Raja dari kerajaan Aceh Darussalam yang menggantikan suaminya adalah

JAKARTA - Masa kejayaan Kesultanan Aceh Darussalam tak terlepas dari peran hebat seorang perempuan. Salah satunya saat kerajaan yang berada di ujung Sumatera itu dinakhodai perempuan pertama di Kerajaan Aceh Darussalam, Sultanah Shafiatuddin.

Dia merupakan putri dari Sultan Iskandar Muda. Sultanah Shafiatuddin memimpin Kerajaan Aceh Darussalam setelah suaminya, Sultan Iskandar Tsani mangkat.

Iskandar Tsani adalah putra Sultan Ahmad Syah, Sultan Pahang (kini wilayah Malaysia) yang menikah dengan Shafiatuddin Syah setelah Sultan Iskandar Muda menaklukkan Pahang pada 1617, dikutip dari NUOnline.

Era Sultan Iskandar Tsani tidak lama, yaitu 1636-1641 yang juga merupakan tahun kematiannya. Situasi politik yang mendesak saat itu kemudian menempatkan Shafiatuddin sebagai pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam berikutnya dengan gelar Paduka Sri Sultanah Ratu Safiatuddin Tajul-’Alam Syah Johan Berdaulat Zillu’llahi fi’l-’Alam binti al-Marhum Sri Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Syah.

Kepemimpinan Sultanah Shafiatuddin juga tak lepas dari kontroversi lantaran kebiasaannya pemimpin dari sebuah kerajaan harus seorang lelaki.

Debat soal boleh tidaknya pemimpin perempuan dalam pemerintahan Islam ternyata sudah terjadi ketika Ratu Shafiatuddin diajukan untuk memimpin Kerajaan Aceh Darussalam. Ada sejumlah kalangan yang tidak setuju atas naik tahtanya Ratu Safiatuddin.

Terjadilah beberapa kali aksi pemberontakan juga upaya pengkhianatan untuk mendongkel kepemimpinan sang ratu. Kondisi saat itu bertambah rumit karena harus menghadapi ancaman eksternal seiring menguatnya pengaruh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) setelah berhasil merebut Malaka dari Portugis pada awal tahun 1641.

Sejumlah kalangan di Kerajaan Aceh Darussalam bukan tanpa pertimbangan matang dalam memilih Ratu Shafiatuddin. Dia dinilai pantas menduduki tahta kerajaan yang ditinggalkan suaminya karena dia memiliki visi cemerlang dalam menyebarkan Islam serta mengembangkan kebudayaan dan seni dalam masyarakat Islam di Aceh.

Potensi memimpinnya pun terbilang tak kalah dengan raja-raja sebelumnya yang notabene seorang laki-laki. Terbukti ketika tahun 1639 terjadi Perang Malaka, Sultanah Shafiatuddin membentuk sebuah barisan perempuan untuk menguatkan benteng istana.

Banyak kebijakan bernilai positif yang dilakukan oleh sang ratu yang mempunyai nama asli Putri Sri Alam ini. Ia terbilang sukses membangkitkan kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam yang mengalami periode gemilang pada era kepemimpinan sang ayah, Sultan Iskandar Muda, dan sempat redup semasa dipimpin oleh sang suami, Sultan Iskandar Tsani.

Baca juga: Makam Sultan Iskandar Muda, Objek Wisata Religi Penuh Sejarah Kegemilangan Aceh

Salah satu yang terkenal adalah tentang tradisi pemberian hadiah berupa tanah untuk pahlawan perang. Masa pemerintahan Sultanah Shafiatuddin pun dinilai sangat bijak, di mana menyoal hukum serta adat istiadat dijalankan dengan baik.

Baca juga: Kisah Kerajaan Aceh dalam Catatan Para Peneliti Dunia

Dari visi infrastruktur adat istiadat inilah muncul pengembangan seni, budaya, dan ilmu pengetahuan di era kepemimpinanya. Selain itu, Ratu Shafiatuddin berhasil mempertahankan hubungan diplomasi dengan kerajaan-kerajaan lain sehingga nama besar Kesultanan Aceh Darussalam tetap terjaga.

Tak hanya itu, di masa kekuasaannya, Aceh Darussalam mengalami kemajuan pesat dalam berbagai bidang, termasuk ekonomi, agama, hukum, seni dan budaya, hingga ilmu pengetahuan seperti dijelaskan sebelumnya.

Sultanah Safiatuddin bertahta selama 34 tahun hingga wafat pada 1675. Sepeninggal sang ratu pertama itu, Kesultanan Aceh Darussalam masih dipimpin oleh para perempuan tangguh sampai 24 tahun setelahnya, yaitu berturut-turut Sulthanah Naqi al-Din Nur al-Alam (1675-1678), Sultanah Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688), sampai masa pemerintahan Sultanah Kamalat Syah Zinat al-Din (1688-1699).

Ketiga Sultanah Aceh itu merupakan anak angkat dari Safiatuddin lantaran tak memiliki keturunan saat menikah dengan Sultan Iskandar Tsani.

Ketiga perempuan itu bukan berasal dari keturunan ningrat atau bangsawan Aceh, melainkan kalangan biasa. Setelah Shafiatuddin, Aceh pun dipimpin oleh ketiga sosok perempuan itu.

Kendati tidak semua ratu sanggup membawa Kesultanan Aceh Darussalam merasakan era emas seperti pada masa Sultan Iskandar Muda dan Sultanah Shafiatuddin, Bumi Serambi Mekkah yang menerapkan syariat Islam pernah memiliki rekam sejarah gemilang di bawah kepemimpinan perempuan.

Baca juga: Pahlawan Aceh Laksamana Malahayati Resmi Jadi Nama Jalan di Jakarta

Selain Sultanah Safiatuddin, Aceh punya banyak lagi tokoh-tokoh pemimpin perempuan yang tidak melulu bertahta dengan label ratu. Sejarah mencatat banyak panglima perang dari Aceh seorang perempuan seperti Laksamana Malahayati, Cut Meutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, Cutpo Fatimah, hingga Cut Nyak Dien.

Baca juga: Lukisan Laksamana Malahayati di Museum Bahari Bisa Melirik?

Sultanah Safiatuddin Seorang Penulis

Pada masa kepemimpinan Sultanah Safiatuddin perkembangan sastra bisa dikatakan sangat pesat. Hal ini tidak lain karena sang ratu merupakan sosok yang cinta terhadap bacaan. Dia banyak mengarang sajak dan cerita-cerita pendek.

Wujud nyata yang telah dilakukan oleh Sultanah Safiatuddin untuk mencerdaskan rakyatnya ketika itu adalah mendirikan perpustakaan. Tak banyak pemimpin yang perhatian dengan hal-hal semacam ini, namun Sultanah Safiatuddin melakukannya dengan sangat baik.

Pada masa pemerintahan Ratu Safiatuddin, perpustakaan negara didirikan dan diperluas. Selain itu, sang ratu juga memberikan dukungan penuh kepada para sastrawan dan kaum intelektual untuk mengembangkan keilmuannya.

Di masa-masa inilah lahir para cendekiawan macam Hamzah Fanshuri, Nuruddin Ar-Raniry, dan Syekh Abdurrauf Singkel. Ketiga orang yang disebut terakhir itu merupakan para ulama yang berhasil meletakkan pondasi kuat di bidang ilmu keislaman melalui sejumlah karya-karya monumentalnya.

Hamzah Fansur banyak melahirkan syair dan prosa, di antaranya Syair Burung Unggas, Syair Dagang, Syair Perahu, Syair Si Burung pipit, Syair Si Burung Pungguk, Syair Sidang Fakir.

Sedangkan prosa yaitu Asrar al-Arifin dan Sharab al-Asyikin. Nuruddin Ar-Raniry mengarang Kitab Bustanus Salatin (Taman Raja-raja), dan Kitab Shiratal Mustaqim (jalan yang lurus).

Baca juga: Kisah Pasukan Janda Inong Bale Laksamana Malahayati Melawan VOC

Sedangkan Abdurrouf Singkel menulis Mir'at al-Thullab fî Tasyil Mawa'iz al-Badî'rifat al-Ahkâm al-Syar'iyyah li Malik al-Wahhab (karya di bidang fiqh atau hukum Islam, yang ditulis atas permintaan Sultanah Shafiatuddin) dan Kitab Tarjuman al-Mustafid, merupakan naskah pertama Tafsir Al-Qur'an berbahasa Melayu.

Baca juga: Peristiwa 6 November: Kakawin Bharatayuddha Rampung hingga Wafatnya Cut Nyak Dien

Meski tidak banyak arsip yang mencatat sejarah tentang Sultanah Shafiatuddin, tapi usahanya dalam memimpin kerajaan besar dalam sejarah Islam di Nusantara patut jadi teladan. Tercatat selama 58 tahun atau setengah abad lebih semenjak Sultanah Shafiatuddin, Kerajaan Aceh Darussalam dipimpin oleh para perempuan atau sultanah.

Saat ini, nama Sultanah Shafiatuddin diabadikan menjadi nama sebuah taman budaya di Banda Aceh.

Rabu, 29 Desember 2021 - 05:01 WIB

Sulthanah Shafiatuddin, perempuan pertama yang memimpin Kerajaan Aceh.Foto/ist

Nama perempuan Aceh seperti Cut Nyak Dien, Laksamana Malahayati, dan Cut Muetia, sudah terbukti perjuanganya di Serambi Mekah. Tapi mereka bukan satu-satunya wanita hebat di negeri rencong. Jauh sebelum nama-nama besar itu muncul, Aceh sudah punya sosok perempuan hebat bernama Sulthanah Shafiatuddin. Dia merupakan pemimpin perempuan pertama di Kerajaan Aceh Darussalam. Kehadiran pemimpin perempuan saat itu memunculkan pro dan kontra. Namun, ketika sang suami, Sultan Iskandar Tsani, wafat, sangat sulit untuk mencari penggantinya. Apalagi di jalur keluarga Sultan Iskandar Tsani, tidak ada keturunan laki-laki.

Baca juga: Kharisma Ratu Shima, Disegani dan Adil Perintahkan Putranya Dihukum Potong Tangan

Mengutip nu.online.id, untuk menggantikan Sultan Iskandar Tsani yang mangkat, muncul pertimbangan mengangkat sang istri, Ratu Shafiatuddin Syah sebagai Sulthanah di Kerajaan Aceh Darussalam yang pernah dipimpin Sultan Iskandar Muda memimpin Aceh sejak 1607-1636, sang ayah Shafiatuddin Syah. Dia merupakan putri tertua Raja yang memimpin Kerajaan Aceh Darussalam di era 1636-1641 tersebut.

Sultan Iskandar Muda yang wafat pada 1636 tidak mempunyai putra mahkota dan digantikan oleh Sultan Iskandar Tsani, menantunya. Iskandar Tsani adalah putra Sultan Ahmad Syah, Sultan Pahang (kini wilayah Malaysia) yang menikah dengan Shafiatuddin Syah setelah Sultan Iskandar Muda menaklukkan Pahang pada 1617.

Rabu, 29 Desember 2021 - 05:01 WIB

Sulthanah Shafiatuddin, perempuan pertama yang memimpin Kerajaan Aceh.Foto/ist

Nama perempuan Aceh seperti Cut Nyak Dien, Laksamana Malahayati, dan Cut Muetia, sudah terbukti perjuanganya di Serambi Mekah. Tapi mereka bukan satu-satunya wanita hebat di negeri rencong. Jauh sebelum nama-nama besar itu muncul, Aceh sudah punya sosok perempuan hebat bernama Sulthanah Shafiatuddin. Dia merupakan pemimpin perempuan pertama di Kerajaan Aceh Darussalam. Kehadiran pemimpin perempuan saat itu memunculkan pro dan kontra. Namun, ketika sang suami, Sultan Iskandar Tsani, wafat, sangat sulit untuk mencari penggantinya. Apalagi di jalur keluarga Sultan Iskandar Tsani, tidak ada keturunan laki-laki.

Baca juga: Kharisma Ratu Shima, Disegani dan Adil Perintahkan Putranya Dihukum Potong Tangan

Mengutip nu.online.id, untuk menggantikan Sultan Iskandar Tsani yang mangkat, muncul pertimbangan mengangkat sang istri, Ratu Shafiatuddin Syah sebagai Sulthanah di Kerajaan Aceh Darussalam yang pernah dipimpin Sultan Iskandar Muda memimpin Aceh sejak 1607-1636, sang ayah Shafiatuddin Syah. Dia merupakan putri tertua Raja yang memimpin Kerajaan Aceh Darussalam di era 1636-1641 tersebut.

Sultan Iskandar Muda yang wafat pada 1636 tidak mempunyai putra mahkota dan digantikan oleh Sultan Iskandar Tsani, menantunya. Iskandar Tsani adalah putra Sultan Ahmad Syah, Sultan Pahang (kini wilayah Malaysia) yang menikah dengan Shafiatuddin Syah setelah Sultan Iskandar Muda menaklukkan Pahang pada 1617.