Ketika mabit di Muzdalifah jamaah haji harus mencari batu kerikil sebanyak

Koordinat: 21°23′33″N 39°56′16″E / 21.39250°N 39.93778°E / 21.39250; 39.93778

Muzdalifah (bahasa Arab: مزدلفة‎) adalah daerah terbuka di antara Mekkah dan Mina di Arab Saudi yang merupakan tempat jamaah haji diperintahkan untuk singgah dan bermalam setelah bertolak dari Arafah. Muzdalifah terletak di antara Ma’zamain (dua jalan yang memisahkan dua gunung yang saling berhadapan) Arafah dan lembah Muhassir. Luas Muzdalifah adalah sekitar 12,25 km², di sana terdapat rambu-rambu pembatas yang menentukan batas awal dan akhir Muzdalifah.[1]

Ketika mabit di Muzdalifah jamaah haji harus mencari batu kerikil sebanyak

Jamaah haji bermalam di Muzdalifah

Jamaah haji setelah melaksanakan wukuf di Arafah bergerak menuju Muzdalifah saat setelah terbenamnya matahari (waktu Maghrib). Di Muzdalifah jamaah haji melaksanakan salat Maghrib dan Isya secara digabungkan dan disingkat (jamak qashar) dan bermalam di sana hingga waktu fajar. Di Muzdalifah jamaah haji mengumpulkan batu kerikil yang akan digunakan untuk melempar jumrah.

Bermalam di Muzdalifah hukumnya wajib dalam haji. Maka siapa saja yang meninggalkannya diharuskan untuk membayar dam. Dianjurkan untuk mengikuti jejak Nabi Muhammad SAW; bermalam hingga memasuki waktu salat Subuh, kemudian berhenti hingga fajar menguning. Namun bagi orang-orang yang lemah, seperti kaum wanita, orang-orang tua dan yang seperti mereka, boleh meninggalkan Muzdalifah setelah lewat tengah malam.[2] Setelah salat Subuh, jamaah haji berangkat menuju ke Mina.

  1. ^ "Muzdalifah: Tempat Bermalam Jamaah Haji". ibadahhaji.wordpress.com. 7 August 2008. 
  2. ^ "Tidak Mabit di Muzdalifah dan Hanya Melintasinya". Republika. 24 October 2011. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-01-29. Diakses tanggal 2012-01-17. 

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Muzdalifah&oldid=18373595"

Ketika mabit di Muzdalifah jamaah haji harus mencari batu kerikil sebanyak
Hujan dan suara geledek mengiringi jamaah haji yang beribadah wukuf di Arafah, Sabtu 10 Agustus 2019. (Dok. Tempo.co)

TEMPO.CO, Mina - Sebanyak 2,5 juta jamaah haji Indonesia dari berbagai penjuru dunia mulai masuk tahap akhir prosesi ibadah haji. Seusai wukuf di Arafah pada Sabtu, 10 Agustus 2019, jamaah haji sehabis maghrib menuju Muzdalifah untuk menginap dan mengambil batu jumroh. Mereka kemudian melontar jumroh di Mina dan melaksanakan thowaf di Mekkah.

“Setelah mabit (menginap) di Muzdalifah, kami melontar jumroh dan sekarang dalam perjalanan menuju Mekkah untuk thowaf,” kata Ketua Umum ASPHURINDO (Asosiasi Penyelenggara Haji, Umroh dan In Bound Tour Indonesia) H. Magnatis kepada Tempo.co, Minggu 11 Agustus 2019 atau 10 Dzulhijjah 1440 H bertepatan dengan hari raya Idul Adha

Perjalanan Mina ke Mekkah, kata Magnatis, sekitar 7,5 kilometer, sehingga banyak jamaah yang berjalan kaki menuju ke sana. “Tapi bagi yang usia lanjut memilih naik kendaraan,” ujar Magnatis.

Prosesi haji itu dilakukan oleh jamaah yang mengambil haji jenis nafar awal. Setelah melempar jumroh yang pertama (sebanyak 7 butir kerikil) mereka melakukan thowaf dan sa’i lalu bercukur (tahalul) setelah itu mengganti kain ihram dengan baju biasa.

Selanjutnya di hari berikutnya, yakni tanggal 11 Dzulhijjah jamaah haji akan melempar 21 batu jumroh dan esoknya 12 Dzulhijjah akan melempar jumroh ketiga dengan 21 batu lagi. Artinya dalam tiga hari melempar 49 batu (7+21+21=49).

Adapun yang mengambil haji nafar tsani, jamaah akan melempar batu jumroh sebanyak 4 kali, yakni tanggal 10,11,12,13 Dzulhijjah dengan jumlah lemparan 7,21,21,21 sehingga total 70 batu.

Magnatis menambahkan untuk rombongan yang dia pimpin yakni ASPHURINDO tahun ini memberangkatkan 594 haji reguler dan 60 haji dengan undangan visa Furoda (undangan haji plus). Di antara rombongan ASPHURINDO juga terdapat rombongan haji dari Tabung Haji Umroh.

Tentang pelaksaan lontar jumroh sendiri, pemerintah Arab Saudi telah mengatur jadwal agar tidak terjadi penumpukan jamaah yang menimbulkan kecelakaan beberapa tahun lalu.

"Tadi malam kita sudah menerima surat dari Kementerian Haji Arab Saudi melalui Muassasah terkait dengan jadwal lontar jumrah baik tanggal 10, 11, 12, 13. Pada 10 Dzulhijah ketika jemaah sudah melaksanakan mabit di Muzdalifah dan lewat tengah malam menuju Mina, pada saat itulah jemaah mulai akan melakukan lempar jumrah aqobah," kata Kepala Daker Makkah, Subhan Cholid, seperti dikutip Tempo.co dari situs Kementerian Agama.

Subhan mengatakan pada tanggal 10 Dzulhijjah (11 Agustus) itu, pemerintah Arab Saudi menetapkan bahwa untuk jamaah haji Asia Tenggara termasuk Indonesia dilarang melaksanakan jumrah sampai dengan pukul 10 pagi, dari jam 4 sampai jam 10 pagi.

Setelah fase kritis ini, Subhan menjelaskan pada tanggal 11 Dzulhijjah free bebas jam berapapun dari dini hari tanggal 11 sampai dini hari tanggal 12 kapan saja bebas jemaah haji Indonesia dan Asia tenggara bebas melempar jumrah.
"Kemudian tanggal 12 itu dilarangnya waktu jam 10 sampai jam 2, karena nafal awal, jemaah dari seluruh dunia berdesak-desakan mengejar afdholiahnya yang ba'da zawal, nah itu jam 10 sampai jam 2 untuk Asia Tenggara tidak diizinkan untuk melempar jumrah. Lalu kemudian tanggal 13 bebas dari pagi sampai dengan jemaah selesai melakukan nafar tsani," kata Subhan.

IBADAH.ID, MAKKAH – Ibadah haji adalah ibadah fisik.Karenanya membutuhkan stamina tubuh yang sehat dan prima.Untuk bisa menjalankan ibadah tersebut, jamaah dianjurkan untuk istirahat sejenak, untuk memulihkan kembali kesehatan fisik dan mental agar tetap terjaga.

Salah satunya adalah Mabit (bermalam) di Muzdalifah dan Mina sebagai rangkaian ibadah sebelum melanjutkan ritual ibadah berikutnya.

Memang, kegiatan mabit atau bermalam di Mina dan Muzdalifah bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada jamaah haji untuk beristirahat.Sebab, rangkaian kegiatan ibadah haji keesokan harinya sangat berat, yaitu melempar jumrah Aqabah di Mina.

Dalam buku Ensiklopedia Fiqih Haji dan Umrah, karya Gus Arifin, disebutkan bahwa Mabit berasal dari kata baata seperti dalam kalimat fii makaani baata, yang artinya bermalam. Sedangkan kata al-mabit berarti tempat menetap atau menginap di malam hari, bermalam.

Jadi Mabit adalah berhenti sejenak atau bermalam beberapa hari, untuk mempersiapkan segala sesuatunya dalam pelaksanaan melontar Jumrah yang merupakan salah satu wajib ibadah haji mabit dilakukan dua tahap di dua tempat, yaitu di Muzdalifah dan di Mina.

Biasanya, setelah matahari tenggelam (ketika masuk Magrib) pada hari Arafah (9 Dzulhijjah) jamaah haji meninggalkan Arafah menuju Muzdalifah. Di tempat ini jamaah haji mabit (berhenti, istirahat, sholat Magrib dan Isya secara jamak takhir), sampai melewati tengah malam 10 Dzulhijjah.Bagi yang datang di Muzdalifah sebelum tengah malam, maka harus menunggu sampai tengah malam.

Mabit bisa dilakukan dengan cara berhenti sejenak dalam kendaraan atau turun dari kendaraan. Di saat tersebut jamaah bisa memanfaatkannya untuk mencari kerikil di sekitar tempat kendaraan untuk melempar jumrah di Mina.Setelah tengah malam menjelang fajar maka jamaah bergerak menuju Mina untuk mabit, hingga tanggal 12 atau 13 Dzulhijjah.

Mabit di Muzdalifah

Mabit di Muzdalifah dilakukan pada malam 10 Dzulhijjah selepas wukuf di Arafah. Di bagian sebelah barat dari Muzdalifah ini terletak Masy’aril Haram, yaitu Jabal Quzzah.Sebagian Mufassir mengatakan, Masy’aril Haram adalah Muzdalifah seluruhnya.

Di tempat ini jamaah melakukan mabit atau wukuf, minimal telah melewati tengah malam. Memang,yang lebih utama mabit dilakukan sampai selesai shalat Subuh sebelum berangkat ke Mina untuk melakukan Jumrah Aqobah.

Para imam madzhab sependapat bahwa mabit di Muzdalifah hukumnya wajib, kecuali bagi seseorang yang mendapat udzur, misalnya: bertugas melayani jamaah, sakit, merawat orang sakit, menjaga harta, dan lain-lain. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 198, yang artinya: “Setelah kamu meninggalkan Arafah maka berdzikirlah mengingat Allah di Masy’aril Haram.”

Pun berdasarkan keterangan hadis Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam (SAW) riwayat Jabir, sebagai berikut, “…Rasulullah mendatangi Muzdalifah, lalu shalat Maghrib dan Isya dengan adzan sekali dan dua kali iqomat, dan tidak shalat (sunat) di antara keduanya. Kemudian berbaring (tidur) sampai terbit fajar: Lalu shalat Subuh setelah jelas waktu Subuh dengan sekali adzan dan sekali iqomat. Kemudian mengendarai Qaswaa sehingga sampai di Masy’aril Haram lalu menghadap kiblat, berdo’a, bertakbir, bertahlil dan membaca kalimat tauhid lalu terus bewukuf sampai terang benar. Lalu berangkat sebelum terbit matahari……”

Menurut madzhab Syafi’i, jamaah harus berada di Muzdalifah walaupun sebentar dengan syarat harus berada di Muzdalifah, sekurang-kurangnya melewati pertengahan malam setelah wuquf di Arafah dan tidak perlu berdiam (al-muktsu), baik ia (jamaah haji) tahu sedang berada di Muzdalifah atau tidak.

Pun pendapat madzhab Hanafi, berada di Muzdalifah merupakan wajib haji, dan cukup sesaat sebelum fajar. Apabila tidak berada di Muzdalifah sebelum terbit fajar, jamaah haji harus membayar dam, kecuali ada alasan syar’i, seperti sakit, maka tidak apa-apa.

Begitu pula menurut madzhab Hambali, berada di Muzdalifah adalah wajib haji dan dapat dilakukan kapan saja, sejenak dari pertengahan kedua malam Nahar, bukan karena dia petugas pengairan atau penggembala.Dan menurut madzhab Maliki, termasuk wajib haji adalah turun di Muzdalifah sekedarnya dalam perjalanan setelah wuquf di Arafah pada malam hari, pada saat menuju Mina.

Mabit di Mina

Sebagaimana keterangan dalam buku Ensiklopedia Fiqih Haji dan Umrah, karya Gus Arifin, Mabit di Mina dilakukan pada malam Arafah (hari Tarwiyah malam/tanggal 8 Dzulhijjah) disepakati hukumnya sunnah, tidak wajib. Ulama empat madzhab berbeda pendapat mengenai hukum mabit di Mina pada hari-hari tasyriq (tanggal 11,12,13 Dzulhijjah).

Menurut madzhab Hanafi, mabit merupakan sunnah haji karena mabit di Mina bertujuan untuk memudahkan para jamaah haji dalam melontar jumrah yang waktunya bersamaan dengan mabit, yakni hari-hari tasyriq. Dan tidak ada dam (denda) bagi yang meninggalkannya, tetapi mereka dianggap musi’ (berbuat tidak baik melanggar aturan).

Menurut madzab Maliki, Mabit di Mina merupakan wajib haji disamping singgah di Muzdalifah, melontar jumrah, tahallul dan membayar fidyah. Pun menurut madzhab Syafii, qaul masyhur mengatakan wajib mabit di Mina, begitu juga dengan pendapat madzhab Hanbali.

Disyaratkan hendaknya sebagian besar dari malam yang dijalani, pada malam hari-hari tasyrik bagi mereka yang tidak terburu-buru. Adapun bagi yang terburu-buru dan menginginkan keluar dari Mina menuju Mekah pada hari kedua Tasyriq, maka kewajiban pada hari berikutnya melontar jumrah pada hari itu gugur.

Namun bagi mereka yang mempunyai udzur seperti siqayah (penyedia minuman untuk jamaah haji) riaul ibil (penggembala unta) dan orang yang menghawatirkan dirinya dan hartanya terancam disebabkan mabit di Mina, diberikan rukhsoh (keringanan) untuk tidak mabit dan tidak tinggal di Mina, namun tetap harus melontar jumrah.

Menurut pendapat madzab Hanbali, bagi jamaah haji yang sengaja meninggalkan mabit tanpa udzur tersebut dikenai dam. Jenis dam bisa berupa makanan (ukuran satu mud) atau uang (dirham). Sebagian ulama madzab Hanbali pendapat, dikenai 1/3 dam tiap pelanggaran satu hari. Jika mabit tiga hari berarti dendanya satu dam (1/3 x 3 hari).

Adapun waktu mabit di Mina dilakukan pada tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah.Tempat mabit bagi jamaah haji Indonesia adalah di Haratul Lisan yang berada di wilayah Mina, berdasarkan ketetapan Pemerintah Arab Saudi pada tahun 1984.

Sedangkan wilayah Mina terletak di antara Muzdalifah dan Mekah.Ketetapan batas wilayah Mina tidak ada dalil qath’i (pasti), baik dari Al-Qur’an maupun hadis. Selain jamaah haji asal Indonesia, Haratul Lisan juga ditetapkan sebagai tempat mabit bagi jamaah haji asal Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina, Turki, dan Eropa.

Usai mabit di Mina, rangkaian berikutnya adalah Nafar Awal dan Nafar Tsani. Menurut bahasa, nafar berarti rombongan. Sedangkan menurut istilah, nafar adalah keberangkatan jamaah haji meninggalkan Mina pada hari Tasyrik.

Nafar dibagi menjadi dua bagian yakni Nafar Awalmerupakan keberangkatan jamaah haji meninggalkan Mina lebih awal yaitu pada tanggal 12 Dzulhijjah setelah melontar jumrah untuk tanggal tersebut.Berikutnya, Nafar Tsani (Nafar Akhir) yaitu keberangkatan jamaah haji meninggalkan Mina pada tanggal 13 Dzulhijjah.

Mabit di Muzdalifah dan di Mina merupakan bagian penting dari rangkain ibadah haji. Dengan memahami persoalan mabit di kedua tempat itu dan mengamalkan ajaran, aturan, dan tata cara mabit yang benar sesuai ajaran Rasulullah, insya Allah jamaah haji akan mendapatkan kemabruran dalam hajinya.