Jelaskan pengaruh adanya kerja paksa yang diterapkan oleh voc terhadap kehidupan rakyat indonesia

Kerja rodi adalah suatu jenis kerja paksa yang diterapkan oleh Pemerintah Kolonial Prancis yang berupa pengerahan rakyat untuk membangun infrastruktur sipil atau militer demi kepentingan pengekalan pemerintahan kolonial itu sendiri. Berbeda dengan kerja paksa yang menggunakan tenaga tawanan atau tahanan, kerja rodi cenderung mengunakan "Rakyat Bebas" dan kadang masih mendapatkan upah, walau sedikit atau bahkan tidak sama sekali. Contoh pemerintahan kolonial yang menerapkan kerja rodi ialah pemerintahan VOC dan Hindia Belanda di Indonesia.

Jelaskan pengaruh adanya kerja paksa yang diterapkan oleh voc terhadap kehidupan rakyat indonesia

Pelopor kerja rodi adalah Herman Willem Daendels

Keinginan utama Daendels adalah agar masyarakat Indonesia mau bekerja untuk kepentingan Kerajaan Prancis. Herman Willem Daendels adalah seorang pemimpin laki-laki yang dipilih oleh Republik Batavia untuk memerintah daerah Indonesia, terutama wilayah Jawa. Untuk mewujudkan keinginannya dan keinginan Republik Bataaf itu, dia membentuk beberapa langkah yang akan membawa pengaruh ke dalam bidang pertahanan, bidang keamanan dan juga administrasi.

Dalam hal bidang pertahanan dan keamanan, Daendels melakukan beberapa kegiatan untuk mencapai tujuannya, seperti membangun benteng-benteng pertahanan baru dan juga membangun pangkalan angkatan laut di daerah Ujungkulon dan Anyer. Namun, pembangunan pangkalan angkatan laut di daerah Ujungkulon ini tidak berhasil.

Selain itu, masih ada juga tindakan-tindakan Daendels yang lainnya seperti meningkatkan jumlah tentara, dan membangun jalan raya dari Anyer sampai Panarukan sepanjang 1100 km. Kegiatan ini mengubah citra Daendels. Dulu, dia dikenal sebagai seorang pemuda yang memegang teguh semboyan Revolusi Prancis, setelah semua itu terjadi, dia menjadi seorang pemuda yang kejam dan diktator.

Daendels sebenarnya telah membayar para pekerja sebesar 3000 Ringgit,tetapi uang tersebut tidak pernah samapi ke tangan para pekerja. Ketika pembangunan jalan raya Anyer-Panarukan, banyak rakyat yang meninggal. Kerja Rodi pembangunan rakyat di pangkalan Ujung Kulon membuat rakyat sulit mencapainya. Tempat pembuatan jalan tersebut penuh dengan nyamuk malaria sehingga tidak sedikit rakyat Indonesia yang meninggal ketika pelaksanaan program itu.

Selama ini masyarakat mengetahui jika rakyat yang melakukan kerja rodi itu tidak dibayar dan dipaksa. Menurut sejarawan Djoko Marihandono, sebenarnya Daendels telah menyiapkan upah sebesar 30.000 ringgit untuk menggaji serta memberi makan para mandor dan pekerja rodi yang disalurkan melalui perantara residen dan bupati. Tetapi diketahui bahwa uang tersebut telah dikorupsi oleh para bupati sehingga tidak sampai ke tangan pekerja. Hal ini tercatat dalam arsip laporan Pemerintah Prancis saat itu, tetapi narasi ini masih diragukan kebenarannya oleh publik.[1]

Bentuk kerja yang harus dilakukan oleh rakyat dikarenakan bupati korupsi mengakibatkan rakyat, mendayung perahu, membuat fasilitas jalan atau jembatan, membangun perbentengan, kerja blandong (penebangan kayu), dan kerja di perkebunan pemerintah.

  • https://www.merdeka.com/pendidikan/simak-kisah-kejam-kerja-rodi-di-indonesia.html
  • http://www.guruips.com/2016/08/kebijakan-deandels-dan-kerja-rodi-masa.html
  • IPS SEJARAH, Sejarah Indonesia.
  • https://news.detik.com/berita/d-5365828/daendels-bayar-upah-pekerja-jalan-anyer-panarukan-tapi-dikorupsi-benarkah
  • Kerja Bakti
  • Kerja Gotong-Royong
 

Artikel bertopik sejarah ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.

  • l
  • b
  • s

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Kerja_rodi&oldid=20889369"

Tanam Paksa atau dalam bahasa Belanda dikenal dengan Cultuurstelsel, secara harfiah berarti Sistem Kultivasi (Cultivation System) merupakan gagasan dari Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada masa penjajahan Belanda di Indonesia. Keputusan yang menimbulkan dampak tanam paksa di Indonesia pada tahun 1830 disebabkan oleh situasi keuangan yang mendesak di negara Belanda. Kondisi keuangan Kerajaan Belanda pada saat itu sangat mengkhawatirkan karena terlibat dalam berbagai peperangan di Eropa dan di Indonesia. Pada masa kejayaan Napoleon, Belanda terlibat dalam peperangan yang menghabiskan biaya yang sangat besar. Selain itu terjadinya perang kemerdekaan Belgia dari Belanda yang berakibat pemisahan Belgia dari Belanda pada tahun 1830 juga menguras kas kerajaan.

Belum lagi terjadinya Perang Diponegoro sejak tahun 1825 – 1830 menghabiskan biaya sekitar 20 juta gulden, turut menjadi perlawanan termahal rakyat Indonesia bagi kas kerajaan Belanda. Semua konflik itu membuat kas negara kosong dan akibatnya Belanda berutang sangat banyak. Peraturan dalam tanam paksa sebagai akibat penjajahan mewajibkan setiap desa dan perorangan untuk menyisihkan sebagian tanah sebanyak 20 persen untuk ditanami komoditi ekspor khususnya kopi, tebu, teh tembakau, nila dan karet. Hasil penanaman dibeli oleh pemerintah kolonial dengan harga yang sudah ditentukan dan hasil panennya juga akan diserahkan kepada pemerintah kolonial.

Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja selama 66 – 75 hari dalam setahun pada kebun – kebun milik pemerintah. Pada prakteknya, peraturan tanam paksa adalah masa – masa yang jauh lebih kejam dibandingkan ketika para pemimpin VOC melakukan monopoli perdagangan pada awal penjajahan Belanda di Indonesia. Berbeda dengan ketentuan awal, lahan pertanian yang digunakan untuk cultuurstelsel tetap dikenakan pajak sementara warga yang tidak memiliki lahan malah diwajibkan bekerja selama setahun penuh di lahan tersebut. Tidak hanya korban harta, banyak sekali korban jiwa dari rakyat yang makin sengsara karena dampak tanam paksa tersebut.

Penyimpangan Tanam Paksa

Van den Bosch menganggap bahwa Pulau Jawa sangat cocok untuk memberikan keuntungan besar bagi Belanda karena tanahnya yang subur dan kepadatan penduduk yang potensial sebagai pekerja dan pengolah lahan pertanian atau perkebunan. Lahan yang subur dan sumber kekayaan alam Nusantara memang menjadi latar belakang VOC didirikan. Tanam paksa diawasi langsung oleh para pegawai Belanda, tetapi pada pelaksanaannya terjadi sangat banyak penyimpangan yang merugikan rakyat, antara lain:

  • Rakyat terpaksa mengabaikan keperluan ladangnya sendiri karena harus lebih fokus kepada kegiatan menanam tanaman berkualitas ekspor.
  • Rakyat yang tidak memiliki lahan atau tanah harus bekerja sangat keras dan melebihi jumlah waktu yang telah ditetapkan dalam peraturan awal sehingga tidak memiliki waktu untuk mencari nafkah.
  • Tanah yang digunakan untuk menanam tanaman ekspor justru melebihi seperlima dari luas lahan garapan.
  • Rakyat disisakan tanah yang tidak subur.
  • Kelebihan hasil panen tidak dikembalikan kepada petani.
  • Rakyat harus bertanggung jawab akan kegagalan hasil panen walaupun bukan kesalahannya.
  • Adanya sistem cultuurprosenten atau hadiah kepada pemerintah Belanda yang berhasil melampaui target produksi membuat beban rakyat semakin bertambah.
  • Tanah garapan cultuurstelsel masih dikenakan pajak. Ketahui juga mengenai peristiwa black armada, kapan VOC dibubarkan dan sejarah VOC Belanda.

Dampak Negatif Tanam Paksa

Karena adanya berbagai penyimpangan tersebut, rakyat mengalami dampak tanam paksa yang sangat menyengsarakan kehidupan mereka. Dampak dari tanam paksa di Indonesia akibat eksploitasi luar biasa pada sumber alam adalah sebagai berikut:

  1. Sawah dan ladang milik rakyat tidak terurus dengan baik sehingga tidak menghasilkan panen yang layak, karena rakyat wajib kerja rodi berkepanjangan sehingga penghasilan sehari – hari sangat menurun.
  2. Beban hidup rakyat semakin berat dan sulit karena harus menyerahkan sebagian dari tanah milik serta hasil panen, termasuk membayar pajak, kerja paksa dan turut menanggung resiko kegagalan panen.
  3. Rakyat mengalami tekanan secara fisik dan mental yang berkepanjangan karena berbagai kebijakan pemerintah Belanda yang membebani kehidupannya.
  4. Karena kerap mengalami kegagalan panen dan tidak bisa mencari nafkah, kemiskinan merajalela dan timbul dimana – mana sehingga rakyat semakin sengsara.
  5. Muncul masalah wabah penyakit dan kelaparan dimana – mana sehingga angka kematian meningkat tajam. Misalnya di Cirebon pada tahun 1843 sebagai dampak dari tanam paksa berupa pemungutan pajak tambahan dalam bentuk beras, di Demak pada 1848, Grobogan tahun 1849 hingga 1850 karena kegagalan panen. Semua itu menyebabkan jumlah penduduk Indonesia menurun.

Dampak Positif Tanam Paksa

Dibalik dampak tanam paksa di bidang politik yang sangat membuat rakyat sengsara, ada sedikit dampak yang positif dan berguna bagi masa depan pertanian Indonesia. Namun manfaat ini harus dibayar dengan harga yang sangat mahal, diatas keringat dan darah serta pengorbanan para penduduk yang terkena tanam paksa.

  1. Dampak dari tanam paksa yang bermanfaat adalah bahwa dengan kebijakan tersebut rakyat menjadi mengenal berbagai teknik menanam jenis- jenis tanaman baru.
  2. Rakyat mulai mengenal jenis tanaman yang berpotensi ekspor dan bisa diperdagangkan.

Dampak Bagi Belanda

Dibalik semua kerugian dan kesulitan yang dialami rakyat Indonesia, Belanda mendapatkan keuntungan besar sekali dari tanam paksa tersebut yaitu:

  1. Kas kerajaan yang semula kosong bahkan minus menjadi penuh dan mendapatkan keuntungan berlipat – lipat.
  2. Pendapatan dari tanam paksa melebihi anggaran belanja kerajaan.
  3. Hutang – hutang yang besar segera terlunasi.
  4. Perdagangan dan kegiatan ekonomi Belanda berkembang pesat sehingga Amsterdam sukses menjadi kota pusat perdagangan dunia.

Akhir Tanam Paksa

Belanda memang mendapatkan keuntungan sangat besar dari sistem tanam paksa sesuai dengan tujuannya, tetapi semua itu diperoleh dengan menindas rakyat di daerah jajahannya ini sebagai akibat penjajahan Belanda yang kejam. Berbagai dampak tanam paksa yang sangat menyiksa dan memeras rakyat Indonesia pada akhirnya menimbulkan berbagai tentangan dari berbagai kalangan di negeri Belanda maupun di Indonesia. Salah satu tokoh terkenal  yang menentang kebijakan tanam paksa adalah Edward Douwes Dekker, seorang pejabat Belanda yang pernah menjabat sebagai Asisten Residen Lebak (sekarang Banten).

Ia bersimpati kepada penduduk pribumi yang sengsara karena tanam paksa dan banyak menulis buku yang bercerita akan kesengsaraan rakyat akibat tanam paksa dengan nama samaran Multatuli, yang berarti ‘Aku telah banyak menderita’. Buku – buku tersebut berjudul ‘Max Havelaar’ dan ;Lelang Kopi Persekutuan Belanda’. Tokoh lainnya yang juga bersuara menentang tanam paksa adalah Baron van Hoeve, seorang misionaris yang pernah tinggal di Indonesia pada 1847.

Selama perjalanannya di Bali, Madura dan Jawa ia melihat rakyat yang sengsara karena sistem tanam paksa. Setelah kembali dan menjadi anggota parlemen di Belanda, ia melanjutkan protes kepada pelaksanaan tanam paksa dengan gigih dan menuntut penghapusan tanam paksa. Protes – protes yang bertubi – tubi dari berbagai tokoh masyarakat termasuk dunia internasional karena dampak tanam paksa akhirnya membuat Belanda menghapuskan tanam paksa secara bertahap. Kayu manis, nila dan teh dihapuskan pada 1865, lalu tembakau pada 1866, dan tebu pada 1884. Kopi sebagai komoditi terlaris yang banyak menghasilkan keuntungan baru dihapuskan pada 1917.

=Kompas.com, Tempo.co, dan Kpu.go.id Menangkan 02 ?