Pernyataan yang benar tentang hukum permintaan adalah ….

13 Oktober 2012

OLEH: Rudianto Ekawan*


Pengantar

Pertambangan adalah industri yang mengolah sumberdaya alam dengan mengambil dan memproses bahan tambang untuk menghasilkan berbagai produk akhir yang dibutuhkan umat manusia. Bahan tambang digolongkan menjadi tiga: logam seperti emas, tembaga, timah; mineral industri seperti granit, andesit, pasir; dan mineral energi seperti batubara, minyak dan gas. Produk industri ini menjadi input utama berbagai industri hilir. Sadar atau tidak segala disekiling kita terkait dengan produk tambang, mulai kebutuhan primer seperti rumah dan energi hingga kebutuhan sekunder, mobil dan peralatan elektronik. Mengingat peranannya yang penting, selayaknya industri pertambangan mendapatkan perhatian secara proporsional. Sebagai contoh di Jerman dan beberapa negara uni-eropa dengan pertimbangan keamanan domestik pertambangan batubara menerima subsidi dari pemerintah.

Namun sejak bergulirnya reformasi industri ini terus mendapat sorotan dari beberapa kelompok masyarakat. Berbagai isu diangkat, diantaranya pelanggaran ham, pengingkaran keberadaan tanah adat/ulayat, pencemaran lingkungan hingga isu terkini mengenai Perpu 1/2004 tentang Perubahan atas UU 41/1999 tentang hutan lindung, yang mengijinkan beberapa perusahaan tambang melanjutkan aktivitasnya setelah sempat tertunda akibat pelarangan penambangan tambang terbuka dikawasan hutan lindung. Berbagai isu tersebut telah dieksploitasinya pengkritik, seperti LSM lingkungan dan kelompok masyarakat tertentu, dengan mengeluarkan pernyataan yang menonjolkan sisi negatif dan mengecilkan sisi positif, telah mendiskreditkan citra industri pertambangan. Muara akhir pendiskreditan adalah menghentikan kegiatan pertambangan, sementara atau permanen, di Indonesia.

Berbagai argumen yang dilontarkan pengkritik dikelompokan menjadi dua: yang paham dan yang tidak paham tentang pertambangan. Pengkritik yang tidak paham, dimana merupakan mayoritas, telah menimbulkan persepsi negatif industri pertambangan dan menyesatkan publik dengan mengeluarkan berbagai pernyataan yang salah. Tulisan ini bertujuan meluruskan pernyataan salah yang ada dalam upaya memberikan gambaran obyektif dan lebih memposisikan pertambangan secara lebih proporsional.

Kesalahpahaman pengkritik

Dari berbagai kesalahpahaman pengkritik tentang pertambangan, tiga yang menonjol, yakni mengenai: pembukaan lahan secara ekstensif, pemilihan metode penambangan dan kerusakan lingkungan.

Kesalahpahaman pertama, berkaitan dengan pernyataan seluruh kegiatan pertambangan menghancurkan fungsi hutan karena membuka lahan secara ekstensif. Pernyataan ini menyesatkan karena menafikan adanya perbedaan tahapan kegiatan dan menutupi karakteristik kegiatan pertambangan yang sebenarnya.

Pertambangan merupakan rangkaian empat kegiatan utama: eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan pemurnian dan reklamasi. Eksplorasi adalah penyelidikan untuk menetapkan keberadaan, karakteristik, jumlah dan nilai bahan tambang. Ini merupakan tahap awal, membutuhkan waktu dua hingga lima tahun dan beresiko tinggi dimana perusahaan dapat menghentikan kegiatan karena tidak menemukan endapan bahan tambang dengan kualitas dan kuantitas diharapkan meski telah menghabiskan jutaan dollar. Biaya yang dikeluarkan tahap ini mencapai 1-15 juta dollar. Berdasarkan data Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, sepanjang periode 1969-2003, dari 348 perusahaan yang melakukan eksplorasi hanya 36 yang berlanjut ke tahap eksploitasi, sedangkan sisanya terminasi atau penundaan.

Untuk memfasilitasi eksplorasi pemerintah mengijinkan perusahaan mencari bahan tambang didaerah Kuasa Pertambangan yang dipilih seluas maksimum 25.000 ha (PP 32/1969 tentang Pelaksanaan UU Pokok Pertambangan 11/1967). Namun tidak berarti seluruh lahan tersebut dimanfaatkan perusahaan, sebagian besar lahan harus dikembalikan kepada negara melalui proses reliquishment bertahap sesuai kemajuan yang dicapai. Dari aspek penggunaan lahan eksplorasi tidak membuka lahan secara ekstensif. Bukaan hanya diperlukan untuk akses masuk dan areal operasi peralatan eksplorasi, dimana berupa peralatan pemboran. Bahkan dengan teknologi terkini, seperti ground and airborne geophysics, dapat mereduksi secara signifikan pembukan lahan. Kedua teknik tersebut dapat mendeteksi keberadaaan endapan bahan tambang tanpa harus membuka lahan.                                                                                                        

Setelah diyakini bahan tambang mempunyai kualitas dan kuantitas yang diharapkan kegiatan berlanjut ketahap eksploitasi, kegiatan dengan maksud mengali bahan tambang untuk diproses lebih lanjut atau langsung dimanfaatkan. Dua metode diterapkan untuk eksploitasi, tambang terbuka dan tambang bawah tanah. Namun sebelum melakukan ekspoitasi, studi kelayakan detail dan konstruksi harus dilaksanakan. Waktu yang dibutuhkan dari eksplorasi ke eksploitasi berkisar dua hingga lima tahun dan membutuhan biaya 10-500 juta dollar. Dari aspek bukaan lahan hanya 25% dari total luasan lahan diawal eksplorasi, atau maksimum 5.000, ha yang akan dikelola perusahaan. Namun tidak seluruh lahan tersebut akan dibuka. Clive Aspinal Report (2000) menyimpulkan seluruh kegiatan eksploitasi pertambangan berijin di Indonesia hanya membuka lahan seluas 135.000 ha atau 0,1% luas seluruh wilayah hutan Indonesia.

Kesalahpahaman kedua tentang pemilihan metode penambangan, dimana pernyataan pemilihan metode tambang terbuka didasarkan semata pertimbangan biaya operasinya yang lebih murah dibanding tambang dalam adalah tidak tepat. Kriteria ekonomi (biaya) hanya salah satu dari empat kriteria utama pemilihan metode penambangan.

Tambang terbuka diterapkan untuk menambang endapan di atau dekat permukaan dengan lebih dahulu membuka lahan dipermukaan untuk menyingkirkan tanah penutup. Metode ini mempunyai tingkat produktivitas tinggi, biaya operasi rendah, dan tingkat keselamatan kerja tinggi. Sedangkan tambang dalam diterapkan untuk menambang endapan yang berada relatif jauh dibawah permukaan dengan hanya membuka sebagian kecil lahan di permukaan untuk akses peralatan dan fasilitas pengolahan sedangkan penggaliannya dilakukan tanpa menggangu kondisi atas permukaan.

Ada empat kriteria pemilihan metode penambangan: karakteristik endapan, lingkungan, keselamatan kerja dan biaya. Keempat kriteria ini merupakan faktor diluar kendali perusahaan (given). Untuk bahan tambang yang karena proses geologi pembentukannya sehingga terletak di atau dekat permukaan, seperti nikel di Soroako dan timah di Bangka, hanya tambang terbuka yang dapat diterapkan. Sebaliknya endapan yang karena proses geologi pembentukannya sehingga berada jauh dibawah permukaan, diatas 500 m, seperti emas di Pongkor, hanya tambang dalam yang sesuai karena andai diterapkan tambang terbuka akan membutuhkan total biaya operasi besar untuk menyingkirkan tanah penutup sebelum mencapai endapan.

Andai terdapat infrastruktur atau areal lindung dipermukaan diatas endapan, seperti pemukiman atau taman nasional, tambang dalam diterapkan untuk menghindari terganggunya infrastruktur atau areal tersebut. Tambang dalam di Varengeville, Prancis, misalnya, diterapkan untuk menambang endapan garam yang berada dibawah pemukiman padat. Selain itu endapan tidak dapat ditambang secara tambang bawah tanah dikarenakan kekuatan batuan disekitarnya sangat lemah sehingga andai diterapkan metode ini beresiko untuk runtuh dan membahayakan keselamatan pekerja. Lebih lanjut, endapan batubara Indonesia dicirikan: berlapis dan relatif datar, terletak dikedalaman dangkal dan mempunyai kekuatan batuan lemah akibat pelapukan ekstensif di daerah tropis. Oleh karena itu, dengan pertimbangan karakteristik endapan dan keselamatan kerja, eksploitasi batubara Indonesia sebagian besar dilakukan secara tambang terbuka.

Kesalahpahaman ketiga berkaitan dengan pernyataan semua kegiatan pertambangan merusak lingkungan. Pernyataan ini menyesatkan karena menyamakan kegiatan pertambangan menurut tatalaksana yang benar dan tidak, serta menafikan berbagai usaha pelaku pertambangan untuk menerapkan teknik good mining practices dalam upaya meminimasi dampak terhadap lingkungan.

Kondisi faktual memperlihatkan kegiatan pertambangan Indonesia dilakukan oleh dua kelompok: pertambangan berijin dan tidak berijin (PETI). Kelompok pertama adalah perusahan yang melakukan kegiatan setelah mendapatkan ijin pemerintah, dalam bentuk Kontrak Karya atau Kuasa Pertambangan.  Untuk menghindari tuntutan para shareholder (publik, pemerintah dan pemilik modal), kelompok ini berusaha melakukan kegiatan secara sistematis dan terencana dalam upaya meningkatkan nilai tambah perusahaan dan meminimasi dampak negatif. Untuk meminimasi dampak lingkungan, disaat penambangan dilakukan pemantauan dampak secara rutin dan diakhir penambangan dilakukan perbaikan fungsi lahan yang telah digunakan atau reklamasi.

Namun meski telah direncanakan menurut kaidah yang benar pertambangan, seperti juga industri lain, tetap berpotensi merusak lingkungan. Karena itu sejak dekade lalu gerakan international seperti Global mining initiatives (GMI) atau Mining, Mineral and Sustainable Development (MMSD) berinisiatif melakukan berbagai riset, analisis dan konsultasi agar industri ini dapat meminimasi dampak negatif kegiatannya. Di tahun 2002, MMSD menerbitkan laporan Breaking New Ground, yang berisikan standar, pedoman dan rekomendasi bagi industri pertambangan agar dapat meminimasi kerusakan lingkungan, dampak negatif pada masyarakat lingkar tambang serta dapat menjadi patner dalam pembangunan berkelanjutan. Ditingkat nasional, berbagai undang-undang,  peraturan dan standar dan acuan tatalaksana penambangan yang benar dikeluarkan untuk mencapai tujuan serupa. UU 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, misalnya, mewajibkan perusahaan melakukan analisis dampak lingkungan dan sosial sebelum kegiatan dimulai. Hal ini bertujuan untuk meminimasi dampak negatif, memantau dan melakukan penegakan hukum andai perusahaan melanggar.

Kelompok kedua adalah pelaku pertambangan tidak berijin resmi yang melakukan penggalian di areal perusahaan berijin dan sudah eksplorasi. Wilayah kerja pertambangan ini sudah mencakup ribuan hektar dan tersebar di beberapa wilayah pertambangan Indonesia. Usaha ini dilakukan oleh orang-perorang yang bermodal dan pengetahuan penambangan terbatas. Namun dalam perkembangannya didukung oleh pemodal besar dan dalam upaya memaksimalkan hasil dan meraih keuntungan jangka pendek kegiatannya tidak memperhatikan kaidah-kaidah lingkungan dan keselamatan kerja. Akibat kegiatannya yang merambah hutan, mengunakan bahan beracun, tanpa penanganan limbah dan tidak melakukan perbaikan fungsi lahan dampaknya terhadap lingkungan sangat signifikan. Agaknya pertambangan jenis ini yang telah disorot dan dieksploitasi oleh para pengkritik dalam upaya menonjolkan sisi negatif pertambangan.

Penutup

Seperti yang telah disampaikan, akibat tidak paham mengenai industri pertambangan pengkritik mengeluarkan pernyataan yang tidak proporsional dalam upaya menghentikan kegiatan pertambangan di Indonesia. Perlu disadari bahwa sepanjang peradabannya umat manusia masih akan tetap memerlukan bahan tambang untuk memenuhi kebutuhannya. Energi dari batubara, minyak atau gas masih diperlukan untuk menggerakan pembangunan. Batuan dan pasir akan digali untuk membangun tempat berteduh. Permintaan komputer, mobil dan peralatan elektronik akan selalu ada sepanjang umat manusia ingin hidup nyaman.

Upaya menghentikan pertambangan tidak menyelesaikan persoalan. Karena adanya kebutuhan bahan tambang maka pertambangan akan tetap ada dan andai industri pertambangan yang dilakukan menurut tatalaksana yang benar hilang maka akan muncul tambang-tambang liar dan tidak berijin dengan dampak kerusakan yang sangat besar. Dalam persoalan ini hendaklah kita bertindak bijaksana, meski pertambangan kelompok pertama tetap berpotensi menimbulkan dampak negatif namun seperti menurut hadis pilihlah hal yang memberikan sedikit mudharat diantara dua pilihan yang sama-sama mendatangkan mudharat.

* Penulis adalah dosen Teknik Pertambangan ITB dan kandidat doktor di Ecole des Mines de Paris, Prancis

 

 

sumber: