Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana proses penangkapan dan pemeriksaan terhadap tersangka atau orang yang di duga melakukan tindak pidana dan bagaimana perlindungan hukum terhadap hak-hak tersangka atau orang yang diduga melakukan tindak pidana dalam proses penangkapan ditinjau dari Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif disimpulkan: 1. Dalam melakukan penangkapan terhadap sesorang yang diduga sebagai pelaku pidana, ada aturan-aturan atau unsur yang harus diperhatikan oleh penegak hukum. Sebab semua warga mendapatkan perlakuan yang sama dimata hukum, Persamaan hak dan kedudukan serta kewajiban di hadapan hukum, artinya tidak ada perbedaan di hadapan hukum baik tersangka, terdakwa dan aparat penegak hukum adalah sama-sama warga Negara yang memiliki hak, kedudukan, dan kewajibannya yang sama di depan hukum, yakni sama-sama bertujuan mencari dan mewujudkan kebenaran dan keadilan. Dan siapa pun yang melakukan pelanggran hukum akan mendapat perlakuan yang sama tanpa perbedaan (Equal treatment or equal dealing). Peraturan hukum yang di terapkan pada seseorang mesti diterapkan kepada orang lain dalam kasus yang sama tanpa membedakan pangkat, golongan, agama, dan kedudukan.Inilah salah satu prinsip penegakkan hukum yang diamanatkan oleh (KUHAP), yang merupakan salah satu mata rantai Hak Asasi Manusia (HAM), yakni: (Equality before the law). 2. Berdasarkan asas tersebut di atas telah jelas bahwa seseorang yang di sangka atau didakwa melakukan suatu tindak pidana wajib ditempatkan sebagaimana mestinya sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia, sehingga jelas Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 27 ayat (1) menyatakan, “Bahwasanya segala warga negara mempunyai hak yang sama dalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Hak Asasi Manusia adalah hak asasi/ hak kodrat/ hak mutlak milik umat manusia, yang dimiliki umat manusia sejak lahir sampai meninggal dunia. Kata kunci: Tinjauan Konstitusional, Persamaan Kedudukan Di Depan Hukum, Penangkapan Bagi Seseorang, Melakukan Tindak Pidana
2017-03-30 00:00:00 Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) dikatakan bahwa semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. UUD 1945 ini menegaskan semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, termasuk bagi para penyandang disabilitas. Prinsip ini dinamakan equality before the law, yakni norma yang melindungi hak asasi warga negara. Dalam artikel Prof. Ramly dan Equality Before the Law dikatakan bahwa teori equality before the law menurut UUD 1945 adalah suatu mata rantai antara hak dan kewajiban yang harus berfungsi menurut kedudukannya masing-masing. Kesamaan di hadapan hukum berarti setiap warga negara harus diperlakukan adil oleh aparat penegak hukum dan pemerintah. Ditinjau dari hukum tata negara, maka setiap instansi pemerintah, terutama aparat penegak hukum, terikat secara konstitusional dengan nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam praktik. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”) tidak mengenal istilah penyandang disabilitas. Adapun istilah penyandang disabilitas dapat kita temukan dalam Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) yang telah disahkan oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) (“UU 19/2011”). Dalam Penjelasan UU 19/2011 mengenai pokok-pokok isi konvensi, dikatakan bahwa penyandang disabilitas adalah orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui berbagai hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak. Pasal 5 Konvensi Penyandang Disabilitas antara lain mengatakan bahwa negara-negara pihak mengakui bahwa semua manusia adalah sama di hadapan hukum dan berhak mendapatkan perlindungan dan manfaat hukum yang sama. Selain itu, negara-negara pihak wajib mencegah semua diskriminasi yang difundamentalkan disabilitas serta menjamin perlindungan hukum yang sama dan efektif bagi penyandang disabilitas. Menurut hemat kami, konvensi yang telah diratifikasi oleh Indonesia dalam bentuk UU 19/2011 ini menandakan bahwa perlindungan bagi saksi dan korban baik yang termasuk penyandang disabilitas maupun yang tidak, adalah sama. Lebih lanjut dikatakan dalam Pasal 12 ayat (1), (2), dan (3) Konvensi Penyandang Disabilitas bahwa: 1. Negara-Negara Pihak menegaskan kembali bahwa penyandang disabilitas memiliki hak untuk diakui dimana pun berada sebagai seorang manusia di muka hukum 2. Negara-Negara Pihak wajib mengakui bahwa penyandang disabilitas memiliki kapasitas hukum atas dasar kesamaan dengan orang lain dalam semua aspek kehidupan 3. Negara-Negara Pihak wajib mengambil langkah yang tepat untuk menyediakan akses bagi penyandang disabilitas terhadap bantuan yang mungkin mereka perlukan dalam melaksanakan kapasitas hukum mereka. Adapun istilah yang dipakai dalam UU HAM yang berkaitan dengan penyandang disabilitas adalah penyandang cacat. Dalam UU HAM, juga diatur mengenai hak untuk diperlakukan sama di hadapan hukum yang terdapat dalam Pasal 4 UU HAM: Hak. untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Mengenai perlindungan bagi penyandang cacat itu sendiri, Pasal 5 ayat (3) UU HAM beserta penjelasannya secara jelas mempertegas bahwa penyandang cacat adalah salah satu kelompok masyarakat yang berhak untuk memperoleh perlindungan yang lebih. Pasal 5 ayat (3) UU HAM: (1) Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum. (2) Setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang objektif dan tidak berpihak. (3) Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Pada penjelasan Pasal 5 ayat (3) UU HAM dikatakan bahwa yang dimaksud dengan "kelompok masyarakat yang rentan" antara lain adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat. Artinya, penyandang cacat di mata hukum berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan yang lebih. Akan tetapi, tidak dijelaskan secara rinci mengenai perlindungan yang lebih itu seperti apa. sumber : ( http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5348d4d8d8d95/bagaimana-perlindungan-ham-bagi-saksi-dan-korban-penyandang-disabilitas)
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430 |