Masjid Agung Sang Cipta Rasa (dikenal juga sebagai Masjid Agung Kasepuhan atau Masjid Agung Cirebon) merupakan masjid tua di kompleks Keraton Kasepuhan, Cirebon, Jawa Barat, Indonesia. masjid ini adalah masjid tertua di Cirebon,sekaligus sebagai salah satu masjid tertua di tanah Jawa dan Indonesia. Dibangun sekitar tahun 1480M atau semasa dengan Wali Songo menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Nama masjid ini diambil dari kata "sang" yang bermakna keagungan, "cipta" yang berarti dibangun, dan "rasa" yang berarti digunakan. Pembangunan masjid ini dikabarkan melibatkan sekitar 500 orang yang terdiri dari mantan pasukan Majapahit, dari Demak, dan dari Cirebon sendiri. Dalam pembangunannya,Sunan Gunung Jati menunjuk Sunan Kalijaga sebagai arsiteknya. Selain itu, Sunan Gunung Jati juga memboyong Raden Sepat, seorang mantan panglima pasukan Majapahit yang juga memiliki kemampuan rancang bangun, untuk membantu Sunan Kalijaga merancang masjid tersebut. Lokasi Masjid Agung Sang Ciptarasa Masjid Agung Sang Cipta Rasa Jalan Keraton Kasepuhan 43,Kelurahan Kesepuhan 6° 43' 31.97" S, 108° 34' 11.71" E Masjid Agung Sang Cipta Rasa terletak ±100 m sebelah baratlaut dari Keraton Kasepuhan, tepatnya disisi barat alun alun keraton Kesepuhan. Ciri utama bangunan masjid ini adalah tembok pagar kelilingnya yang dibangun dari bata merah dengan tiga pintu gerbang berbentuk padureksa. Sejarah Masjid Agung Sang Cipta Rasa Situs pemerintah propinsi Jawa Barat menyebutkan bahwa : “Mesjid Agung Sang Cipta Rasa dibangun pada tahun 1498 M oleh Wali Sanga atas prakarsa Sunan Gunung Jati. Pembangunannya dipimpin oleh Sunan Kalijaga dengan arsitek Raden Sepat (dari Majapahit) bersama dengan 200 orang pembantunya (tukang) yang berasal dari Demak. Mesjid ini dinamai Sang Cipta Rasa karena merupakan pengejawantahan dari rasa dan kepercayaan.
Penduduk Cirebon pada masa itu menamai mesjid ini Mesjid Pakungwati karena dulu terletak dalam komplek Keraton Pakungwati. Sekarang mesjid ini terletak di depan komplek Keraton Kesepuhan. Menurut cerita rakyat, pembangunan mesjid ini hanya dalam tempo satu malam; pada waktu subuh keesokan harinya telah dipergunakan untuk shalat Subuh”. Masih menurut situs yang sama, disebutkan bahwa Masjid Sang Cipta Rasa ini menjadi tempat tutup usianya Ratu Dewi Pakungwati binti Pangeran Cakrabuana yang menikah dengan Sunan Gunung Jati, dalam usia yang sangat tua di tahun 1549. Nama keraton Pakungwati bagi keraton kesultanan Cirebon (kini menjadi keraton Kasepuhan) dinisbatkan kepada dirinya karena memang dibangun oleh Pangeran Cakrabuana, ayahanda beliau yang juga merupakan putra dari Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran.
Adapun Raden Sepat sebelumnya merupakan panglima pasukan Majapahit yang ditugasi memimpin pasukan menyerbu dan menaklukan Kesultanan Demak yang baru berdiri. Penyerbuan yang berahir dengan kekalahan. Beliau dan sisa pasukannya tak pernah kembali ke Majapahit karena memutuskan untuk mengabdi kepada Sultan Demak dan masuk Islam. Pasangan Masjid Agung Demak Menurut satu riwayat tutur menyebutkan bahwa pembangunan Masjid Agung Sang Cipta Rasa ini merupakan pasangan dari Masjid Agung Demak. Pada waktu pembangunan Masjid Agung Demak, Sunan Gunung Jati memohon ijin untuk membuat pasangannya di Cirebon. Karena merupakan masjid yang sepasang maka, kedua masjid ini memiliki wataknya masing masing. Bila masjid Agung Demak berwatak Maskulin dengan tampilannya yang gagah, maka masjid Agung Sang Cipta Rasa ini berwatak feminim.
Diceritakan juga bahwa para wali pada saat masjid ini selesai didirikan berjamaah sholat Maghrib disini dan kemudian Sholat Subuh di Masjid Demak. Sementara versi yang lain bahwa masjid ini dibangun hanya dalam waktu satu malam, karena pada waktu ke esokan harinya sudah dipakai untuk sholat subuh. Sebagai sebuah pasangan disebutkan bahwa pembangunan dua masjid ini dilakukan bersamaan atau setidaknya dalam waktu yang tidak terpaut jauh. Kontradiksi Tahun Pembangunan Hanya saja bila mengikuti tahun pembangunan seperti yang disebut oleh situs pemprov Jabar bahwa Masjid Agung Sang Cipta Rasa dibangun tahun 1498M, sedangkan pembangunan Masjid Agung Demak oleh Raden Fatah dilaksanakan tahun 1401 Saka atau 1477M (dua tahun setelah berdirinya kesultanan Demak), sepertinya cerita bahwa masjid ini dibangun dalam waktu bersamaan diragukan keberannya.
Catatan Keraton Kasepuhan Cirebon, yang mengacu pada candrasengkala, masjid Agung Sang Cipta Rasa dibangun pada “waspada panembahe yuganing ratu”. Kalimat ini bermakna 2241, alias 1422 Saka. Dari catatan tahun Saka tersebut-pun terpaut waktu 21 tahun yang memisahkan pembangunan antara kedua bangunan masjid tua tersebut. Namun beberapa sejarawan justru memilih tahun 1478 sebagai tahun pembangunan masjid Agung Sang Cipta Rasa bersamaan dengan didirikannya Kesultanan Cirebon dengan Sultan pertamanya Sunan Gunung Jati. Tahun 1478 hanya selisih satu tahun lebih muda bila dibandingkan dengan pembangunan masjid Agung Demak (1477). Arsitektural Masjid Agung Sang Cipta Rasa
Dari sudut pandang arsitektur, Masid Agung Sang Cipta Rasa ini memang mewakili watak feminin. Tidak seperti masjid-masjid wali pada umumnya yang mempunyai bentuk atap tajug atau limas bersusun dengan jumlah ganjil, Masid Agung Sang Cipta Rasa mempunyai bentuk atap limasan dan diatasnya tidak dipasang momolo (mahkota masjid). Bisa jadi inipun juga perlambang dari sifat feminin-nya. Bentuk konstruksi secara keseluruhan-pun terlihat lebih pendek dibandingkan dengan Masjid Agung Demak yang kelihatan tinggi dan gagah. Denah Bangunan Bangunan utama masjid Agung Sang Cipta Rasa berdenah persegi panjang seluas sekitar 400 meter persegi. Beberapa bangunan tambahan kini mengitari bangunan utama. Ada dua pendopo besar persegi panjang yang dibangun dan ditambahkan disisi timur (depan), dua pendopo panjang di sisi utara (kanan) dan satu pendopo dengan ukuran yang serupa juga dibangun disisi selatan (kiri).
Bangunan tempat wudhu dan kamar mandi juga dibangun kemudian di sisi paling utara dan selatan. Sayangnya bangunan tempat wudhu dan kamar mandi ini dibangun dengan tidak mengikuti pakem dari bangunan utama maupun bangunan tambahannya sehingga terlihat sangat kontras. Ditambah lagi dengan tidak adanya pemisahan yang jelas antara area jemaah wanita dan pria. Bangunan Masjid Agung Sang Cipta Rasa ini dapat dikenali dari tembok pagar dan gapuranya yang sangat khas. Tembok pagar masjid ini menggunakan susunan bata merah tanpa di plester memberikan kesan yang sangat unik, ditambah dengan padanan gerbang paduraksa yang kini menjadi ikon masjid Sang Cipta Rasa.*** Bersambung ke bagian-2 |