Perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda yang dipimpin oleh Sisingamangaraja XII terjadi di

Perang Tapanuli atau juga dikenal dengan Perang Batak merupakan bentuk perlawanan rakyat Tapanuli, Sumatera Utara terhadap pemerintah kolonial Belanda yang berlangsung selama 29 tahun. Perlawanan rakyat Tapanuli terhadap Belanda ini salah satunya dipicu oleh penolakan terhadap penyebaran agama Kristen di wilayah Batak karena dinilai akan menghilangkan kebudayaan dan kepercayaan yang ada di Tapanuli.

Perlawanan rakyat Tapanuli ini terjadi cukup panjang yakni 29 tahun yang diawali pada tahun 1878 dan berakhir pada tahun 1907. Adapun pemimpin perang saat melawan Belanda kala itu adalah Raja dari negeri Toba, yaitu Sisingamangaraja XII.

Dalam sejarahnya, meletusnya perang Tapanuli ini dikarenakan Sisingamangaraja XII menolak adanya upaya penyebaran agama Kristen yang dilakukan oleh misionaris Belanda di wilayah Batak. Hal tersebut dilakukan karena Sisingamaraja khawatir kepercayaan dan tradisi animism rakyat Batak akan terkikis oleh perkembangan agama Kristen.

Menanggapi tindakan pengusiran oleh Sisingamangaraja, para misionaris meminta perlindungan dari pemerintah Kolonial Belanda. Permintaan tolong pihak misionaris kepada pihak Belanda ini tentu dimanfaatkan dengan menempatkan pasukannya di Tarutung guna melindungi penyebar agama Kristen dan menjadi pemicu meletusnya perang Tapanuli.

Raja Sisingamangaraja XII memutuskan untuk menyerang kedudukan Belanda di Tarutung. Perang ini berlangsung selama tujuh tahun di daerah Tapanuli Utara, seperti di Bahal Batu, Siborong-borong, Balige Laguboti, dan Lumban Julu.

(Baca juga: Cari Tahu Lebih Jauh Tentang Perang Saparua)

Pada tahun 1894, Belanda melancarkan serangan untuk menguasai BAKARA, pusat kedudukan dan pemerintahan Kerajaan Batak dan berhasil ditaklukan oleh Belanda. Beruntungnya Sisingamaraja beserta pasukannya sempat melarikan diri meski harus mengungsi dan keluar dari wilayahnya sendiri, yaitu pindah ke Dairi Pakpak.

Tumbangnya Sisingamangaraja

Meski mengalami kekalahan pada perang sebelumnya, semangat Sisingamangaraja dan perlawanan rakyat Tapanuli terus berkobar. Namun, rakyat Tapanuli harus mengalami kepahitan yang sama yaitu semakin banyak wilayah mereka yang jatuh ke tangan Belanda. Akhinya Sisingamangaraja pun akhirnya meminta bantuan kepada pihak Aceh untuk meningkatkan kemampuan perang mereka dan pihak Aceh pun bersedia membantu dengan mengirim pasukannya.

Dengan bantuan pasukan dari Aceh, Sisingamangaraja beserta pasukannya melanjutkan perlawanan rakyat Tapanuli dengan menyerang kota tua. Serangan tersebut belum juga membuahkan hasil manis untuk Tapanuli. Dimana, pasukan Belanda yang berada di bawah pimpinan J. A Visser mampu membendung perlawanan rakyat Tapanuli.

Tidak berhenti sampai disitu, karena pada tahun 1904 pasukan Belanda di bawah pimpinan Van Daalen dari Aceh Tengah melanjutkan gerakannya ke Tapanuli Utara sedangkan di Medan didatangkan pasukan lain. Pada tahun 1907 pasukan Marsose dibawah pimpinan Kapten Hans Christoffel berhasil menangkap Boru Sagala, istri Sisingamangaraja serta dua orang anaknya, sedangkan Sisingamangaraja dan para pengikutnya berhasil melarikan diri ke hutan Simsim.

Pihak Sisingamangaraja XII menolak tawaran untuk menyerah dan dalam pertempuran tanggal 17 Juni 1907, Sisingamangaraja XII gugur bersama dengan putrinya Lopian dan dua orang putranya Sutan Nagari dan Patuan Anggi. Gugurnya Sisingamangaraja XII menandai berakhirnya perang Batak dan menandakan kemenangan untuk pihak Belanda yang pada saat itu berada di bawah pimpinan Kapten Christoffel.

Perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda yang dipimpin oleh Sisingamangaraja XII terjadi di

GH Dhafi Quiz

Find Answers To Your Multiple Choice Questions (MCQ) Easily at gh.dhafi.link. with Accurate Answer. >>


Perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda yang dipimpin oleh Sisingamangaraja XII terjadi di

Ini adalah Daftar Pilihan Jawaban yang Tersedia :

  1. Batak
  2. Padang
  3. Sulawesi
  4. Maluku
Klik Untuk Melihat Jawaban

Apa itu gh.dhafi.link??

gh.dhafi.link Merupakan situs pendidikan pembelajaran online untuk memberikan bantuan dan wawasan kepada siswa yang sedang dalam tahap pembelajaran. mereka akan dapat dengan mudah menemukan jawaban atas pertanyaan di sekolah. Kami berusaha untuk menerbitkan kuis Ensiklopedia yang bermanfaat bagi siswa. Semua fasilitas di sini 100% Gratis untuk kamu. Semoga Situs Kami Bisa Bermanfaat Bagi kamu. Terima kasih telah berkunjung.

Sisingamangaraja XII dengan nama lengkap Patuan Bosar Ompu Pulo Batu Sinambela (18 Februari 1845 – 17 Juni 1907) adalah seorang raja di Negeri Toba, Sumatra Utara dan pejuang yang berperang melawan Belanda. Ia diangkat oleh pemerintah Indonesia sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 9 November 1961 berdasarkan SK Presiden RI No 590/1961.

Perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda yang dipimpin oleh Sisingamangaraja XII terjadi di
Sisingamangaraja XIIMaharaja Toba

Lukisan Sisingamangaraja XII berdasarkan lukisan yang dibuat oleh Augustin Sibarani, kemudian tercetak di uang Rp 1.000

Berkuasa1876–1907 MPendahuluSisingamangaraja XIPenerus-Pemakaman

Soposurung, Balige, Toba

Wangsa
Perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda yang dipimpin oleh Sisingamangaraja XII terjadi di
SisingamangarajaWangsaSinambela
Nama lengkap
Patuan Bosar Ompu Pulo Batu
AyahRaja Sohahuhaon Sinambela (Sisingamangaraja XI)IbuBoru SitumorangPasangan1.Boru Simanjuntak
2.Boru Sagala
3.Nantika Boru Nadeak
4.Boru Situmorang
5 Boru SiregarAnakPatuan Nagari Sinambela
Patuan Anggi Sinambela
Lopian br. Sinambela
Raja Karel Buntal Sinambela
Raja Sabidan Sinambela
Raja Barita Sinambela
Raja Sabidan Sinambela
Pangarandang Sinambela
Raja Pangkilim Sinambela
Rinsan br. Sinambela
Purnama Rea br. Sinambela
Sunting Mariam br. Sinambela
Saulina br. Sinambela
Tambok br. Sinambela
Mangindang br. Sinambela
Sahudat br. Sinambela
Nagok br. Sinambela

Semula, ia dimakamkan di Tarutung Tapanuli Utara, lalu dipindahkan ke Soposurung, Balige, Toba pada tahun 1953.[1]

Sisingamangaraja XII nama kecilnya adalah Patuan Bosar Sinambela, yang kemudian digelari dengan Ompu Pulo Batu. Ia juga dikenal dengan Patuan Bosar Ompu Pulo Batu, naik takhta pada tahun 1876 menggantikan ayahnya Sisingamangaraja XI yang bernama Ompu Raja Sohahuaon Sinambela. Selain itu, ia juga disebut juga sebagai raja imam.[butuh rujukan]

Sisingamangaraja adalah keturunan seorang pejabat yang ditunjuk oleh raja Pagaruyung yang sangat berkuasa ketika itu, yang datang berkeliling Sumatra Utara untuk menempatkan pejabat-pejabatnya.[2] Dalam sepucuk surat kepada Marsden bertahun 1820, Raffles menulis bahwa para pemimpin Batak menjelaskan kepadanya mengenai Sisingamangaraja yang merupakan keturunan Minangkabau dan bahwa di Silindung terdapat sebuah arca batu berbentuk manusia sangat kuno yang diduga dibawa dari Pagaruyung.[3] Sampai awal abad ke-20, Sisingamangaraja masih mengirimkan upeti secara teratur kepada pemimpin Minangkabau melalui perantaraan Tuanku Barus yang bertugas menyampaikannya kepada pemimpin Pagaruyung.[4]

Sementara itu, sumber dari Pemerintah Daerah setempat menyebutkan bahwa dinasti Sisingamangaraja bermula dari seorang yang bernama Si Raja Batak yang memiliki keturunan bernama Raja Oloan. Raja Oloan memiliki enam orang putra yakni Raja Naibaho, Raja Sihotang, Toga Bakkara, Toga Sinambela, Toga Sihite, dan Toga Simanullang. Putra keempatnya, Toga Sinambela memiliki tiga orang putra. Putra bungsu Toga Sinambela, yakni Raja Bona ni onan gelar Raja Mangkutal adalah ayah kandung dari Sisingamangaraja I, leluhur awal Dinasti Sisingamangaraja.[5]

Penobatan Sisingamangaraja XII sebagai maharaja di Negeri Toba bersamaan dengan dimulainya open door policy (politik pintu terbuka) Belanda dalam mengamankan modal asing yang beroperasi di Hindia Belanda, dan yang tidak mau menandatangani Korte Verklaring (perjanjian pendek) di Sumatra terutama Kesultanan Aceh dan Toba, di mana kerajaan ini membuka hubungan dagang dengan negara-negara Eropa lainya. Di sisi lain Belanda sendiri berusaha untuk menanamkan monopolinya atas kerajaan tersebut. Politik yang berbeda ini mendorong situasi selanjutnya untuk melahirkan Perang Tapanuli yang berkepanjangan hingga puluhan tahun.[5]

Berkas:Toba Expedition 1878.jpg

Peta Ekspedisi Toba 1878

Pada 1824 Perjanjian Belanda Inggris (Anglo-Dutch Treaty of 1824) memberikan seluruh wilayah Inggris di Sumatra kepada Belanda. Hal ini membuka peluang bagi Hindia Belanda untuk meng-aneksasi seluruh wilayah yang belum dikuasai di Sumatra.[butuh rujukan]

Pada tahun 1873 Belanda melakukan invasi militer ke Aceh (Perang Aceh, dilanjutkan dengan invasi ke Tanah Batak pada 1878. Raja-raja huta Kristen Batak menerima masuknya Hindia Belanda ke Tanah Batak, sementara Raja Bakara, Si Singamangaraja yang memiliki hubungan dekat dengan Kerajaan Aceh menolak dan menyatakan perang.[butuh rujukan]

Pada tahun 1877 para misionaris di Silindung dan Bahal Batu meminta bantuan kepada pemerintah kolonial Belanda dari ancaman diusir oleh Singamangaraja XII. Kemudian pemerintah Belanda dan para penginjil sepakat untuk tidak hanya menyerang markas Si Singamangaraja XII di Bakara tetapi sekaligus menaklukkan seluruh Toba. Pada tanggal 6 Februari 1878 pasukan Belanda sampai di Pearaja, tempat kediaman penginjil Ingwer Ludwig Nommensen. Kemudian beserta penginjil Nommensen dan Simoneit sebagai penerjemah pasukan Belanda terus menuju ke Bahal Batu untuk menyusun benteng pertahanan[butuh rujukan]. Namun kehadiran tentara kolonial ini telah memprovokasi Sisingamangaraja XII, yang kemudian mengumumkan pulas (perang) pada tanggal 16 Februari 1878 dan penyerangan ke pos Belanda di Bahal Batu mulai dilakukan.[butuh rujukan]

Pada tanggal 14 Maret 1878 datang Residen Boyle bersama tambahan pasukan yang dipimpin oleh Kolonel Engels sebanyak 250 orang tentara dari SibolgaPada tanggal 1 Mei 1878, Bakara pusat pemerintahan Si Singamangaraja diserang pasukan kolonial dan pada 3 Mei 1878 seluruh Bangkara dapat ditaklukkan namun Singamangaraja XII beserta pengikutnya dapat menyelamatkan diri dan terpaksa keluar mengungsi. Sementara para raja yang tertinggal di Bakara dipaksa Belanda untuk bersumpah setia dan kawasan tersebut dinyatakan berada dalam kedaulatan pemerintah Hindia Belanda.[butuh rujukan]

Walaupun Bakara telah ditaklukkan, Singamangaraja XII terus melakukan perlawanan secara gerilya, tetapi sampai akhir Desember 1878 beberapa kawasan seperti Butar, Lobu Siregar, Naga Saribu, Huta Ginjang, Gurgur juga dapat ditaklukkan oleh pasukan kolonial Belanda.[butuh rujukan]

Di antara tahun 1883-1884, Singamangaraja XII berhasil melakukan konsolidasi pasukannya. Kemudian bersama pasukan bantuan dari Aceh, secara ofensif menyerang kedudukan Belanda antaranya Uluan dan Balige pada Mei 1883 serta Tangga Batu pada tahun 1884.[butuh rujukan]

 

Cap Mohor Sisingamangaraja XII

Singamangaraja XII tewas pada 17 Juni 1907 saat disergap oleh sekelompok anggota Korps Marsose – sebuah pasukan khusus Belanda. Penyergapan tersebut dipimpin oleh Hans Christoffel di pinggir bukit Aek Sibulbulon, di suatu desa bernama Si-Onom Hudon, di perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi yang sekarang.[1] Sisingamangaraja XII menghadapi pasukan Korps Marsose sambil memegang senjata Piso Gaja Dompak. Kopral Souhoka – penembak jitu pasukan Marsose – mendaratkan tembakan ke kepala Sisingamangaraja XII tepat di bawah telinganya.[6] Menjelang napas terakhir dia tetap berucap, Ahuu Sisingamangaraja. Turut gugur waktu itu dua putranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi, serta putrinya Lopian. Sementara keluarganya yang tersisa ditawan di Tarutung. Sisingamangaraja XII sendiri kemudian dikebumikan Belanda secara militer pada 22 Juni 1907 di Silindung, setelah sebelumnya mayatnya diarak dan dipertontonkan kepada masyarakat Toba.[butuh rujukan] Makamnya kemudian dipindahkan ke Makam Pahlawan Nasional di Soposurung, Balige sejak 14 Juni 1953, yang dibangun oleh Pemerintah, Masyarakat dan keluarga.[butuh rujukan]

Sisingamangaraja XII digelari Pahlawan Nasional Indonesia dengan Surat Keputusan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 590 Tahun 1961. Surat ini tertanggal 19 November 1961.[7]

 

Sebilah pedang dari etnik Batak yang diinformasikan diduga sebagai pedang yang digunakan oleh Sisingamangaraja. Foto diambil 1907.

Pasca-gugurnya Sisingamangaraja, pasukan Belanda menemukan sebilah pedang yang diduga digunakan oleh Sisingamangaraja. Kini, pedang tersebut telah menjadi koleksi Nationaal Museum van Wereldculturen, Belanda.

Kegigihan perjuangan Sisingamangaraja XII ini telah menginspirasikan masyarakat Indonesia, yang kemudian Sisingamangaraja XII diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Selain itu untuk mengenang kepahlawanannya, nama Sisingamangaraja juga diabadikan sebagai nama jalan di seluruh kawasan Republik Indonesia.

  1. ^ a b Sidjabat, Bonar W. Prof. Dr. (2007), Aku Sisingamangaraja, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, ISBN 979-416-896-7.
  2. ^ Brenner, J.F. von. Besuch bei den Kannibalen Sumatras: erste Durchquerung der unabhangigen Batak-Lande. Wurzburg: Wurl. 
  3. ^ Raffles, Stamford (1830). Memoir of the life and public services of Sir Thomas Stamford Raffles. London: John Murray. 
  4. ^ Schrieke, Bertram Johannes Otto (1929). The Effect of Western Influence on Native Civilisations in the Malay Archipelago (dalam bahasa Inggris). G. Kolff & Company. 
  5. ^ a b Sejarah Daerah Sumatera Utara, 1978
  6. ^ Okezone (2020-06-17). "Saat Peluru Marsose Menembus Sisingamangaraja XII yang Terkenal Kebal Senjata : Okezone Nasional". Okezone. Diakses tanggal 2021-03-19. 
  7. ^ Natalia, S. F., dan Aditya, M. F. (2019). "Dampak Perang Batak pada Tahun 1878 - 1907 Terhadap Penyebaran Agama Kristen di Sumatera Utara". Tsaqofah: Jurnal Agama dan Budaya. 17 (1): 43. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)

 

Artikel bertopik pahlawan ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.

  • l
  • b
  • s

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Sisingamangaraja_XII&oldid=21126023"