Kebijakan apa yang diambil pemerintah dalam menghadapi masalah dalam konteks ekonomi Mikro

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN
REPUBLIK INDONESIA

SIARAN PERS
HM.4.6/88/SET.M.EKON.3/04/2021

Dukungan Pemerintah Bagi UMKM Agar Pulih di Masa Pandemi

Jakarta, 28 April 2021

Perekonomian global mulai pulih dan diperkirakan tumbuh positif pada 2021. Pascakontraksi tajam pada Q2-2020, tren positif dan pemulihan ekonomi sejak Q3-2020 terjadi secara global, termasuk di Indonesia. Dalam upaya melaksanakan Program Pemulihan Ekonomi Nasional, Pemerintah terus memberikan dukungan kepada UMKM.

UMKM merupakan pilar terpenting dalam perekonomian Indonesia. Jumlah UMKM di Indonesia yakni sebesar 64,19 juta, di mana komposisi Usaha Mikro dan Kecil sangat dominan yakni 64,13 juta atau sekitar 99,92% dari keseluruhan sektor usaha.

Pandemi COVID-19 telah memberikan dampak buruk terhadap UMKM. Sesuai rilis Katadata Insight Center (KIC), mayoritas UMKM (82,9%) merasakan dampak negatif dari pandemi ini dan hanya sebagian kecil (5,9%) yang mengalami pertumbuhan positif.

Hasil survey dari beberapa lembaga (BPS, Bappenas, dan World Bank) menunjukkan bahwa pandemi ini menyebabkan banyak UMKM kesulitan melunasi pinjaman serta membayar tagihan listrik, gas, dan gaji karyawan. Beberapa diantaranya sampai harus melakukan PHK. Kendala lain yang dialami UMKM, antara lain sulitnya memperoleh bahan baku, permodalan, pelanggan menurun, distribusi dan produksi terhambat.

“Oleh sebab itu, Pemerintah berupaya menyediakan sejumlah stimulus melalui kebijakan restrukturisasi pinjaman, tambahan bantuan modal, keringanan pembayaran tagihan listrik, dan dukungan pembiayaan lainnya,” ujar Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso dalam keynote speech-nya pada Webinar “Pemulihan Ekonomi untuk Sektor UMKM Nasional”, Rabu (28/4), yang diselenggarakan oleh Alika Communication bersama School of Business and Management Institut Teknologi Bandung (SBM ITB).

Pandemi Covid-19 mengubah Perilaku Konsumen dan Peta Kompetisi Bisnis yang perlu diantisipasi oleh para pelaku usaha akibat adanya pembatasan kegiatan. Konsumen lebih banyak melakukan aktivitas di rumah dengan memanfaatkan teknologi digital. Sedangkan perubahan lanskap industri dan peta kompetisi baru ditandai dengan empat karakeristik bisnis yaitu Hygiene, Low-Touch, Less-Crowd, dan Low-Mobility. Perusahaan yang sukses di era pandemi merupakan perusahaan yang dapat beradaptasi dengan 4 karakteristik tersebut.

Dengan begitu, pelaku usaha termasuk UMKM perlu berinovasi dalam memproduksi barang dan jasa sesuai dengan kebutuhan pasar. Mereka juga dapat menumbuh-kembangkan berbagai gagasan/ide usaha baru yang juga dapat berkontribusi sebagai pemecah persoalan sosial-ekonomi masyarakat akibat dampak pandemi (social entrepreneurship).

Pemerintah telah menyediakan insentif dukungan bagi UMKM melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) di tahun 2020 dan dilanjutkan di tahun 2021. Realisasi PEN untuk mendukung UMKM sebesar Rp 112,84 triliun telah dinikmati oleh lebih dari 30 juta UMKM pada tahun 2020. Sementara untuk tahun 2021, Pemerintah juga telah menganggarkan PEN untuk mendukung UMKM dengan dana sebesar Rp 121,90 triliun untuk menjaga kelanjutan momentum pemulihan ekonomi.

“Pemerintah berharap semoga Program PEN ini dapat mendorong UMKM untuk kembali pulih di masa pandemi ini” tutur Susiwijono.

Program PEN untuk mendukung UMKM pada tahun 2020 tercatat telah berhasil menjadi bantalan dukungan bagi dunia usaha, khususnya bagi sektor informal dan UMKM untuk bertahan dalam menghadapi dampak pandemi. Selain itu, ini juga dapat membantu dalam menekan penurunan tenaga kerja. Dilansir dari data BPS per Agustus 2020, terdapat penciptaan kesempatan kerja baru dengan penambahan 0,76 juta orang yang membuka usaha dan kenaikan 4,55 juta buruh informal.

Pemerintah juga terus berupaya mendorong para pelaku UMKM untuk on board ke platform digital melalui Program Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI), dimana hingga akhir 2020 sudah terdapat 11,7 juta UMKM on boarding. Diharapkan pada tahun 2030 mendatang, jumlah UMKM yang go digital akan mencapai 30 juta. Di samping itu, Pemerintah juga mendorong perluasan ekspor produk Indonesia melalui kegiatan ASEAN Online Sale Day (AOSD) di 2020.

Dari 64,19 juta UMKM di Indonesia, sebanyak 64,13 juta masih merupakan UMK yang masih berada di sektor informal sehingga perlu didorong untuk bertransformasi ke sektor formal. Indonesia juga masih memiliki permasalahan perizinan yang rumit dengan banyaknya regulasi pusat dan daerah atau hiper-regulasi yang mengatur perizinan di berbagai sektor yang menyebabkan disharmoni, tumpang tindih, tidak operasional, dan sektoral.

Oleh karena itu, Pemerintah berusaha mengakomodir hal tersebut melalui penyusunan UU Cipta Kerja yang telah disahkan pada tahun 2020. Salah satu substansi yang diatur dalam UU Cipta Kerja adalah mengenai kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan UMKM. Pemerintah berharap melalui UU Cipta Kerja, UMKM dapat terus berkembang dan berdaya saing.

 “Pada prinsipnya Pemerintah sudah menyiapkan berbagai program dan kebijakan baik dalam konteks Pemulihan Ekonomi Nasional maupun beberapa program yang ke depannya kita harapkan betul-betul dapat memberikan kemudahan, perlindungan dan pemberdayaan bagi UMKM kita,” tutupnya. (map/fsr)

***

Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi, dan Persidangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian

Haryo Limanseto

Website: www.ekon.go.id Twitter, Instagram, Facebook, dan Youtube: PerekonomianRI

Email:

Ilmu ekonomi lahir karena adanya kondisi kelangkaan (scarcity), yaitu suatu kondisi dimana kebutuhan masyarakat tidak terbatas namun sumber daya yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhan tersebut terbatas. Pada awalnya, konsep ekonomi yang berkembang adalah bagaimana memenuhi kebutuhan tersebut dengan menyerahkannya kepada mekanisme pasar. Hal ini tentunya berimplikasi pada terbatasnya intervensi tangan pemerintah.

Pada tahun 1776, Adam Smith, seorang ekonom klasik, menerbitkan buku yang berjudul The Wealth of Nations, dimana salah satu prinsip yang ditawarkan adalah kebebasan pasar. Smith menyatakan bahwa dengan mengimplementasikan pasar bebas justru akan mendorong teralokasinya sumber daya dengan efektif dan efisien. Permintaan dan penawaran pasar adalah “tangan tak terlihat” (invisible hand) yang akan menstimulus pasar menunju kesetimbangannya. Prinsip ini menolak campur tangan pemerintah, karena justru akan mengganggu mekanisme pasar itu sendiri. Prinsip ini juga sering dikenal dengan laissez-faire (let it be). Konsep ini berkembang pesat dan klimaksnya adalah munculnya revolusi industri.

Namun ternyata, mekanisme pasar tidaklah selalu efektif dan efiesien. Mengapa? Pertama, karena informasi yang dibutuhkan konsumen dan supplier tidaklah selalu tersedia, sehingga adakalanya menimbulkan kelebihan atau kekurangan persediaan dalam pasar. Informasi kebutuhan konsumen tidak selalu dapat ditangkap oleh supplier, dan sebaliknya. Kedua, kompetisi juga tidaklah selalu efektif, persaingan yang tidak sehat seperti adanya monopoli akan sangat menganggu keseimbangan pasar. Ketiga, lahirnya dampak buruk industri seperti isu lingkungan. Keempat, akan muncul kebutuhan masyarakat yang tidak bisa disediakan oleh pasar, seperti fasilitas-fasilitas publik. Contoh dari kegagalan pasar tersebut adalah terjadinya Great Depression pada tahun 1930.

Pada tahun 1930s, John Maynard Keynes, perintis ilmu makroekonomi, mengeluarkan buku yang berjudul The General Theory of Employment, Interest, and Money. Melalui buku inilah, Keynes mengeluarkan gagasan tentang perlunya kebijakan intervensi pemerintah. Gagasan ini dilatarbelakangi oleh peristiwa Great Drepession yang membuat tingkat pengangguran luar bisa tinggi.

Keynes menyatakan bahwa cara terbaik untuk mengeluarkan suatu negara dari kondisi resesi (kondisi permintaan dan penawaran di bawah kapasitas optimal) adalah dengan melibatkan pemerintah terutama untuk mendorong kembali posisi permintaan dan penawaran dalam pasar melalui kebijakan belanja dan investasi. Selain itu, untuk mengendalikan dampak sosial dan lingkungan, pemerintah juga harus mulai menekan produk-produk yang membahayakan sosial dan lingkungan dengan kebijakan pajak. Pemerintah juga harus mengambil peranan dalam penyediaan barang-barang publik yang tidak diminati oleh sektor privat, sehingga tentunya membutuhkan sumber-sumber penerimaan. Kebijakan terkait pengeluaran dan penerimaan pemerintah inilah yang sekarang kita kenal dengan istilah kebijakan fiskal.

Gagasan yang dikeluarkan oleh Keynes merupakan pijakan yang menyadarkan para pelaku ekonomi akan pentingnya peranan pemerintah dalam perekonomian. Kebijakan intervensi pemerintah dalam ekonomi pun berkembang, yang tentunya semakin menyesuaikan dengan kondisi pasar. Mengutip pernyataan Mike Moffat dalam artikelnya “The Government’s Role in Economy (2017), “In the narrowest sense, the government's role in the economy is to help correct market failures, or situations where private markets cannot maximize the value that they could create for society. This includes providing public goods, internalizing externalities, and enforcing competition. That said, many societies have accepted a broader role of government in a capitalist economy.” Moffat menyatakan bahwa peran pemerintah dalam ekonomi sejatinya dibagi menjadi tiga hal, yaitu 1) untuk mengatasi adanya kegagalan pasar akibat pemenuhan kebutuhan pasar yang tidak optimal, termasuk didalamnya penyediaan barang publik, 2) mengendalikan eksternalitas seperti munculnya dampak lingkungan akibat industri, serta 3) mendorong kompetisi/persaingan pasar yang sehat.

Di dunia ilmu makroenomi modern, intervensi pemerintah sangat tergantung pada kondisi masing-masing negara. Tidak terdapat teori yang secara khusus digunakan untuk memutuskan sejauh apa intervensi pemerintah dalam perekonomian. Sebagai contoh, New Zealand memposisikan pemerintahnya sebagai regulator, pengumpul pajak, pemilik (dhi. aset), dan penyedia (dhi. layanan publik), sementara Amerika, memposisikan pemerintahnya sebagai penyedia (dhi. layanan publik), regulator dan pengawas, dan penggerak pertumbuhan dan stabilitas. Pemerintahan New Zealand memiliki intervensi lebih banyak jika dibandingkan dengan Amerika, terutama terkait dengan pengelolan aset. Berdasarkan praktik yang ada, secara umum, intervensi pemerintah dapat diklasifikasikan dua kelompok, yaitu 1) adakalanya cukup sebagai regulator dan supervisor dan 2) adakalanya harus bertindak sebagai penyedia dan pengelola (provider dan manajer). Khusus untuk penyedia dan pengelola dibagi menjadi dua fungsi, yaitu 1) penyedia layanan dan barang publik dan 2) penyedia kebutuhan masyarakat yang tidak dapat dipenuhi oleh pasar.

Intervensi pemerintah sebagai penyedia dan pengelola sangat tergantung dengan kondisi pasar. Apabila pasar sudah efektif, maka intervensi pemerintah cenderung rendah. Pada umumnya pemerintah hanya akan memposisikan dirinya sebagai regulator dan supervisor, sementara untuk penyediaannya diserahkan kepada pasar (sektor privat). Namun apabila pasar belum efektif (misal, masih ada gap antara permintaan masyarakat dan suplainya), maka mau tidak mau pemerintah harus masuk sebagai market player, baik turun langsung maupun melalui institusi yang dibentuk, seperti BUMN. Efektif tidaknya suatu pasar pun akan berubah seiring dengan perkembangan ekonomi, maka tingkat intervensi pemerintah juga harus adaptif.