Jelaskan strategi dakwah Wali Songo dalam Masa perkembangan Islam di Indonesia

Dakwah Wali Songo menjadi inspirasi syiar Islam hingga detik ini.

Tangkapan Layar

Buku Atlas Wali Songo karya Agus Sunyoto.

Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhyiddin Penyebaran Islam di Nusantara tidak terlepas dari peran Wali Songo, sembilan tokoh penyebar Islam yang dakwahnya bisa memikat hati masyarakat Indonesia. Fakta sejarah menunjukkan bahwa setelah dakwah Islam dijalankan Wali Songo, Islam berkembang sangat pesat di kalangan pribumi.

Buku berjudul Atlas Wali Songo ini menyajikan berbagai strategi dakwah yang dilakukan Wali Songo dalam menyebarkan Islam di nusantara. Buku ini merupakan buku pertama yang mengungkap Wali Songo sebagai fakta sejarah. Karya Agus Sunyoto ini berusaha menjawab keraguan banyak orang mengenai kebenaran adanya Wali Songo di nusantara.

Dalam pengantaranya di buku ini, Prof KH Said Aqil Siraj mengatakan, para wali telah merumuskan strategi dakwah atau strategi kebudayaan secara lebih sistematis, terutama bagaimana menghadapi kebudayaan Jawa dan nusantara pada umumnya yang sudah sangat tua, kuat, dan mapan.Menurut dia, para wali memiliki metode dakwah yang sangat bijak. Mereka memperkenalkan Islam tidak serta merta, tidak ada cara instan, sehingga Wali Songo merumuskan strategi jangka panjang. Tidak masalah bagi mereka jika harus mengenalkan Islam pada anak-anak karena mereka merupakan masa depan bangsa.Kiai Said mengungkapkan, strategi para wali dalam mengembangkan ajaran Islam di bumi nusantara dimulai dengan beberapa langkah strategis. Pertama, tadrij (bertahap). Misalnya, ketika pribumi meminum tuak atau makan daging babi, secara bertahap para wali akan meluruskan perilaku mereka tersebut sesuai dengan ajaran Islam.Kedua, adamul haraj (tidak menyakiti). Menurut Kiai Said, dengan cara ini para wali membawa Islam tidak dengan mengusik tradisi mereka, bahkan tidak mengusik agama dan kepercayaan mereka, tapi memperkuatnya dengan cara yang Islami.Para wali sadar betul bahwa kenusantaraan yang multietnis, multibudaya, dan multibahasa ini bagi mereka adalah anugerah Allah yang tiada tara, kata Kiai Said. Ajaran dan strategi dakwah para Wali Songo tersebut bisa teladani dan dikembangkan oleh para pendakwah saat ini sesuai dengan konteks zaman. Buku ini merupakan sumber referensi yang penting untuk dibaca oleh para mubaligh, bahkan oleh para akademisi, budayawan, dan aktivis sosial.

Agus Sunyoto dalam buku ini menjelaskan, gerakan dakwah Wali Songo merujuk pada usaha-usaha penyampaian dakwah Islam melalui cara-cara damai, terutama melalui prinsip mawidzatul hasanah wa mujadalah billati hiya ahsan, yaitu metode penyampaian ajaran Islam melalui cara dan tutur bahasa yang baik. Pada masa itu, ajaran Islam dikemas oleh para ulama sebagai ajaran yang sederhana dan dikaitkan dengan pemahaman masyarakat setempat. Mereka mmebumikan Islam se suai adat budaya dan kepercayaan penduduk setempat lewat proses asimilasi dan sinkretisasi.

Menurut penulis, pelaksanaan dakwah dengan cara ini memang membutuhkan waktu lama, tetapi berlangsung secara damai. Menurut Thomas W Arnold dalam The Preaching of Islam, tumbuh dan berkembangnya agama Islam secara damai ini lebih banyak merupakan hasil usaha para mubaligh dibandingkan dengan hasil usaha para pemimpin negara.

  • resensi buku
  • atlas wali songo
  • wali songo

Jelaskan strategi dakwah Wali Songo dalam Masa perkembangan Islam di Indonesia

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...

(IslamToday.id) — Sejarah kesuksesan dakwah para Walisongo tentu tidak terlepas dari strategi dan metode dakwah yang dipergunakan dalam aktivitas dakwah. Selain strategi mereka juga mampu merumuskan garis-garis besar perjuangan dakwah yang harus dilaksanakan secara taktis, mereka juga dibekali kemampuan teknis metode dakwah di lapangan.

Strategi para wali dalam mengembangkan ajaran Islam di Tanah Jawa dimulai dengan membagi syiar agama dalam beberapa metode, diantaranya metode tadrij atau bertahap. Tidak ada sebuah ajaran yang diberlakukan secara instan dan mendadak, semua melalui proses penyesuaian yang evolutif. Berikutnya, juga diterapkan prinsip adamul haraj, yang artinya tidak menyakiti. Para wali membawa Islam tidak dengan siap yang konfrontatif, mereka memberlakukan sistem dakwah sesuai dengan kapasitas objek dakwah yang ditemui. Seorang raja tentu tidak mungkin didakwahi sama dengan kawulo. Demikian pula dakwah dikalangan Prajurit, tentu berbeda dengan dakwah dengan kaum rohaniawan. Dalam berbagai catatan sejarah, para anggota Walisongo juga melakukan peperangan, namun hal ini dilakukan dengan memegang prinsip-prinsip peperangan dalam Islam, yaitu tidak melukai anak-anak dan perempuan, tidak merusak simbol-simbol keagamaan dan tempat ibadah serta aturan-aturan lain yang dijalankan secara ketat.

Dengan ini semua, maka pancaran hikmah dari adanya dakwah mampu diterima masyarakat Jawa dengan sukarela. Terbukti, wilayah Kediri yang hingga kini masih tercatat warganya sebagain besar beragama muslim, padahal perang terhadap sisa kekuatan Majapahit yang terakhir adalah melawan Girindra Wardhana yang berkedudukan di wilayah itu. Jika Islam hadir dengan model paksaan seperti halnya metode inkuisisi layaknya di Spayol, mungkin masyarakat di wilayah tersebut akan kembali pada keyakinan awal mereka kala Demak telah runtuh sebagai kerajaan yang berdaulat.

Selain itu, Salim A Fillah dalam beberapa ceramahnya menyebutkan, bahwa para Wali dalam berdakwah memberlakukan setidaknya tiga prinsip dakwah, yaitu fiqihul ahkam dimana prinsip dan ajaran Islam benar-benar diterapkan  secara ketat dan mendalam. Hal ini ditujukan untuk mereka kalangan santri yang sudah menerima Islam dengan penuh. Pengajaran Islam yang benar, menyeluruh dan mendalam ditujukan sebagai langkah, guna membentuk generasi dakwah yang siap menerima misi dakwah ke depan. Selanjutnya adalah fiqih dakwah, ajaran agama diterapan secara fleksibel dan lentur sesuai dengan kondisi masyarakat dan tingkatan pendidian mereka. Para Wali lebih mengedepankan misi pemahaman utama tentang Islam yaitu masalah tauhid, dimana yang terpenting masyarakat bisa memahami konsep tersebut mengakui ke-Esaan Allah SWT dan menerima Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah.

Adapun secara strategis, para wali sebagai juru dakwah, memang dikenal dengan kepiawaiannya menciptakan metode dakwah yang jitu dan efisien, sehingga hal ini mampu membawa dampak perubahan yang cukup signifikan dalam kurun waktu tak lebih dari 100 tahun. Beberapa strategi dakwah Walisongo yang bisa diidentifikasi antara lain:

Pertama, Pembagian Wilayah Dakwah. Para Walisongo dalam melakukan aktivitas dakwahnya antara lain sangat memperhitungkan wilayah strategis. Beranjak dari sinilah, para Walisongo yang dikenal jumlahnya ada sembilan orang tersebut melakukan pemilihan wilayah dakwahnya tidak sembarangan. Penentuan tempat dakwahnya dipertimbangkan pula dengan faktor geostrategi yang sesuai dengan kondisi zamannya. Kalau kita perhatikan dari kesembilan wali dalam pembagian wilayah kerjanya ternyata mempunyai dasar pertimbangan geostrategis yang mapan sekali. Kesembilan wali tersebut membagi kerja dengan rasio 5:3:1. Jawa Timur mendapat perhatian besar dari para Walisongo. Di sini terdapat 5 Wali, dengan pembagian teritorial dakwah yang berbeda. Maulana Malik Ibrahim, sebagai wali perintis, mengambil wilayah dakwahnya di Gresik. Setelah Malik Ibrahim wafat, wilayah ini dikuasai oleh Sunan Giri. Sunan Ampel mengambil posisi dakwah wilayahnya di Surabaya, Sunan Bonang sedikit ke Utara di Tuban. Sedangkan, Sunan Drajat di Sedayu. Berkumpulnya kelima wali ini di Jawa Timur adalah karena kekuasaan politik saat itu berpusat di wilayah ini. Kerajaan Kediri, di Kediri dan Majapahit di Mojokerto.

Di Jawa Tengah para wali mengambil posisi di Demak, Kudus, dan Muria. Sasaran dakwah para wali yang ada di Jawa Tengah tentu berbeda dengan yang ada di Jawa Timur. Di Jawa Tengah dapat dikatakan bahwa pusat kekuasaan politik Hindu dan Budha sudah tidak berperan lagi. Hanya para wali melihat realitas masyarakat yang masih dipengaruhi oleh budaya yang bersumber dari ajaran Hindu dan Budha. Saat itu para Wali mengakui seni sebagai media komunikasi yang mempunyai pengaruh besar terhadap pola pikir masyarakat. Oleh kerana itu, seni dan budaya yang sudah berakar di tengah-tengah masyarakat menurut mereka perlu dimodifikasi, dan akhirnya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan dakwah. Terakhir yaitu di Jawa Barat, menempatkan seorang wali yaitu Sunan Gunung Jati.

Jelaskan strategi dakwah Wali Songo dalam Masa perkembangan Islam di Indonesia

Kedua, Asimilasi budaya. Bagi seorang juru dakwah, mengubah sebuah tatanan masyarakat yang sangat kompleks dan telah mengakar dalam sebuah tatanan laku hidup sehari-hari memang tidaklah semudah berdebat secara ilmiah dan logika. Oleh karena itu, dalam dakwahnya kepada masyarakat Jawa, tidak jarang para wali menerapkan beberapa model dakwah dengan memasuki unsur-unsur kebudayaan yang ada di masyarakat. Para Wali berani memasuki wilayah ini tentu dengan sebuah prinsip yang tidak dapat ditawar, yaitu senantiasa membelokkan adat dan norma yang sesuai dengan ajaran Islam dan membuang serta mengganti adat yang berbau kesyirikan dengan memasukkan unsur Islam ke dalam adat tersebut.

Para juru dakwah kontemporer menamakan model dakwah ini dengan sebutan Metode al-hikmah, dimana cara-cara berdakwah para wali merupakan jalan kebijaksanaan yang diselenggarakan secara popular, atraktif, dan sensasional. Cara ini mereka pergunakan dalam menghadapi masyarakat  awam. Dengan tata cara yang amat bijaksana, masyarakat awam itu mereka hadapi secara massal. Kadang-kadang terlihat sensasional bahkan ganjil dan unik sehingga menarik perhatian umum. Dalam rangkaian metode ini kita dapati misalnya, Sunan Kalijaga dengan gamelan Sekatennya. Atas usul Sunan kalijaga, maka dibuatlah keramaian dengan gamelan Sekaten yang secara istilah diambil dari ata syahadattain (dua kalimah pesaksian kunci keIslaman), yang diadakan di Masjid Agung dengan memukul gamelan yang sangat unik dalam hal langgaman lagu maupun komposisi instrumental yang telah lazim pada waktu itu. Keramaian diadakan menjelang peringatan hari Maulud Nabi Muhammad SAW. Selain itu, Sunan Kalijaga juga menggelar lakon wayang baru dan telah dimodifikasi dengan mengganti seluruh konten-konten syirik karya Mpu Walmi dengan konsep tauhid dan ajaran Islam.

Selain Sunan Kalijaga, ada pula Sunan Giri yang banyak menciptakan tembang-tembang macapat seperti Asmarandhana, dan Pucung yang kesemuanya merupakan sebuah tutur laku dalam kehidupan manusia. Asmarandhana adalah nasihat bagi mereka yang sedang masuk usia pernikahan agar selalu mawas diri dan waspada terhadap pergaulan yang tidak baik, sedangan pucung adalah pengingat bahwa setiap manusia pasti akan menemui sebuah kematian. Selain itu Sunan Giri juga menciptakan beberapa jenis permainan dan lagu dolanan. Hal ini ditujukan untuk memberikan dakwah Islam kepada semua kalangan usia termasuk anak-anak. Diantara karya tersebut adalah permainan cublak-cublak suweng, padhang mbulan dan jelungan.  

Strategi dakwah yang ketiga, adalah pendidikan dan pencetakan kader dakwah. Setiap wali yang berperan dan memiliki sebuah wilayah dakwah, hal pertama yang diperbuat adalh membangun sarana pendidikan berupa pesntren. Dari sinilah, mereka menemukan atau kedatangan murid-murid dari kalangan warga sekitar dan berbagai penjuru daerah. Dalam mencetak kader dakwah yang kuat, setiap pesantren yang dahulunya diambil dari model pendidikan dukuh ala pendidikan Hindu-Budha dalam mendidik para wiku, memiliki kurikulum yang ketat dan terstruktur. Mereka diajarkan tentang ilmu utama dalam Islam yang meliputi Aqidah, Al-Quran, Hadits hingga ilmu Fiqih dan tafsir. Kemudian mereka juga mendapatkan tambahan materi berupa ilmu ketatanegaraan, ekonomi dan ilmu aplikatif lainnya seperti pertanian. Tak lupa dalam pesantren ini seorang santri juga wajib menguasai ilmu beladiri, karena sebagai seorang kader dakwah selain dituntut memiliki kapasitas keilmuan juga harus memiliki tubuh yang kuat guna melawan hal-hal yang tidak diinginkan. Dengan adanya basis pendidikan ini maka para wali berhasil membentu generasi yang unggul. Beberapa contoh Wali yang berhasil mengembangkan model pendidikan ini adalah Sunan Ampel yang melahirkan generasi Sultan Fattah dan Sunan Bonang, Giri Kedathon yang menghasilkan murid dari seluruh Jawa hingga melahirkan Kesultanan Ternate, Tidore, Lombok dan Bima.

Strategi yang keempat adalah Strategi dakwah di bidang politik. Dalam mengembangkan dakwah Islam di tanah Jawa para wali tentu juga menggunakan sarana politik untuk mencapai tujuannya, yaitu menegakkan hukum Allah secara menyeluruh. Oleh karena itu, dengan melihat keadaan kekuasaan Majapahit yang terus mengalami penurunan, maka para Wali saat itu mulai mengarahkan perhatiannya kepada Demak. Sebagai langkah awal adalah dengan mendirikan pusat dakwah dan koordinasi yaitu Masjid Demak. Setelah posisi Majapahit benar-benar lemah maka Demak tampil sebagai wajah baru dalam babak dakwah Islam di tanah Jawa. Yaitu dengan tegaknya pemerintahan Islam dan diberlakukannya hukum syariat melalui kitab undang-undang Angger-angger Surya Alam.

Dengan adanya perlindungan dari sebuah negara, maka dakwah Islam semakin meluas. Langkah-langkah amar ma’ruf nahi munkar juga lebih efektif karena umat Islam memiliki kekuatan hukum dan kekuatan penegakan hukum alhasil akselerasi dakwah menjadi sangat pesat jika unsur kekuatan politik telah dimiliki.

Penulis: Muh Sidiq HM

Editor: Tori Nuariza

Sumber:

Agus Sunyoto. 2016. Atlas Walisongo. Tangerang Selatan:Pustaka IIIMaN

Dian Noiyanti. 2019. Walisongo The Wisdom, Syiar 9 Wali Selama 1 Abad. Jakarta: Gramedia Pustaka

Hatmansyah, Strategi dan Metode Dakwah WalisongoJurnal “Al-Hiwar” Vol. 03, No. 05-Januari-Juni-2015