Sebutkan faktor faktor penyebab kemajuan dan kemunduran Islam di negara negara di benua Asia

Pertanyaan tersebut adalah sebuah judul buku yang ditulis oleh seorang penulis sekaligus wartawan sebuah majalah yang populer di jamannya, terutama di negara Mesir.  Majalah yang dimaksud adalah “al Manar”.  Pada awalnya majalah ini didukung penuh oleh pemerintah yang berkuasa pada waktu itu, namun, lambat laun majalah tersebut dilarang terbit karena tulisan-tulisannya dianggap menyerang dan berseberangan dengan pemerintah yang berkuasa, hingga pada akhirnya majalah tersebut dilarang lagi terbit hingga saat ini.

Hal ikhwal terbitnya buku "limaadza taakhral muslumuna wa limaadza taqaddama ghairuh” -judul asli buku tersebut- adalah sebuah pertanyaan yang diajukan oleh seorang koresponden majalah tersebut, yang berasal dari Sambas, Kalimantan Barat yang bernama Syekh Basyuni Imran yang hidup dari tahun 1906-1976. Beliau adalah seorang ulama yang haus dengan ilmu pengetahuan, dan telah melanglang buana ke berbagai negara  seperti Mekkah, Mesir, dan sebagainya, untuk memperdalam ilmu pengetahuannya. Nah, pada saat beliau menetap di Mesir itulah, beliau berkenalan dan menjadi murid dari pimpinan redaksi dari majalah “al manar” tersebut.

Pertanyaan yang jauh dari Mesir melintasi Samudera Hindia berasal dari daerah terpencil di Nusantara, pedalaman Sambas. Pertanyaan itu dimuat di majalah al-Manar pada tahun 1929 dan mendapat banyak perhatian. Berhubung karena sangat sibuk, maka Rasyid Ridha meminta pada Amir Syakib Arselan, seorang penulis dan wartawan untuk menjawabnya. 

Satu tahun kemudian muncullah jawaban lengkap dalam bentuk sebuah buku dengan judul yang sama. Buku ini sudah banyak diterjemahkan dalam berbagai bahasa, termasuk dalam bahasa Indonesia yang diterjemahkan oleh Buya Hamka. Sebuah pertanyaan besar telah menembus ruang dan melampaui masa dari pertengahan pertama abad ke-20 sampai pertengahan abad ke-21. Sampai saat ini,  umat belum bisa memberi jawaban secara konkrit.

Arslan menjawab pertanyaan Basyuni Imran dalam beberapa seri di Al-Manar, yang kemudian diterbitkan sebagai buku dengan judul pertanyaan Basyuni Imran “Limadza ta’akhkhara l-muslimuna wa limadza taqaddama ghayruhum?” Pemikiran Syakib Arslan dalam buku ini harus dipahami dalam konteks masanya, yakni masa kolonialisasi dunia Islam oleh Barat dan masa antara dua Perang Dunia I dan II (interwar). Beliau  geregetan melihat pudarnya semangat umat Islam meraih kejayaannya kembali, terutama dengan keluar dari penjajahan dan ketergantungan dari Barat, lalu membangun peradaban berdasarkan atas spirit Islam.

Arslan memulai dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan Islam meraih kebesaran dan kemajuan Islam di masa, sebelum kemudian menganalisis sebab-sebab kemunduran dan keruntuhannya. Setelah itu dia menawarkan jalan keluarnya.

Pertama, Arslan percaya kalau sumber kemajuan Islam “ada di dalam Islam itu sendiri”. Ini terbukti dari sejarah kemunculan Islam di semenanjung Arabia yg mampu menyatukan berbagai etnik dan ras yang ada di Arab, dan membawa mereka keluar dari barbarisme kepada peradaban, dari kekejaman kepada cinta dan simpati, dan menghapus politeisme dan merestorasi peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pada saat itu tidak ada kekuatan yang dapat mencegah perkembangan Islam ke segenap penjuru dunia, kecuali perpecahan dan perang saudara di antara mereka sendiri, seperti yang terjadi di akhir periode Usman bin Affan dan periode Ali bin Abi Thalib. Dan Islam pun mampu membangun peradaban dunia pada Abad Pertengahan dengan gemilang. Menurutnya, sebagian besar bagian dari kekuatan penginspirasi yang mengantarkan kemenangan dan capaian-capaian mereka itu pada masa dia telah hilang, walau jejaknya mungkin masih bisa dilacak. Spirit itu justru ada pada orang lain, terutama, saat itu, Eropa, Amerika dan Jepang.

Menurut Arslan, beberapa sebab kemunduran Islam itu adalah kebodohan, ilmu yang tanggung, kemalasan, lemahnya semangat berkorban, dan hilangnya etos kerja, dinamisme, kepercayaan diri dan keberanian.

Selain itu, dia juga menambahkan dua sebab lain, yakni ultra-modernisme dan  konservativisme. Dalam hal ini dia mengatakan: “Sebab utama lain dari kemunduran muslim adalah kekeraskepalaan buta mereka yang membuat mereka mempertahankan konvensi-konvensi usang. Sangat bahaya bagi sebuah bangsa adalah orang yang mengutuk semua yang lama sebagai absurd dan tidak bermanfaat, tanpa memberikan pemikiran kepada nilai intrinsiknya, hanya karena ia ‘lama’. Namun, yang bahayanya tidak kurang adalah orang yang muncul dari aliran konservatif yang ngeyel bahwa perubahan terlarang dalam semua hal. Dengan demikian, ‘ultra-modern’ yang canggih dan konvensionalis konservatif sama-sama menghancurkan Islam.”

Arslan mengkritik kaum muslim konservatif karena dia menganggap bahwa mereka melanggengkan kemiskinan dengan mereduksi Islam hanya berurusan dengan masalah akhirat.

Mereka juga dia tuduh memerangi ilmu-ilmu alam, matematika, dan semua seni kreatif, mengutuknya sebagai praktik orang-orang kafir. Ini menghindarkan muslim dari manfaat ilmu pengetahuan.

Lalu, bagaimana menggapai kemajuan?

Arslan menganjurkan kembali kepada nilai-nilai Islam karena umat Islam pernah berjaya dengan itu. Namun, Arslan juga menganjurkan umat Islam belajar dari Eropa dan Amerika, yang dia sebut musuh, dan Jepang dalam mencapai kemajuan. Inti sari ajaran Islam adalah bahwa manusia harus menggunakan akalnya sebaik-baiknya sebagai petunjuk yang membantunya berpikir dan setelah itu berserah diri kepada Allah terkait hasilnya.

Menurutnya, Islam pada hakekatnya adalah pemberontakan terhadap tradisi negatif dan buruk. Islam bukanlah agama pasif dan konservatisme yang statis, tapi agama yang aktif dan dinamik. Untuk kembali bangkit dan meraih kemajuan yang tinggi, Arslan menyarankan “jihad” dalam pengertian “pengorbanan” jiwa dan harta dalam membangun peradaban. Peradaban Barat dan peradaban maju mana pun, menurutnya, menerapkan jihad dalam pengertian ini juga. Untuk meraih ilmu pengetahuan, misalnya, bangsa-bangsa itu harus mengeluarkan dana dan sumberdaya yang besar.

Arslan meminta muslim melihat bagaimana Eropa pada masa itu mau berkorban untuk mencapai peradaban. Orang Eropa juga menjaga identitas mereka masing-masing. Ini untuk mengritik negeri-negeri Islam yang tidak mau berkorban untuk kemajuan, dan malah meniru identitas orang lain dan meninggalkan identitasnya sendiri.

“Contoh paling bagus adalah orang-orang Eropa. Pelajari mereka sebaik mungkin; kita tidak akan mendapati satu negara pun dari mereka yang ingin kehilangan identitas mereka menjadi orang lain.  Inggris tetap menjadi Inggris, Perancis tetap menjadi Perancis, dst.”

Dia meminta umat Islam belajar kepada Jepang. Sampai 1868 Jepang masih sama dengan bangsa-bangsa Timur tertinggal lainnya. Tetapi mereka bertekad untuk mengejar bangsa-bangsa maju, dan mulailah mereka mempelajari ilmu-ilmu Eropa. Mereka membangun industri seperti industri Eropa. Itulah mereka lakukan secara konsisten selama 50 tahun.

“Nah setiap umat Islam yang hendak bangkit dan menyusul bangsa-bangsa yang maju pun bisa melakukan hal itu sambil tetap berpegang teguh kepada agama. Seperti halnya bangsa Jepang, mereka mempelajari segala ilmu Eropa tanpa terkecuali namun tetap memegang teguh agama yang mereka yakini."

Dia lalu mengatakan bahwa hal itu harus menjadikan Alquran sebagai inspirasi, bukan aspirasi, untuk menggapai kemajuan: “Jika Muslim berusaha berdasarkan inspirasi dari Al-Quran mereka akan dapat mencapai derajat seperti orang-orang Eropa, Amerika, dan Jepang dalam belajar dan ilmu pengetahuan dan perkembangan. Namun, mereka dapat menjaga iman mereka, sebagaimana orang lain melakukan. Lebih lagi, jika kita menggali inspirasi dari Al-Quran, maka kita akan berkembang lebih baik daripada yang lain.”

Seruan menjadikan Al-Qur'an sebagai inspirasi sejalan dengan gerakan modernisme Islam yang lain. Hanya saja bagaimana metodologi pengambilan inspirasi dari Al-Qur'an masih absurd. Namun, bagaimanapun juga, kesediaannya untuk belajar kepada peradaban lain, seperti Barat dan Jepang, menunjukkan sikap keterbukaannya. Tapi keterbukaan yang ditawarkan adalah keterbukaan kritis dan berjarak, karena nilai utama yang dijadikan sumber inspirasi tetaplah nilai Islam dan Al-Qur'an. Di sinilah dia berupaya mempertahankan “ashalah” (otentisitas) dan sekaligus tidak anti pada “mu’asharah” (modernitas) dalam pemikiran dan gerakannya. 

Nah kata kunci dari kemunduran kaum muslim hingga saat ini adalah mereka jauh dari kitab suci Al-Qur’an. Dalam arti kaum muslim menjadikan kitab suci Al-Qur'an, sekadar ritual semata saja, dan tidak ada usaha untuk memahami kandungannya yang selanjutnya menjadikannya inspirasi dalam kehidupan sehari-hari. Padahal inspirasi apapun yang diinginkan oleh segenap kaum muslimin PASTI ada dalam Al-Qur'an. Wallahu a’lam bissawab.

Penulis: Sage al Banna, S.Ag., M.Pd.

Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi

Setelah mengetahui asas kebangkitan peradaban Islam kini kita perlu mengkaji sebab-sebab kemunduran dan kejatuhannya. Dengan begitu kita dapat mengambil pelajaran dan bahkan menguji letak kelemahan, kekuatan, kemungkinan dan tantangan (SWOT). 

Kemunduran suatu peradaban tidak dapat dikaitkan dengan satu atau dua faktor saja. Karena peradaban adalah sebuah organisme yang sistemik, maka jatuh bangunnya suatu perdaban juga bersifat sistemik. Artinya kelemahan pada salah satu organ atau elemennya akan membawa dampak pada organ lainnya. 

Setidaknya antara satu faktor dengan faktor lainnya – yang secara umum dibagi menjadi faktor eksternal dan internal – berkaitan erat sekali. Untuk itu, akan dipaparkan faktor-faktor ekternal terlebih dahulu dan kemudian faktor internalnya.

Untuk menjelaskan faktor penyebab kemunduran umat Islam secara eksternal kita rujuk paparan al-Hassan yang secara khusus menyoroti kasus kekhalifahan Turkey Uthmani, kekuatan Islam yang terus bertahan hingga abad ke 20. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:

Faktor ekologis dan alami, yaitu kondisi tanah di mana negara-negara Islam berada adalah gersang, atau semi gersang, sehingga penduduknya tidak terkonsentrasi pada suatu kawasan tertentu. Kondisi ekologis ini memaksa mereka untuk bergantung kepada sungai-sungai besar, seperti Nil, Eufrat dan Tigris. 

Secara agrikultural kondisi ekologis seperti ini menunjukkan kondisi yang miskin. Kondisi ini juga rentan dari sisi pertahanan dari serangan luar. Faktor alam yang cukup penting adalah Pertama, Negara-negara Islam seperti Mesir, Syria, Iraq dan lain-lain mengalami berbagai bencana alam. Antara tahun 1066-1072 di Mesir terjadi paceklik (krisis pangan) disebabkan oleh rusaknya pertanian mereka. Demikian pula di tahun 1347-1349 terjadi wabah penyakit yang mematikan di Mesir, Syria dan Iraq. 

Kedua, letak geografis yang rentan terhadap serangan musuh. Iraq, Syria, Mesir merupakan target serangan luar yang terus menerus. Sebab letak kawasan itu berada di antara Barat dan Timur dan sewaktu-waktu bisa menjadi terget invasi pihak luar.

Faktor eksternal. Faktor eksternal yang berperan dalam kajatuhan peradaban Islam adalah Perang Salib, yang terjadi dari 1096 hingga 1270, dan serangan Mongol dari tahun 1220-1300an. “Perang Salib”, menurut Bernard Lewis, “pada dasarnya merupakan pengalaman pertama imperialisme barat yang ekspansionis, yang dimotivasi oleh tujuan materi dengan menggunakan agama sebagai medium psikologisnya.” Sedangkan tentara Mongol menyerang negara-negara Islam di Timur seperti Samarkand, Bukhara dan Khawarizm, dilanjutkan ke Persia (1220-1221). Pada tahun 1258 Mongol berhasil merebut Baghdad dan diikuti dengan serangan ke Syria dan Mesir. Dengan serangan Mongol maka kekhalifahan Abbasiyah berakhir.

Hilangnya Perdagangan Islam Internasional dan munculnya kekuatan Barat. Pada tahun 1492 Granada jatuh dan secara kebetulan Columbus mulai petualangannya. Dalam upayanya mencari rute ke India ia menempuh jalur yang melewati negara-negara Islam. 

Pada saat yang sama Portugis juga mencari jalan ke Timur dan juga melewati negara-negara Islam. Di saat itu kekuatan ummat Islam baik di laut maupun di darat dalam sudah memudar. Akhirnya pos-pos pedagangan itu dengan mudah dikuasai mereka. Pada akhir abad ke 16 Belanda, Inggris dan Perancis telah menjelma menjadi kekuatan baru dalam dunia perdagangan. 

Selain itu, ternyata hingga abad ke 19 jumlah penduduk bangsa Eropa telah meningkat dan melampaui jumlah penduduk Muslim diseluruh wilayah kekhalifahan Turkey Uthmani. Penduduk Eropa Barat waktu itu berjumlah 190 juta, jika ditambah dengan Eropa timur menjadi 274 juta; sedangkan jumlah penduduk Muslim hanya 17 juta. Kuantitas yang rendah inipun tidak dibarengi oleh kualitas yang tinggi.

Sebagai tambahan, meskipun Barat muncul sebagai kekuatan baru, Muslim bukanlah peradaban yang mati seperti peradaban kuno yang tidak dapat bangkit lagi. Peradaban Islam terus hidup dan bahkan berkembang secara perlahan-lahan dan bahkan dianggap sebagai ancaman Barat. 

Sesudah kekhalifahan Islam jatuh, negara-negara Barat menjajah negara-negara Islam. Pada tahun 1830 Perancis mendarat di Aljazair, pada tahun 1881 masuk ke Tunisia. Sedangkan Inggris memasuki Mesir pada tahun 1882. Akibat dari jatuhnya kekhalifahan Turki Uthmani sesudah Perang Dunia Pertama, kebanyakan negara-negara Arab berada dibawah penjajahan Inggris dan Perancis, demikian pula kebanyakan negara-negara Islam di Asia dan Afrika. 

Setelah Perang Dunia Kedua kebanyakan negara-negara Islam merdeka kembali, namun sisa-sisa kekuasaan kolonialisme masih terus bercokol. Kolonialis melihat bahwa kekuatan Islam yang selama itu berhasil mempersatukan berbagai kultur, etnik, ras dan bangsa dapat dilemahkan. Yaitu dengan cara adu domba dan tehnik divide et impera sehingga konflik intern menjadi tak terhindarkan dan akibatnya negara-negara Islam terfragmentasi menjadi negeri-negeri kecil.

Itulah di antara faktor-faktor eksternal yang dapat diamati. Namun analisa al-Hassan di atas berbeda dari analisa Ibn Khaldun. Bagi Ibn Khaldun justru letak geografis dan kondisi ekologis negara-negara Islam merupakan kawasan yang berada di tengah-tengah antara zone panas dan dingin sangat menguntungkan. 

Di dalam zone inilah peradaban besar lahir dan bertahan lama, termasuk Islam yang bertahan hingga 700 tahun, India, China, Mesir dll. Menurut Ibn Khaldun faktor-faktor penyebab runtuhnya sebuah peradaban lebih bersifat internal daripada eksternal. 

Suatu peradaban dapat runtuh karena timbulnya materialisme, yaitu kegemaran penguasa dan masyarakat menerapkan gaya hidup malas yang disertai sikap bermewah-mewah. Sikap ini tidak hanya negatif tapi juga mendorong tindak korupsi dan dekadensi moral. Lebih jelas Ibn Khaldun menyatakan:

Tindakan amoral, pelanggaran hukum dan penipuan, demi tujuan mencari nafkah meningkat di kalangan mereka. Jiwa manusia dikerahkan untuk berfikir dan mengkaji cara-cara mencari nafkah, dan untuk menggunakan segala bentuk penipuan untuk tujuan tersebut. Masyarakat lebih suka berbohong, berjudi, menipu, menggelapkan, mencuri, melanggar sumpah dan memakan riba.

Tindakan-tindakan amoral di atas menunjukkan hilangnya keadilan di masyarakat yang akibatnya merembes kepada elit penguasa dan sistem politik. Kerusakan moral dan penguasa dan sistem politik mengakibatkan berpindahnya Sumber Daya Manusia (SDM) ke negara lain (braindrain) dan berkurangnya pekerja terampil karena mekanimse rekrutmen yang terganggu. Semua itu bermuara pada turunnya produktifitas pekerja dan di sisi lain menurunnya sistem pengembangan ilmu pengetahuan dan ketrampilan.

Dalam peradaban yang telah hancur, masyarakat hanya memfokuskan pada pencarian kekayaan yang secepat-cepatnya dengan cara-cara yang tidak benar. Sikap malas masyarakat yang telah diwarnai oleh materialisme pada akhirnya mendorong orang mencari harta tanpa berusaha. Secara gamblang Ibn Khaldun menyatakan:

…..mata pencaharian mereka yang mapan telah hilang, …. jika ini terjadi terus menerus, maka semua sarana untuk membangun peradaban akan rusak,dan akhirnya mereka benar-benar akan berhenti berusaha. Ini semua mengakibatkan destruksi dan kehancuran peradaban.

Lebih lanjut ia menyatakan:

Jika kekuatan manusia, sifat-sifatnya serta agamanya telah rusak, kemanusiaannya juga akan rusak, akhirnya ia akan berubah menjadi seperti hewan.

Intinya, dalam pandangan Ibn Khaldun, kehancuran suatu peradaban disebabkan oleh hancur dan rusaknya sumber daya manusia, baik secara intelektual maupun moral. Contoh yang nyata adalah pengamatannya terhadap peradaban Islam di Andalusia. 

Di sana merosotnya moralitas penguasa diikuti oleh menurunnya kegiatan keilmuan dan kepedulian masyarakat terhadap ilmu, dan bahkan berakhir dengan hilangnya kegiatan keilmuan. Di Baghdad kepedulian al-Ma’mun, pendukung Mu’tazilah dan al-Mutawakkil pendukung Ash’ariyyah merupakan kunci bagi keberhasilan pengembangan ilmu pengetahuan saat itu. Secara ringkas jatuhnya suatu peradaban dalam pandangan Ibn Khaldun ada 10, yaitu: 

1) rusaknya moralitas penguasa, 2) penindasan penguasa dan ketidak adilan 3) Despotisme atau kezaliman 4) orientasi kemewahan masyarakat 5) Egoisme 6) Opportunisme 7) Penarikan pajak secara berlebihan 8) Keikutsertaan penguasa dalam kegiatan ekonomi rakyat 9) Rendahnya komitmen masyarakat terhadap agama dan 10) Penggunaan pena dan pedang secara tidak tepat.

Kesepuluh poin ini lebih mengarah kepada masalah-masalah moralitas masyarakat khususnya penguasa. Nampaknya, Ibn Khaldun berpegang pada asumsi bahwa karena kondisi moral di atas itulah maka kekuatan politik, ekonomi dan sistem kehidupan hancur dan pada gilirannya membawa dampak terhadap terhentinya pendidikan dan kajian-kajian keislaman, khususnya sains. 

Menurutnya “ketika Maghrib dan Spanyol jatuh, pengajaran sains di kawasan Barat kekhalifahan Islam tidak berjalan.” Namun dalam kasus jatuhnya Baghdad, Basra dan Kufah ia tidak menyatakan bahwa sains dan kegiatan saintifik berhenti atau menurun, tapi berpindah ke bagian Timur kekhalifahan Baghdad, yaitu Khurasan dan Transoxania atau ke Barat yaitu Cairo.

Itulah sebagian pelajaran yang dapat dipetik dari apa yang disampaikan oleh para sejarawan Muslim tentang kemunduran peradaban Islam. Jika al-Hassan memfokuskan pengamatannya pada masa-masa terakhir kejatuhan kekuasaan Islam pada abad ke 16 hingga abad ke 20, Ibn Khaldun mengamati peristiwa-peristiwa sejarah pada abad ke 15 dan sebelumnya. 

Kini masih diperlukan redefinisi tentang kemunduran umat Islam secara umum dan mendasar, agar kita dapat memberikan solusi yang tepat.