لا طاعة لمخلوق في petikan hadits yang paling tepat untuk melengkapi hadits tersebut adalah

Rincian Kategori: Aqidah Diterbitkan pada Selasa, 14 Mei 2013 08:33 Dilihat: 7965

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ, الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ, أَمَّا بَعْدُ:

Saudaraku seiman…

Jika kita perhatikan hadits berikut:

« يَكُونُ بَعْدِى أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِى جُثْمَانِ إِنْسٍ »

Artinya: “Akan ada sepeninggalku para pemimpin yang tidak melaknsankan petunjukku dan tidak melaksankan sunnahku, dan akan memimpin ditengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya seperti hati syetan di dalam tubuh manusia.” Hr. Muslim

Maka kita dapat ambil pelajaran bahwa akan ada para pemimpin yang tidak melaksanakan ajaran rasulullah dan berbuat zhalim.

Dan jika kita perhatikan sambungan  haditsnya:

قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ « تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ ».

Artinya: “aku (mu’adz bin jabal) bertanya: “(lalu) bagaimanakah yang aku kerjakan, jika aku mendapati hal tersebut wahai rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?”, beliau menjawab: “kamu dengarkan dan taati pemimpin itu, meskipun ia memukul punggungmun dan mengambil hartamu, maka dengarkan dan taatilah (ia).” Hr. Musim.

Dan jika kita memperhatikan hadits berikut:

« لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةِ اللَّهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ ».

Artinya: “tidak ada ketaatan di dalam kemaksiatan kepada allah sesungguhnya ketaatan hanya di dalam hal yang ma’ruf.” HR. Bukhari dan muslim.

Maka kita dapat mengambil pejaran bahwa meskipun pemimpin berbuat zhalim dan lebih mengedepankan kepentingan sendiri, maka sebagai rakyat harus tetap taat dan patuh selama dia muslim,  asalkan jangan taat kepada maksiat.

Nah…sepertinya yang terjadi sekarang adalah…

Jika seorang pemimpin negara melakukan kesalahan dan kekurangan, harga diri pemimpin tersebut dijatuhkan, dihina di depan umum, dilecehkan, didemo dimana-mana, sehingga tumbuh mosi ketidak percayaan masayarakat luas kepada pemimpin negara, yang akhirnya mengakibatkan unstabilitas keamanan nasional.

Padahal yang seharusnya dilakukan seorang rakyat muslim sebelum rakyat yang beragama lain, adalah berusaha menasehati dengan cara yang baik dan sesuai dengan tuntutan syariat, itu jika pemimpin melakukan kesalan.

Dan berusaha selalu mendoakan pemimpin, agar menjadi pemimpin yang shalih sebagai pengatur negara.

Serta berusaha terus loyal kepada pemimpin agar beliau tetap mendapat kepercayaan dimasyarakat SEHINGGA TERJADI STABILITAS KEAMANAN DAN KEADAAN NASIONAL.

Tetapi yang terjadi sekarang adalah…

Jika seorang pemimpin partai melakukan kesalahan atau masih tersangka melakukan kesalahan, maka para kader partai di garda terdepan untuk menyelamatkan nama baik pemimpin mereka bahkan kadang tidak sedikit air mata yang terlinang, uang yang terbayar, tenaga yang tercurah, bahkan tidak sedikit yang menghalalkan segala cara, BAHKAN terkadang sudah jelas-jelas salah pemimpinnya, tetap saja dibela matia-matian, demi hanya untuk mempertahankan elektabilitas dan konsistensi SERTA EKSISITENSI pemimpin tersebut, agar pemimpin tersebut masih mempunyai reputasi yang baik dan nama yang harum ditengah masyarakat.

Bukankah ini sebuah sikap ketaatan yang terbalik…?!

Bukankah sikap para kader partai tersebut yang mereka lakukan kepada pemimpin partai mereka seharusnya lebih mereka lakukan kepada pemimpin negara yang muslim dan sah?!

Bukankah sebenarnya mereka harus lebih berada digarda terdepan mempertahankan reputasi dan nama baik pemimpin nergara?!

Bukankah sikap mempertahankan nama baik dan reputasi seharusnya lebih mereka lakukan kepada pemimpin negara yang muslim dan sah?! 

Bukankah sikap loyal seharusnya lebih mereka lakukan kepada pemimpin negara yang muslim dan sah?!

Bukankah sikap tidak mencela, menghina, menjatuhkan, mendemo, mencaci di depan umum seharusnya lebih mereka lakukan kepada pemimpin negara yang muslim dan sah?!

Bukankah hadits dibawah ini menunjukkan bahwa taat kepada pemimpin Negara (lebih di dahulukan) daripada taat kepada pemimpin partai?!

Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu pernah bercerita ketika beliau sakit:

دَعَانَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَبَايَعْنَاهُ فَكَانَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِى مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ قَالَ « إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ ».

Artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memanggil kami, lalu kami baiat beliau, maka yang beliau sebutkan adalah, kami membaiat beliau untuk mendengar (patuh) dan taat di dalam senang dan susah kami, dan di dalam kesulitan dan kelapangan kami, atau di dalam sikap lebih mendahulukan dirinya daripada kami, dan agar kami tidak melepaskan perkara dari yang memilikinya (yaitu memberontak), dan beliau bersabda: “Kecuali kalian melihat kekafiran yang jelas, kalian memliki bukti yang jelas dari Allah tentangnya.” HR. Muslim.

TETAPI SEMUANYA TERBALIK…!

Itulah akibatnya, ketika tidak menjalankan syariat Islam secara total dan maksimal, meskipun terkadanG partai tersebut membawa lebel-lebel Islam dan dakwah. Wallahul musta’an.

ditulis oleh Ahmad Zainuddin

Selasa, 4 Rajab 1434H, Dammam KSA.

MEMBANTU ORANG TUA BERDAGANG, YANG PERDAGANGANNYA TERDIRI DARI BEBERAPA HAL YANG HARAM

Oleh
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta

Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Orang tua saya seorang pedagang, dan saya sering membantu menjalankan usahanya tersebut, tetapi perdagangan ini terdiri dari beberapa hal yang haram, misalnya kaset-kaset yang berisi pernyataan permusuhan kepada Allah secara terang-terangan, juga memuat kefasikan luar biasa. Selain itu, juga diperjualbelikan rokok. Hal-hal yang haram ini penghasilannya bisa menyamai setengah dari keuntungan toko paling minim. Dan saya juga makan dari hasil keuntungan ini dan saya juga menjualnya dengan terpaksa ketika beliau mengatakan kepada saya, “Lakukan ini dan itu”. Saya berdo’a kepada Allah agar memberikan petunjuk untuk mengarahkan saya.

Jawaban
Anda tidak boleh bekerja sama dengan ayah anda atau orang lain untuk menjual hal-hal yang haram yang anda sebutkan di atas. Hal itu didasarkan pada sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

إِنَّمَا الطَّاعَةَ فِي الْمَعْرُوْفِ

“Sesungguhnya ketaatan itu hanya pada kebaikan saja” [Hadits Riwayat Muslim VI/421 nomor 4742 (bi Syarah Nawawi), Al-Bukhari nomor 7145 dan 7257, Abu Dawud nomor 2625]

لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِيْ مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ

“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam berbuat maksiat kepad sang Khaliq (Allah)” [Hadits Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf VI/545 nomor 33717, Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf II/383 nomor 3788]

Selain itu, anda juga harus memberikan nasihat kepada orang anda secara lemah lembut dan dengan cara yang baik serta menyampaikan alasan kepadanya dengan berdasar pada apa yang telah kami sebutkan.

Baca Juga  Jual Beli ‘Urudh

Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.

[Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta, Pertnanyaan ke 2 dari Fatwa Nomor 6125, Disalin dari Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyyah Wal Ifta, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Jual Beli, Pengumpul dan Penyusun Ahmad bin Abdurrazzaq Ad-Duwaisy, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi’i]

  1. Home
  2. /
  3. Fiqih : Jual Beli
  4. /
  5. Membantu Orang Tua Berdagang,...

🔍 Taawun Adalah, Nasehat Nabi Tentang Cinta, Syarat Syarat Wajib Shalat, Sholat Jamak Dhuhur Dan Ashar Berapa Rakaat, Wujud Ya'juj Ma'juj

Dalam muamalah dengan sesama manusia, baik dengan orang tua, dengan suami atau istri, dengan anak, dengan atasan di kantor, dengan ketua RT atau bahkan dengan pemimpin negara, terkadang seseorang dituntut untuk taat kepada mereka. Baik ketaatan yang memang dituntut dalam agama, maupun ketaatan yang menjadi kesepakatan dalam suatu muamalah.

Namun perlu diketahui, ada dua kaidah agung yang membatasi ketaatan kepada manusia, selain Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam. Ketaatan kepada mereka yang disebutkan di atas, dan juga kepada seluruh manusia (selain Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam) tidaklah bersifat mutlak, bahkan bersifat terbatas.

Kaidah pertama:

حب الله و رسوله أعظم

“Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya itu yang paling besar (dari yang lain)”

Betapapun hormat, patuh atau cinta kita kepada seseorang yang kita taati, tidak boleh melebihi cinta dan ketaatan kita kepada Allah dan Rasul-Nya. Cinta dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya harus lebih besar dari yang lain. Karena ini adalah konsekuensi dari keimanan. Dalam hadits dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

ولا يُؤمِنُ أحَدُكم حتى أكونَ أحَبَّ إليه من وَلَدِهِ، ووَالِدِهِ والنَّاسِ أجْمعينَ

“Tidak beriman salah seorang diantara kalian, hingga aku (Rasulullah) menjadi yang paling dicintainya daripada anaknya, orang tuanya dan seluruh manusia” (HR. Bukhari no. 15, Muslim no. 44).

Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

ثَلاثٌ مَن كُنَّ فيه وجَدَ طَعْمَ الإيمانِ: مَن كانَ يُحِبُّ المَرْءَ لا يُحِبُّهُ إلَّا لِلَّهِ، ومَن كانَ اللَّهُ ورَسولُهُ أحَبَّ إلَيْهِ ممَّا سِواهُما، ومَن كانَ أنْ يُلْقَى في النَّارِ أحَبَّ إلَيْهِ مِن أنْ يَرْجِعَ في الكُفْرِ بَعْدَ أنْ أنْقَذَهُ اللَّهُ منه

“Tiga jenis orang yang jika termasuk di dalamnya maka seseorang akan merasakan lezatnya iman: orang yang mencintai seseorang, tidaklah ia mencintainya kecuali karena Allah, orang yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya paling ia cintai daripada selain keduanya, dan orang yang dilemparkan ke dalam api lebih ia sukai daripada ia kembali kepada kekufuran setelah Allah selamatkan ia dari kekufuran” (HR. Bukhari no. 6041, Muslim no.43).

Maka seorang Mukmin tidak mungkin mendahulukan ketaatan kepada makhluk daripada ketaatan kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukminah apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, mereka memiliki pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” (QS. Al Ahzab: 36).

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di berkata: “Tidak layak bagi seorang mukmin dan mukminah, jika Allah sudah menetapkan sesuatu dengan tegas, lalu ia memiliki pilihan yang lain. Yaitu pilihan untuk melakukannya atau tidak, padahal ia sadar secara pasti bahwa Rasulullah itu lebih pantas diikuti dari pada dirinya. Maka hendaknya janganlah menjadikan hawa nafsu sebagai penghalang antara dirinya dengan Allah dan Rasul-Nya” (Taisiir Kariimirrahman, 665).

Sedangkan kaidah yang kedua adalah,

إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

“Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam perkara yang ma’ruf”

Maka taat kepada manusia siapa pun itu (selain Rasulullah) tidak bersifat mutlak dalam segala perkara dan setiap keadaan. Ketaatan yang mutlak hanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketaatan kepada orang lain hanya dalam perkara yang ma’ruf. Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

“Tidak ada ketaatan di dalam maksiat, taat itu hanya dalam perkara yang ma’ruf” (HR Bukhari, no. 7257; Muslim, no. 1840).

Perkara yang ma’ruf didefinisikan oleh Syaikh As Sa’di:

المعروف: الإحسان والطاعة، وكل ما عرف في الشرع والعقل حسنه

“Al ma’ruf artinya perbuatan kebaikan dan perbuatan ketaatan dan semua yang diketahui baiknya oleh syariat dan oleh akal sehat” (Tafsir As Sa’di, 1/194-196).

Dalam sebuah hadits dari ‘Ali radhiyallahu’anhu, beliau berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ جَيْشًا وَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ رَجُلًا فَأَوْقَدَ نَارًا وَقَالَ ادْخُلُوهَا فَأَرَادُوا أَنْ يَدْخُلُوهَا وَقَالَ آخَرُونَ إِنَّمَا فَرَرْنَا مِنْهَا فَذَكَرُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لِلَّذِينَ أَرَادُوا أَنْ يَدْخُلُوهَا لَوْ دَخَلُوهَا لَمْ يَزَالُوا فِيهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَقَالَ لِلْآخَرِينَ لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

“Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus satu pasukan dan mengangkat seorang laki-laki sebagai panglima mereka. Kemudian panglima itu menyalakan api dan berkata (kepada pasukannya): “Masuklah kamu ke dalam api!” Sebagian pasukan berkehendak memasukinya, orang-orang yang lain mengatakan,”Sesungguhnya kita lari dari api (neraka),” kemudian mereka menyebutkan hal itu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka beliau bersabda kepada orang-orang yang berkehendak memasukinya, “Jika mereka memasuki api itu, mereka akan terus di dalam api itu sampai hari kiamat”. Dan beliau bersabda kepada yang lain,”Tidak ada ketaatan di dalam maksiat, taat itu hanya dalam perkara yang ma’ruf” (HR Bukhari, no. 7257; Muslim, no. 1840).

Maka jika ada orang yang memerintahkan perkara yang membahayakan diri kita, atau bukan perkara yang dianggap bagus oleh akal sehat, perkara yang memalukan, perkara yang menjatuhkan wibawa, dan semisalnya ketika itu tidak wajib taat kepada orang tersebut.

Apalagi perkara maksiat. Tidak boleh kita taat kepada orang lain dalam perkara maksiat. Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ حَقٌّ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِالْمَعْصِيَةِ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ

“Mendengar dan ta’at (kepada penguasa) itu memang benar, selama mereka tidak diperintahkan kepada maksiat. Jika mereka memerintahkan untuk bermaksiat, tidak boleh mendengar dan ta’at (dalam maksiat tersebut)” (HR. Bukhari no.2955).

Walaupun yang memerintahkan kepada maksiat adalah pemimpin negara sekalipun, tidak boleh menaatinya. Dari Abdullah bin Umar radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

السمعُ والطاعةُ على المرءِ المسلمِ فيما أحبَّ وكرهَ ، ما لم يُؤمَرُ بمعصيةٍ ، فإذا أُمِرَ بمعصيةٍ فلا سمع ولا طاعةَ

“Wajib mendengar dan ta’at (kepada penguasa) bagi setiap Muslim, dalam perkara yang ia setujui ataupun yang ia benci (dari pemimpinnya). Jika pemimpinnya memerintahkan untuk bermaksiat, tidak boleh mendengar dan tidak boleh ta’at” (HR. Bukhari no. 2955, 7144).

Imam An Nawawi rahimahullah mengatakan:

أجمع العلماء على وجوب طاعة الأمراء في غير معصية

“Para ulama ijma akan wajibnya taat kepada ulil amri selama bukan dalam perkara maksiat” (Syarah Shahih Muslim, 12/222).

Maka tidak boleh seseorang melanggar agama demi untuk taat kepada makhluk, atau untuk mencari ridha dari orang lain. Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا

“Dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah“ (QS. Al Baqarah: 41).

Maksud ayat ini adalah, jangan melakukan pelanggaran terhadap agama demi mendapatkan keuntungan dunia. Ibnu Katsir menjelaskan:

لا تعتاضوا عن الإيمان بآياتي وتصديق رسولي بالدنيا وشهواتها فإنها قليلة

“Maksudnya, jangan menukar keimanan terhadap ayat-ayatku dan keimanan kepada Rasul-Ku dengan dunia dan syahwatnya, karena dunia itu hal yang kecil (remeh)” (Tafsir Ibnu Katsir).

Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

مَنِ الْتَمَسَ رِضَاءَ اللَّهِ بِسَخَطِ النَّاسِ كَفَاهُ اللَّهُ مُؤْنَةَ النَّاسِ وَمَنِ الْتَمَسَ رِضَاءَ النَّاسِ بِسَخَطِ اللَّهِ وَكَلَهُ اللَّهُ إِلَى النَّاسِ

“Barangsiapa mencari ridha Allah ketika orang-orang tidak suka, maka akan Allah cukupkan ia dari beban manusia. Barangsiapa yang mencari ridha manusia, dengan kemurkaan Allah. Akan Allah buat ia terbebani oleh manusia“.

Dalam riwayat lain:

من التمس رِضا اللهِ بسخَطِ الناسِ ؛ رضِيَ اللهُ عنه ، وأرْضى عنه الناسَ ، ومن التَمس رضا الناسِ بسخَطِ اللهِ ، سخِط اللهُ عليه ، وأسخَط عليه الناسَ

“Barangsiapa yang mencari ridha Allah walaupun orang-orang murka, maka Allah akan ridha padanya dan Allah akan buat manusia ridha kepadanya. Barangsiapa yang mencari ridha manusia walaupun Allah murka, maka Allah murka kepadanya dan Allah akan buat orang-orang murka kepadanya juga“ (HR. Tirmidzi no.2414, Ibnu Hibban no.276, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

Semoga Allah memberi taufik.

**

Penulis: Yulian Purnama S.Kom

Artikel Muslimah.or.id

Sahabat muslimah, yuk berdakwah bersama kami. Untuk informasi lebih lanjut silakan klik disini. Jazakallahu khairan

🔍 Nadzor Adalah, Wanita Karir Vs Ibu Rumah Tangga Dalam Islam, Cara Membuang Jimat Menurut Islam, Nikmatnya Bersyukur, Arab Telajang, Asi Menurut Islam, Wanita Pemanah, Kriteria Suami Idaman Menurut Islam, Shalat Jenazah Laki Laki, Membiarkan Bayi Menangis