Jelaskan kaitan antara manusia yang sudah bertempat tinggal di tepi pantai

Jakarta -

Sungai Nil, Sungai Gangga, Sungai Efrat, hingga Sungai Tigris menjadi salah satu wilayah manusia membangun peradaban kuno. Peneliti mendapati, manusia purba pun juga memilih area dekat sungai untuk hidup. Kenapa manusia purba tinggal di tepi sungai?

Ahli paleoantropologi Clive Finlayson menuturkan, pada 28 Agustus 1985, fosil Homo erectus dari 1,6 juta tahun lalu ditemukan di dekat Sungai Nariokotome di Kenya, Afrika. Fosil Nariokotome Boy ini merupakan kerangka manusia purba anak laki-laki usia 12 tahun setinggi 168 cm, seperti dikutip dari buku karyanya, The Improbable Primate: How Water Shaped Human Evolution.

Ia menambahkan, manusia Trinil di Jawa juga ditemukan di Trinil, Kawu, Kec. Kedunggalar, Ngawi, Jawa Timur. Sebagai informasi, Trinil merupakan kawasan di lembah Sungai Bengawan Solo. Manusia Trinil atau Pithecanthropus erectus diperkirakan hidup sebagai manusia purba dari 1,5 juta tahun lalu.

Ahli paleoantropologi dari Oriel College, University of Oxford ini mengatakan, wilayah temuan manusia purba tersebut juga banyak berisi fosil hewan air dan hewan darat. Temuan ini mendapati, manusia purba saat itu hidup di dekat sumber air yang dihidupi ikan seperti lele, hiu, pari, ikan gergaji.

Sejumlah mamalia yang ditemukan di dekat situs Trinil, sambungnya, juga merupakan hewan akuatik dan hewan yang dapat berenang, seperti beragam moluska, harimau, gajah, buaya, kura-kura, kadal, angsa, dan lain-lain.

Dari jenis fauna tersebut, kata Clive, peneliti dapat menyimpulkan bahwa manusia Trinil bisa jadi juga pernah hidup di dekat sungai, danau, hutan, danau, hutan rawa, laguna, dan rawa dekat laut.

Menurut Clive, karena tidak semua daerah dilewati aliran sungai, manusia purba saat itu mencari tempat tinggal yang memiliki sumber air setara dengan sungai. Contohnya yakni seperti rawa, pinggir pantai, danau, kolam, dan lain-lain.

Hal ini juga disebabkan karena sungai terkadang mengering. Dengan demikian, manusia purba pun mencari tempat tinggal di dekat sumber air. Kenapa demikian?

Kenapa Manusia Purba Tinggal di Tepi Sungai?

Sumber Makanan

Seperti manusia modern, manusia purba juga juga mempertimbangkan jarak dengan sumber makanan untuk memilih tempat tinggal. Clive mengatakan, sungai menjadi tempat bahan makanan hidup mulai dari mamalia, ikan, hingga reptil. Contohnya seperti kuda nil, buaya, hingga lele.

Ketika musim kemarau tiba, sungai menjadi salah satu sumber utama manusia purba bertahan hidup. Kendati air tidak sebanyak saat musim hujan, hewan-hewan air seperti ikan jadi lebih mudah ditangkap.

Air Minum dan Bercocok Tanam

Sungai juga menyediakan air minum sehari-hari yang tidak asin. Di samping itu, keberadaan aliran sungai membantu manusia purba bercocok tanam. Air sungai juga membantu tanah di daerah sekitarnya tidak kering dan dapat ditumbuhi bahan makanan, kendati lingkungan air payau dan air asin juga dapat ditumbuhi bahan makanan khas masing-masing.

Kuburan

Manusia purba juga menjadikan wilayah pinggir sumber air sebagai area pekuburan. Clive mencontohkan, pinggir Danau Victoria dan sungai-sungai di Australia digunakan manusia purba sebagai komplek kuburan besar untuk ribuan jenazah.

Nah, itu dia rupanya penyebab kenapa manusia purba tinggal di tepi sungai. Selamat belajar, detikers!

Simak Video "Potret Sungai Terpanjang di Italia yang Mengering karena Perubahan Iklim"



(twu/pay)

Detail Soal

  • Buku Sejarah Indonesia
  • Kelas X SMA / MA / SMK / MAK
  • Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Edisi Revisi 2016, Kurikulum 2013
  • Bab 1 : Menelusuri Peradaban Awal di Kepulauan Indonesia
  • Bagian E. Corak kehidupan Masyarakat Masa Praaksara
  • Uji Kompetensi Bab 1 Bagian E Halaman 53

Pembukaan lahan baik dengan menebang pohon maupun dengan membakar hutan memang sudah dilakukan sejak dulu. Kearifan lokal ini sebenarnya dapat dijadikan pelajaran bagi kita dan manusia selanjutnya. Hal ini dikarenakan pembukaan lahan dengan menebang pohon aman untuk dilakukan, asal masih menjaga keutuhan ekosistem di lahan tersebut. Dengan kata lain, kita dapat menanami pohon pengganti sebagai tempat tinggal hewan-hewan di ekosistem tersebut.

Tetapi, pembukaan lahan dengan melakukan pembakaran hutan dapat berdampak buruk bagi semua ekosistem, termasuk bagi manusia itu sendiri. Pembakaran hutan dapat menimbulkan kebakaran hutan, polusi udara, banyaknya hewan dan tumbuhan yang mati, menghilangkan habitat asli makhluk hidup yang tinggal di situ, hingga menyebabkan kematian bagi manusia.

Terdapat hubungan antara pola tempat tinggal dengan bercocok tanam pada masa manusia purba. Pada umumnya, manusia purba bertahan hidup dengan berburu dan mengumpulkan makanan, sehingga apabila pasokan makanan di wilayah tempat tinggalnya sudah berkurang, maka ia akan berpindah ke tempat lain yang pasokan makanannya masih banyak. Hal ini mengakibatkan pola tempat tinggalnya tergolong nomaden.

Setelah bercocok tanam mulai dikembangkan, manusia mulai membuka lahan untuk melakukan kegiatan bertani guna mencukupi kebutuhan makanan selain dari kegiatan berburu. Teknik bercocok tanam dapat mencukupi kebutuhan makanan manusia dalma jangka waktu panjang karena tanaman dapat ditanam terus, berbeda dengan teknik berburu yang dapat menghabiskan pasokan makanan berupa hewan di wilayah tersebut. Sehingga, setelah bercocok tanam mulai dikembangkan, manusia cenderung hidup menetap.

Contoh-contoh alat bercocok tanam yang digunakan oleh manusia purba antara lain sebagai berikut.

1. Gerabah

Jelaskan kaitan antara manusia yang sudah bertempat tinggal di tepi pantai

Fungsi dari gerabah adalah untuk menyimpan air, cadangan makanan, atau bahan-bahan pertanian.

2. Kapak persegi

Jelaskan kaitan antara manusia yang sudah bertempat tinggal di tepi pantai

Beliung atau kapak persegi bertujuan untuk memotong kayu, pohon, atau bahan-bahan pertanian yang keras dan sulit untuk dipotong menggunakan tangan kosong.

Jelaskan kaitan antara manusia yang sudah bertempat tinggal di tepi pantai


Kapak lonjong berfungsi untuk mengolah dan menggemburkan tanah dengan cara menancap-nancapkannya ke tanah.

Alasan manusia purba banyak yang tinggal di tepi sungai dikarenakan keberadaan sumber air dapat memberikan berbagai macam manfaat, seperti sebagai sumber minum, mengundang berbagai macam hewan dan tumbuhan hidup, pengairan pertanian, dan sebagainya.

Nomaden merupakan suatu pola kehidupan yang berpindah-pindah. Sebelum memasuki masa bercocok tanam, manusia purba memiliki pola kehidupan yang nomaden. Hal ini dikarenakan untuk mencukupi kebutuhan makanannya, manusia purba melakukan kegiatna mengumpulkan dan berburu makanan. Apabila pasokan makanan di wilayah tersebut sudah habis, maka mau tidak mau mereka harus berpindah ke tempat lain yang pasokan makanannya masih banyak.

Manusia purba juga memasuki fase bertempat tinggal sementara, misalnya di gua, dikarenakan gua merupakan tempat tinggal yang cocok dan bagus untuk berlindung dari cuaca ekstrim serta serangan hewan buas. Manusia purba juga tidak perlu bersusah payah untuk membangun tempat tinggal atau tempat perlindungan diri yang kompleks apabila bertempat tinggal di gua.

Terdapat beberapa alasan yang membuat manusia purba lebih memilih untuk tinggal di tepi pantai, seperti banyaknya gua-gua yang terletak di dekat pantai. Gua ini mampu menjadi tempat tinggal sementara bagi para manusia purba. Selain itu, pantai juga menyediakan sumber air yang tidak terbatas, mengingat air merupakan kebutuhan utama yang wajib dipenuhi untuk melangsungkan kehidupan. Terakhir, pantai juga memiliki pasokan makanan yang cukup melimpah, seperti banyaknya kerang, kepiting, dan ikan-ikan laut yang jumlahnya tidak terbatas.

Ketika masa praaksara berakhir, perkembangan kehidupan manusia menjadi jauh lebih cepat. Manusia cenderung hidup menetap sambil melakukan kegiatan bertani atau bercocok tanam. Perkembangan ini juga terjadi pada pola pikir manusia tersebut. Sebelumnya, manusia cenderung memiliki kepercayaan bahwa nenek moyang mereka hidup di alam lain dan harus mereka agungkan. Karena mereka mulai hidup menetap, maka muncullah kepercayaan animisme dan dinamisme, seperti memberi sesajen kepada laut, memberi penghormatan kepada gua, membangun makam nenek moyang mereka dengan megah, dan sebagainya.

Terdapat hubungan yang cukup erat antara sistem kepercayaan masyarakat dengan pola mata pencaharian. Hal ini dikarenakan biasanya, terdapat beberapa pekerjaan yang dilarang oleh kepercayaannya. Sedangkan bagi pekerjaan yang boleh dilakukan, maka sistem kepercayaan akan mengatur apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan di dalam pekerjaan tersebut. Selain itu, pengaruh lainnya dari sistem kepercayaan dengan pola mata pencaharian adalah semakin banyaknya mata pencaharian, semakin bertambah juga ritual-ritual sedekah atau sesajen, seperti sedekah kepada laut, sedekah kepada gua, sedekah kepada pohon, dan sebagainya.

Salah satu tradisi megalitik dan kepercayaan animisme yang masih bertahan hingga saat ini di Indonesia adalah penggunaan dolmen atau meja batu yang berfungsi untuk tempat persembahan kepada roh nenek moyang yang masih dilakukan di Pulau Seram, Maluku.