebuah hubungan kenegaraan.

Kedua, ketika Islam berada pada keadaan yang lemah, Romawi dan Persia selalu berusaha menaklukan wilayah-wilayah Islam melalui serangkaian peperangan.

Ketiga, bangsa Romawi dan Persia yang terkenal memiliki daerah yang subur tidak bersedia menjalin hubungan dagang dengan negara-negara Arab.

Keempat, letak geografis Romawi dan Persia sangat strategis untuk kepentingan keamanan dan pertahanan wilayah Islam.

Tindakan pertama yang dilakukan oleh Khalifah Umar ketika menghadapi kekuatan bangsa Romawi dan Persia adalah mengutus Saad bin Abi Waqqas untuk menaklukan wilayah Persia dan menunjuk Abu Ubaidah bin Jarrah sebagai pengganti Khalid bin Walid untuk mengisi posisi panglima tertinggi pasukan Muslim yang sedang menghadapi pasukan Romawi di Syria.

Pasukan Muslim yang dipimpin oleh Saad bin Abi Waqqas kemudian berangkat dari Madinah menuju Irak yang sedang dikuasi oleh bangsa Persia. Pasukan Muslim itu berhasil menerobos masuk dan terjadi pertempuran yang sangat hebat.

Pasukan Persia berhasil dipukul mundur oleh pasukan Islam yang dipimpin oleh Saad bin Abi Waqqas pada 635 M.

Pada 637 M, pasukan Persia melancarkan serangan di wilayah Jakilah sebagai bentuk balasan dari kekalahan sebelumnya. Namun pasukan Persia tidak dapat menandingi kekuatan pasukan Muslim sehingga kembali terdesak, bahkan kota Hulwan yang menjadi basis kekuatan mereka dapat dikuasai oleh pasukan Muslim.

Pada 642 M terjadi pertempuran di wilayah Nahawan, pasukan Persia kembali dapat dikalahkan. Dengan ditaklukannya wilayah Nahawan, maka seluruh wilayah kekuasaan bangsa Perisa dapat kuasai oleh umat Muslim dan berada di bawah pemerintahan Khalifah Umar.

Pada 635 M, kota Damaskus, yang menjadi salah satu pusat kekuatan Romawi di Syria berhasil jatuh ke tangan pasukan Muslim pimpinan Abu Ubaidah. Pasukan Romawi kemudian melancarkan serangan balasan dengan kekuatan yang sangat besar, namun tidak dapat mengalahkan pasukan Abu Ubaidah yang dengan sangat baik mampu menahan serangan tersebut.

Pada 642, wilayah Mesir dapat dikuasai sepenuhnya oleh pasukan Muslim setelah Alexandria berhasil ditaklukan.

Dengan demikian, dua kekuatan besar yang berkuasa ketika itu, yaitu Persia dan Romawi dapat ditaklukan oleh kekuatan pasukan Muslim masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Hal tersebut sangat berpengaruh pada perkembangan Islam di masa selanjutnya.

Sumber: Supriyadi, Dedi. 2016. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia Foto: veraislam.si

Takmir Masjid Ulil Albab Universitas Islam Indonesia (UII) melanjutkan kajian mengenai kisah Perang Ghazwah Mu’tah pada Kamis (28/8) bersama Ustadz Sulaiman Rasyid, S.T. Kajian ini membahas proses kemenangan kaum muslimin meskipun ketiga panglima perang yang ditunjuk oleh Rasulullah Saw, yakni Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abu Thalib, dan Abdullah bin Rawahah gugur dalam peperangan.

Ustadz Sulaiman mengatakan bahwa perang ini menjadi salah satu perang dahsyat kaum muslimin untuk mengajak orang kafir memeluk Islam. Dalam perang ini seperti tercatat dalam artikel kajian sebelumnya, bahwa jumlah pasukan musuh sebanyak 200.000 orang dengan senjata pernah banyak. Sedangkan kaum muslimin hanyalah 3.000 orang yang memiliki persediaan senjata terbatas.

Allah berfirman dalam QS. Al-Anfal ayat 65 dan 66 yang berbunyi, “Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada 20 orang yang sabar di antaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan 200 orang musuh. Dan, jika ada 100 orang yang sabar di antaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan 1.000 orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti. Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu 100 orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan 200 orang kafir; dan jika diantaramu ada 1.000 (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan 2.000 orang, dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.”

“Meskipun tadinya satu banding 10, Allah meringankan menjadi satu banding dua. Tapi, di perang Ghaswah ini malah satu banding 70. Tapi, mereka tetap sepakat untuk melanjutkan peperangan karena rasa cintanya kepada Allah. Meskipun gugur, maka mati syahid yang didapat,” ucap Ustadz Sulaiman.

Ustadz Sulaiman bercerita pagi harinya pukul delapan peperangan dimulai di daerah Mu’tah yang merupakan gurun tandus yang kering, terbuka, tanpa ada pohon satu pun. Meski demikian, menurutnya daerah tersebut menjadi satu sisi yang menguntungkan bagi kaum muslim sebab mereka lebih berpengalaman dari musuh, tujuan prajurit muslim berperang adalah mati syahid sedangkan prajurit musuh kebanyakan tidak mengetahui tujuannya karena hanya mengikuti pimpinan, sehingga dari sinilah mental kaum muslimin lebih kuat dan yakin.

Dalam perang ini kata Ustadz Sulaiman terjadi selama dua ronde. Dalam ronde pertama ketiga panglima gugur secara bertahap. Panglima pertama, Zaid bin Haritsah wafat dalam keadaan syahid akibat ujung tombak penghujam tubuhnya. Lalu pasuka diambil alih oleh panglima kedua yakni Ja’far bin Abu Thalib. “Perang Mu’tah ini adalah perangnya Ja’far. Dalam perang ini ia tidak pernah mengambil langkah mundur sekalipun, jadi maju terus. Ini menunjukan keberanian beliau. Ia meloncat dari kudanya lalu membunuh kudanya. Alasannya agar dirinya tidak dapat kabur. Ini untuk menguatkan tekadnya berperang karena Allah,” kata Ustadz Sulaiman.

Lebih lanjut, Ustadz Sulaiman berkisah bahwa tangan kanan Ja’far bin Abu Thalib yang sedang memegang bendera muslim terpotong oleh musuh. Seketika ia langsung mengambil bendera tersebut dengan tangan kirinya. Tidak berhenti, musuh memotong tangan kiri Ja’far. Lalu ia mengambil benderanya lagi dan menjepitkan tongkat bendera dengan sisa-sisa kedua lengannya yang telah bertetesan darah. Kuatnya Ja’far, musuh lalu memenggal lehernya.

“Setelah perang, sahabat mencari jasad Ja’far. Dan ditemukan jasadnya di antara orang yang meninggal akibat perang. Lalu ditemukan juga ada 90 lubang bekas tusukan tombak, pedang, dan panah musuh mengenai tubuhnya kecuali punggungnya. Ini bukti kalau Ja’far tidak pernah melangkah mundur dalam perang, meskipun ditusuk dipotong tangannya ia tetap maju, hingga akhirnya mati syahid. Sebagai gantinya, dalam sabda Muhammad, bahwa Allah mengganti kedua tangannya dengan sayap bagaikan malaikat,” tambah Ustadz Sulaiman.

Setelah gugurnya Ja’far, peperangan semakin sengit. Abdullah bin Rawahah pun langsung memimpin pasukan dengan mengambil bendera dari Ja’far. Saat itu juga, Abdullah berusaha meneguhkan dan memaksa dirinya untuk maju dan memimpin, sebab kata Ustadz Sulaiman ia sempat merasa ragu karena jumlah pasukan dan senjata perang muslimin kurang. Selain itu pula, kedua panglima perang sebelumnya telah meninggal. “Dikatakan Abdullah ‘aku bersumpah wahai jiwaku, turun sekarang ke medan tempur. Aku turun atau aku yang memaksamu turun?’ Dan ia berkata juga, ‘wahai jiwaku kalaupun tidak mati sekarang, maka engkau juga akan mati dalam keadaan lain.’ Jadi dia ngomong sama jiwanya sendiri. Kenapa engkau menunda-nunrda, maka majulah! Akhirnya ia meninggal dan mati syahid,” lanjut Ustadz Sulaiman.

Setelah gugur ketiga panglima, perang pun menuju ronde kedua. Seperti pesan Rasulullah jika ketiga panglima gugur, maka pasukan harus memilih pemimpinnya sendiri. Lalu terpilihlah Khalid bin Al Walid yang baru tiga bulan masuk Islam namun sudah berpengalaman menjadi panglima perang. Dalam kepemimpinannya, pasukan muslim memenangkan peperangan sebab ia membuat strategi memecah pasukan muslimin menjadi dua sayap. Ketika malam tiba, masing-masing sayap menempati posisi yang ditentukan hingga pada pagi harinya, dua sayap itu menyerang musuh secara berbarengan. Serangan tiba-tiba dari dua arah ini membuat pasukan musuh terkejut. Mereka mengira pasukan muslimin mendapat tambahan pasukan. Sehingga pasukan muslimin berhasil menghancurkan dan memukul mundur pasukan musuh.

Mundurnya pasukan musuh, Khalid menginstruksikan pasukannya untuk tidak melakukan pengejaran. Namun, berbalik mundur ke Madinah. Pertimbangannya adalah apabila pasukan musuh menyadari strategi yang dilakukan pasukan muslim, maka pasukan musuh akan kembali menyerang mereka dengan kekuatan penuh. Berita pasukan muslim berhasil memukul mundur musuh disambuh suka cita oleh kaum muslimin lainnya. Rasulullah mengatakan bahwa mereka sama sekali bukan orang-orang yang melarikan diri dari medan perang, karena insya Allah mereka akan kembali berperang.

“Meski pertempuran sangat besar, namun dilaporkan hanya 12 orang dari pasukan muslim yang terbunuh. Padahal jumlah total jumlah korban perang seluruhnya sangatlah banyak. Bahkan sembilan pedang Khalid bin Walid terputus dan hanya sisa satu pedang ke 10 dari Yaman,” ungkap Ustadz Sulaiman.

Tak lupa, Ustadz Sulaiman menurutkan beberapa hikmat yang dapat dipetik dari kisah Perang Ghazwah Mu’tah, di antaranya adalah Ja’far rela kenikmatan fisiknya dikorbankan demi Allah hingga ia diberi gantinya dengan kedua sayap. Hal ini menunjukan dari ujung rambut sampai kaki dilangkahkan kemanapun akan dimintai pembalasannya. “Ketika masa muda, tumbuh dewasa dihabiskan untuk menjaga agama Allah dengan akal dan kecerdasannya maka Allah akan menjaga akal dan kecerdasannya di masa tua sehingga ia tidak pikun, bahkan menjaganya sampai akhirat,” ucap Ustadz Sulaiman.

Selain itu, kata Ustadz Sulaiman dipilihkan Khalid bin Walid sebagai panglima ke empat perang padahal belum lama bergabung Islam menunjukan bahwa tidak ada senior junior dalam kehidupan, semua setara. Sebaiknya dalam kehidupan sehari-hari saling menghargai antar usia, jabatan, bahkan prestasi. “Celakanya banyak orang yang rugi karena ia merasa terlalu pintar sehingga tidak berbagi ilmu dengan lainnya. Maka tidak akan bertambah ilmunya karena sombong dan malu,” tambahnya.

Di akhir kajian, Ustadz Sulaiman berpesan bahwa zaman sekarang bukanlah perang fisik seperti zaman Rasulullah, melainkan sekarang perang ilmu. Meski demikian, kisah peperangan Rasulullah dengan sahabat penting utuk dapat diambil teladannya. Kebanyakan anak sekarang mengambil teladan dari fiksi atau dongeng yang tidak nyata. Sedangkan untuk perang menghadapi perang ilmu dapat diatasi dengan rutin mengikuti majelis ilmu yang terstruktur dan urut. “Semakin rutin mempelajari akidah dan tauhid maka akan makin paham bahwa bumi ini hanyalah semesta serta tumbuh rasa cinta kepada Allah yang begitu tinggi,” tutupnya. (SF/RS)