Pada saat di tengah hutan untuk mendapatkan air minum yang cepat dapat dilakukan dengan

Kebutuhan air bersih di kawasan pesisir dari waktu ke waktu terus bertambah seiring terus meningkat jumlah penduduk yang ada di kawasan tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan itu, pasokan air bersih terus diusahakan dengan berbagai cara, salah satunya melalui teknologi penyulingan air laut menjadi air tawar. Kehadiran teknologi itu, diharapkan bisa mengurangi ketergantungan air bawah tanah di kawasan pesisir.

Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa Kementerian Koordinator Kemaritiman Agung Kuswandono mengatakan, teknologi untuk mengolah air laut menjadi air tawar itu adalah teknologi piramid desalinator. Teknologi tersebut bisa melakukan penyulingan dengan sederhana dan cepat. Tak hanya itu, teknologi tersebut juga bisa melakukan pembuatan garam tanpa kendala cuaca.

“Teknologi ini sangat sederhana, karena bisa membuat garam setiap hari selama setahun penuh dan tidak terpengaruh oleh cuaca. Lebih dari itu, teknologi ini juga bisa menghasilkan air bersih yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat pesisir,” jelasnya belum lama ini.

Agung menerangkan, teknologi piramid desalinator adalah teknologi penguapan air laut yang dapat menghasilkan garam dan air tawar. Teknologi ini merupakan serangkaian proses produksi garam dan turunannya, yang bermanfaat bagi daerah kering dan kesulitan air bersih.

baca : Indonesia Negeri Tropis, Tapi Krisis Air Bersih di Kawasan Pesisir Terjadi?

Pada saat di tengah hutan untuk mendapatkan air minum yang cepat dapat dilakukan dengan
Ilustrasi piramid desalinator. Foto : treehugger

Secara fisik, Agung menyebutkan, piramid desalinator biasanya dibangun dengan menggunakan bambu dan plastik yang berlapiskan ultra violet. Adapun, untuk ukuran sudut prima, sudut yang paling ideal adalah yang mencapai 45 derajat. Dengan sudut yang sedemikian tajam, maka teknologi pengolahan akan semakin bagus untuk mengalirkan air.

“Akan tetapi volume dan terpaan angin akan lebih tinggi juga. Air yang dihasilkan dari penguapan akan mengalir mengikuti plastik UV, dan selanjutnya mengalir pada pipa paralon yang terpasang dibagian bawah aliran air di lapisan plastik,” tuturnya.

Untuk saat ini, Agung menambahkan, penggunaan teknologi canggih tapi efisien itu sudah diterapkan di pabrik pengolahan garam di Cirebon, Jawa Barat. Untuk ke depan, teknologi tersebut akan dikembangkan di kawasan Indonesia Timur dengan menggandeng kementerian atau lembaga yang berkaitan. Dengan pengembangan itu, maka diharapkan permasalahan air bersih bisa diatasi.

“Karena pembuatan prisma ini sangat mudah, tidak menggunakan teknologi macam-macam dan murah, jika setiap satu rumah mempunyai teknologi seperti ini, hal tersebut akan membantu dalam pemasokan air bersih bagi masyarakat,” ujarnya.

baca : Warga Pesisir Masih Kesulitan Akses Air Bersih, Kenapa Masih Terjadi?

Pada saat di tengah hutan untuk mendapatkan air minum yang cepat dapat dilakukan dengan
Ilustrasi. Seorang perempuan mendorong gerobak berisi air bersih di Makassar, Sulawesi Selatan. Perempuan di kota dan pesisir memiliki kerentanan terkena dampak perubahan iklim, termasuk soal keterbatasan air bersih. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

Manager Development PT Anta Tirta Karisma Heru menjelaskan, proses penuaan air laut terjadi di dalam prisma dengan penguapan air laut sebanyak 0,3 mili meter/hari. Sedangkan untuk perhitungan air tawar yang dihasilkan dengan menguapkan air laut, adalah 1 mili dan bisa menghasilkan 1 liter air bersih.

“Teknologi ini sama sekali tidak menggunakan listrik, sehingga sangat ramah lingkungan. Proses untuk dapat menghasilkan garam maupun air tawar dengan penguapan air laut dalam prisma, air laut disimpan dan melewati proses penguapan membutuhkan waktu selama kurang lebih 1 minggu,” jelasnya.

Selain meninjau dan mengkaji Piramid Desalinator, Deputi Agung dan rombongan juga meninjau fasilitas tunnel garam. Sebab diketahui, Perusahaan tersebut mempunyai konsep berbeda pada tunnel garam, yaitu dengan mendekatkan tambak dengan sumber airnya, dengan cara mengumpulkan bahan baku yaitu air laut pada waduk yang berada di depan ladang garam.

Ekohidrologi

Persoalan air bersih masih menjadi masalah yang serius, meski Indonesia dikenal luas sebagai salah satu penyumbang air bersih terbesar untuk Negara di kawasan Asia Pasifik, sebesar 21 persen.

Peneliti dari Pusat Penelitian Limnologi LIPI Ignasius Dwi Sutapa belum lama ini menjelaskan, sumbangan 21 persen yang diberikan Indonesia secara tidak langsung, merupakan data resmi yang dirilis Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Data tersebut menunjukkan bahwa produksi air bersih di Indonesia masih berlimpah hingga bisa menyuplai negara lain secara langsung ataupun tidak.

“Akan tetapi, pada kenyataannya hingga saat ini masih ada masyarakat kita yang belum mendapatkan akses air bersih,” ucapnya.

baca : Persoalan Air Bersih Bisa Selesai dengan Teknologi Ekohidrologi?

Pada saat di tengah hutan untuk mendapatkan air minum yang cepat dapat dilakukan dengan
Ilustrasi. Ketika toren air belum berdiri di kampung Dusun Jamus, warga mendapatkan air bersih secara bergilir dari paralon-paralon di pinggir jalan kampung. Foto : Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

Ignatius mengatakan, dari hasil penelitian yang dilakukan sejumlah pakar di bidangnya, saat ini jumlah air di bumi tetap sama namun jumlah pertumbuhan manusia terus meningkat dan itu menyebabkan jumlah air bersih yang bisa dikonsumsi jumlahnya semakin menurun. Agar kuantitas air tidak mengalami penurunan, perlu dilakukan berbagai upaya, salah satunya melalui teknologi ekohidrologi.

Adapun, yang dimaksud konsep ekohidrologi adalah menyatukan berbagai aspek diantaranya hidrologi, ekologi, ekoteknologi, dan budaya. Menurut Ignatius, tujuan penyatuan dalam berbagai aspek pada konsep ekohidrologi, adalah untuk menghadirkan kualitas sumber daya air yang terbaik untuk masyarakat.

Secara spesifik Ignasius menjelaskan, komponen dalam ekohidrologi memiliki perannya masing-masing. Kata dia, prinsip ekologi adalah peningkatan kapasitas penyerapan dari ekosistem. Sedangkan, prinsip hidrologi menjadi kerangka kerja untuk proses kuantifikasi massa air.

Kemudian, Ignatius melanjutkan, untuk prinsip ekoteknologi, itu berkaitan dengan penggunaan properti ekosistem yakni sebagai alat tata kelola manajemen air. Terakhir, adalah prinsip budaya yang bertujuan untuk meningkatkan hubungan yang dinamis antara sistem hidrologi, sosial, dan ekologi.

“Ekohidrologi ini hadir untuk ketersediaan air bersih yang berkelanjutan di Indonesia,” tuturnya.

baca : Masyarakat Pesisir Sulsel Makin Sulit Air. Kenapa?

Pada saat di tengah hutan untuk mendapatkan air minum yang cepat dapat dilakukan dengan
Ilustrasi. Anak-anak mengantri air bersih di Pulau Buru, Maluku. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia

Penggunaan teknologi tersebut, menjadi jawaban atas tantangan yang dihadapi negara-negara di kawasan Asia Pasifik untuk persoalan air bersih. Dengan ekohidrologi, persoalan rendahnya akses terhadap air dan sanitasi bersih yang dihadapi masyarakat global, khususnya Indonesia, bisa diatasi dengan bijak.

“Persoalan ini kerap kali berujung pada munculnya penyakit-penyakit yang berkaitan dengan air. Selain itu, faktor lainnya adalah banjir dan kekeringan yang kerap melanda kawasan tersebut,” ungkapnya.

Sementara itu, tentang prinsip berkelanjutan yang disematkan pada teknologi tersebut, adalah tentang ketersediaan air yang terjangkau bagi masyarakat dengan kualitas dan kuantitas yang terjaga sama baiknya di kawasan perkotaan ataupun pedesaan. Dengan konsep itu, maka air yang dihasilkan bisa menjaga kesehatan masyarakat yang mengonsumsinya.

“Air yang tidak sehat akan mengakibatkan diare pada anak balita dan menurunkan berat badannya sehingga berpengaruh pada status gizi bersifat akut. Pendekatan ekohidrologi dapat meningkatkan kualitas air, yang pada akhirnya dapat menunjang perbaikan tingkat layanan air bersih Indonesia,” tandasnya.

Secara spesifik, Ignatius menyebutkan, ketersediaan air bersih dapat menurunkan water borne disease, menurunkan stunting, dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, sekaligus dapat meningkatkan perekonomian masyarakat.

baca : Krisis Air Bersih Makassar, Perempuan Pesisir Paling Terkena Dampak

Pada saat di tengah hutan untuk mendapatkan air minum yang cepat dapat dilakukan dengan
Ilustrasi. Masyarakat di Desa Napu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, harus berjalan kaki 4 jam demi mendapatkan air bersih. Foto: Facebook UNDP Indonesia

Sumber Daya Air Terpadu

Tentang teknologi ekohidrologi, Ignatius Dwi Sutapan menerangkan, itu adalah pendekatan dalam pengelolaan sumber daya air terpadu yang menawarkan pendekatan pembangunan berkelanjutan dalam memahami lingkungan dan sistem sumber daya air. Pendekatan itu dilakukan melalui pemahaman interdepensi proses dan komponen siklus hidrologi di ekosistem darat dan perairan. Dengan cara itu, kualitas sumber daya air bisa meningkat dengan mempertimbangkan unsur ekologi, hidrologi, ekoteknologi dan budaya.

“Prinsip ekologi adalah terkait peningkatan kapasitas penyerapan dari ekosistem, prinsip hidrologi sebagai kerangka kerja untuk proses kuantifikasi, prinsip ekoteknologi dalam penggunaan properti ekosistem sebagai alat manajemen,” paparnya.

Sementara, peneliti dari Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Rachmat Fajar Lubis mengungkapkan, kehadiran aplikasi dari teknologi ekohidrologi salah satunya bertujuan untuk mengurangi dampak musim kemarau yang ada di Indonesia dan diprediksi akan terjadi pada Agustus-September tahun ini. Dengan ekohidrologi, persoalan tahunan musim kemarau yang melanda berbagai daerah, diharapkan bisa dipecahkan secara berkala.

“Menjelang musim kemarau nanti, seharusnya mulai dibuat skenario oleh Pemerintah untuk mengantisipasi dampak kekeringan,” himbaunya.

Rachmat menuturkan, dalam upaya pengelolaan sumber daya air terpadu, konsep ekohidrologi meliputi informasi dasar ekologi-potensi sumber daya air, aplikasi teknologi yang tepat guna serta ramah lingkungan lokal dan berbasiskan partisipasi masyarakat. Adapun, aplikasi penerapan konsep dan teknologi tersebut saat ini sudah dilakukan di sejumlah wilayah di Indonesia.

“Dengan hasil pengurangan dampak kekeringan yang nyata,” tegasnya.

baca : Perlahan, Air Bersih Menjauhi Masyarakat Bandung

Pada saat di tengah hutan untuk mendapatkan air minum yang cepat dapat dilakukan dengan
Ilustrasi. Ibu-ibu berjalan jauh untuk mendapatkan air bersih di Atambua, Nusa Tenggara Timur. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

Agar persoalan air bersih bisa secara berkala hilang, Rachmat menghimbau kepada masyarakat untuk bahu membahu melakukan edukasi kepada sesamanya berkaitan dengan pentingnya air bersih bagi kehidupan. Edukasi tersebut, harus bisa dikenalkan dan diajarkan sejak dari usia dini.

“Sebagai contoh Asia Pacific Centre for Eco-Hydrology telah berupaya mengajarkan pada pentingnya menjaga sumber daya air dan pemahaman untuk menggunakan air secara bijaksana kepada pelajar,” ungkapnya.

Sementara, Peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Herry Yogaswara, berkaitan dengan kesulitan air bersih yang sering dihadapi masyarakat di sejumlah daerah, sebenarnya itu bisa diatasi secara mandiri oleh masyarakat. Keyakinan itu ada, karena masyarakat memiliki kemampuan untuk menyediakan air bersih dengan mempergunakan modal sosialnya sendiri terkait dengan jejaring kerja serta hubungan saling percaya (trust).

“Penyediaan air dengan cara mengkonservasi ekosistem tertentu dengan nilai-nilai tradisional masih hidup pada beberapa kelompok masyarakat adat,” jelasnya.

Herry mencontohkan, konsep-konsep tradisional seperti hutan larangan, lubuk larangan, sirah cai (mata air) dan berbagai konsep lainnya, sudah ada sejak lama di masyarakat. Nilai-nilai tersebut bukan hanya bersifat mitos dan supra-natural, melainkan hidup dalam keseharian.

“Tidak hanya itu, beberapa komunitas di pedesaan dan perkotaan juga sudah mempergunakan modal sosialnya untuk penampungan dan pendistribusian air bersih. Intinya, ketersediaan air tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, melainkan masyarakat pun mempunyai daya upayanya sendiri,” tandas dia.

Di antara bentuk inisiatif yang ada di masyarakat, menurut Herry, adalah kebiasaan melakukan gotong royong untuk berbagai kegiatan. Kebiasaan tersebut, menjadi tradisi yang baik dan layak untuk dipertahankan, termasuk dalam membangun dan menyediakan kebutuhan air bersih untuk kebutuhan masyarakat itu sendiri.

Herry menambahkan, diperlukan kerja sama dan respon positif dari Pemerintah daerah untuk bersama-sama mengelola inisiatif masyarakat untuk menjaga air bersih. Selain itu, diperlukan edukasi ke masyarakat agar mendorong mereka semakin berinisiatif menciptakan tata kelola air bersih yang baik seperti mengelola hutan desa untuk menjaga jumlah air bersih di tanah.

“Contoh lainnya, membuat lubuk ikan di sumber mata air, dan melalui bak penampungan air di pedesaan,” pungkasnya.