Jelaskan keterkaitan antara Sejarah dan ilmu sosial dalam artikel Perempuan Bicara dalam Majalah

Hanya Allah Swt, -lah Tuhan yang Maha Mematikan semua makhluk- makhluk- Nya. Semua makhluk hidup akan hidup sampai suatu hari yang telah di tentukan d … an kemudian mati. Pertanyaan tersebut menjelaskan Allah Swt, memiliki asma'ul husna . . .a. Al-Muhyib. Al-Mumitc. Al-Ba’isd. Al-Mu’min​

partai yg harus diikuti dalam ikrar bersama pada kongres umat islam di yogyakarta adalah?​

Tolong kak besok di kumpul​

Mengapa samudra pasai mengalami kemunduran setelah bandar Malaka berdiri?

19. Nabi Ilyas a.s. ketika bertemu dengan Nabi Ilyasa a.s. di rumahnya pada waktu A. kecil B. remaja C. dewasa D. sudah tua​

Peta konsep zaman paleolitikum

Bagaimana cara kita menghadapi kecenderungan masyarakat terhadap media dakwah

teori masuknya Islam ke Indonesia dengan damai tanpa paksaan​

Mengapa marah silu menjalin hubungan dengan thiongkok?berikan alasannya

tolong dibantu kk mau dikumpul besok ini pelajaran BAM✨​

RUANGGURU HQ

Jl. Dr. Saharjo No.161, Manggarai Selatan, Tebet, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12860

Volume 14 Number 2

October 2018

ISSN 2314-1234 (Print)

ISSN 2620-5882 (Online)

Perempuan Bicara dalam Majalah Dunia

Wanita: Kesetaraan Gender dalam

Rumah Tangga di Indonesia, 1950-an

SITI UTAMI DEWI NINGRUM

Alumnus Program Studi S2 Departemen Sejarah FIB UGM

Email:

Abstract

Women’s voices have emerged since the colonial era through writing. Kartini became

the most heard through her radical letters at the time, published with the title Door

Duisternis tot Licht, voicing the fulfillment of women’s education. Women’s writings

were increasingly seen in women’s magazines from colonial times to independence

of Indonesia, which published by women’s organizations although commercial

magazines. Each of them has a very unique and diverse idea.

Dunia Wanita has become one of the popular women’s magazines after Indonesian

independence. Presenting various women’s issues from the social, political and

economic fields to provide information and progress for women. Under the

leadership of Ani Idrus, this magazine also voiced the importance of the involvement

of men in the household, a theme that was faintly heard among the frenzied

Indonesian political conditions at the beginning of its independence.

What is equality in the household voiced by women in Indonesia through the 1950s

in Dunia Wanita? This will be discussed in historical writings with gender perspective

analysis. In addition to using articles in Dunia Wanita, this paper also uses other

magazines as a comparison. In addition, books and papers that are relevant to the

theme of the writing are also used.

Abstrak

Suara-suara perempuan telah muncul sejak masa kolonial melalui tulisan. Kartini

menjadi yang paling terdengar melalui surat-suratnya yang radikal pada zamannya,

diterbitkan dengan judul Door Duisternis tot Licht, menyuarakan pemenuhan

pendidikan perempuan. Tulisan-tulisan perempuan pun semakin tampak dalam

majalah perempuan dari masa kolonial hingga kemerdekaan Indonesia, baik yang

diterbitkan oleh organisasi perempuan maupun majalah komersil. Masing-masing

dari mereka memiliki ide yang unik dan beragam.

Majalah Dunia Wanita menjadi salah satu majalah perempuan yang populer pasca

kemerdekaan Indonesia. Menghadirkan berbagai isu perempuan dari bidang

sosial, politik hingga ekonomi untuk menmberikan informasi dan kemajuan bagi

perempuan. Di bawah pimpinan Ani Idrus, majalah ini juga menyuarakan tentang

pentingnya keterlibatan laki-laki dalam rumah tangga, sebuah tema yang sayup-sayup

terdengar di antara hingar bingar kondisi politik Indonesia di awal kemerdekaanya.

Seperti apa kesetaraan dalan rumah tangga disuarakan oleh perempuan di Indonesia

Keywords:

women’s

magazines;

Dunia

Wanita;

Ani Idrus;

women’s

history;

gender

equality

Kata Kunci:

majalah

perempuan;

dunia wanita;

ani idrus;

sejarah

perempuan;

kesetaraan

gender

Page

194—215

195

Perempuan Bicara dalam Majalah Dunia Wanita

Vol. 14 No. 2 October 2018

melalui majalah Dunia Wanita tahun 1950-an? Hal tersebut akan dibahas dalam

tulisan sejarah dengan analisis yang berperspektif gender. Selain menggunakan

artikel pada majalah Dunia Wanita, tulisan ini juga menggunakan majalah lain sebagai

pembanding. Selain itu digunakan pula buku dan karya tulis yang relevan dengan

tema tulisan.

Latar Belakang

Dalam bukunya, Cora Vrede de Steur menjelaskan bahwa kedudukan

perempuan dalam masyarakat Indonesia dipengaruhi oleh hukum adat

dan tradisi yang berkembang dalam masing-masing masyarakat. Ia juga

menekankan bahwa Islam memiliki pengaruh yang cukup besar dalam

perkembangan tersebut, terutama dalam perkawinan. Perempuan yang

menikah disebut ibu dengan peran-peran yang diatur oleh adat dengan peran-

peran domestiknya. Konstruksi yang terus menerus diciptakan dan dilekatkan

kepada perempuan berpengaruh pada perspektif mereka dalam memandang

diri baik sebagai individu maupun sebagai bagian dalam masyarakat. Mereka

terus berupaya agar dapat memenuhi peran-peran gender yang telah

dipasrahkan kepada mereka sebagai ibu dan istri yang baik. Karena tidak

ada hukum yang sama untuk seluruh Indonesia, maka hukum adat digunakan

dalam proses evolusi dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern.

1

Jadi

dalam hal ini, kendatipun pendidikan telah digapai oleh perempuan, namun

mereka tetap dituntut dan terus menerus dikembalikan dan dilekatkan pada

peran tradisionalnya, sebagai ibu dan istri.

Pembagian peran antara laki-laki dan perempuan juga didukung

oleh dominasi berfikir Barat pada masa kolonial melalui konsep nuclear

household atau rumah tangga inti, di mana ada suami dan istri yang berbagi

peran.

2

Hal itu dipengaruhi oleh pendidikan yang diberikan. Laki – laki

diberikan pendidikan yang mengarahkan mereka untuk terjun aktif dalam

kegiatan publik. Perempuan diberi kesempatan yang sama, namun karena

terbentur dengan adat dan tradisi, hanya sedikit saja perempuan yang terus

bersekolah hingga tingkatan yang tinggi. Para orang tua lebih memilih

untuk memasukkan anaknya pada sekolah khusus perempuan yang dirasa

lebih sesuai berdasarkan adat dan tradisi mereka.3 Perempuan dipersiapkan

1) Cora Vreede-De Steurs, Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian,

(Jakarta: Komunitas Bambu, 2008), hlm. 11-12.

2) Barbara Hatley dan Susan Blackburn, “Representations of Women’s Roles in

Household and Society in Indonesian Women’s Writing of the 1930s”, dalam Juliette

Koning, dkk (ed.s), Women and Households in Indonesia: Cultural Notions and Social Practices,

(NIAS in Asian Topics: Curzon, 2000), hlm. 47.

3) Para orang tua mempertimbangkan pendidikan tersebut karena sekolah campuran

terlalu mahal, khawatir jika anak gadisnya bergaul dengan laki – laki dan merasa tidak

memerlukannya. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Badan Penelitian dan

Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan, Pendidikan di Indonesia 1900-1940, 1977., hlm.

10-14.

196 Siti Utami Dewi Ningrum

Lembaran Sejarah

agar dapat menjadi mitra laki – laki yang berpendidikan dan modern melalui

sekolah khusus perempuan dengan pendidikan yang mempersiapkan mereka

untuk menjadi ibu dan istri yang baik dengan keterampilan – keterampilan

keperempuanan, seperti menjahit, mengurus anak dan rumah tangga dan

sebagainya.4

Akumulasi dari budaya tradisional dan modern membawa pola

perjuangan dan kehidupan pada pemuda-pemudi Indonesia pada masa

pergerakan. Banyak dari mereka yang menerapkan konsep perjuangan

berdasarkan pembagian gender tersebut. Laki – laki memainkan peranannya

dalam bidang politik sebagai tonggak utama perjuangan bangsa, sedangkan

perempuan dilekatkan dengan fungsi reproduksinya. Sebagai ibu ia dituntut

untuk dapat menghasilkan dan mendidik generasi merdeka dan sebagai istri

ia harus mampu menjadi pendukung perjuangan laki-laki atau suami dengan

mengerjakan peran-peran domestiknya di rumah dan masyarakat dengan

baik. Peran perempuan tersebut dianggap sebagai bagian dari peranan

politik yaitu contoh ibu yang baik bagi masyarakat dan istri yang baik sebagai

pembantu laki – laki.

5

Hal ini ditandai dengan banyaknya organisasi pada masa

pergerakan nasional yang memiliki sayap perempuan, seperti Muhamadiyah

dengan Aisyiyah dan Budi Utomo dengan Wanita Utomo dan Taman Siswa

dengan Wanita Taman Siswanya.

Tabel 1. Siswa pribumi HIS*

Tahun Siswa laki-laki Siswa perempuan

1915 18.970 3.490

1925 28.722 10.195

1929-1930 29.984 11.917

1934-1935 31.231 15.492

1939-1940 34.307 19.605

* Dalam sumber tidak dijelaskan wilayah sekolah tersebut. Kees Groenboer, Weg tot het

Western. Het Nederlands voor Indoe, 1600-1950, (Leiden: KITLV, 1993), Verhandeingen

158, Appndix XVIII, hlm. 498, dalam Frances Gouda, Dutch Culture Overseas: Praktik

Kolonial di Hindia Belanda, 1900-1942, (Jakarta: Serambi, 2007), hlm. 142.

Tabel di atas menunjukkan bahwa pendidikan perempuan terus

berkembang pada tahun 1920an-1940an, di mana jumlah siswa perempuan

mengalami peningkatan setiap tahunnya meskipun masih lebih kecil daripada

siswa laki-laki. Selain bersekolah, mereka juga turut aktif dalam berbagai

organisasi, baik yang bersifat sosial, agama, nasionalis, kepemudaan hingga

4) Frances Gouda, Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda 1900-1942,

(Jakarta: Serambi, 2007), hlm.137.

5) Saskia E. Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan Indonesia. Jakarta: Garba

Budaya dan Kalyanamitra, 1999), hlm. 222.

197

Perempuan Bicara dalam Majalah Dunia Wanita

Vol. 14 No. 2 October 2018

organisasi perempuan.

6

Hal tersebut semakin mendorong mereka pada

ide-ide kemajuan dan kesetaraan, meskipun masih berkutat pada isu-isu

domestik, namun perempuan telah mulai keluar dari rumah-rumah pingitan

mereka, menyuarakan hak-hak yang mereka perjuangkan, seperti pendidikan

perempuan, hukum perkawinan, dan lainnya.

Ide-ide kesetaraan dalam rumah tangga pun sempat terdengar,

disuarakan oleh perempuan-perempuan pergerakan. Nyi Sri Mangoensarkoro

menjadi salah satu pemantik ide kesetaraan dalam rumah tangga. Menurutnya

bukan hanya perempuan yang harus aktif dalam dunia politik, sosial, ekonomi

dan budaya yang notabennya merupakan wilayah kekuasaan laki-laki, namun

laki-laki juga harus terlibat dalam ranah domestik. Hal tersebut merupakan

salah satu cara agar masyarakat tidak memandang rendah peran-peran yang

dilakukan perempuan dalam ranah domestik, seperti pengasuhan anak hingga

penyelesaian tugas-tugas rumah tangga.7

Selain melalui majalah, ide kesetaraan dalam rumah tangga pun

disuarakan melalui novel. Suwarsih Djojopoespito yang berjudul Manusia

Bebas, di mana ia menggambarkan bagaimana kehidupan rumah tangga

pasangan pergerakan dengan seorang anak. Ia mendeskripsikan bagaimana

pasangan tersebut berbagi peran dalam mengasuh anak. Selain itu, dibahas

pula isu poligami, di mana menurutnya, kendatipun laki-laki telah memiliki

pemikiran progresif, namun mereka masih terjebak pada hal-hal yang

merendahkan perempuan, seperti melakukan poligami hingga menjadikan

perempuan sebagai bahan lelucon.8

Melalui dua hal tersebut dapat kita ketahui bahwa ide kesetaraan dalam

rumah tangga menjadi hal yang juga dipikirkan oleh perempuan, meskipun

tidak secara massif. Hal ini dimungkinkan masih adanya pemikiran bahwa

ranah domestik merupakan kodrat perempuan sehingga perempuanlah

yang bertanggung jawab di dalamnya. Selain itu kemajuan dan kesetaraan

perempuan masih dilihat sebatas bagaimana perempuan terlibat di ranah

publik, tanpa menuntut juga keterlibatan laki-laki di ranah domestik.

Perempuan juga menjadikan tulisan sebagai cara untuk menyebarkan

6) Dalam Kongres Perempuan Indonesia I tercatat sebanyak 22 dua organisasi

perempuan yang mengirimkan anggotanya sebagai perwakilan, yaitu Aisjijah, Boedi Rini,

Boedi Wanito Darmo Laksmi, JIBDA, Jong Java, Karti Wara, Koeseoemo Rini, Margining

Kaoetamaan Natdatoel Fataat, Patri Krido Wanito, Poetri Boedi Sedjati, Poetri Indonesia,

Roekoen Wanodijo, Santjaja Rini, Sarikat Islam Bagian Istri, Wanito Katholiek, Wanito

Kentjono, Wanito Oetoemo, Wanito Moelijo, Wanito Sedjati dan Wantio Taman

Siswa. Organisasi tersebut berasal dari kota-kota besar di Jawa. Susan Blackburn, Kongres

Perempuan Indonesia, Tinjauan Ulang, (Jakarta: Obor & KITLV, 2007), hlm. xxv.

7) Wanita Tamansiswa Djakarta, “Dimanakah Tempat Perempoean, Dalam Roemah

Tangga atau Dalam Masyarakat?”, dalam Poesara, Djuni, 1934: 122; Nj. Sri Mangoensarkoro,

“Arti Perempoean Sebagai Iboe Bangsa”, dalam Wasita, April 1935, hlm. 129-130.

8) Suwarsih Djojopuspito, Manusia Bebas, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000), hlm.

91-92

198 Siti Utami Dewi Ningrum

Lembaran Sejarah

pemikirannya, baik melalui majalah maupun novel.

Pasca Indonesia merdeka, perempuan tidak menyia-nyiakan

kesempatan untuk turut aktif dalam mengisi kemerdekaan dan memajukan

kehidupan perempuan. Kowani yang merupakan organisasi perempuan

terbesar di Indonesia tahun 1950-an banyak terlibat dalam kegiatan sosial,

masalah rumah tangga, hak perempuan dan beberapa programnya menuju

pada usaha menyadarkan perempuan untuk berpartisipasi dalam dunia

politik.

9

Namun sayangnya, pos-pos dalam pemerintahan banyak diisi oleh

laki-laki. Perempuan tetap diserahi peran-peran yang berkaitan dengan

urusan domestik. Dalam hal ini, Saskia E. Wieringa berpendapat bahwa laki

– laki mengambilalih kekuasaan negara sebagai miliknya dan menganggap

perempuan sebagai pesaing. Laki – laki mendominasi ranah diluar rumah

tangga dan perempuan dikonstruksikan sebagai bagian yang tidak bisa lepas

dari dunia rumah tangganya sebagai kodrat alami sehingga pengabdiannya

untuk bangsa ialah pengabdian dalam keluarga.10

Pada masa kemerdekaan, perempuan juga terus menyuarakan

pendapatnya melalui tulisan. Majalah menjadi salah satu media yang

banyak dipilih oleh perempuan, baik majalah organisasi maupun majalah

komersial. Tidak berbeda dengan tulisan-tulisan perempuan pada masa

kolonial, menurut Jakob Sumardjo novel hingga majalah perempuan pasca

kemerdekaan tidak dapat lepas dari apa yang dipikirkan perempuan pada masa

kolonial, yaitu berisi seputar perempuan dalam rumah tangga sebagai istri dan

ibu yang mengidamkan kedamaian rumah tangga.

11

Hal tersebut dikarenakan

perempuan yang aktif pada masa pasca kemerdekaan, tahun 1950-an adalah

perempuan Indonesia yang mendapatkan pendidikan pada masa kolonial.

Menurut Myra M. Sidharta majalah perempuan sendiri berbeda dengan

majalah lainnya, di mana majalah perempuan memiliki tugas khusus, yaitu

menciptakan dunia yang khas untuk perempuan yang sebagian besar mengenai

pengasuhan rumah tangga, baik ia bekerja maupun di rumah. Ia harus mampu

mengurus rumah tangganya, baik dalam hal ekonomi, kesehatan, makanan,

pendidikan, dan lainnya. Selain itu mereka juga dituntut untuk dapat

mendampingi suami dalam pekerjaannya dengan terus mengetahui informasi

terkini. Selain itu terdapat pula informasi tentang kesehatan, kecantikan,

resep makanan, iklan, cerita bersambung, tokon inspiratif dan lainnya. Karena

9) Kongres Wanita Indonesia awalnya bernama Kowani (Badan Kongres Wanita

Indonesia), gabungan dari Perwari dan PPII, dibentuk di Solo pada tahun 1946. Organisasi

ini kemudian berganti nama menjadi Kongres Wanita Indonesia pada kongres Kowani

yang kelima di Jakarta 24-26 November 1950. Cora Vreede-De Steurs, Sejarah Perempuan

Indonesia: Gerakan dan Pencapaian, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008), hlm. 176-180.

10) Saskia E. Wieringa, op.cit., hlm. 1944: 276.

11) Jakob Sumardjo, “Perempuan Indonesia dan Kesustraannya”, dalam Mayling

Oey-Gardiner, dkk (ed.s), Perempuan Indonesia: Dulu dan Kini, (Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama. 1996), hlm. 35.

199

Perempuan Bicara dalam Majalah Dunia Wanita

Vol. 14 No. 2 October 2018

selain memberikan informasi, majalah perempuan juga memiliki tujuan

komersil. Masing-masing majalah pun menciprakan informasi yang berkelas

hingga kontroversional. Hal tersebut nantinya akan dipilih oleh pembaca,

mana majalah yang ia butuhkan.12

Jenis majalah perempuan sendiri terbagi menjadi dua, yaitu majalah

komersil dan non-komersil. Majalah non-komersil biasanya diterbitkan

oleh organisasi perempuan yang ditujukan kepada para anggotanya. Konten

yang ada dalam majalah ini biasanya isu-isu yang menjadi fokus utama dari

organisasi tersebut.13 Selain itu dalam majalah tersebut pula berisi informasi

perkembangan organisasi. Majalah perempuan yang bersifat komersial

biasanya lebih berorientasi pada industri, di mana majalah tersebut diproduksi

untuk mencari keuntungan dan disebarkan sebagai komoditas, sehingga

mereka berusaha menghasilkan produk yang popular, menarik massa dan

mudah dijual. Hal ini berakibat pada konten-konten yang dipilih disesuaikan

dengan permintaan pasar.14

Majalah Dunia Wanita merupakan salah satu majalah yang popular

pasca kemerdekaan Indonesia. Isu-isu yang dibahas tidak hanya tentang

bagaimana perempuan menjadi ibu dan istri yang baik dalam rumah tangga

dan keluarga serta dalam masyarakat. Hal yang menarik dalam majalah Dunia

Wanita adalah adanya ide kesetaraan dalam rumah tangga yang banyak di

bahas di dalam artikel-artikelnya. Bagaimana ide tersebut disampaikan? Dan

isu-isu apa saja yang dibahas untuk memunculkan kesetaraan dalam rumah

tangga? Hal tersebut akan dibahas dalam tulisan ini dengan menggunakan

metode sejarah dan perspektif gender. Selain menggunakan majalah Dunia

Wanita sebagai sumber, tulisan ini juga menggunakan artikole dari majalah

pada masa kolonial, serta buku-buku pendukung, mulai dari karya sastra

hingga karya ilmiah.

Perkembangan Majalah Perempuan Indonesia

Keterlibatan perempuan dalam dunia pers telah muncul sejak masa kolonial

hingga saat ini. Periode kolonial (1908-1945) diawali dengan kemunculan

majalah Poetri Hindia pada 1908. Majalah tersebut ialah majalah perempuan

pribumi pertama yang diketuai oleh R.T.A.Tirtokoesoemo, bupati Karang

Anyar. Penerbitan majalahnya bahkan mendapatkan dukungan dari ibunda

Ratu Wilhelmina dengan menghibahkan buku-bukunya. Setelah itu, tahun

1912 penerbitan majalah-majalah perempuan di Hinda Belanda semakin

12) Myra M. Sidharta, “Majalah Wanita: Antara Harapan dan Kenyataan” dalam

Wanita dan Media: Konstruksi Ideologi Gender dalam Ruang Publik Orde Baru, (Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya Bandung, 1998), hlm. 117-118.

13) Myra M. Sidharta, op.cit., hlm. 121

14) Jane Ardaneshwari, “Potret Dilema Perempuan Bekerja dalam Media Perempuan

Indonesia”, dalam Jurnal Perempuan, Vol. 18 No.1, Maret 2013, hlm. 33.

200 Siti Utami Dewi Ningrum

Lembaran Sejarah

berkembang.

15

Organisasi perempuan menjadi salah satu pendorong

perkembangan tersebut. Mereka sadar bahwa melalui majalah pengetahuan

dan ideologi yang mereka miliki dapat tersebar lebih luas.

Adriane Huijzer dalam tesisnya menjelaskan dengan sangat baik

ideologi-ideologi yang disuarakan oleh organisasi perempuan di Indonesia

masa kolonial. Soeara Aisjijah milik organisasi Aisyiyah, sayap perempuan dari

Muhammadiyah lebih mengarahkan perempuan untuk menjadi perempuan

modern yang sesuai dengan Islam dan budaya Jawa, seperti yang ditunjukkan

dalam gambaran perempuan yang sedang mengajari membaca, mengenakan

sepatu dengan hak namun tetap menggunakan kebaya dan kain serta

berhijab.16

Istri Sedar dengan ideologi yang lebih radikal dari Aisyiyah

menghendaki perempuan untuk dapat mencapai hak yang sama dengan

laki – laki. Perempuan yang ideal ialah perempuan yang aktif dalam dunia

politik selain mengurusi rumah tangganya.

17

Wanito Oetomo merupakan

organisasi sayap perempuan dari Budi Utomo, di mana anggotanya adalah istri

pegawai dalam pemerintahan Hindia Belanda yang merupakan para priyayi.

Perempuan ideal yang digambarkan dalam majalah Bale-warti Wanito Oetomo

tersebut ialah perempuan Jawa yang modern, di mana menjadi seorang istri

dan ibu yang baik yaitu mengurus dan mendidik anak dengan baik, menjaga

kebersihan serta mengatur keuangan dan menjadi teman yang baik untuk

pasangannya. Mereka juga harus mampu menjunjung martabatnya.18

Perikatan Perempuan Indonesia yang didirikan pasca Kongres

Perempuan Indonesia 22 – 25 Desember 1928 di Yogyakarta juga menerbitkan

majalah Istri. Sama halnya dengan majalah organisasi lainnya, selain menjadi

media untuk menyebarkan informasi kepada anggotanya mengenai

perkembangan organisasi, majalah ini juga berusaha menyuarakan perjuangan

kemajuan perempuan Indonesia dalam pendidikan dan perkawinan sesuai

dengan apa yang disepakati dalam kongres.

19

Hal tersebut menunjukkan

bahwa majalah perempuan pribumi pada masa kolonial bukanlah majalah

komersial karena diterbitkan oleh organisasi. Selain itu majalah perempuan

masa kolonial berkutat pada isu pekawinan, pendidikan dan sosial.

Pada masa Jepang seluruh organisasi dibubarkan dan digantikan dengan

organisasi yang dibentuk oleh Jepang dalam mendukung propagandanya.

Fujinkai menjadi organisasi perempuan satu-satunya saat itu. Banyak

15) Myra M.Sidharta, op.cit., hlm. 118-120.

16) Adriane Huijzer, “Indonesian Women as Agents in a Changing Colonial Society,

1900-1942” tesis S2, Vrije Universiteit, Amsterdam, hlm. 69.

17) Ibid, hlm. 77.

18) Ibid., hlm. 81

19) Blackburn, Susan., Kongres Perempuan Indonesia, Tinjauan Ulang, (Jakarta: Obor &

KITLV, 2007), hlm. : xliv-xlvi

201

Perempuan Bicara dalam Majalah Dunia Wanita

Vol. 14 No. 2 October 2018

Figur 1.Soeara Aisjijah, vol. 7, no. 12,

Agustus 1932, dalam Adriane Huijzer: 69

perempuan pergerakan bergabung di dalamnya agar

tetap dapat memperjuangkan kemajuan perempuan.

Siti Soekaptinah Soenaryo Mangoenpoespito yang

sebelumnya tergabung di PPI, namun kemudian

menjadi ketua Fujinkai.20

Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17

Agustus 1945 disambut dengan suka cita oleh rakyat

Indonesia. Usaha utuk mengisi kemerdekaan dilakukan

dalam berbagai bidang, termasuk organisasi perempuan

dan dunia pers. Selain majalah yang diterbitkan oleh

organisasi, saat itu muncul juga beberapa majalah

perempuan yang independen serta majalah komersil.

Majalah Soeloeh Wanita mejnadi majalah perempuan

pertama yang muncul pasca kemerdekaan. Majalah

tersebut diterbitkan di Malang tahun 1945. Selain

itu muncul majalah Karja yang diterbitkan oleh

Perkumpulan Pekerja Perempuan Indoneisa tahun

1947. Tahun 1948 terbit juga majalah Wanita di Solo.21

Menjamurnya majalah perempuan pasca kemerdekaan menunjukkan

bahwa antusias dan semangat perempuan untuk menyuarakan pendapatnya

dan memberikan informasi kepada sesama perempuan Indonesia mengalami

perkembangan. Hal tersebut juga menunjukkan tingkat minat untuk membaca

mulai tertanam dalam masyarakat. meskipun perkembangan tersebut masih

terbatas pada perempuan kalangan menengah ke atas dan perkotaan, namun

dapat dikatakan sebagai langkah awal bagi kemajuan perempuan di Indonesia.

Di Medan, seorang perempuan Minangkabau mencoba membunyikan

suara-suara perempuan melalui majalah yang didirikannya. Majalah Dunia

Wanita menjadi majalah popular pada masanya. Terbit pada 15 Juni 1949,

majalah tersebut muncul sebagai majalah komersil yang berusaha terus

memajukan kehidupan perempuan dengan pembahasan isu yang beragam,

mulai dari politik, ekonomi, sosial, budaya dan keluarga. Seperti apa sosok

Ani Idrus dan perjuangannya dalam mendirikan Dunia Wanita? Hal tersebut

akan dibahas dalam bagian selanjutnya.

Ani Idrus dan Kemunculan Majalah Dunia Wanita

Ani Idrus lahir dengan nama Rohani di Sawah Lunto pada 25 November

1918 dari ayah bernama Sidi Idrus dan Siti Djalisah. Kakaknya bernama

20) Sri Sjamsiar Issom, “Sukaptinah Sunaryo Mangunpuspito: Sosok Wanita

Pergerakan Indonesia (1928-1956), Tesis Pascasarjana Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu

Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, 2000, hlm. 100-102.

21) Elsye Meilani, Majalah Dunia Wanita 1949-1950, Suatu Jembatan Menuju Kemajuan

Wanita, skripsi Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indoneisa, 1996, hlm. 23.

202 Siti Utami Dewi Ningrum

Lembaran Sejarah

Rohana, lahir pada 1916. Ayahnya asli Minang, sedangkan ibu Ani merupakan

keturunan campuran Jawa-Minang. Keluarga mereka termasuk dalam status

sosial yang cukup baik dalam masyarakat. Ayah Ani bekerja sebagai pegawai di

perusahaan tambang batubara dan sempat mengenyam pendidikan di sekolah

rakyat.22

Ani kecil tinggal dalam masyarakat matrilineal dengan adat yang

sangat ketat di Minangkabau. Dalam masyarakat matrilineal, perempuan

menjadi penentu keberlangsungan keluarganya. Anak-anak menjadi milik

keluarga ibu. Rumah didirikan oleh anak perempuan yang nantinya diketuai

oleh kepala keluarga, yaitu seorang mamak, saudara laki-laki yang lebih tua

dan keponakan mamak. Saat hendak menikah, calon pengantin perempuan

tetap di rumah gadang. Ia akan dinikahkan oleh mamak tertua yang menjadi

penghulu.

23

Harta yang dimiliki dikelola oleh mamaknya, sedangkan jerih

payah suami digunakan untuk keponakannya dalam memenuhi pendidikan.

Dalam hal ini, menurut adat Minangkabau, laki-laki sebagai suami atau ayah

tidak memiliki tanggung jawab dalam keluarganya sendiri. Mereka hanya

dibebankan untuk memenuhi kebutuhan saudaranya yang perempuan dan

keponakannya. Pemilihan laki-laki sebagai anggota keluarga yang baru pun

berada di bawah kuasa nini mamak.24

Aturan adat seperti itu banyak memunculkan ketidakhadmonisan

dalam rumah tangga. Kuasa yang kuat yang dimiliki nini mamak menjadi

salah satu faktor terjadinya pernikahan paksa. Selain itu, sistem tersebut

juga mendorong laki-laki untuk tidak terlibat secara setara dalam rumah

tangganya. Poligami kemudian menjadi hal yang banyak dilakukan oleh lelaki

Minang. Dalam data sensus penduduk 1930 tercatat 8,7% poligami terjadi di

Minangkabau, lebih tinggi dari Jawa dan Madura yang hanya 1,9%.

25

Karena

pengaruh adat, perempuan Minang banyak mengalah pada nasib, termasuk

pada poligami.26

Poligami menjadi cobaan bagi kedua orang tua Ani Idrus. Ibunya

memilih untuk bercerai akibat suaminya memiliki istri baru. Setelah bercerai

Siti Djasilah pergi merantau ke kota Medan, ikut dengan kakak laki-lakinya,

sedangkan Ani dan kakaknya tetap tinggal bersama ayahnya. Ani kecil hidup

dengan penuh kebebasan, ia dapat mandi di sungai hingga memanjat pohon.

Ani seringkali dikritik oleh ayahnya, saat itulah ia mulai mempertanyakan

tentang perbedaan laki-laki dan perempuan.27

22) Tridah Bangun, Hjj. Ani Idrus Tokoh Wartawati Indonesia, (Jakarta: CV Haji

Masagung, 1990), hlm. 13-14

23) Cora Vrede de Steur, op.cit., 13-15.

24) Tridah Bangun, op.cit., hlm.11.

25) Cora Vrede de Steur, op.cit., 158.

26) Suriani, “Perempuan dalam Pers dan Politik di Kota Medan: Biografi Ani Idrus

1930an-1970an”, Tesis, S2 Sejarah Program Pascasarjana, FIB, UGM, 2015, hlm. 35.

27) Tridah Bangun, op.cit., hlm.15.

203

Perempuan Bicara dalam Majalah Dunia Wanita

Vol. 14 No. 2 October 2018

Di Medan Siti Djasilah bertemu dengan lelaki Jawa bernama Misan,

seorang pegawai perusahaan asing. Mereka pun menikah dan membawa Ani

dan kakaknya untuk tinggal di Medan pada 1929. Di Medan Ani memulai

hidup baru dan cita-citanya. Di Medan, Ani bersekolah di Methodist Girl

School selama 3 tahun, lalu kemudian ke Meisjeskopschool (Sekolah kepandaian

putri) selama 3 tahun dan ke Tamansiswa Medan.

28

Ia juga semakin gemar

membaca dan menulis karena dukungan dari ayah tirinya yang berlangganan

surat kabar.29

Saat bersekolah d Tamansiswa, 1934, Ani menggeluti pekerjaan

freelance di majalah harian. Ia juga aktif berorganisasi muali dari menyanyi,

menari hingga olahraga. Saat berusia 16 tahun, Ani aktif dalam Indonesia

Muda cabang Medan. Ia kemudian bergabug dalam Gerindo pada usia 18-19

tahun. partai tersebut didirikan pada 24 Mei 1937 yang diketuai oleh Adnan

Kapau Gani. Anggotanya terdiri dari mantan anggota Patindo, seperti Amir

Sjarifuddin, Wilopo, S. Mangunsarkoro, M. Yamin dan Nyonoprawoto.

Semua kegiatan yang dilakukan Ani didukung oleh kedua orang tuanya.30

Pengalaman hidup Ani turut berpengaruh dalam membentuk cara

berfikirnya, termasuk dalam menulis. Ia banyak menaruh perhatian pada

permasalahan perempuan dan dituangkan dalam tulisan-tulisannya. Karya

pertamanya bercerita tentang seorang gadis di Batavia yang dikirim ke

majalah Pandji Poestaka di Batavia dan berhasil dimuat pada tahun 1930.

Keberhasilannya tersebut membuat Ani semakin percaya diri dan terus

mengembangkan bakat menulisnya hingga ia dewasa.31 Ia kemudian meniti

karir sebagai seorang jurnalis, mulai dari menjadi bagian di Pewarta Deli

hingga Sinar Deli. Ia banyak bertemu jurnalis-jurnalis senior dan orang-

orang pergerakan, salah satunya HN Rasuna Said. Ia juga bertemu Moh.Said,

seorang jurnalis senior yang kemudian dipilih sebagai suaminya pada 1939.

Bersama Said, Ani mendirikan penerbitan Waspada pasca Indonesia merdeka.

Sebelumnya Ani juga sempat mendirikan majalah Wanita, namun agar lebih

fokus mengurus Waspada, maka majalah tersebut ia tinggalkan.32

Semangat Ani untuk mendirikan majalah perempuan tidak padam. Ia

kemudian menerbitkan majalah Dunia Wanita pada Juni 1949. Majalah ini

merupakan bentuk kesadaran Ani untuk mengambil bagian dalam kemajuan

perempuan saat itu, terutama dalam mengisi kemerdekaan. Majalah tersebut

merupakan majalah tengah bulanan populer. Hal ini karena Ani mengaturnya

lebih matang dripada majalah yang ia dirikan sebelumnya dengan struktur

28) Ibid., hlm.19.

29) Suriani, op.cit.,hlm. 47-48.

30) Tridah Bangun, op.cit., hlm.105-107.

31) Elsye Meilani, op.cit., hlm. 29-31.

32) Tridah Bangun, op.cit., hlm.59-60.

204 Siti Utami Dewi Ningrum

Lembaran Sejarah

kepegawaian yang cukup lengkap dan wilayah pemasaran yang cukup luas.33

Majalah Dunia Wanita mempekerjakan perempuan sebagai  nya.

Mereka tidak hanya berada di Medan, namun juga beberapa pembantu tetap

yang ada di luar Medan, seperti Gadis Rasid di Jakarta, Nj. Dr. S. Djojopoespito

di Yogyakarta dan Nona Chen Hsiang-Niang di Banjaran.

34

Ani Idrus menjadi

ketua, sedangkan Asminah Hasibuan dibantu Anna dalam bagian tata usaha

dan keuangan, Sabariah dan Effa bagian redaksi, dan Nurmia bagian tatausaha

dan redaksi.35 Perempuan menjadi penulis utama dalam Dunia Wanita dan

dibebaskan dalam menuliskan temanya mulai dari politik, ekonomi hingga

masalah rumah tangga.

36

Majalah Dunia Wanita juga memberi kesempatan

kepada laki-laki untuk mengirim tulisan yang bertemakan perempuan. Selain

itu, pembaca juga diperkenankan untuk menuangkan pemikirannya dan

mengirimkan hasil karangannya tersebut ke redaksi Dunia Wanita.37

Majalah Dunia Wanita dicetak dengan kualitas yang bagus dengan harga

f. 1.50 majalah ini berhasil dijual sebanyak 1000 eksemplar.

38

Majalah ini sangat

dinantikan oleh pembaca, di mana yang pada awalnya berencana diterbitkan

20 halaman menjadi lebih banyak daripada target awal, yaitu 28 halaman.

Hal ini didukung oleh banyaknya permintaan iklan untuk diterbitkan dalam

majalah tersebut. Penulis-penulis kondang juga menuangkan pikirannya

dalam majalah unia wanita, seperti Maria Ulfa, Ny.Dr.Subandrio, Rinto Alwi

dan lainnya.

39

Agen pemasarannya menyebar di kota – kota Indonesia seperti

Toko E Abd. Gani di Bangkalan-Madura, Maxim di Surabaya, Eveline Tio

di Pekalongan, Nj. Dr. S. Djojopoespito di Yogyakarta, Nj. D. Sudarma di

Bogor, toko buku “Obor” di Martapura, An Lok di Makasar, A.S. Riduan

Wahidin di Alabio-Banjarmasin, toko buku “Hamda” di Amuntai, “Perdis” di

Tanjung Karang, Sitti Roesdijah di Baturaja, Kwee Tiang Mo di Muara Enim-

Palembang, pustakan “d’Orient” dan Lie Kheng Ho di Padang, J. Sihombing

di Tarutung, Go Tie Tiong di Samarinda, bahkan hingga ke Singapura oleh

agen Marjam Saman.

40

Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat sangat

antusias dalam membaca majalah Dunia Wanita.

Melalui Dunia Wanita, Ani mendorong perempuan untuk mengetahui

keberadaan diri dan hak – hak perempuan dalam mengisi kemerdekaan, baik

dalam politik, ekonomi, sosial dan keluarga. Hal tersebut dengan jelas ia

33) Ibid, hlm.59-60.

34) Elsye Meilani, op.cit., hlm. 36.

35) Dunia Wanita , No.12-13 Tahun IV,15 Juni 1952: 24-24 dan 39.

36) Elsye Meilani, op.cit., hlm. 36.

37) Dunia Wanita, No.1 Tahun I, 15 Juni 1949, hlm. 10.

38) Pada tahun 1952, harga Dunia Wanita berubah menjadi Rp. 2. Wawancara dengan

Ani Idrus, 10 Oktober 1995., dalam Elyse Meilani, op.cit., hlm. 36.

39) Tridah Bangun, op.cit., hlm.61.

40) Dunia Wanita, No.1 Tahun 1, 15 Juni 1949, hlm. 6

205

Perempuan Bicara dalam Majalah Dunia Wanita

Vol. 14 No. 2 October 2018

paparkan dalam kata pengantar terbitan edisi pertama, 15 Juni 1949 sebagai

berikut:

“[...] Oleh sebab itulah kami menerbitkan madjallah ini karena

kami merasa insaf dengan djalan memberikan penerangan –

penerangan dalam madjallah ini kami dapat menjumbangkan

bakti untuk kemadjuan wanita. [...]”41

Fatmawati menjadi sampul majalah di edisi pertama Dunia Wanita.

Gadis Rasid, salah seorang majalah Dunia Wanita menjelaskan dalam

edisi tersebut bahwa meskipun majalah Dunia Wanita merupakan majalah

perempuan, namun laki-laki juga dapat membacanya. Menurutnya, tidak ada

pemisahan antara laki – laki dan perempuan dalam masyarakat, meskipun ada

beberapa kepentingannya yang berbeda seperti apa yang dituliskan dalam

Dunia Wanita. Keduanya harus aktif bersama untuk mencapai kebahagiaan

dalam masyarakat dan memperjuangkan cita – cita bangsa.42

Majalah Dunia Wanita sempat hendak ditutup akibat ketidaksetujuan

Moh.Said. Hal ini ditimbulkan akibat uang belanja yang diberikan kepada

Ani digunakan untuk keperluan majalah Dunia Wanita. Sebelum berangkat

ke Yogyakarta untuk melakukan pertemuan negara, Said memberi peringatan

kepada Ani untuk menutup Dunia Wanita. Namun di Yogyakarta ia betemu

Ibu Fatmawati dan Rahmi Hatta yang sangat antusias dengan majalah

Dunia Wanita. Sepulang dari Yogyakarta, recana Said semula dibatalkan dan

justru menukung Ani secara penuh untuk mengembangkan Dunia Wanita.43

Keterlibatan Ani di Dunia Wanita ia jalani hingga tahun 1961. Dalam dunia

pers, Ani mencapai jabatan tertingginya sebagai ketua Persatuan Wartawan

Indonesia cabang Medan. (1953-1963) Ia juga sempat melakukan berbagai

kunjungan ke negara-negara Asia, Eropa dan Irian Jaya dalam misinya sebagai

seorang jurnalis. Selain dunia pers, Ani juga aktif dalam dunia politik. Ia aktif

dalam PNI dan Wanita Marhaenis pada tahun 1960-1967. Selain itu ia juga

menjadi anggota DPRD Sumatera Utara. Ia juga sempat meniadi Wasekjen

Front Nasonal Sumatera Utara mewakili golongan perempuan.44

Pada awal terbit, Dunia Wanita menampilkan beberapa rubik, seperti

kata pengantar, profil perempuan, artikel dan opini tentang perempuan,

“Tanah Air” mengenai keadaan dalam negeri, “Surat Menyurat”, “Djahit

Mendjahit”, “Kesehatan”, “Halaman Bergambar” yang berisi foto kegiatan

perempuan di dalam dan di luar negeri, “Pendidikan”, “Dalam Rumah

Tangga”, “Masak-masakan”, “Untuk Wanita Sadja”, “Tjerita Pendek”,

41) ibid, hlm. 5.

42) Gadis Rasid, “Dunia Wanita”, dalam Dunia Wanita, No. 1 Tahun 1, 15 Juni 1949,

hlm.

43) Tridah Bangun, op.cit., hlm.62.

44) Ibid, hlm.64-65.

206 Siti Utami Dewi Ningrum

Lembaran Sejarah

“Rudjak Petis” yang berisi humor, juga karikatur dan beberapa catatan

tambahan serta iklan.

45

Beberapa dari rubik tersebut beberapa kali mengalami

perubahan, seperti rubik “Untuk Wanita Sadja” yang berisi opini dan juga

sebuah himbauan mengenai bagaimana perempuan harus bertindak dalam

hidupnya, juga beberapa strategi dalam rumah tangga dan cara yang dapat

dilakukan untuk menjalin relasi dengan suami. Rubik tersebut menghilang

pada terbitan tahun 1950. Redaksi tidak menjelaskan mengenai penghilangan

rubik tersebut, namun rupanyanya rubik tersebut menuai kesalahpahaman

pada pembaca laki – laki seperti yang dijelaskan oleh redaksi sebagai berikut:

“Banjak orang laki – laki tidak mengerti maksud “D.W.” tentang

iklan – iklan yang dimuat di surat – surat chabar tentang satu

rubiek jang kami harap djangan dibatja oleh laki-laki. Sangka

mereka semua isi madjallah itu dilarang dibatja oleh laki – laki.

Untuk mendjaga supaya djangan terdapat salah paham, maka

perlu kami terangkan di sini bahwa “Dunia Wanita” bukan tidak

boleh dibatja laki – laki tetapi di dalam madjallah itu ada satu

rubiek jang hanja untuk WANITA sadja, jang mana kalau boleh

djangan dibatja oleh laki – laki, karena di dalemnja dibitjarakan

soal perempuan sadja yang tidak perlu diketahui laki-laki. [...]46

Rubik “Untuk Wanita Sadja” kembali muncul pada edisi No. 24 Tahun

ke IV 15 Desember 1952 dalam isi yang lebih banyak.47 Pada edisi No. 1 tahun

ke IX 1 Januari 1957 muncul rubik yang memberikan kolom semacam surat

terbuka dari pembaca yang dikategorikan sebagai “Harapan Istri” dan “Suara

Seorang Suami” sebagai jalan untuk mengutarakan pendapat dan apa yang

dialami dalam rumah tangga dan ingin dibagi kepada pembaca Dunia Wanita.

Sayangnya rubik tersebut pun tak berlangsung lama, hanya bertahan pada

edisi No. 7 tahun ke IX 1 April 1957 dan menghilang tanpa penjelasan dari

redaksi majalah Dunia Wanita. Karikatur yang berisi sindiran dan ide – ide

kesetaraan pun menghilang dan digantikan dengan karikatur yang bersifat

humor. Setelah itu, ide mengenai kesetaraan dalam rumah tangga di majalah

Dunia Wanita menglami penurunan dan hilang perlahan digantkan dengan

isu yang lain, seperti politik dan keterlibatan perempuan dalam masyarakat.

Hal ini berkitan dengan sepak terjang perempuan dalam dunia politik pada

masa demokrasi terpimpin yang ditandai dengan masuknya Gerwani dalam

kancah politik.48

45) Dunia Wanita, No.1 Tahun I, 15 Juni 1949.

46) Dunia Wanita, No. 2 Tahun 1, 1 Juli 1949,hlm. 22.

47) Dunia Wanita, No. 24 Tahun ke IV 15 Desember 1952, hlm. 8-9.

48) Menurut Saskia E. Wieringa keterlibatan perempuan dalam dunia politik yang

dikuasai oleh sayap kiri membuat mereka menjadi terkotak – kotak dan saling bersaing

sehingga lupa akan perjuangan kepentingan feminis mengenai ide kesetaraan gender itu

sendiri. Saskia E. Wieringa, hlm. 278-279.

207

Perempuan Bicara dalam Majalah Dunia Wanita

Vol. 14 No. 2 October 2018

Meskipun membahas perempuan dalam berbagai bidang, masalah

perempuan dalam rumah tangga yang menampilkan ide kesetaraan menjadi

bagian yang menarik dalam konteks tahun 1950-an dalam tulisan – tulisan

yang dimuat dalam majalah Dunia Wanita. Hal tersebut menunjukkan bahwa

pada masa demokrasi liberal dan penjaminan hak berpendapat diberikan oleh

negara dimanfaatkan betul oleh perempuan melalui majalah Dunia Wanita ini

dalam menyuarakan pendapatnya mengenai partisipasi istri dan suami secara

setara dalam rumah tangganya untuk mencapai keharmonisan. Bagaimana hal

tersebut disuarakan dalam majalah Dunia Wanita? Hal tersebut akan dibahas

dalam bagian selanjutnya.

Mendengar Suara-suara Perempuan: Bagaimana

Menciptakan Keluarga dan Rumah Tangga Yang Setara?

Menurut Ratna Saptari, terdapat perbedaan antara keluarga dan rumah

tangga. Secara garis besar, keluarga dapat diartikan sebagai hubungan yang

lebih bersifat biologis yang ditandai dengan adanya perkawinan dan adanya

hubungan darah antara individu yang satu dengan yang lainnya. Keluarga

inti terdiri dari ayah, ibu dan anak. Hubungan yang dibangun dalam keluarga

lebih bersifat normatif. Berbeda dengan itu, rumah tangga hubungannya lebih

dilihat dari sebuah keakraban antar individu tanpa harus berhubungan darah.

Interaksi antar individu juga cenderung lebih dapat diukur secara empiris,

misalnya dalam hal ekonomi dan pembagian tugasnya jelas. Siapapun dapat

menjadi anggota rumah tangga selama ia melakukan aktivitas bersama dalam

tempat yang sama.49

Dalam kehidupan rumah tangga dan keluarga, masing-masing

perempuan mengalami kondisi yang beragam. Hal tersebut bergantung pada

dengan latar belakang kelas sosialnya. Menurut Locher-Scholten misalnya, ia

membagi kriteria perempuan dalam keluarga pada masa kolonial menjadi dua,

yaitu perempuan dari kalangan priyai dan perempuan pekerja. Menurutnya

perempuan priyai akan lebih terkukung pada tradisi di mana konstruksi yang

dibangun dalam tradisi ialah bahwa perempuan sebagai istri harus tunduk

pada suami. Berbeda dengan itu, perempuan pekerja dibangun dari keluarga

kecil dan orientasi mereka adalah membentuk keluarga. Karena hubungan

keluarga lebih didasari oleh rasa kemanusiaan, maka relasi antar individu di

dalamnya lebih hangat dan peranan adat yang membuat mereka terkukung

mengalami pengaburan.

50

Hal tersebut juga diungkapkan oleh Frances Gouda,

49) Ratna Saptari, “Women, Family and Household: Tensions in Culture and

Practice”, dalam Juliette Koning, dkk (ed.s), Women and Households in Indonesia: Cultural

Notions and Social Practices, (NIAS in Asian Topics: Curzon, 2000), hlm. 11.

50) Elsbeth Locher-Scholten, “Colonial Ambivalencies: European Attitudes towards

the Javanese Household (1900-1942)”, dalam Juliette Koning, dkk (ed.s), Women and

Households in Indonesia: Cultural Notions and Social Practices. (NIAS in Asian Topics: Curzon,

2000), hlm. 32-38.

208 Siti Utami Dewi Ningrum

Lembaran Sejarah

bahwa nasib perempuan petani lebih baik daripada perempuan priyayi dalam

rumah tangganya karena mereka memiliki hak dalam bekerja maupun dalam

keluarga, sedangkan perempuan kalangan sosial atas hidupnya dibatasi dalam

lingkungan rumah tangga mereka yang dikuasai oleh laki – laki.51

Lalu bagaimana dengan suara perempuan kelas menengah ke atas

perkotaan dalam majalah Dunia Wanita mengenai rumah tangga dan keluarga?

Jika majalah perempuan selalu mengupayakan bagaimana perempuan dapat

memenuhi perannya sebagai istri dan ibu yang baik, majalah Dunia Wanita

memiliki hal unik. Majalah ini meminta laki-laki, ayah, untuk terlibat

dalam kegiatan di ranah domestik. Selain itu, majalah ini juga memberikan

pandangan tentang pentingnya kesetaraan relasi antara suami dan istri dalam

menjamin keharmonisan rumah tangga.

Ketimpangan antara hak suami-istri masing sering terjadi dalam

rumah tangga. Yanti, Seorang pembaca Dunia Wanita mempertanyakan

kedudukan suami istri dalam rumah tangga yang menurutnya tidak

seimbang. Istri dituntut untuk memahami suami, namun tidak sebaliknya.

Istri yang meninggalkan suami dianggap tidak bersusila rendah, namun tidak

sebaliknya. Seorang ustadz menimpali bahwa perceraian ialah akibat kelalaian

istri sehingga perempuan harus diingatkan dan diajari moral dengan baik.52

Atas kasus tersebut, Ida, seorang staff Dunia Wanita melalui tulisanya

memberikan tanggapan bahwa jika hak dan kewajiban istri ialah hanya

untuk memuaskan suaminya, maka hal tersebut dapat dilihat sebagai sebuah

kemunduran. Permasalahan – permasalahan yang ada bukanlah semata –

mata tanggung jawab perempuan, namun tanggung jawab masyarakat, yang

di dalamnya ada perempuan juga laki – laki. Ia juga memberikan saran agar

hal tersebut tidak terjadi, yaitu dengan bersama – sama memperbaiki moral

masyarakat melalui agama. Selain itu sistri juga perlu aktif dalam organisasi

perempuan agar wawasannya bertambah luas dan dapat bermasyarakat dan

istri tidak selayaknya pula melarang kegiatan tersebut.53

Ide-ide tentang kesetaraan dan keharmonisan dalam rumah tangga dan

keluarga kemudian terus dibahas walam Dunia Wanita. S. Diah dan Ida dalam

artikelnya menjelaskan bahwa pekerjaan ranah domestik, seperti mengasuh

anak, mengatur dan menyelesaikan tugas dan kebutuhan rumah tangga

semestinya tidak disepelekan dan dianggap sebagai pekerjaan rendahan.

Masyarakat seringkali menganggap pekerjaan-pekerjaan tersebut sebagai

pekerjaan yang ringan, padahal menurutnya hal tersebut sangatlah berat, apa

lagi saat perempuan juga aktif dalam kegiatan publik dan bekerja sehingga

51) Frances Gouda, op.cit., hlm. 168-170.

52) Sukeni, “Suami-Istri”, dalam Dunia Wanita, tahun ke 2 no. 26, 1 September 1950,

hlm. 17.

53) Ida, “Berilah Hak-hak Kaum Wanita”, dalam Dunia Wanita, No. 26 Tahun II, 1

September 1950, hlm. 9-10.

209

Perempuan Bicara dalam Majalah Dunia Wanita

Vol. 14 No. 2 October 2018

harus profesional di dalam rumah dan di luar rumah, sementara hal itu tidak

diberlakkan bagi laki-laki.54

Untuk menjalankan rumah tangga yang memiliki pembagian peran

yang setara, maka diperlukan keterlibatan laki-laki di dalam menyelesaikan

tugas domestik. Dunia Perempuan menerbitkan tulisan yang diambil dari

The Parent Magazine dengan judul “Untuk Mendjadi Ajah Sedjati”. Dalam

artikel tersebut dijelaskan bahwa seorang suami hendaknya ikut aktif dalam

kegiatan rumah tangganya, termasuk dalam mengurus anak. Hal ini karena

anak memerlukan kasih sayang ayahnya untuk perkembangan mental juga

kedekatan antara anak dan orang tuanya.

55

Seorang istri pun memerlukan

istirahat dalam kesehariannya, sehingga sesekali suami hendaknya dapat

mengurus rumah tangga saat istri sedang beristirahat, seperti memasak dan

membersihkan rumah sehingga istri akan merasa bahagia.56

Selain berbagi peran dalam menyelesaikan tugas-tugas domestik,

keharmonisan dalam keluarga juga dapat dicapai jika terjalin relasi yang

sehat anatara suami dan istri. Banyak sekali artikel yang ditulis dalam Dunia

Wanita yang berkaitan dengan tema tersebut. Artikel paling awal ditulis oleh

Ida. Dalam tulisannya, “Beratkah Pekerdjaan Seorang Ibu?”, ia menyarankan

agar suami dan istri harus dapat menghargai satu sama lain. Salah satu cara

yang dapat dilakukan ialah dengan komunikasi yang baik. Istri harus bisa

memahami suami dengan baik, seperti berbicara pada saat yang tepat dan

dengan bahasa yang halus tanpa ada nada memerintah.

57

Berkaitan dengan

54) Ida, “Beratkah Pekerdjaan Seorang Ibu?”, dalam Dunia Wanita, No 18 Tahun II, 15

Maret 1950, hlm. 14-15. S. Diah, “Wanita Bukan Alat Dapur”, dalam Dunia Wanita, No. 26

Tahun II , 1 September 1950, hlm. 14.

55) NN, “Untuk Mendjadi Ajah Sedjati”, dalam Dunia Wanita, No.30 Tahun II, 15

Desember 1950, hlm. 14 dan 18.

56) Nj. J.C. Kimball, “Seorang Ibupun Memerlukan Istirahat”, Dunia Wanita No. 9

Tahun IV, 1 Mei 1952, hlm. 5 dan 18.

57) Ida, “Isteri”, dalam Dunia Wanita, 1 Juli 1949 tahun ke I, no. 2, hlm. 19.

Figur 2. Keterlibatan suami dan istri dalam mengurus anaknya. Sumber:

Dunia Wanita, No.30 Tahun II, 15 Desember 1950, hlm. 14 dan 18.

210 Siti Utami Dewi Ningrum

Lembaran Sejarah

hal tersebut, dalam artikelnya yang lain, Ida meneruskan bahwa laki-laki juga

perlu untuk membenahi diri agar dapat dihargai dengan baik. Ia harus menjadi

suami yang dapat dibanggakan oleh istri, antara lain dengan menghormati

keluarga istri, tidak tempramen, tidak banyak omong, menjaga kebersihan

dan kesehatannya serta pekerja keras.58

Wacana relasi sehat antara suami dan istri juga digambarkan dalam

sebuah karikatur, di mana menggambarkan istri yang mencoba memahami

keinginan suaminya dengan memasak masakan yang disukainya, namun

suami tidak dapat mengontrol dirinya dengan baik dan membuat suasana

rumah menjadi tidak nyaman.

59

Dari gamabar tersebut dapat dipahami

pula bahwa keharmonisan dalam rumah tangga dapat dicapai atas kerja

sama yang baik antara suami dan istri. Hal tersebut dijelaskan pula dalam

sebuah artikel yang ditulis oleh Dharmawati dengan judul “Rumah Tangga

Saja?”. Ia menyampaikan infromasi untuk dapat menumbuhkan kebahagiaan

di dalam rumah tangga di mana istri dan suami untuk dapat sama – sama

berperan dalam menciptakan kebahagiaan tersebut dalam sepuluh point

bentuk pengertian. Poin pertama ialah kejujuran dari kedua belah pihak. Poin

kedua ialah menghargai keluarga, baik istri maupun suami yang berkunjung

ke rumah. Poin ketiga ialah suami harus mengajak istrinya pergi mencari

hiburan agar tidak hanya berdiam diri di rumah dan merasa kesepian. Poin

keempat ialah saling membawakan oleh – oleh setelah bepergian jauh sebagai

bentuk bahwa mereka saling mengingat satu sama lain saat berjauhan. Poin

kelima ialah gembira saat menerima pemberian dari suami maupun istri

sebagai bentuk penghargaan. Poin keenam ialah berbelanja, di mana saat

berbelanja kedua belah pihak dapat saling meminta pertimbangan atas barang

belanjaan yang hendak dibeli untuk mengurangi masalah saat tidak terjadi

kesepakatan usai berbelanja. Poin ketujuh ialah baik suami maupun istri

58) Ida, “Banggakah Njonja Melihat Suami Njonja?”, dalam Dunia Wanita, 1 Juli 1949

tahun ke I, no. 2.

59) Dunia Wanita, No.30 Tahun II, 15 Desember 1950, hlm.11.

Figur 3. “Serba Salah”. Sumber: Dunia Wanita, No.30 Tahun II, 15 Desember 1950, hlm. 11.

211

Perempuan Bicara dalam Majalah Dunia Wanita

Vol. 14 No. 2 October 2018

Figur 4. Suami mengajak istrinya jalan–jalan.

Sumber: Dharmawati, “Rumah Tangga Saja?”,

dalam Dunia Wanita, No. 3 Tahun VI, Februari

1954: 5 dan 16.

tidak mudah terpengaruh oleh kemewahan orang lain. Poin kedelapan ialah

bersih dan gembira dalam keluarga agar tercipta suasana yang nyaman. Poin

kesembilan ialah tidak mengganggu satu sama lain saat sedang melakukan

pekerjaan. Jika sudah memiliki anak, maka baik suami maupun istri harus

pengertian untuk menjaga anaknya saat salah satu pihak sedang sibuk dengan

pekerjaannya. Poin terakhir ialah saling merawat saat salah satu pihak sedang

sakit.60 Dari sepuluh hal tersebut dapat disimpulkan bahwa antara suami dan

istri yang ideal ialah yang dapat menjadi partner dan orang tua yang baik

dengan terlibat langsung mengurus anak dan rumah tangganya, mengerti cara

untuk menghargai satu sama lain, baik sebagai suami-istri maupun individu

yang merdeka.

Selain ditulis oleh para staff Dunia Wanita,

permasalahan kesetaraan dan keharmonisan dalam

rumah tangga juga dibahas oleh pembaca melalui

surat yang dikirimkan kepada redaksi dalam rubik

“Suara Seorang Suami dan Harapan Istri”. Dalam

rubik tersebut baik suami maupun istri yang

bercerita mengenai rumah tanggadan istrinya

secara garis besar menginginkan rumah tangga

yang harmonis. Pembaca berinisial M. R. dan ST.

R menceritakan pengalaman rumah tangganya yang

kacau akibat tidak dipahaminya emansipasi dan

kebebasan baik untuk suamii maupun istri dengan

benar. Untuk itu mereka berharap agar suami

maupun istri dapat menggunakan hak kesetaraan

dengan baik dan saling menjaga kepercayaan satu

sama lain karena jika tidak dipahami justru akan

menimbulkan percecokan dan bahkan perceraian.61

Keluhan O.R.M. terhadap istrinya ialah harus dapat

menjaga penampilan meskipun sudah memiliki

anak dan sibuk dengan pekerjaannya, sedangkan

M.S. menginginkan suaminya agar mengerti dengan tidak sering membawa

banyak temannya bertamu di rumah, karena selain ia harus terus mengurusi

tamu tersebut, pengeluaran untuk suguhan pun mengurangi keuangan

rumah tangga di saat sedang krisis.

62

Suharti di Medan mengeluh karena

suaminya sangat rewel dan galak terhadap anak – anaknya, sedangkan Suami

60) Dharmawati, “Rumah Tangga Saja?”, dalam Dunia Wanita, No. 3 Tahun VI,

Februari 1954, hlm. 5 dan 16.

61) M.R. dan ST. R. Dunia Wanita, No. 1 Tahun IX, 1 Januari 1957, hlm.13 dan 17.

62) O.R.M. dan M.S., Dunia Wanita, No. 3 Tahun IX, 1 1957, 1 Februari 1957, hlm. 9

dan 21.

212 Siti Utami Dewi Ningrum

Lembaran Sejarah

X mengeluhkan istrinya yang kurang

berpendidikan.

63

Dalam mengatasi

konflik yang terjadi antara suami dan

istri, Dunia Wanita membahas cara-

cara yang dapat dilakukan. Menurut

Sukeni jika suami istri memang sudah

tidak memiliki kecocokan, maka

perceraian dapat dilakukan daripada

memberatkan kedua belah pihak.

Bahkan menurutnya, istri boleh

meminta cerai pada suaminya jika

memang suaminya tidak berlaku baik

padanya karena itu adalah bagian dari

hak perempuan.

64

Perempuan harus

sadar akan haknya, karena meskipun

ia dilindungi oleh hukum negara dan

agama jika ia tidak memahaminya

dan menerapkan pada dirinya,

maka ia akan selamanya ditindas.

Pada gambar 3 dalam lampiran

digambarkan bahwa laki – laki yang sudah sadar emansipasi sekalipun

seringkali membatasi kebebasan istrinya untuk mengaktualisasikan dirinya.

Akhirnya si istri berinisiatif untuk mengabaikan apa yang diinginkan

suaminya tersebut karena ia merasa memiliki hak untuk berpendapat.65

Selain akibat relasi komunikasi yang buruk dan pembagian peran yang

timpang dalam, poliami menjadi salah satu faktor penyebab konflik dalam

rumah tangga. Menurut Siti Danilah, sesama perempuan pun harus saling

menghargai agar dapat terhindar dari permasalahan tersebut. Jika poligami

terlanjur terjadi, maka hal itu harus berjalan dengan cara yang damai, di mana

sesama istri harus saling menghormati satu sama lain.66

Pro dan kontra poligami pun terus dibahas dan menjadi permasalahan

yang tida kunjung usai. Pihak yang pro menganggap bahwa poligini boleh

saja dilakukan selama itu tidak merugikan perempuan. Berbeda dengan itu,

pihak yang kontra menganggap bagaimanapun juga poligami merupakan

bentuk perbudakan terhadap perempuan. S.K. Trimurti sebagai pihak yang

63) Ny. Suharti dan Suami X, Dunia Wanita, No. 4 Tahun IX, 15 Februari 1957, hlm.

18-19.

64) Sukeni, “Soal Pertjeraian, Perlukah Mendjadi Perhatian Wanita?”, dalam Dunia

Wanita, No. 18 Tahun II, 15 Maret 1950, hlm.11.

65) NN, “Masjarakat Mengharapkan Tenaga Wanita Djuga”, dalam Dunia Wanita, ,

No.12-13 Tahun IV, 15 Juli 1952, hlm. 9.

66) Siti Danilah St. M, “Penderitaan Wanita”, dalam Dunia Wanita, No. 18 Tahun II,

15 Maret 1950, hlm. 3 dan 20.

Figur 5. NN, “Masjarakat Mengharapkan Tenaga Wanita Djuga”,

dalam Dunia Wanita, , No.12-13 Tahun IV, 15 Juli 1952, hlm. 9.

213

Perempuan Bicara dalam Majalah Dunia Wanita

Vol. 14 No. 2 October 2018

pro mengungkapkan bahwa poligini harus memenuhi syarat, yaitu istri kedua

harus berpendidikan dan keibuan. Hal tersebut sebagai indikator bahwa istri

baru itu dapat menjalin hubungan baik dengan istri sebelumnya serta anak –

anaknya.67 Selain itu poligami harus dilakukan denan cara yang sesuai dengan

hukum, di mana laki – laki yang melakukan poligami harus izin pada istri

pertama.

68

Namun pihak yang kontra tetap saja menilai poligini sebagai

perbudakan terhadap perempuan dan bukan ciri perempuan yang maju.69

Artikel-artikel di atas menunjukan bagaimana perempuan menyuarakan

ide-ide mereka tentang kesetaraan dalam rumah tangga demi kemajuan

perempuan. Kemajuan perempuan tidak harus selalu mengenai kesetaraan

perempuan dan laki - laki dalam ranah publik, baik berpolitik dan bersosial,

namun juga dari kemajuan pada rumah tangganya sendiri. Perempuan dan

laki – laki bersama – sama dalam posisi yang setara membangun rumah tangga

yang harmonis.

67) NN, “Pro dan Contra Poligami, Poligami Menjamin Wanita? Prakteknya Poligami

Berakibat Wanita Diperbudak”, dalam Dunia Wanita no. 1 tahun ke III, 1 Januari 1951, hlm.

6 dan 21.

68) NN, “Dilarang Beristeri Dua dengan Tidak Seizin Isteri Tua, Perkawinan Mesti

Merupakan Persetujuan Kedua Belah Pihak”, Dunia Wanita, No. ? Tahun III, 15 Mei 1951,

hlm. 9.

69) NN, “Pro dan Contra Poligami, Poligami Menjamin Wanita? Prakteknya Poligami

Berakibat Wanita Diperbudak”, dalam Dunia Wanita no. 1 tahun ke III, 1 Januari 1951,hlm.

6 dan 21.

Figur 6. Saat suami poligini, seringkali anak dan istri yang lama ditelantarkan.

Sumber: Siti Danilah St. M, “Penderitaan Wanita”, dalam Dunia Wanita, No. 18

Tahun II, 15 Maret 1950, hlm. 3.

214 Siti Utami Dewi Ningrum

Lembaran Sejarah

Kesimpulan

Kesetaraan antara laki – laki dan perempuan dijamin oleh negara. Perempuan

dan laki – laki di Melalui artikel-artikel dalam majalah Dunia Wanita dapat kita

ketahui pula bagaimana cara berfikir perempuan pada tahun 1950an terhadap

isu-isu domestik dan kesetaraan dalam rumah tangga. Cara berfikir yang masih

terpengaruh oleh pendidikan yang bercampur antara tradisional dan modern

terus mendikte mereka untuk dapat menjadi ibu dan istri yang modern. Dalam

segala keterbatasan tersebut, para perempuan tetap berusaha menyuarakan apa

yang mereka rasakan tentang hak-hak yang sepatutnya mereka miliki, yaitu

untuk dapat memiliki relasi yang sehat dan setara dalam kehidupan rumah

tangganya. Dalam hal ini, emansipasi bukan melulu bagaimana perempuan

mampu keluar dari ranah domestik, namun juga kesetaraan dari ranah yang

paling mendasar, yaitu rumah tangga. Emansipasi harus terus diupayakan

dan bukan hanya dengan memberi dukungan kepada perempuan untuk maju,

tapi juga turut aktif dalam kemajuan itu dan menjadi bagian yang memang

menginginkan ide kesetaraan itu ada. Jika hal tersebut dapat dilakukan, maka

salah satu bentuk opresi terhadap perempuan dapat teratasi, lagi.

Daftar Pustaka

Buku

Blackburn, Susan., Kongres Perempuan Indonesia, Tinjauan Ulang. Jakarta: Obor &

KITLV, 2007.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Badan Penelitian dan Pengembangan

Pendidikan dan Kebudayaan, Pendidikan di Indonesia 1900-1940, 1977

Gouda, Frances,. Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda 1900-1942.

Jakarta: Serambi, 2007.

Suwarsih Djojopuspito, Manusia Bebas. Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000.

Taufik, Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia. Jakarta: Trinity Press, 1977

Tridah Bangun, Hjj. Ani Idrus Tokoh Wartawati Indonesia, Jakarta: CV Haji Masagung,

1990.

Vreede-De Steurs, Cora,. Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian.

Jakarta: Komunitas Bambu, 2008.

Wieringa, Saskia E., Penghancuran Gerakan Perempuan Indonesia. Jakarta: Garba

Budaya dan Kalyanamitra, 1999.

Artikel

Hatley, Barbara dan Susan Blackburn, “Representations of Women’s Roles in

Household and Society in Indonesian Women’s Writing of the 1930s”, dalam

Juliette Koning, dkk (ed.s), Women and Households in Indonesia: Cultural Notions

and Social Practices. NIAS in Asian Topics: Curzon, 2000.

Jakob Sumardjo, “Perempuan Indonesia dan Kesustraannya”, dalam Mayling Oey-

Gardiner, dkk (ed.s), Perempuan Indonesia: Dulu dan Kini. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama. 1996.

Jane Ardaneshwari, “Potret Dilema Perempuan Bekerja dalam Media Perempuan

Indonesia”, dalam Jurnal Perempuan, Vol. 18 No.1, Maret 2013.

215

Perempuan Bicara dalam Majalah Dunia Wanita

Vol. 14 No. 2 October 2018

Locher-Scholten, Elsbeth,. “Colonial Ambivalencies: European Attitudes towards the

Javanese Household (1900-1942)”, dalam Juliette Koning, dkk (ed.s), Women

and Households in Indonesia: Cultural Notions and Social Practices. NIAS in Asian

Topics: Curzon, 2000.

Myra M. Sidharta, “Majalah Wanita: Antara Harapan dan Kenyataan” dalam Wanita

dan Media: Konstruksi Ideologi Gender dalam Ruang Publik Orde Baru, Banung:

PT. Remaja Rosdakarya Bandung, 1998.

Ratna Saptari, “Women, Family and Household: Tensions in Culture and Practice”,

dalam Juliette Koning, dkk (ed.s), Women and Households in Indonesia: Cultural

Notions and Social Practices. NIAS in Asian Topics: Curzon, 2000.

Ruth Indiah Rahayu, “Konstruksi Historiografi Feminisme Indonesia dari Tutur

Perempuan”,makalah dalam Workshop 

Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM

dan Australia Research Council, Hotel Yogya Plaza, Yogyakarta, 2-4 Juli 2007.

Karya Tulis

Elsye Meilani, Majalah Dunia Wanita 1949-1950, Suatu Jembatan Menuju Kemajuan

Wanita, skripsi Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indoneisa,

1996.

Huijzer, Adriane., “Indonesian Women as Agents in a Changing Colonial Society,

1900 1942” tesis S2, Vrije Universiteit, Amsterdam.

Sri Sjamsiar Issom, “Sukaptinah Sunaryo Mangunpuspito: Sosok Wanita Pergerakan

Indonesia (1928-1956), Tesis Pascasarjana Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu

Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, 2000.

Suriani, “Perempuan dalam Pers dan Politik di Kota Medan: Biografi Ani Idrus

1930an-1970an”, Tesis, S2 Sejarah Program Pascasarjana, FIB, UGM, 2015.

Majalah

Dunia Wanita, No.1 Tahun I, 15 Juni 1949

Dunia Wanita, No. 2 Tahun 1, 1 Juli 1949

Dunia Wanita, No. 18 Tahun II, 15 Maret 1950

Dunia Wanita, No 21 Tahun II, 1 Juni 1950

Dunia Wanita, No. 26 Tahun II, 1 September 1950

Dunia Wanita, No.30 Tahun II, 15 Desember 1950

Dunia Wanita, No. 1 tahun ke III, 1 Januari 1951

Dunia Wanita, No. ? Tahun III, 15 Mei 1951

Dunia Wanita, No. 9 Tahun IV, 1 Mei 1952

Dunia Wanita , No.12-13 Tahun IV,15 Juni 1952

Dunia Wanita, No.12-13 Tahun IV, 15 Juli 1952

Dunia Wanita, No. 24 Tahun IV 15 Desember 1952

Dunia Wanita, No. 3 Tahun VI, Februari 1954

Dunia Wanita, No. 1 Tahun IX, 1 Januari 1957

Dunia Wanita, No. 3 Tahun IX, 1 1957, 1 Februari 1957

Dunia Wanita, No. 4 Tahun IX, 15 Februari 1957

Poesara, Djuni, 1934

Wasita, April 1935

Internet

kamusbahasaindonesia.org/majalah, diakses pada 13 Juni 2014, pukul 21:13