Hanya Allah Swt, -lah Tuhan yang Maha Mematikan semua makhluk- makhluk- Nya. Semua makhluk hidup akan hidup sampai suatu hari yang telah di tentukan d … partai yg harus diikuti dalam ikrar bersama pada kongres umat islam di yogyakarta adalah? Tolong kak besok di kumpul Mengapa samudra pasai mengalami kemunduran setelah bandar Malaka berdiri? 19. Nabi Ilyas a.s. ketika bertemu dengan Nabi Ilyasa a.s. di rumahnya pada waktu A. kecil B. remaja C. dewasa D. sudah tua Peta konsep zaman paleolitikum Bagaimana cara kita menghadapi kecenderungan masyarakat terhadap media dakwah teori masuknya Islam ke Indonesia dengan damai tanpa paksaan Mengapa marah silu menjalin hubungan dengan thiongkok?berikan alasannya tolong dibantu kk mau dikumpul besok ini pelajaran BAM✨ RUANGGURU HQ Jl. Dr. Saharjo No.161, Manggarai Selatan, Tebet, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12860
Volume 14 Number 2 October 2018 ISSN 2314-1234 (Print) ISSN 2620-5882 (Online) Perempuan Bicara dalam Majalah Dunia Wanita: Kesetaraan Gender dalam Rumah Tangga di Indonesia, 1950-an SITI UTAMI DEWI NINGRUM Alumnus Program Studi S2 Departemen Sejarah FIB UGM Email: Abstract Women’s voices have emerged since the colonial era through writing. Kartini became the most heard through her radical letters at the time, published with the title Door Duisternis tot Licht, voicing the fulfillment of women’s education. Women’s writings were increasingly seen in women’s magazines from colonial times to independence of Indonesia, which published by women’s organizations although commercial magazines. Each of them has a very unique and diverse idea. Dunia Wanita has become one of the popular women’s magazines after Indonesian independence. Presenting various women’s issues from the social, political and economic fields to provide information and progress for women. Under the leadership of Ani Idrus, this magazine also voiced the importance of the involvement of men in the household, a theme that was faintly heard among the frenzied Indonesian political conditions at the beginning of its independence. What is equality in the household voiced by women in Indonesia through the 1950s in Dunia Wanita? This will be discussed in historical writings with gender perspective analysis. In addition to using articles in Dunia Wanita, this paper also uses other magazines as a comparison. In addition, books and papers that are relevant to the theme of the writing are also used. Abstrak Suara-suara perempuan telah muncul sejak masa kolonial melalui tulisan. Kartini menjadi yang paling terdengar melalui surat-suratnya yang radikal pada zamannya, diterbitkan dengan judul Door Duisternis tot Licht, menyuarakan pemenuhan pendidikan perempuan. Tulisan-tulisan perempuan pun semakin tampak dalam majalah perempuan dari masa kolonial hingga kemerdekaan Indonesia, baik yang diterbitkan oleh organisasi perempuan maupun majalah komersil. Masing-masing dari mereka memiliki ide yang unik dan beragam. Majalah Dunia Wanita menjadi salah satu majalah perempuan yang populer pasca kemerdekaan Indonesia. Menghadirkan berbagai isu perempuan dari bidang sosial, politik hingga ekonomi untuk menmberikan informasi dan kemajuan bagi perempuan. Di bawah pimpinan Ani Idrus, majalah ini juga menyuarakan tentang pentingnya keterlibatan laki-laki dalam rumah tangga, sebuah tema yang sayup-sayup terdengar di antara hingar bingar kondisi politik Indonesia di awal kemerdekaanya. Seperti apa kesetaraan dalan rumah tangga disuarakan oleh perempuan di Indonesia Keywords: women’s magazines; Dunia Wanita; Ani Idrus; women’s history; gender equality Kata Kunci: majalah perempuan; dunia wanita; ani idrus; sejarah perempuan; kesetaraan gender Page 194—215
195 Perempuan Bicara dalam Majalah Dunia Wanita Vol. 14 No. 2 October 2018 melalui majalah Dunia Wanita tahun 1950-an? Hal tersebut akan dibahas dalam tulisan sejarah dengan analisis yang berperspektif gender. Selain menggunakan artikel pada majalah Dunia Wanita, tulisan ini juga menggunakan majalah lain sebagai pembanding. Selain itu digunakan pula buku dan karya tulis yang relevan dengan tema tulisan. Latar Belakang Dalam bukunya, Cora Vrede de Steur menjelaskan bahwa kedudukan perempuan dalam masyarakat Indonesia dipengaruhi oleh hukum adat dan tradisi yang berkembang dalam masing-masing masyarakat. Ia juga menekankan bahwa Islam memiliki pengaruh yang cukup besar dalam perkembangan tersebut, terutama dalam perkawinan. Perempuan yang menikah disebut ibu dengan peran-peran yang diatur oleh adat dengan peran- peran domestiknya. Konstruksi yang terus menerus diciptakan dan dilekatkan kepada perempuan berpengaruh pada perspektif mereka dalam memandang diri baik sebagai individu maupun sebagai bagian dalam masyarakat. Mereka terus berupaya agar dapat memenuhi peran-peran gender yang telah dipasrahkan kepada mereka sebagai ibu dan istri yang baik. Karena tidak ada hukum yang sama untuk seluruh Indonesia, maka hukum adat digunakan dalam proses evolusi dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern. 1 Jadi dalam hal ini, kendatipun pendidikan telah digapai oleh perempuan, namun mereka tetap dituntut dan terus menerus dikembalikan dan dilekatkan pada peran tradisionalnya, sebagai ibu dan istri. Pembagian peran antara laki-laki dan perempuan juga didukung oleh dominasi berfikir Barat pada masa kolonial melalui konsep nuclear household atau rumah tangga inti, di mana ada suami dan istri yang berbagi peran. 2 Hal itu dipengaruhi oleh pendidikan yang diberikan. Laki – laki diberikan pendidikan yang mengarahkan mereka untuk terjun aktif dalam kegiatan publik. Perempuan diberi kesempatan yang sama, namun karena terbentur dengan adat dan tradisi, hanya sedikit saja perempuan yang terus bersekolah hingga tingkatan yang tinggi. Para orang tua lebih memilih untuk memasukkan anaknya pada sekolah khusus perempuan yang dirasa lebih sesuai berdasarkan adat dan tradisi mereka.3 Perempuan dipersiapkan 1) Cora Vreede-De Steurs, Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008), hlm. 11-12. 2) Barbara Hatley dan Susan Blackburn, “Representations of Women’s Roles in Household and Society in Indonesian Women’s Writing of the 1930s”, dalam Juliette Koning, dkk (ed.s), Women and Households in Indonesia: Cultural Notions and Social Practices, (NIAS in Asian Topics: Curzon, 2000), hlm. 47. 3) Para orang tua mempertimbangkan pendidikan tersebut karena sekolah campuran terlalu mahal, khawatir jika anak gadisnya bergaul dengan laki – laki dan merasa tidak memerlukannya. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan, Pendidikan di Indonesia 1900-1940, 1977., hlm. 10-14.
196 Siti Utami Dewi Ningrum Lembaran Sejarah agar dapat menjadi mitra laki – laki yang berpendidikan dan modern melalui sekolah khusus perempuan dengan pendidikan yang mempersiapkan mereka untuk menjadi ibu dan istri yang baik dengan keterampilan – keterampilan keperempuanan, seperti menjahit, mengurus anak dan rumah tangga dan sebagainya.4 Akumulasi dari budaya tradisional dan modern membawa pola perjuangan dan kehidupan pada pemuda-pemudi Indonesia pada masa pergerakan. Banyak dari mereka yang menerapkan konsep perjuangan berdasarkan pembagian gender tersebut. Laki – laki memainkan peranannya dalam bidang politik sebagai tonggak utama perjuangan bangsa, sedangkan perempuan dilekatkan dengan fungsi reproduksinya. Sebagai ibu ia dituntut untuk dapat menghasilkan dan mendidik generasi merdeka dan sebagai istri ia harus mampu menjadi pendukung perjuangan laki-laki atau suami dengan mengerjakan peran-peran domestiknya di rumah dan masyarakat dengan baik. Peran perempuan tersebut dianggap sebagai bagian dari peranan politik yaitu contoh ibu yang baik bagi masyarakat dan istri yang baik sebagai pembantu laki – laki. 5 Hal ini ditandai dengan banyaknya organisasi pada masa pergerakan nasional yang memiliki sayap perempuan, seperti Muhamadiyah dengan Aisyiyah dan Budi Utomo dengan Wanita Utomo dan Taman Siswa dengan Wanita Taman Siswanya. Tabel 1. Siswa pribumi HIS* Tahun Siswa laki-laki Siswa perempuan 1915 18.970 3.490 1925 28.722 10.195 1929-1930 29.984 11.917 1934-1935 31.231 15.492 1939-1940 34.307 19.605 * Dalam sumber tidak dijelaskan wilayah sekolah tersebut. Kees Groenboer, Weg tot het Western. Het Nederlands voor Indoe, 1600-1950, (Leiden: KITLV, 1993), Verhandeingen 158, Appndix XVIII, hlm. 498, dalam Frances Gouda, Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda, 1900-1942, (Jakarta: Serambi, 2007), hlm. 142. Tabel di atas menunjukkan bahwa pendidikan perempuan terus berkembang pada tahun 1920an-1940an, di mana jumlah siswa perempuan mengalami peningkatan setiap tahunnya meskipun masih lebih kecil daripada siswa laki-laki. Selain bersekolah, mereka juga turut aktif dalam berbagai organisasi, baik yang bersifat sosial, agama, nasionalis, kepemudaan hingga 4) Frances Gouda, Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda 1900-1942, (Jakarta: Serambi, 2007), hlm.137. 5) Saskia E. Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan Indonesia. Jakarta: Garba Budaya dan Kalyanamitra, 1999), hlm. 222.
197 Perempuan Bicara dalam Majalah Dunia Wanita Vol. 14 No. 2 October 2018 organisasi perempuan. 6 Hal tersebut semakin mendorong mereka pada ide-ide kemajuan dan kesetaraan, meskipun masih berkutat pada isu-isu domestik, namun perempuan telah mulai keluar dari rumah-rumah pingitan mereka, menyuarakan hak-hak yang mereka perjuangkan, seperti pendidikan perempuan, hukum perkawinan, dan lainnya. Ide-ide kesetaraan dalam rumah tangga pun sempat terdengar, disuarakan oleh perempuan-perempuan pergerakan. Nyi Sri Mangoensarkoro menjadi salah satu pemantik ide kesetaraan dalam rumah tangga. Menurutnya bukan hanya perempuan yang harus aktif dalam dunia politik, sosial, ekonomi dan budaya yang notabennya merupakan wilayah kekuasaan laki-laki, namun laki-laki juga harus terlibat dalam ranah domestik. Hal tersebut merupakan salah satu cara agar masyarakat tidak memandang rendah peran-peran yang dilakukan perempuan dalam ranah domestik, seperti pengasuhan anak hingga penyelesaian tugas-tugas rumah tangga.7 Selain melalui majalah, ide kesetaraan dalam rumah tangga pun disuarakan melalui novel. Suwarsih Djojopoespito yang berjudul Manusia Bebas, di mana ia menggambarkan bagaimana kehidupan rumah tangga pasangan pergerakan dengan seorang anak. Ia mendeskripsikan bagaimana pasangan tersebut berbagi peran dalam mengasuh anak. Selain itu, dibahas pula isu poligami, di mana menurutnya, kendatipun laki-laki telah memiliki pemikiran progresif, namun mereka masih terjebak pada hal-hal yang merendahkan perempuan, seperti melakukan poligami hingga menjadikan perempuan sebagai bahan lelucon.8 Melalui dua hal tersebut dapat kita ketahui bahwa ide kesetaraan dalam rumah tangga menjadi hal yang juga dipikirkan oleh perempuan, meskipun tidak secara massif. Hal ini dimungkinkan masih adanya pemikiran bahwa ranah domestik merupakan kodrat perempuan sehingga perempuanlah yang bertanggung jawab di dalamnya. Selain itu kemajuan dan kesetaraan perempuan masih dilihat sebatas bagaimana perempuan terlibat di ranah publik, tanpa menuntut juga keterlibatan laki-laki di ranah domestik. Perempuan juga menjadikan tulisan sebagai cara untuk menyebarkan 6) Dalam Kongres Perempuan Indonesia I tercatat sebanyak 22 dua organisasi perempuan yang mengirimkan anggotanya sebagai perwakilan, yaitu Aisjijah, Boedi Rini, Boedi Wanito Darmo Laksmi, JIBDA, Jong Java, Karti Wara, Koeseoemo Rini, Margining Kaoetamaan Natdatoel Fataat, Patri Krido Wanito, Poetri Boedi Sedjati, Poetri Indonesia, Roekoen Wanodijo, Santjaja Rini, Sarikat Islam Bagian Istri, Wanito Katholiek, Wanito Kentjono, Wanito Oetoemo, Wanito Moelijo, Wanito Sedjati dan Wantio Taman Siswa. Organisasi tersebut berasal dari kota-kota besar di Jawa. Susan Blackburn, Kongres Perempuan Indonesia, Tinjauan Ulang, (Jakarta: Obor & KITLV, 2007), hlm. xxv. 7) Wanita Tamansiswa Djakarta, “Dimanakah Tempat Perempoean, Dalam Roemah Tangga atau Dalam Masyarakat?”, dalam Poesara, Djuni, 1934: 122; Nj. Sri Mangoensarkoro, “Arti Perempoean Sebagai Iboe Bangsa”, dalam Wasita, April 1935, hlm. 129-130. 8) Suwarsih Djojopuspito, Manusia Bebas, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000), hlm. 91-92
198 Siti Utami Dewi Ningrum Lembaran Sejarah pemikirannya, baik melalui majalah maupun novel. Pasca Indonesia merdeka, perempuan tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk turut aktif dalam mengisi kemerdekaan dan memajukan kehidupan perempuan. Kowani yang merupakan organisasi perempuan terbesar di Indonesia tahun 1950-an banyak terlibat dalam kegiatan sosial, masalah rumah tangga, hak perempuan dan beberapa programnya menuju pada usaha menyadarkan perempuan untuk berpartisipasi dalam dunia politik. 9 Namun sayangnya, pos-pos dalam pemerintahan banyak diisi oleh laki-laki. Perempuan tetap diserahi peran-peran yang berkaitan dengan urusan domestik. Dalam hal ini, Saskia E. Wieringa berpendapat bahwa laki – laki mengambilalih kekuasaan negara sebagai miliknya dan menganggap perempuan sebagai pesaing. Laki – laki mendominasi ranah diluar rumah tangga dan perempuan dikonstruksikan sebagai bagian yang tidak bisa lepas dari dunia rumah tangganya sebagai kodrat alami sehingga pengabdiannya untuk bangsa ialah pengabdian dalam keluarga.10 Pada masa kemerdekaan, perempuan juga terus menyuarakan pendapatnya melalui tulisan. Majalah menjadi salah satu media yang banyak dipilih oleh perempuan, baik majalah organisasi maupun majalah komersial. Tidak berbeda dengan tulisan-tulisan perempuan pada masa kolonial, menurut Jakob Sumardjo novel hingga majalah perempuan pasca kemerdekaan tidak dapat lepas dari apa yang dipikirkan perempuan pada masa kolonial, yaitu berisi seputar perempuan dalam rumah tangga sebagai istri dan ibu yang mengidamkan kedamaian rumah tangga. 11 Hal tersebut dikarenakan perempuan yang aktif pada masa pasca kemerdekaan, tahun 1950-an adalah perempuan Indonesia yang mendapatkan pendidikan pada masa kolonial. Menurut Myra M. Sidharta majalah perempuan sendiri berbeda dengan majalah lainnya, di mana majalah perempuan memiliki tugas khusus, yaitu menciptakan dunia yang khas untuk perempuan yang sebagian besar mengenai pengasuhan rumah tangga, baik ia bekerja maupun di rumah. Ia harus mampu mengurus rumah tangganya, baik dalam hal ekonomi, kesehatan, makanan, pendidikan, dan lainnya. Selain itu mereka juga dituntut untuk dapat mendampingi suami dalam pekerjaannya dengan terus mengetahui informasi terkini. Selain itu terdapat pula informasi tentang kesehatan, kecantikan, resep makanan, iklan, cerita bersambung, tokon inspiratif dan lainnya. Karena 9) Kongres Wanita Indonesia awalnya bernama Kowani (Badan Kongres Wanita Indonesia), gabungan dari Perwari dan PPII, dibentuk di Solo pada tahun 1946. Organisasi ini kemudian berganti nama menjadi Kongres Wanita Indonesia pada kongres Kowani yang kelima di Jakarta 24-26 November 1950. Cora Vreede-De Steurs, Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008), hlm. 176-180. 10) Saskia E. Wieringa, op.cit., hlm. 1944: 276. 11) Jakob Sumardjo, “Perempuan Indonesia dan Kesustraannya”, dalam Mayling Oey-Gardiner, dkk (ed.s), Perempuan Indonesia: Dulu dan Kini, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1996), hlm. 35.
199 Perempuan Bicara dalam Majalah Dunia Wanita Vol. 14 No. 2 October 2018 selain memberikan informasi, majalah perempuan juga memiliki tujuan komersil. Masing-masing majalah pun menciprakan informasi yang berkelas hingga kontroversional. Hal tersebut nantinya akan dipilih oleh pembaca, mana majalah yang ia butuhkan.12 Jenis majalah perempuan sendiri terbagi menjadi dua, yaitu majalah komersil dan non-komersil. Majalah non-komersil biasanya diterbitkan oleh organisasi perempuan yang ditujukan kepada para anggotanya. Konten yang ada dalam majalah ini biasanya isu-isu yang menjadi fokus utama dari organisasi tersebut.13 Selain itu dalam majalah tersebut pula berisi informasi perkembangan organisasi. Majalah perempuan yang bersifat komersial biasanya lebih berorientasi pada industri, di mana majalah tersebut diproduksi untuk mencari keuntungan dan disebarkan sebagai komoditas, sehingga mereka berusaha menghasilkan produk yang popular, menarik massa dan mudah dijual. Hal ini berakibat pada konten-konten yang dipilih disesuaikan dengan permintaan pasar.14 Majalah Dunia Wanita merupakan salah satu majalah yang popular pasca kemerdekaan Indonesia. Isu-isu yang dibahas tidak hanya tentang bagaimana perempuan menjadi ibu dan istri yang baik dalam rumah tangga dan keluarga serta dalam masyarakat. Hal yang menarik dalam majalah Dunia Wanita adalah adanya ide kesetaraan dalam rumah tangga yang banyak di bahas di dalam artikel-artikelnya. Bagaimana ide tersebut disampaikan? Dan isu-isu apa saja yang dibahas untuk memunculkan kesetaraan dalam rumah tangga? Hal tersebut akan dibahas dalam tulisan ini dengan menggunakan metode sejarah dan perspektif gender. Selain menggunakan majalah Dunia Wanita sebagai sumber, tulisan ini juga menggunakan artikole dari majalah pada masa kolonial, serta buku-buku pendukung, mulai dari karya sastra hingga karya ilmiah. Perkembangan Majalah Perempuan Indonesia Keterlibatan perempuan dalam dunia pers telah muncul sejak masa kolonial hingga saat ini. Periode kolonial (1908-1945) diawali dengan kemunculan majalah Poetri Hindia pada 1908. Majalah tersebut ialah majalah perempuan pribumi pertama yang diketuai oleh R.T.A.Tirtokoesoemo, bupati Karang Anyar. Penerbitan majalahnya bahkan mendapatkan dukungan dari ibunda Ratu Wilhelmina dengan menghibahkan buku-bukunya. Setelah itu, tahun 1912 penerbitan majalah-majalah perempuan di Hinda Belanda semakin 12) Myra M. Sidharta, “Majalah Wanita: Antara Harapan dan Kenyataan” dalam Wanita dan Media: Konstruksi Ideologi Gender dalam Ruang Publik Orde Baru, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Bandung, 1998), hlm. 117-118. 13) Myra M. Sidharta, op.cit., hlm. 121 14) Jane Ardaneshwari, “Potret Dilema Perempuan Bekerja dalam Media Perempuan Indonesia”, dalam Jurnal Perempuan, Vol. 18 No.1, Maret 2013, hlm. 33.
200 Siti Utami Dewi Ningrum Lembaran Sejarah berkembang. 15 Organisasi perempuan menjadi salah satu pendorong perkembangan tersebut. Mereka sadar bahwa melalui majalah pengetahuan dan ideologi yang mereka miliki dapat tersebar lebih luas. Adriane Huijzer dalam tesisnya menjelaskan dengan sangat baik ideologi-ideologi yang disuarakan oleh organisasi perempuan di Indonesia masa kolonial. Soeara Aisjijah milik organisasi Aisyiyah, sayap perempuan dari Muhammadiyah lebih mengarahkan perempuan untuk menjadi perempuan modern yang sesuai dengan Islam dan budaya Jawa, seperti yang ditunjukkan dalam gambaran perempuan yang sedang mengajari membaca, mengenakan sepatu dengan hak namun tetap menggunakan kebaya dan kain serta berhijab.16 Istri Sedar dengan ideologi yang lebih radikal dari Aisyiyah menghendaki perempuan untuk dapat mencapai hak yang sama dengan laki – laki. Perempuan yang ideal ialah perempuan yang aktif dalam dunia politik selain mengurusi rumah tangganya. 17 Wanito Oetomo merupakan organisasi sayap perempuan dari Budi Utomo, di mana anggotanya adalah istri pegawai dalam pemerintahan Hindia Belanda yang merupakan para priyayi. Perempuan ideal yang digambarkan dalam majalah Bale-warti Wanito Oetomo tersebut ialah perempuan Jawa yang modern, di mana menjadi seorang istri dan ibu yang baik yaitu mengurus dan mendidik anak dengan baik, menjaga kebersihan serta mengatur keuangan dan menjadi teman yang baik untuk pasangannya. Mereka juga harus mampu menjunjung martabatnya.18 Perikatan Perempuan Indonesia yang didirikan pasca Kongres Perempuan Indonesia 22 – 25 Desember 1928 di Yogyakarta juga menerbitkan majalah Istri. Sama halnya dengan majalah organisasi lainnya, selain menjadi media untuk menyebarkan informasi kepada anggotanya mengenai perkembangan organisasi, majalah ini juga berusaha menyuarakan perjuangan kemajuan perempuan Indonesia dalam pendidikan dan perkawinan sesuai dengan apa yang disepakati dalam kongres. 19 Hal tersebut menunjukkan bahwa majalah perempuan pribumi pada masa kolonial bukanlah majalah komersial karena diterbitkan oleh organisasi. Selain itu majalah perempuan masa kolonial berkutat pada isu pekawinan, pendidikan dan sosial. Pada masa Jepang seluruh organisasi dibubarkan dan digantikan dengan organisasi yang dibentuk oleh Jepang dalam mendukung propagandanya. Fujinkai menjadi organisasi perempuan satu-satunya saat itu. Banyak 15) Myra M.Sidharta, op.cit., hlm. 118-120. 16) Adriane Huijzer, “Indonesian Women as Agents in a Changing Colonial Society, 1900-1942” tesis S2, Vrije Universiteit, Amsterdam, hlm. 69. 17) Ibid, hlm. 77. 18) Ibid., hlm. 81 19) Blackburn, Susan., Kongres Perempuan Indonesia, Tinjauan Ulang, (Jakarta: Obor & KITLV, 2007), hlm. : xliv-xlvi
201 Perempuan Bicara dalam Majalah Dunia Wanita Vol. 14 No. 2 October 2018 Figur 1.Soeara Aisjijah, vol. 7, no. 12, Agustus 1932, dalam Adriane Huijzer: 69 perempuan pergerakan bergabung di dalamnya agar tetap dapat memperjuangkan kemajuan perempuan. Siti Soekaptinah Soenaryo Mangoenpoespito yang sebelumnya tergabung di PPI, namun kemudian menjadi ketua Fujinkai.20 Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 disambut dengan suka cita oleh rakyat Indonesia. Usaha utuk mengisi kemerdekaan dilakukan dalam berbagai bidang, termasuk organisasi perempuan dan dunia pers. Selain majalah yang diterbitkan oleh organisasi, saat itu muncul juga beberapa majalah perempuan yang independen serta majalah komersil. Majalah Soeloeh Wanita mejnadi majalah perempuan pertama yang muncul pasca kemerdekaan. Majalah tersebut diterbitkan di Malang tahun 1945. Selain itu muncul majalah Karja yang diterbitkan oleh Perkumpulan Pekerja Perempuan Indoneisa tahun 1947. Tahun 1948 terbit juga majalah Wanita di Solo.21 Menjamurnya majalah perempuan pasca kemerdekaan menunjukkan bahwa antusias dan semangat perempuan untuk menyuarakan pendapatnya dan memberikan informasi kepada sesama perempuan Indonesia mengalami perkembangan. Hal tersebut juga menunjukkan tingkat minat untuk membaca mulai tertanam dalam masyarakat. meskipun perkembangan tersebut masih terbatas pada perempuan kalangan menengah ke atas dan perkotaan, namun dapat dikatakan sebagai langkah awal bagi kemajuan perempuan di Indonesia. Di Medan, seorang perempuan Minangkabau mencoba membunyikan suara-suara perempuan melalui majalah yang didirikannya. Majalah Dunia Wanita menjadi majalah popular pada masanya. Terbit pada 15 Juni 1949, majalah tersebut muncul sebagai majalah komersil yang berusaha terus memajukan kehidupan perempuan dengan pembahasan isu yang beragam, mulai dari politik, ekonomi, sosial, budaya dan keluarga. Seperti apa sosok Ani Idrus dan perjuangannya dalam mendirikan Dunia Wanita? Hal tersebut akan dibahas dalam bagian selanjutnya. Ani Idrus dan Kemunculan Majalah Dunia Wanita Ani Idrus lahir dengan nama Rohani di Sawah Lunto pada 25 November 1918 dari ayah bernama Sidi Idrus dan Siti Djalisah. Kakaknya bernama 20) Sri Sjamsiar Issom, “Sukaptinah Sunaryo Mangunpuspito: Sosok Wanita Pergerakan Indonesia (1928-1956), Tesis Pascasarjana Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, 2000, hlm. 100-102. 21) Elsye Meilani, Majalah Dunia Wanita 1949-1950, Suatu Jembatan Menuju Kemajuan Wanita, skripsi Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indoneisa, 1996, hlm. 23.
202 Siti Utami Dewi Ningrum Lembaran Sejarah Rohana, lahir pada 1916. Ayahnya asli Minang, sedangkan ibu Ani merupakan keturunan campuran Jawa-Minang. Keluarga mereka termasuk dalam status sosial yang cukup baik dalam masyarakat. Ayah Ani bekerja sebagai pegawai di perusahaan tambang batubara dan sempat mengenyam pendidikan di sekolah rakyat.22 Ani kecil tinggal dalam masyarakat matrilineal dengan adat yang sangat ketat di Minangkabau. Dalam masyarakat matrilineal, perempuan menjadi penentu keberlangsungan keluarganya. Anak-anak menjadi milik keluarga ibu. Rumah didirikan oleh anak perempuan yang nantinya diketuai oleh kepala keluarga, yaitu seorang mamak, saudara laki-laki yang lebih tua dan keponakan mamak. Saat hendak menikah, calon pengantin perempuan tetap di rumah gadang. Ia akan dinikahkan oleh mamak tertua yang menjadi penghulu. 23 Harta yang dimiliki dikelola oleh mamaknya, sedangkan jerih payah suami digunakan untuk keponakannya dalam memenuhi pendidikan. Dalam hal ini, menurut adat Minangkabau, laki-laki sebagai suami atau ayah tidak memiliki tanggung jawab dalam keluarganya sendiri. Mereka hanya dibebankan untuk memenuhi kebutuhan saudaranya yang perempuan dan keponakannya. Pemilihan laki-laki sebagai anggota keluarga yang baru pun berada di bawah kuasa nini mamak.24 Aturan adat seperti itu banyak memunculkan ketidakhadmonisan dalam rumah tangga. Kuasa yang kuat yang dimiliki nini mamak menjadi salah satu faktor terjadinya pernikahan paksa. Selain itu, sistem tersebut juga mendorong laki-laki untuk tidak terlibat secara setara dalam rumah tangganya. Poligami kemudian menjadi hal yang banyak dilakukan oleh lelaki Minang. Dalam data sensus penduduk 1930 tercatat 8,7% poligami terjadi di Minangkabau, lebih tinggi dari Jawa dan Madura yang hanya 1,9%. 25 Karena pengaruh adat, perempuan Minang banyak mengalah pada nasib, termasuk pada poligami.26 Poligami menjadi cobaan bagi kedua orang tua Ani Idrus. Ibunya memilih untuk bercerai akibat suaminya memiliki istri baru. Setelah bercerai Siti Djasilah pergi merantau ke kota Medan, ikut dengan kakak laki-lakinya, sedangkan Ani dan kakaknya tetap tinggal bersama ayahnya. Ani kecil hidup dengan penuh kebebasan, ia dapat mandi di sungai hingga memanjat pohon. Ani seringkali dikritik oleh ayahnya, saat itulah ia mulai mempertanyakan tentang perbedaan laki-laki dan perempuan.27 22) Tridah Bangun, Hjj. Ani Idrus Tokoh Wartawati Indonesia, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1990), hlm. 13-14 23) Cora Vrede de Steur, op.cit., 13-15. 24) Tridah Bangun, op.cit., hlm.11. 25) Cora Vrede de Steur, op.cit., 158. 26) Suriani, “Perempuan dalam Pers dan Politik di Kota Medan: Biografi Ani Idrus 1930an-1970an”, Tesis, S2 Sejarah Program Pascasarjana, FIB, UGM, 2015, hlm. 35. 27) Tridah Bangun, op.cit., hlm.15.
203 Perempuan Bicara dalam Majalah Dunia Wanita Vol. 14 No. 2 October 2018 Di Medan Siti Djasilah bertemu dengan lelaki Jawa bernama Misan, seorang pegawai perusahaan asing. Mereka pun menikah dan membawa Ani dan kakaknya untuk tinggal di Medan pada 1929. Di Medan Ani memulai hidup baru dan cita-citanya. Di Medan, Ani bersekolah di Methodist Girl School selama 3 tahun, lalu kemudian ke Meisjeskopschool (Sekolah kepandaian putri) selama 3 tahun dan ke Tamansiswa Medan. 28 Ia juga semakin gemar membaca dan menulis karena dukungan dari ayah tirinya yang berlangganan surat kabar.29 Saat bersekolah d Tamansiswa, 1934, Ani menggeluti pekerjaan freelance di majalah harian. Ia juga aktif berorganisasi muali dari menyanyi, menari hingga olahraga. Saat berusia 16 tahun, Ani aktif dalam Indonesia Muda cabang Medan. Ia kemudian bergabug dalam Gerindo pada usia 18-19 tahun. partai tersebut didirikan pada 24 Mei 1937 yang diketuai oleh Adnan Kapau Gani. Anggotanya terdiri dari mantan anggota Patindo, seperti Amir Sjarifuddin, Wilopo, S. Mangunsarkoro, M. Yamin dan Nyonoprawoto. Semua kegiatan yang dilakukan Ani didukung oleh kedua orang tuanya.30 Pengalaman hidup Ani turut berpengaruh dalam membentuk cara berfikirnya, termasuk dalam menulis. Ia banyak menaruh perhatian pada permasalahan perempuan dan dituangkan dalam tulisan-tulisannya. Karya pertamanya bercerita tentang seorang gadis di Batavia yang dikirim ke majalah Pandji Poestaka di Batavia dan berhasil dimuat pada tahun 1930. Keberhasilannya tersebut membuat Ani semakin percaya diri dan terus mengembangkan bakat menulisnya hingga ia dewasa.31 Ia kemudian meniti karir sebagai seorang jurnalis, mulai dari menjadi bagian di Pewarta Deli hingga Sinar Deli. Ia banyak bertemu jurnalis-jurnalis senior dan orang- orang pergerakan, salah satunya HN Rasuna Said. Ia juga bertemu Moh.Said, seorang jurnalis senior yang kemudian dipilih sebagai suaminya pada 1939. Bersama Said, Ani mendirikan penerbitan Waspada pasca Indonesia merdeka. Sebelumnya Ani juga sempat mendirikan majalah Wanita, namun agar lebih fokus mengurus Waspada, maka majalah tersebut ia tinggalkan.32 Semangat Ani untuk mendirikan majalah perempuan tidak padam. Ia kemudian menerbitkan majalah Dunia Wanita pada Juni 1949. Majalah ini merupakan bentuk kesadaran Ani untuk mengambil bagian dalam kemajuan perempuan saat itu, terutama dalam mengisi kemerdekaan. Majalah tersebut merupakan majalah tengah bulanan populer. Hal ini karena Ani mengaturnya lebih matang dripada majalah yang ia dirikan sebelumnya dengan struktur 28) Ibid., hlm.19. 29) Suriani, op.cit.,hlm. 47-48. 30) Tridah Bangun, op.cit., hlm.105-107. 31) Elsye Meilani, op.cit., hlm. 29-31. 32) Tridah Bangun, op.cit., hlm.59-60.
204 Siti Utami Dewi Ningrum Lembaran Sejarah kepegawaian yang cukup lengkap dan wilayah pemasaran yang cukup luas.33 Majalah Dunia Wanita mempekerjakan perempuan sebagai nya. Mereka tidak hanya berada di Medan, namun juga beberapa pembantu tetap yang ada di luar Medan, seperti Gadis Rasid di Jakarta, Nj. Dr. S. Djojopoespito di Yogyakarta dan Nona Chen Hsiang-Niang di Banjaran. 34 Ani Idrus menjadi ketua, sedangkan Asminah Hasibuan dibantu Anna dalam bagian tata usaha dan keuangan, Sabariah dan Effa bagian redaksi, dan Nurmia bagian tatausaha dan redaksi.35 Perempuan menjadi penulis utama dalam Dunia Wanita dan dibebaskan dalam menuliskan temanya mulai dari politik, ekonomi hingga masalah rumah tangga. 36 Majalah Dunia Wanita juga memberi kesempatan kepada laki-laki untuk mengirim tulisan yang bertemakan perempuan. Selain itu, pembaca juga diperkenankan untuk menuangkan pemikirannya dan mengirimkan hasil karangannya tersebut ke redaksi Dunia Wanita.37 Majalah Dunia Wanita dicetak dengan kualitas yang bagus dengan harga f. 1.50 majalah ini berhasil dijual sebanyak 1000 eksemplar. 38 Majalah ini sangat dinantikan oleh pembaca, di mana yang pada awalnya berencana diterbitkan 20 halaman menjadi lebih banyak daripada target awal, yaitu 28 halaman. Hal ini didukung oleh banyaknya permintaan iklan untuk diterbitkan dalam majalah tersebut. Penulis-penulis kondang juga menuangkan pikirannya dalam majalah unia wanita, seperti Maria Ulfa, Ny.Dr.Subandrio, Rinto Alwi dan lainnya. 39 Agen pemasarannya menyebar di kota – kota Indonesia seperti Toko E Abd. Gani di Bangkalan-Madura, Maxim di Surabaya, Eveline Tio di Pekalongan, Nj. Dr. S. Djojopoespito di Yogyakarta, Nj. D. Sudarma di Bogor, toko buku “Obor” di Martapura, An Lok di Makasar, A.S. Riduan Wahidin di Alabio-Banjarmasin, toko buku “Hamda” di Amuntai, “Perdis” di Tanjung Karang, Sitti Roesdijah di Baturaja, Kwee Tiang Mo di Muara Enim- Palembang, pustakan “d’Orient” dan Lie Kheng Ho di Padang, J. Sihombing di Tarutung, Go Tie Tiong di Samarinda, bahkan hingga ke Singapura oleh agen Marjam Saman. 40 Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat sangat antusias dalam membaca majalah Dunia Wanita. Melalui Dunia Wanita, Ani mendorong perempuan untuk mengetahui keberadaan diri dan hak – hak perempuan dalam mengisi kemerdekaan, baik dalam politik, ekonomi, sosial dan keluarga. Hal tersebut dengan jelas ia 33) Ibid, hlm.59-60. 34) Elsye Meilani, op.cit., hlm. 36. 35) Dunia Wanita , No.12-13 Tahun IV,15 Juni 1952: 24-24 dan 39. 36) Elsye Meilani, op.cit., hlm. 36. 37) Dunia Wanita, No.1 Tahun I, 15 Juni 1949, hlm. 10. 38) Pada tahun 1952, harga Dunia Wanita berubah menjadi Rp. 2. Wawancara dengan Ani Idrus, 10 Oktober 1995., dalam Elyse Meilani, op.cit., hlm. 36. 39) Tridah Bangun, op.cit., hlm.61. 40) Dunia Wanita, No.1 Tahun 1, 15 Juni 1949, hlm. 6
205 Perempuan Bicara dalam Majalah Dunia Wanita Vol. 14 No. 2 October 2018 paparkan dalam kata pengantar terbitan edisi pertama, 15 Juni 1949 sebagai berikut: “[...] Oleh sebab itulah kami menerbitkan madjallah ini karena kami merasa insaf dengan djalan memberikan penerangan – penerangan dalam madjallah ini kami dapat menjumbangkan bakti untuk kemadjuan wanita. [...]”41 Fatmawati menjadi sampul majalah di edisi pertama Dunia Wanita. Gadis Rasid, salah seorang majalah Dunia Wanita menjelaskan dalam edisi tersebut bahwa meskipun majalah Dunia Wanita merupakan majalah perempuan, namun laki-laki juga dapat membacanya. Menurutnya, tidak ada pemisahan antara laki – laki dan perempuan dalam masyarakat, meskipun ada beberapa kepentingannya yang berbeda seperti apa yang dituliskan dalam Dunia Wanita. Keduanya harus aktif bersama untuk mencapai kebahagiaan dalam masyarakat dan memperjuangkan cita – cita bangsa.42 Majalah Dunia Wanita sempat hendak ditutup akibat ketidaksetujuan Moh.Said. Hal ini ditimbulkan akibat uang belanja yang diberikan kepada Ani digunakan untuk keperluan majalah Dunia Wanita. Sebelum berangkat ke Yogyakarta untuk melakukan pertemuan negara, Said memberi peringatan kepada Ani untuk menutup Dunia Wanita. Namun di Yogyakarta ia betemu Ibu Fatmawati dan Rahmi Hatta yang sangat antusias dengan majalah Dunia Wanita. Sepulang dari Yogyakarta, recana Said semula dibatalkan dan justru menukung Ani secara penuh untuk mengembangkan Dunia Wanita.43 Keterlibatan Ani di Dunia Wanita ia jalani hingga tahun 1961. Dalam dunia pers, Ani mencapai jabatan tertingginya sebagai ketua Persatuan Wartawan Indonesia cabang Medan. (1953-1963) Ia juga sempat melakukan berbagai kunjungan ke negara-negara Asia, Eropa dan Irian Jaya dalam misinya sebagai seorang jurnalis. Selain dunia pers, Ani juga aktif dalam dunia politik. Ia aktif dalam PNI dan Wanita Marhaenis pada tahun 1960-1967. Selain itu ia juga menjadi anggota DPRD Sumatera Utara. Ia juga sempat meniadi Wasekjen Front Nasonal Sumatera Utara mewakili golongan perempuan.44 Pada awal terbit, Dunia Wanita menampilkan beberapa rubik, seperti kata pengantar, profil perempuan, artikel dan opini tentang perempuan, “Tanah Air” mengenai keadaan dalam negeri, “Surat Menyurat”, “Djahit Mendjahit”, “Kesehatan”, “Halaman Bergambar” yang berisi foto kegiatan perempuan di dalam dan di luar negeri, “Pendidikan”, “Dalam Rumah Tangga”, “Masak-masakan”, “Untuk Wanita Sadja”, “Tjerita Pendek”, 41) ibid, hlm. 5. 42) Gadis Rasid, “Dunia Wanita”, dalam Dunia Wanita, No. 1 Tahun 1, 15 Juni 1949, hlm. 43) Tridah Bangun, op.cit., hlm.62. 44) Ibid, hlm.64-65.
206 Siti Utami Dewi Ningrum Lembaran Sejarah “Rudjak Petis” yang berisi humor, juga karikatur dan beberapa catatan tambahan serta iklan. 45 Beberapa dari rubik tersebut beberapa kali mengalami perubahan, seperti rubik “Untuk Wanita Sadja” yang berisi opini dan juga sebuah himbauan mengenai bagaimana perempuan harus bertindak dalam hidupnya, juga beberapa strategi dalam rumah tangga dan cara yang dapat dilakukan untuk menjalin relasi dengan suami. Rubik tersebut menghilang pada terbitan tahun 1950. Redaksi tidak menjelaskan mengenai penghilangan rubik tersebut, namun rupanyanya rubik tersebut menuai kesalahpahaman pada pembaca laki – laki seperti yang dijelaskan oleh redaksi sebagai berikut: “Banjak orang laki – laki tidak mengerti maksud “D.W.” tentang iklan – iklan yang dimuat di surat – surat chabar tentang satu rubiek jang kami harap djangan dibatja oleh laki-laki. Sangka mereka semua isi madjallah itu dilarang dibatja oleh laki – laki. Untuk mendjaga supaya djangan terdapat salah paham, maka perlu kami terangkan di sini bahwa “Dunia Wanita” bukan tidak boleh dibatja laki – laki tetapi di dalam madjallah itu ada satu rubiek jang hanja untuk WANITA sadja, jang mana kalau boleh djangan dibatja oleh laki – laki, karena di dalemnja dibitjarakan soal perempuan sadja yang tidak perlu diketahui laki-laki. [...]46 Rubik “Untuk Wanita Sadja” kembali muncul pada edisi No. 24 Tahun ke IV 15 Desember 1952 dalam isi yang lebih banyak.47 Pada edisi No. 1 tahun ke IX 1 Januari 1957 muncul rubik yang memberikan kolom semacam surat terbuka dari pembaca yang dikategorikan sebagai “Harapan Istri” dan “Suara Seorang Suami” sebagai jalan untuk mengutarakan pendapat dan apa yang dialami dalam rumah tangga dan ingin dibagi kepada pembaca Dunia Wanita. Sayangnya rubik tersebut pun tak berlangsung lama, hanya bertahan pada edisi No. 7 tahun ke IX 1 April 1957 dan menghilang tanpa penjelasan dari redaksi majalah Dunia Wanita. Karikatur yang berisi sindiran dan ide – ide kesetaraan pun menghilang dan digantikan dengan karikatur yang bersifat humor. Setelah itu, ide mengenai kesetaraan dalam rumah tangga di majalah Dunia Wanita menglami penurunan dan hilang perlahan digantkan dengan isu yang lain, seperti politik dan keterlibatan perempuan dalam masyarakat. Hal ini berkitan dengan sepak terjang perempuan dalam dunia politik pada masa demokrasi terpimpin yang ditandai dengan masuknya Gerwani dalam kancah politik.48 45) Dunia Wanita, No.1 Tahun I, 15 Juni 1949. 46) Dunia Wanita, No. 2 Tahun 1, 1 Juli 1949,hlm. 22. 47) Dunia Wanita, No. 24 Tahun ke IV 15 Desember 1952, hlm. 8-9. 48) Menurut Saskia E. Wieringa keterlibatan perempuan dalam dunia politik yang dikuasai oleh sayap kiri membuat mereka menjadi terkotak – kotak dan saling bersaing sehingga lupa akan perjuangan kepentingan feminis mengenai ide kesetaraan gender itu sendiri. Saskia E. Wieringa, hlm. 278-279.
207 Perempuan Bicara dalam Majalah Dunia Wanita Vol. 14 No. 2 October 2018 Meskipun membahas perempuan dalam berbagai bidang, masalah perempuan dalam rumah tangga yang menampilkan ide kesetaraan menjadi bagian yang menarik dalam konteks tahun 1950-an dalam tulisan – tulisan yang dimuat dalam majalah Dunia Wanita. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada masa demokrasi liberal dan penjaminan hak berpendapat diberikan oleh negara dimanfaatkan betul oleh perempuan melalui majalah Dunia Wanita ini dalam menyuarakan pendapatnya mengenai partisipasi istri dan suami secara setara dalam rumah tangganya untuk mencapai keharmonisan. Bagaimana hal tersebut disuarakan dalam majalah Dunia Wanita? Hal tersebut akan dibahas dalam bagian selanjutnya. Mendengar Suara-suara Perempuan: Bagaimana Menciptakan Keluarga dan Rumah Tangga Yang Setara? Menurut Ratna Saptari, terdapat perbedaan antara keluarga dan rumah tangga. Secara garis besar, keluarga dapat diartikan sebagai hubungan yang lebih bersifat biologis yang ditandai dengan adanya perkawinan dan adanya hubungan darah antara individu yang satu dengan yang lainnya. Keluarga inti terdiri dari ayah, ibu dan anak. Hubungan yang dibangun dalam keluarga lebih bersifat normatif. Berbeda dengan itu, rumah tangga hubungannya lebih dilihat dari sebuah keakraban antar individu tanpa harus berhubungan darah. Interaksi antar individu juga cenderung lebih dapat diukur secara empiris, misalnya dalam hal ekonomi dan pembagian tugasnya jelas. Siapapun dapat menjadi anggota rumah tangga selama ia melakukan aktivitas bersama dalam tempat yang sama.49 Dalam kehidupan rumah tangga dan keluarga, masing-masing perempuan mengalami kondisi yang beragam. Hal tersebut bergantung pada dengan latar belakang kelas sosialnya. Menurut Locher-Scholten misalnya, ia membagi kriteria perempuan dalam keluarga pada masa kolonial menjadi dua, yaitu perempuan dari kalangan priyai dan perempuan pekerja. Menurutnya perempuan priyai akan lebih terkukung pada tradisi di mana konstruksi yang dibangun dalam tradisi ialah bahwa perempuan sebagai istri harus tunduk pada suami. Berbeda dengan itu, perempuan pekerja dibangun dari keluarga kecil dan orientasi mereka adalah membentuk keluarga. Karena hubungan keluarga lebih didasari oleh rasa kemanusiaan, maka relasi antar individu di dalamnya lebih hangat dan peranan adat yang membuat mereka terkukung mengalami pengaburan. 50 Hal tersebut juga diungkapkan oleh Frances Gouda, 49) Ratna Saptari, “Women, Family and Household: Tensions in Culture and Practice”, dalam Juliette Koning, dkk (ed.s), Women and Households in Indonesia: Cultural Notions and Social Practices, (NIAS in Asian Topics: Curzon, 2000), hlm. 11. 50) Elsbeth Locher-Scholten, “Colonial Ambivalencies: European Attitudes towards the Javanese Household (1900-1942)”, dalam Juliette Koning, dkk (ed.s), Women and Households in Indonesia: Cultural Notions and Social Practices. (NIAS in Asian Topics: Curzon, 2000), hlm. 32-38.
208 Siti Utami Dewi Ningrum Lembaran Sejarah bahwa nasib perempuan petani lebih baik daripada perempuan priyayi dalam rumah tangganya karena mereka memiliki hak dalam bekerja maupun dalam keluarga, sedangkan perempuan kalangan sosial atas hidupnya dibatasi dalam lingkungan rumah tangga mereka yang dikuasai oleh laki – laki.51 Lalu bagaimana dengan suara perempuan kelas menengah ke atas perkotaan dalam majalah Dunia Wanita mengenai rumah tangga dan keluarga? Jika majalah perempuan selalu mengupayakan bagaimana perempuan dapat memenuhi perannya sebagai istri dan ibu yang baik, majalah Dunia Wanita memiliki hal unik. Majalah ini meminta laki-laki, ayah, untuk terlibat dalam kegiatan di ranah domestik. Selain itu, majalah ini juga memberikan pandangan tentang pentingnya kesetaraan relasi antara suami dan istri dalam menjamin keharmonisan rumah tangga. Ketimpangan antara hak suami-istri masing sering terjadi dalam rumah tangga. Yanti, Seorang pembaca Dunia Wanita mempertanyakan kedudukan suami istri dalam rumah tangga yang menurutnya tidak seimbang. Istri dituntut untuk memahami suami, namun tidak sebaliknya. Istri yang meninggalkan suami dianggap tidak bersusila rendah, namun tidak sebaliknya. Seorang ustadz menimpali bahwa perceraian ialah akibat kelalaian istri sehingga perempuan harus diingatkan dan diajari moral dengan baik.52 Atas kasus tersebut, Ida, seorang staff Dunia Wanita melalui tulisanya memberikan tanggapan bahwa jika hak dan kewajiban istri ialah hanya untuk memuaskan suaminya, maka hal tersebut dapat dilihat sebagai sebuah kemunduran. Permasalahan – permasalahan yang ada bukanlah semata – mata tanggung jawab perempuan, namun tanggung jawab masyarakat, yang di dalamnya ada perempuan juga laki – laki. Ia juga memberikan saran agar hal tersebut tidak terjadi, yaitu dengan bersama – sama memperbaiki moral masyarakat melalui agama. Selain itu sistri juga perlu aktif dalam organisasi perempuan agar wawasannya bertambah luas dan dapat bermasyarakat dan istri tidak selayaknya pula melarang kegiatan tersebut.53 Ide-ide tentang kesetaraan dan keharmonisan dalam rumah tangga dan keluarga kemudian terus dibahas walam Dunia Wanita. S. Diah dan Ida dalam artikelnya menjelaskan bahwa pekerjaan ranah domestik, seperti mengasuh anak, mengatur dan menyelesaikan tugas dan kebutuhan rumah tangga semestinya tidak disepelekan dan dianggap sebagai pekerjaan rendahan. Masyarakat seringkali menganggap pekerjaan-pekerjaan tersebut sebagai pekerjaan yang ringan, padahal menurutnya hal tersebut sangatlah berat, apa lagi saat perempuan juga aktif dalam kegiatan publik dan bekerja sehingga 51) Frances Gouda, op.cit., hlm. 168-170. 52) Sukeni, “Suami-Istri”, dalam Dunia Wanita, tahun ke 2 no. 26, 1 September 1950, hlm. 17. 53) Ida, “Berilah Hak-hak Kaum Wanita”, dalam Dunia Wanita, No. 26 Tahun II, 1 September 1950, hlm. 9-10.
209 Perempuan Bicara dalam Majalah Dunia Wanita Vol. 14 No. 2 October 2018 harus profesional di dalam rumah dan di luar rumah, sementara hal itu tidak diberlakkan bagi laki-laki.54 Untuk menjalankan rumah tangga yang memiliki pembagian peran yang setara, maka diperlukan keterlibatan laki-laki di dalam menyelesaikan tugas domestik. Dunia Perempuan menerbitkan tulisan yang diambil dari The Parent Magazine dengan judul “Untuk Mendjadi Ajah Sedjati”. Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa seorang suami hendaknya ikut aktif dalam kegiatan rumah tangganya, termasuk dalam mengurus anak. Hal ini karena anak memerlukan kasih sayang ayahnya untuk perkembangan mental juga kedekatan antara anak dan orang tuanya. 55 Seorang istri pun memerlukan istirahat dalam kesehariannya, sehingga sesekali suami hendaknya dapat mengurus rumah tangga saat istri sedang beristirahat, seperti memasak dan membersihkan rumah sehingga istri akan merasa bahagia.56 Selain berbagi peran dalam menyelesaikan tugas-tugas domestik, keharmonisan dalam keluarga juga dapat dicapai jika terjalin relasi yang sehat anatara suami dan istri. Banyak sekali artikel yang ditulis dalam Dunia Wanita yang berkaitan dengan tema tersebut. Artikel paling awal ditulis oleh Ida. Dalam tulisannya, “Beratkah Pekerdjaan Seorang Ibu?”, ia menyarankan agar suami dan istri harus dapat menghargai satu sama lain. Salah satu cara yang dapat dilakukan ialah dengan komunikasi yang baik. Istri harus bisa memahami suami dengan baik, seperti berbicara pada saat yang tepat dan dengan bahasa yang halus tanpa ada nada memerintah. 57 Berkaitan dengan 54) Ida, “Beratkah Pekerdjaan Seorang Ibu?”, dalam Dunia Wanita, No 18 Tahun II, 15 Maret 1950, hlm. 14-15. S. Diah, “Wanita Bukan Alat Dapur”, dalam Dunia Wanita, No. 26 Tahun II , 1 September 1950, hlm. 14. 55) NN, “Untuk Mendjadi Ajah Sedjati”, dalam Dunia Wanita, No.30 Tahun II, 15 Desember 1950, hlm. 14 dan 18. 56) Nj. J.C. Kimball, “Seorang Ibupun Memerlukan Istirahat”, Dunia Wanita No. 9 Tahun IV, 1 Mei 1952, hlm. 5 dan 18. 57) Ida, “Isteri”, dalam Dunia Wanita, 1 Juli 1949 tahun ke I, no. 2, hlm. 19. Figur 2. Keterlibatan suami dan istri dalam mengurus anaknya. Sumber: Dunia Wanita, No.30 Tahun II, 15 Desember 1950, hlm. 14 dan 18.
210 Siti Utami Dewi Ningrum Lembaran Sejarah hal tersebut, dalam artikelnya yang lain, Ida meneruskan bahwa laki-laki juga perlu untuk membenahi diri agar dapat dihargai dengan baik. Ia harus menjadi suami yang dapat dibanggakan oleh istri, antara lain dengan menghormati keluarga istri, tidak tempramen, tidak banyak omong, menjaga kebersihan dan kesehatannya serta pekerja keras.58 Wacana relasi sehat antara suami dan istri juga digambarkan dalam sebuah karikatur, di mana menggambarkan istri yang mencoba memahami keinginan suaminya dengan memasak masakan yang disukainya, namun suami tidak dapat mengontrol dirinya dengan baik dan membuat suasana rumah menjadi tidak nyaman. 59 Dari gamabar tersebut dapat dipahami pula bahwa keharmonisan dalam rumah tangga dapat dicapai atas kerja sama yang baik antara suami dan istri. Hal tersebut dijelaskan pula dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Dharmawati dengan judul “Rumah Tangga Saja?”. Ia menyampaikan infromasi untuk dapat menumbuhkan kebahagiaan di dalam rumah tangga di mana istri dan suami untuk dapat sama – sama berperan dalam menciptakan kebahagiaan tersebut dalam sepuluh point bentuk pengertian. Poin pertama ialah kejujuran dari kedua belah pihak. Poin kedua ialah menghargai keluarga, baik istri maupun suami yang berkunjung ke rumah. Poin ketiga ialah suami harus mengajak istrinya pergi mencari hiburan agar tidak hanya berdiam diri di rumah dan merasa kesepian. Poin keempat ialah saling membawakan oleh – oleh setelah bepergian jauh sebagai bentuk bahwa mereka saling mengingat satu sama lain saat berjauhan. Poin kelima ialah gembira saat menerima pemberian dari suami maupun istri sebagai bentuk penghargaan. Poin keenam ialah berbelanja, di mana saat berbelanja kedua belah pihak dapat saling meminta pertimbangan atas barang belanjaan yang hendak dibeli untuk mengurangi masalah saat tidak terjadi kesepakatan usai berbelanja. Poin ketujuh ialah baik suami maupun istri 58) Ida, “Banggakah Njonja Melihat Suami Njonja?”, dalam Dunia Wanita, 1 Juli 1949 tahun ke I, no. 2. 59) Dunia Wanita, No.30 Tahun II, 15 Desember 1950, hlm.11. Figur 3. “Serba Salah”. Sumber: Dunia Wanita, No.30 Tahun II, 15 Desember 1950, hlm. 11.
211 Perempuan Bicara dalam Majalah Dunia Wanita Vol. 14 No. 2 October 2018 Figur 4. Suami mengajak istrinya jalan–jalan. Sumber: Dharmawati, “Rumah Tangga Saja?”, dalam Dunia Wanita, No. 3 Tahun VI, Februari 1954: 5 dan 16. tidak mudah terpengaruh oleh kemewahan orang lain. Poin kedelapan ialah bersih dan gembira dalam keluarga agar tercipta suasana yang nyaman. Poin kesembilan ialah tidak mengganggu satu sama lain saat sedang melakukan pekerjaan. Jika sudah memiliki anak, maka baik suami maupun istri harus pengertian untuk menjaga anaknya saat salah satu pihak sedang sibuk dengan pekerjaannya. Poin terakhir ialah saling merawat saat salah satu pihak sedang sakit.60 Dari sepuluh hal tersebut dapat disimpulkan bahwa antara suami dan istri yang ideal ialah yang dapat menjadi partner dan orang tua yang baik dengan terlibat langsung mengurus anak dan rumah tangganya, mengerti cara untuk menghargai satu sama lain, baik sebagai suami-istri maupun individu yang merdeka. Selain ditulis oleh para staff Dunia Wanita, permasalahan kesetaraan dan keharmonisan dalam rumah tangga juga dibahas oleh pembaca melalui surat yang dikirimkan kepada redaksi dalam rubik “Suara Seorang Suami dan Harapan Istri”. Dalam rubik tersebut baik suami maupun istri yang bercerita mengenai rumah tanggadan istrinya secara garis besar menginginkan rumah tangga yang harmonis. Pembaca berinisial M. R. dan ST. R menceritakan pengalaman rumah tangganya yang kacau akibat tidak dipahaminya emansipasi dan kebebasan baik untuk suamii maupun istri dengan benar. Untuk itu mereka berharap agar suami maupun istri dapat menggunakan hak kesetaraan dengan baik dan saling menjaga kepercayaan satu sama lain karena jika tidak dipahami justru akan menimbulkan percecokan dan bahkan perceraian.61 Keluhan O.R.M. terhadap istrinya ialah harus dapat menjaga penampilan meskipun sudah memiliki anak dan sibuk dengan pekerjaannya, sedangkan M.S. menginginkan suaminya agar mengerti dengan tidak sering membawa banyak temannya bertamu di rumah, karena selain ia harus terus mengurusi tamu tersebut, pengeluaran untuk suguhan pun mengurangi keuangan rumah tangga di saat sedang krisis. 62 Suharti di Medan mengeluh karena suaminya sangat rewel dan galak terhadap anak – anaknya, sedangkan Suami 60) Dharmawati, “Rumah Tangga Saja?”, dalam Dunia Wanita, No. 3 Tahun VI, Februari 1954, hlm. 5 dan 16. 61) M.R. dan ST. R. Dunia Wanita, No. 1 Tahun IX, 1 Januari 1957, hlm.13 dan 17. 62) O.R.M. dan M.S., Dunia Wanita, No. 3 Tahun IX, 1 1957, 1 Februari 1957, hlm. 9 dan 21.
212 Siti Utami Dewi Ningrum Lembaran Sejarah X mengeluhkan istrinya yang kurang berpendidikan. 63 Dalam mengatasi konflik yang terjadi antara suami dan istri, Dunia Wanita membahas cara- cara yang dapat dilakukan. Menurut Sukeni jika suami istri memang sudah tidak memiliki kecocokan, maka perceraian dapat dilakukan daripada memberatkan kedua belah pihak. Bahkan menurutnya, istri boleh meminta cerai pada suaminya jika memang suaminya tidak berlaku baik padanya karena itu adalah bagian dari hak perempuan. 64 Perempuan harus sadar akan haknya, karena meskipun ia dilindungi oleh hukum negara dan agama jika ia tidak memahaminya dan menerapkan pada dirinya, maka ia akan selamanya ditindas. Pada gambar 3 dalam lampiran digambarkan bahwa laki – laki yang sudah sadar emansipasi sekalipun seringkali membatasi kebebasan istrinya untuk mengaktualisasikan dirinya. Akhirnya si istri berinisiatif untuk mengabaikan apa yang diinginkan suaminya tersebut karena ia merasa memiliki hak untuk berpendapat.65 Selain akibat relasi komunikasi yang buruk dan pembagian peran yang timpang dalam, poliami menjadi salah satu faktor penyebab konflik dalam rumah tangga. Menurut Siti Danilah, sesama perempuan pun harus saling menghargai agar dapat terhindar dari permasalahan tersebut. Jika poligami terlanjur terjadi, maka hal itu harus berjalan dengan cara yang damai, di mana sesama istri harus saling menghormati satu sama lain.66 Pro dan kontra poligami pun terus dibahas dan menjadi permasalahan yang tida kunjung usai. Pihak yang pro menganggap bahwa poligini boleh saja dilakukan selama itu tidak merugikan perempuan. Berbeda dengan itu, pihak yang kontra menganggap bagaimanapun juga poligami merupakan bentuk perbudakan terhadap perempuan. S.K. Trimurti sebagai pihak yang 63) Ny. Suharti dan Suami X, Dunia Wanita, No. 4 Tahun IX, 15 Februari 1957, hlm. 18-19. 64) Sukeni, “Soal Pertjeraian, Perlukah Mendjadi Perhatian Wanita?”, dalam Dunia Wanita, No. 18 Tahun II, 15 Maret 1950, hlm.11. 65) NN, “Masjarakat Mengharapkan Tenaga Wanita Djuga”, dalam Dunia Wanita, , No.12-13 Tahun IV, 15 Juli 1952, hlm. 9. 66) Siti Danilah St. M, “Penderitaan Wanita”, dalam Dunia Wanita, No. 18 Tahun II, 15 Maret 1950, hlm. 3 dan 20. Figur 5. NN, “Masjarakat Mengharapkan Tenaga Wanita Djuga”, dalam Dunia Wanita, , No.12-13 Tahun IV, 15 Juli 1952, hlm. 9.
213 Perempuan Bicara dalam Majalah Dunia Wanita Vol. 14 No. 2 October 2018 pro mengungkapkan bahwa poligini harus memenuhi syarat, yaitu istri kedua harus berpendidikan dan keibuan. Hal tersebut sebagai indikator bahwa istri baru itu dapat menjalin hubungan baik dengan istri sebelumnya serta anak – anaknya.67 Selain itu poligami harus dilakukan denan cara yang sesuai dengan hukum, di mana laki – laki yang melakukan poligami harus izin pada istri pertama. 68 Namun pihak yang kontra tetap saja menilai poligini sebagai perbudakan terhadap perempuan dan bukan ciri perempuan yang maju.69 Artikel-artikel di atas menunjukan bagaimana perempuan menyuarakan ide-ide mereka tentang kesetaraan dalam rumah tangga demi kemajuan perempuan. Kemajuan perempuan tidak harus selalu mengenai kesetaraan perempuan dan laki - laki dalam ranah publik, baik berpolitik dan bersosial, namun juga dari kemajuan pada rumah tangganya sendiri. Perempuan dan laki – laki bersama – sama dalam posisi yang setara membangun rumah tangga yang harmonis. 67) NN, “Pro dan Contra Poligami, Poligami Menjamin Wanita? Prakteknya Poligami Berakibat Wanita Diperbudak”, dalam Dunia Wanita no. 1 tahun ke III, 1 Januari 1951, hlm. 6 dan 21. 68) NN, “Dilarang Beristeri Dua dengan Tidak Seizin Isteri Tua, Perkawinan Mesti Merupakan Persetujuan Kedua Belah Pihak”, Dunia Wanita, No. ? Tahun III, 15 Mei 1951, hlm. 9. 69) NN, “Pro dan Contra Poligami, Poligami Menjamin Wanita? Prakteknya Poligami Berakibat Wanita Diperbudak”, dalam Dunia Wanita no. 1 tahun ke III, 1 Januari 1951,hlm. 6 dan 21. Figur 6. Saat suami poligini, seringkali anak dan istri yang lama ditelantarkan. Sumber: Siti Danilah St. M, “Penderitaan Wanita”, dalam Dunia Wanita, No. 18 Tahun II, 15 Maret 1950, hlm. 3.
214 Siti Utami Dewi Ningrum Lembaran Sejarah Kesimpulan Kesetaraan antara laki – laki dan perempuan dijamin oleh negara. Perempuan dan laki – laki di Melalui artikel-artikel dalam majalah Dunia Wanita dapat kita ketahui pula bagaimana cara berfikir perempuan pada tahun 1950an terhadap isu-isu domestik dan kesetaraan dalam rumah tangga. Cara berfikir yang masih terpengaruh oleh pendidikan yang bercampur antara tradisional dan modern terus mendikte mereka untuk dapat menjadi ibu dan istri yang modern. Dalam segala keterbatasan tersebut, para perempuan tetap berusaha menyuarakan apa yang mereka rasakan tentang hak-hak yang sepatutnya mereka miliki, yaitu untuk dapat memiliki relasi yang sehat dan setara dalam kehidupan rumah tangganya. Dalam hal ini, emansipasi bukan melulu bagaimana perempuan mampu keluar dari ranah domestik, namun juga kesetaraan dari ranah yang paling mendasar, yaitu rumah tangga. Emansipasi harus terus diupayakan dan bukan hanya dengan memberi dukungan kepada perempuan untuk maju, tapi juga turut aktif dalam kemajuan itu dan menjadi bagian yang memang menginginkan ide kesetaraan itu ada. Jika hal tersebut dapat dilakukan, maka salah satu bentuk opresi terhadap perempuan dapat teratasi, lagi. Daftar Pustaka Buku Blackburn, Susan., Kongres Perempuan Indonesia, Tinjauan Ulang. Jakarta: Obor & KITLV, 2007. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan, Pendidikan di Indonesia 1900-1940, 1977 Gouda, Frances,. Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda 1900-1942. Jakarta: Serambi, 2007. Suwarsih Djojopuspito, Manusia Bebas. Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000. Taufik, Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia. Jakarta: Trinity Press, 1977 Tridah Bangun, Hjj. Ani Idrus Tokoh Wartawati Indonesia, Jakarta: CV Haji Masagung, 1990. Vreede-De Steurs, Cora,. Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian. Jakarta: Komunitas Bambu, 2008. Wieringa, Saskia E., Penghancuran Gerakan Perempuan Indonesia. Jakarta: Garba Budaya dan Kalyanamitra, 1999. Artikel Hatley, Barbara dan Susan Blackburn, “Representations of Women’s Roles in Household and Society in Indonesian Women’s Writing of the 1930s”, dalam Juliette Koning, dkk (ed.s), Women and Households in Indonesia: Cultural Notions and Social Practices. NIAS in Asian Topics: Curzon, 2000. Jakob Sumardjo, “Perempuan Indonesia dan Kesustraannya”, dalam Mayling Oey- Gardiner, dkk (ed.s), Perempuan Indonesia: Dulu dan Kini. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1996. Jane Ardaneshwari, “Potret Dilema Perempuan Bekerja dalam Media Perempuan Indonesia”, dalam Jurnal Perempuan, Vol. 18 No.1, Maret 2013.
215 Perempuan Bicara dalam Majalah Dunia Wanita Vol. 14 No. 2 October 2018 Locher-Scholten, Elsbeth,. “Colonial Ambivalencies: European Attitudes towards the Javanese Household (1900-1942)”, dalam Juliette Koning, dkk (ed.s), Women and Households in Indonesia: Cultural Notions and Social Practices. NIAS in Asian Topics: Curzon, 2000. Myra M. Sidharta, “Majalah Wanita: Antara Harapan dan Kenyataan” dalam Wanita dan Media: Konstruksi Ideologi Gender dalam Ruang Publik Orde Baru, Banung: PT. Remaja Rosdakarya Bandung, 1998. Ratna Saptari, “Women, Family and Household: Tensions in Culture and Practice”, dalam Juliette Koning, dkk (ed.s), Women and Households in Indonesia: Cultural Notions and Social Practices. NIAS in Asian Topics: Curzon, 2000. Ruth Indiah Rahayu, “Konstruksi Historiografi Feminisme Indonesia dari Tutur Perempuan”,makalah dalam Workshop Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM dan Australia Research Council, Hotel Yogya Plaza, Yogyakarta, 2-4 Juli 2007. Karya Tulis Elsye Meilani, Majalah Dunia Wanita 1949-1950, Suatu Jembatan Menuju Kemajuan Wanita, skripsi Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indoneisa, 1996. Huijzer, Adriane., “Indonesian Women as Agents in a Changing Colonial Society, 1900 1942” tesis S2, Vrije Universiteit, Amsterdam. Sri Sjamsiar Issom, “Sukaptinah Sunaryo Mangunpuspito: Sosok Wanita Pergerakan Indonesia (1928-1956), Tesis Pascasarjana Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, 2000. Suriani, “Perempuan dalam Pers dan Politik di Kota Medan: Biografi Ani Idrus 1930an-1970an”, Tesis, S2 Sejarah Program Pascasarjana, FIB, UGM, 2015. Majalah Dunia Wanita, No.1 Tahun I, 15 Juni 1949 Dunia Wanita, No. 2 Tahun 1, 1 Juli 1949 Dunia Wanita, No. 18 Tahun II, 15 Maret 1950 Dunia Wanita, No 21 Tahun II, 1 Juni 1950 Dunia Wanita, No. 26 Tahun II, 1 September 1950 Dunia Wanita, No.30 Tahun II, 15 Desember 1950 Dunia Wanita, No. 1 tahun ke III, 1 Januari 1951 Dunia Wanita, No. ? Tahun III, 15 Mei 1951 Dunia Wanita, No. 9 Tahun IV, 1 Mei 1952 Dunia Wanita , No.12-13 Tahun IV,15 Juni 1952 Dunia Wanita, No.12-13 Tahun IV, 15 Juli 1952 Dunia Wanita, No. 24 Tahun IV 15 Desember 1952 Dunia Wanita, No. 3 Tahun VI, Februari 1954 Dunia Wanita, No. 1 Tahun IX, 1 Januari 1957 Dunia Wanita, No. 3 Tahun IX, 1 1957, 1 Februari 1957 Dunia Wanita, No. 4 Tahun IX, 15 Februari 1957 Poesara, Djuni, 1934 Wasita, April 1935 Internet kamusbahasaindonesia.org/majalah, diakses pada 13 Juni 2014, pukul 21:13 |