Diksi dalam puisi lebih bermakna konotasi daripada denotasi

Oleh: Hidayat Banjar. IZINKAN saya ikut dalam polemik, Nevatuhela dan Lea Willsen berkaitan dengan diksi. Nevatuhela membahas puisi Lea Willsen ”Minim Diksi dalam Puisi Sepasang Kekasih Lea Willsen” (Rebana, 8 Febuari 2015). Puisi itu dimuat pada 23 November 2014 di Rebana. Tulisan Nevatuhela tersebut ditanggapi penulis puisi (Lea Wilsen) dengan judul “Haruskah Puisi Bersayap?” (Rebana, 01 Maret 2015). 

Jujur saja, saya agak terperanjat membaca tulisan Lea Willsen. Mengapa tidak, sebagai seorang penulis puisi, cerpen, novel dan karya sastra lainnya, kuranglah pantas jika karya kita dikritik (ditanggapi), lantas kita tanggapi lagi. 

Manakala kata-kata (karya) sudah kita publikasikan, maka dia milik publik. Artinya, para pembaca (akademisi ataupun tidak) punya hak untuk menanggapinya. Nevatuhela, meskipun tidak pernah belajar khusus mengapresiasi maupun mengkritik puisi secara akademis -menurut teori resepsi- punya hak untuk menanggapi.

Sudahlah, kita ikuti saja ungkapan Voltaire: “Meskipun pendapatmu tidak aku setujui, tapi hakmu untuk berkata-kata akan aku bela sampai mati”. Ya, meskipun kita tak setuju dengan Lea Willsen yang menanggapi tanggapan Nevatuhela terhadap puisinya, tapi haknya (Lea Willsen) untuk berkata-kata wajib kita bela.

Membentuk Kata

Jika menulis atau berbicara -kecuali bahasa isyarat- kita tentu menggunakan kata. Kata dibentuk menjadi kelompok kata, klausa, kalimat, paragrap dan akhirnya sebuah wacana. Di dalam sebuah karangan, diksi bisa diartikan sebagai pilihan kata pengarang untuk menggambarkan sebuah cerita.

Diksi bukan hanya berarti pilih memilih kata. Melainkan digunakan untuk menyatakan gagasan atau menceritakan peristiwa juga meliputi persoalan gaya bahasa, ungkapan-ungkapan dan sebagainya. Gaya bahasa sebagai bagian dari diksi yang bertalian dengan ungkapan-ungkapan individu atau karakteristik, atau memiliki nilai artistik yang tinggi.

Jika menurut Nevatuhela “Diksi yang Mengabadikan Haiku” (Rebana, 29 Maret 2015, halaman 7), sejatinya tidak hanya puisi yang memerlukan diksi. Jika surat kabar mengabaikan suara hati (consience) masyarakatnya, samalah dia dengan seteman kertas untuk pembungkus ikan basah (Joseph Pulitzer). 

Kenapa Pulitzer -Bapak Pers Dunia itu- menggunakan kata (diksi): suara hati masyarakat, seteman kertas, ikan basah? Suara hati masyarakat (frase abstrak) untuk menggabarkan nilai-nilai yang diperlukan oleh media cetak. Seteman kertas (frase nyata) untuk menggabarkan sekelompok, satu kumpulan atau sama saja. Ikan basah (frase konkrit), penegasan, kalau kertas yang digunakan untuk pembungkus ikan basah, pasti seketika akan hancur (lumer).

Politik itu kotor, puisilah yang membersihkannya demikian Jhon F Kennedy salah seorang mantan Presiden Amerika Serikat secara terbuka pernah berujar. Tidakkah kata-kata: kotor, puisi, membersihkannya merupakan diksi? Apa yang diungkapkan Kennedy puluhan tahun lampau masih dikenang karena diksi!

Kennedy mengingatkan politikus, betapa politik memerlukan hati nurani yang dilambangkan dengan puisi. Asas politik yang kotor -menurut perspektif Kennedy- karena targetnya hanyalah menang atau mempertahankan. Asas kesusastraan adalah menyuarakan humanisme universal. Dua kutub yang berbeda ini harus duduk berdampingan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga terbangun cakrawala politik yang berhati nurani.

Definisi Diksi

Diksi adalah pemilihan kata-kata yang sesuai dengan apa yang hendak diungkapkan. Diksi  atau pilihan kata mencakup pengertian kata-kata mana yang harus dipakai untuk mencapai suatu gagasan. Bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan. Gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi.

Diksi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Indonesia adalah pilihan kata yang tepat dan selaras (dalam penggunaannya). Untuk mengungkapkan gagasan, sehingga diperoleh efek tertentu (seperti yang diharapkan). Fungsi dari diksi antara lain:

·Membuat pembaca atau pendengar mengerti secara benar dan tidak salah paham terhadap apa yang disampaikan oleh pembicara atau penulis.

·Untuk mencapai target komunikasi yang efektif.

·Melambangkan gagasan yang diekspresikan secara verbal.

·Membentuk gaya ekspresi gagasan yang tepat (sangat resmi, resmi, tidak resmi) sehingga menyenangkan pendengar atau pembaca.

Manfaat diksi, pertama untuk dapat membedakan secara cermat kata-kata denotatif dan konotatif, bersinonim dan hampir bersinonim, kata-kata yang mirip dalam ejaannya. Kedua, dapat membedakan kata-kata ciptaan sendiri dan juga kata yang mengutip dari orang terkenal.

Beberapa contoh kalimat diksi:

1.Sejak dua tahun lalu, dia membanting tulang untuk memeroleh kepercayaan masyarakat.

2. Dia wanita cantik (denotatif).

3.Dia wanita manis (konotatif).

4.APBN RI mengalami kenaikan lima belas persen (kata konkrit).

5.Kebenaran (kata abstrak) pendapat itu tidak terlalu tampak.

Makna Denotatif dan Konotatif

Makna denotatif adalah makna asli, makna asal atau makna sebenarnya yang dimiliki sebuah  kamus. Contoh: Kata kurus, bermakna denotatif keadaan tubuhnya yang lebih kecil & ukuran badannya normal.  

Makna konotatif adalah: makna lain yang ditambahkan pada makna denotatif tadi yang berhubungan dengan nilai rasa orang/kelompok orang yang menggunakan kata tersebut. Contoh: Kata kurus pada contoh di atas bermakna konotatif netral. Artinya tidak memiliki nilai rasa yang mengenakkan. Tetapi kata ramping bersinonim dengan kata kurus itu memiliki konotatif positif, nilai yang mengenakkan. Orang akan senang bila dikatakan ramping.

Terkadang banyak eksperts linguistik di Indonesia mengatakan, makna konotasi adalah makna kiasan, padahal makna kiasan itu adalah tipe makna figuratif, bukan makna konotasi. Makna Konotasi tidak diketahui oleh semua orang atau dalam artian hanya digunakan oleh suatu komunitas tertentu. Misalnya Frase jam tangan.

Contoh: Pak Saleh, seorang pegawai kantoran yang sangat tekun dan berdedikasi. Dia selalu disiplin dalam mengerjakan sesuatu. Pada saat rapat kerja, salah satu kolega yang hadir melihat kinerja beliau dan kemudian berkata kepada sesama kolega yang lain “Jam tangan Pak Saleh bagus, ya”.

Dalam ilustrasi di atas, frase jam tangan memiliki makna konotasi yang berarti disiplin. Makna ini hanya diketahui oleh orang-orang yang bekerja di kantoran atau semacamnya yang berpacu dengan waktu. Dalam contoh di atas, Jam Tangan memiliki Makna Konotasi Positif karena sifatnya memuji.

Jelas bukan, diksi diperlukan tidak hanya dalam puisi.

Penulis; Pengajar Bahasa Indonesia dan Teknik Penulisan Ilmiah di Sekolah Tinggi Agama Buddha (STAB)Bodhi Dharma

Khairini Lulut*

A. Pengantar 

Mempelajari sastra khususnya puisi merupakan suatu hobi sebagian orang. Jika ingin mendapatkan pemahaman dalam sebuah puisi, maka kita harus mempelajari bagaimana puisi itu sendiri. Salah satu yang harus dipelajari adalah memahami karakteristik bahasa puisi.

Pada pertemuan sebelumnya, kita sudah membahas karakteristik bahasa puisi: perbedaannya dengan karya sastra lain dan diksi dalam puisi, yang telah dipresentasikan Faliq Ayken. Pada pertemuan tersebut telah kita ketahui bahwa puisi memiliki kekhasan sendiri dibanding dengan sastra lainnya. Hal itu dapat dilihat salah satunya melalui diksi dalam karya sastra itu sendiri.

Pada pertemuan ini, akan dibahas karakteristik bahasa puisi yang ditinjau dari makna denotasi dan konotasi serta bahasa kiasan.

B. Makna Denotasi dan Konotasi

Puisi merupakan karya sastra berupa gubahan atau rangkaian dalam bahasa yang dibentuk secara selektif, tertata, dan cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus (Oktav, Makalah, 2014). Pada makalah sebelumnya, unsur-unsur makna yang terdapat di dalam puisi, sudah sangat jelas menjelaskan maksud dari makna. Makna memiliki definisi lebih kompleks daripada arti, sedangkan arti merupakan perwujudan aktual dari makna (Oktav, Makalah, 2014). Kata makna dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan menyebutkan, makna adalah arti; maksud pembicara atau penulis; pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan.


Kata denotasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan menyebutkan, denotasi adalah makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas penunjukan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan atas konvensi tertentu dan bersifat objektif. Kata konotasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 2007: 588) menyebutkan bahwa konotasi adalah tautan pikiran yang menimbulkan nilai rasa pada seseorang ketika berhadapan dengan sebuah kata; makna yang ditambahkan pada makna denotasi.


Dalam buku Semantik Pengantar Memahami Makna Bahasa yang mengutip Trask (Subuki, 2011: 48) mengemukakan bahwa denotasi mengacu kepada arti sentral dari sebuah bentuk linguistik yang dapat dipertimbangkan sebagai hal yang diacunya. Bagi Cruse, denotasi mencakup persoalan ekstensi dan intensi (Cruse, 2006: 136). Subuki yang mengutip Kreidler (2011: 48) menyebutkan, ekstensi dari sebuah bentuk linguistik mencakup seluruh entitas yang dapat didenotasi oleh bentuk tersebut, misalnya kata buah dapat mendenotasi mangga, apel, jeruk, dan sebagainya yang masih termasuk dalam kelompok buah; sedangkan intensi dari sebuah bentuk linguistik mengacu pada ciri dan/atau sifat yang dimiliki bersama oleh ekstensinya, misalnya ciri dan/atau sifat yang sama antara mangga, apel, jeruk, dan sebagainya. Sementara istilah konotasi yang dikutip dari Trask (1999: 51) didefinisikan sebagai arti kata yang lebih luas dari makna sentral dan makna utamanya yang biasanya diperoleh melalui asosiasi yang berulang (Subuki, 2011: 49).


Menurut Waridah (2013: 302) makna denotasi adalah makna suatu kata sesuai dengan konsep asalnya, tanpa mengalami perubahan makna atau penambahan makna, dan disebut pula makna lugas. Sementara makna konotasi diartikan sebagai makna suatu kata berdasarkan perasaan atau pemikiran seseorang, dapat dianggap sebagai makna denotasi yang mengalami penambahan makna, dan dapat disebut pula sebagai makna kias atau makna kontekstual.


Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat ditarik sebuah benang merahnya bahwa makna denotasi merupakan sebuah makna yang sebenarnya dari kata tersebut dan mempunyai arti atau makna yang sama dalam kamus atau dapat disebut sebagai makna leksikal. Sementara makna konotasi dapat diartikan sebagai makna yang tidak sebenarnya dari suatu kata atau tidak didasarkan atas kondisi kebenaran (non-truth-conditional) dan merupakan makna tambahan terhadap makna dasarnya yang berupa nilai rasa dan bersifat subjektif sesuai penggunanya.

Untuk lebih memahami makna denotasi dan konotasi, berikut diberikan tabel contohnya:

Kata

Denotasi

Konotasi

Makna

Kalimat

Makna

Kalimat

Wajah

Muka

Wajahnya tampak berseri.

Gambaran umum yang tampak

Jakarta adalah wajah Indonesia.

Tenggelam

Karam

Kapal laut tenggelam setelah dihantam ombak setinggi 5 meter.

Bangkrut; hilang

Usaha kecilnya tenggelam akibat krisis ekonomi.

Kacamata

Lensa tipis untuk mata

Kakek membaca koran menggunakan kacamata.

Sudut pandang

Aku selalu salah menurut kacamatanya.


Dikemukakan oleh Wellek (1962: 23) yang pemakalah sadur dari Pradopo (2012: 60) bahwa bahasa sastra penuh arti ganda, penuh homonim, kategori-kategori arbiter, atau irasional, menyerap peristiwa sejarah, ingatan-ingatan, dan asosiasi-asosiasi.

Dalam sebuah puisi, kata yang tersusun tidak hanya mengandung makna denotasi saja. Pada umumnya, puisi memiliki makna tambahan yang ditimbulkan oleh asosiasi-asosiasi yang keluar dari denotasinya. Seperti yang telah dibahas oleh Faliq Ayken dalam makalah sebelumnya bahwa puisi lebih cenderung menggunakan bahasa konotatif (bermakna konotasi) sementara makna denotasi atau bahasa sehari-hari lebih dekat dengan bahasa prosa dan drama (Ayken, Makalah, 2014).


Puisi sebagai karya sastra memiliki gaya bahasa dengan makna yang tidak hanya menerangkan, tetapi juga sangat ekspresif yang membawa nada dan sikap pada si pembicara atau si penulis. Makna konotasi dalam sebuah puisi membuat penikmat puisi memiliki imajinasi yang membawa emosi perasaan tertentu. Misalnya pada bait sajak Toto Sudarto Bachtiar di bawah ini:


PAHLAWAN TAK DIKENAL

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring Tapi bukan tidur, sayang Sebuah lubang peluru bundar di dadanya Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang

Puisi Toto Sudarto Bachtiar di atas sangat tergambar makna konotasi yang dibuatnya. Penyair menuliskan kata 'terbaring'; 'tapi bukan tidur', hal ini dapat diartikan dengan mati atau meninggal. Puisi di atas memberikan imajinasi bagi pembacanya untuk membayangkan seorang pahlawan yang terkapar atau terbaring akibat tertembak.

Contoh puisi lainnya adalah sebagai berikut:

          Cermin Mimi Aya


Apa kabarmu, sayang, masihkah kauingat nasihatku Waktu kutitipkan cermin kesayanganku kepadamu? Bagaimana rasanya becermin? Apakah kau telah mengetahui dirimu sendiri,

saat cermin itu tiba-tiba retak saat kautatap?

Setiap malam sebelum aku dijemput mimpi, aku berdiri di depannya sambil mengedipkan mata, terkedip-kedip seperti matamu sebelum tidur dalam tafakur keabadian Dijemput Kekasihmu yang sudah lama kaunantikan Ialah Mimi Aya, perempuan yang tak pernah menyerah memberikan arah kala aku terjebak hiburan-hiburan jalanan Ialah kau, Ibu yang tak suka anak-anaknya mencuri dan mencari cermin-cermin lain sebelum ilmu cermin itu dihabiskan

... dst

(Faliq Ayken, Puisi Cermin, http://kolibet.blogspot.com/2014/04/cermin-mimi-aya.html, akses 22 Juni 2014).
Pada puisi di atas, kata cermin memiliki makna konotasi sebagai teladan atau pelajaran. Penulis puisi tersebut memberikan gambaran bahwa Mimi Aya adalah sebagai cerminnya. Mimi Aya sebagai Ibu yang selalu memberikan penulis arah. Dan karena itulah penulis menganggap Ibunya sebagai cermin, teladannya.

C. Perubahan Makna

Dalam susunan kata, sebuah kata seringkali mengalami perubahan makna dalam penggunaannya. Berikut akan diuraikan beberapa perubahan makna tersebut.


1. Perluasan Makna (Generalisasi), perluasan makna yang terjadi apabila makna suatu kata lebih luas dari makna asalnya.

Contoh:

Kata

Makna Asal

Makna Baru

Adik

Saudara sekandung yang lebih muda

Semua orang yang usianya di bawah kita

Bapak

Ayah

Setiap laki-laki dewasa

Kepala

Bagian badan sebelah atas

Jabatan tertinggi; pimpinan seperti pada kepala sekolah, kepala rumah sakit


2. Penyempitan Makna (Spesialisasi), penyempitan makna yang terjadi apabila sebuah kata yang pada mulanya mempunyai makna yang luas, kemudian berubah menjadi terbatas hanya pada sebuah makna.

Contoh:

Kata

Makna Asal

Makna Baru

Gadis

Anak dara

Perawan

Sastra

Tulisan

Karangan-karangan yang bernilai keindahan dan dapat menggugah perasaan


3. Ameliorasi, perubahan makna yang nilainya lebih tinggi dari makna asalnya. Contoh:

Kata

Lembaga permasyarakatan

Nilai rasanya lebih tinggi daripada

Bui; tahanan

Wanita

Perempuan

Tuna susila

Pelacur

Pramuniaga

Pelayan toko


4. Peyorasi, perubahan makna yang nilai rasanya lebih rendah dari makna asalnya. Contoh:

Kata

Makna Asal

Makna Baru

Fundamentalis

Orang yang berpegang pada prinsip

Orang yang hidupnya eksklusif, mengedepankan kekerasan

Cuci tangan

Kegiatan mencuci tangan setelah makan dan bekerja

Tidak bertanggungjawab dalam suatu persoalan

Kroni

Sahabat

Kawan dari seorang penjahat


5. Sinestesia, perubahan makna yang terjadi sebagai akibat pertukaran tanggapan dua indera yang berbeda.

Contoh:
  • Rinrin tampak manis bila mengenakan baju kebaya. ('tampak manis' merupakan pertukaran antara indera penglihatan dengan indera pengecap). 
  • Suara penyanyi itu sangat lembut. ('suara penyanyi' dan 'sangat lembut' merupakan pertukaran antara indera pendengaran dengan indera perasa).
Perubahan makna sinestesia sering digunakan oleh seorang penyair untuk mengungkapkan perasaannya. Contoh:
Wangiku telah menjadi coklat tanahmu Wangiku telah menjadi garam dalam lautmu

Wangiku akan selalu dikicaukan burung-burung


Wangi adalah aroma yang berkaitan dengan indera penciuman, kemudian ditukar dengan indera penglihatan 'warna coklat', indera pengecapan 'garam', dan indera pendengaran 'kicau'.

Angin Angan
Pintu berderit saat udara malam bergerak perlahan menelusup ke dalam tulang terdalam sepasang kekasih di hening hujan malam pertemuan

….. dst

Pada puisi di atas, 'pintu berderit' dan 'udara malam bergerak perlahan' merupakan pertukaran antara indera pendengaran dengan indera penglihatan.


6. Asosiasi, makna kata yang timbul karena persamaan sifat. Contoh:

Kata

Makna Asal

Makna Baru

Kursi

Tempat duduk

Jabatan

Bunglon

Binatang sejenis kadal yang dapat bertukar warna kulit

Orang yang pendiriannya tidak tetap

Tikus

Binatang pengerat yang sering menimbulkan kerugian

Koruptor

Makna asosiasi dapat pula dihubungkan dengan beberapa unsur berikut ini:

a. Waktu atau peristiwa

Contoh:

Kartosuwiryo mengganas di Jawa Barat.


Lagu Mengheningkan Cipta dikumandangkan pada upacara memperingati Hari Pahlawan.

b. Tempat atau lokasi

Contoh:

Mantan pejabat itu sekarang menginap di hotel prodeo. (penjara)


Tanah Lot menjadi tujuan liburan keluarga. (tempat pariwisata di Bali)

c. Warna

Contoh: Warna putih pada suatu pertempuran mengasosiasikan ‘menyerah dan lawan harus menghentikan pertempuran’. Warna hijau pada lampu lalu intas mengasosiasikan ‘berjalan’.

d. Tanda atau lambang tertentu

Contoh:

Tanda S berasosiasi dengan perintah untuk berhenti.


Tanda Sendok dan Garpu berasosiasi dengan rumah makan.

D. Bahasa Kiasan

Menurut Mulyono, gaya bahasa adalah cara khas menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulis atau lisan. Menurut HB Jassin, gaya bahasa adalah perihal memilih dan mempergunakan kata sesuai dengan isi yang ingin disampaikan. Sedangkan menurut Nata Wijaya, gaya bahasa adalah pernyataan dengan pola tertentu, sehingga mempunyai efek tersendiri terhadap pemerhati pembaca dan pendengar (Yusuf, http://kibutut.blogspot.com/2013/06/gaya-bahasa-dalam-puisi.html, akses 20 Mei 2014). Menurut Keraf (2006: 113), gaya bahasa merupakan cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperhatikan ciri dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Sedangkan dalam Tarigan (1985: 5) dinyatakan bahwa gaya bahasa adalah bahasa indah yang dipergunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta membandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum (Admin, http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17733/4/Chapter%20II.pdf, akses 21 Juni 2014).


Dapat pemakalah katakan bahwa gaya bahasa merupakan suatu pikiran yang disampaikan seorang penulis dengan kata-kata (baik secara tulis ataupun lisan) sebagai ekspresi dalam dirinya yang menimbulkan suatu efek bagi pembaca atau pendengarnya.


Selanjutnya, Keraf (1984) membagi gaya bahasa menjadi lima bagian, yaitu gaya bahasa yang dibagi menjadi segi non-bahasa dan bahasa itu sendiri; gaya bahasa berdasarkan pilihan kata yang terdiri dari gaya bahasa resmi, gaya bahasa tak resmi, dan gaya bahasa percakapan; gaya berdasarkan nada yang dibagi lagi menjadi gaya sederhana, gaya mulia dan bertenaga dan gaya menengah; gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat yaitu menyangkut klimaks, antiklimaks, paralelisme, antitesis, dan repetisi; dan yang terakhir gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna yang terbagi menjadi dua yaitu gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan (Saida, http://jurnal-online.um.ac.id/data/artikel/artikel5FFCF6DF3C432EF1777FBB04E4E6ABAC.pdf, akses 21 Juni 2014).

Sementara itu, Tarigan membagi gaya bahasa menjadi empat varian, yaitu gaya bahasa perbandingan yang terdiri atas sebelas macam, gaya bahasa pertentangan yang terdiri atas dua puluh satu macam, gaya bahasa pertautan yang terdiri atas empat belas macam, dan gaya bahasa perulangan yang terdiri atas tiga belas macam (Admin, http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17733/4/Chapter%20II.pdf, akses 21 Juni 2014).


Meruncing kepada gaya bahasa kiasan, pemakalah akan menerangkan mengenai bahasa kiasan dengan merujuk pada pendapat Keraf.


Menurut Keraf (2004: 136), gaya bahasa kiasan adalah membandingkan sesuatu dengan sesuatu hal yang lain, berarti mencoba untuk menemukan ciri yang menunjukkan kesamaan antara dua hal tersebut.

Gaya bahasa kiasan ini pertama-tama dibentuk berdasarkan perbandingan atau persamaan. Membandingkan sesuatu dengan yang lain, berarti mencoba menemukan ciri-ciri yang menunjukkan kesamaan antara kedua hal tersebut  (Keraf, 2006: 136). Perbandingan sebenarnya mengandung dua pengertian, yaitu perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa yang polos atau dalam arti makna denotasinya dan perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa kiasan atau dalam arti makna konotasi. Berikut contohnya:

a. Dia sama pintarnya dengan kakaknya.
b. Parasnya seperti rembulan yang bercahaya.

Perbedaan antara kedua perbandingan di atas adalah dalam hal kelasnya. Perbandingan pertama mencakup dua anggota yang termasuk dalam kelas yang sama dan gaya bahasa yang digunakan memiliki makna denotatif, sedangkan perbandingan kedua, sebagai bahasa kiasan, mencakup dua hal yang termasuk dalam kelas yang berlainan dan bermakna konotasi (Admin, http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17733/4/Chapter%20II.pdf, akses 21 Juni 2014).


Bahasa kiasan atau majas dalam sebuah karya sastra dapat menghidupkan atau meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu. Penggunaan majas menyebabkan puisi menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan terutama menimbulkan kejelasan gambaran angan (Pradopo, 2007: 62).

Pradopo (2000: 62) mengemukakan bahwa jenis majas meliputi perbandingan (simile), metafora, perumpamaan epos (epic simile), personifikasi, metonimia, sinekdoke (synecdoche), dan alegori. Badrun (1989: 26) berpendapat bahwa jenis majas terdiri dari simile, metafora, personifikasi, sinekdoke, metonimia, simbol, dan alegori (Admin, http://eprints.uny.ac.id/9525/3/bab%202-05210141021.pdf, akses 21 Juni 2014).


Sementara itu, Keraf (2004: 124-145) membagi bahasa kiasan yang merupakan bagian dari gaya bahasa yang berdasarkan langsung tidaknya makna meliputi persamaan atau simile, metafora, alegori, parabel, fabel, personifikasi, alusi, eponim, epitet, sinekdoke, metonimia, antonomasia, hipalase, ironi, sinisme, dan sarkasme, satire, innuendo, antifrasis (Sukir, http://ngawieducation.blogspot.com/2009/02/stelistika-unsur-retorika-gaya-bahasa.html,  akses 21 Juni 2014). 

Berikut akan diberikan penjelasan mengenai macam-macam bahasa kiasan.

1. Simile


Keraf (2004: 142) berpendapat bahwa simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit, yaitu gaya bahasa yang langsung menyatakan sesuatu yang sama dengan hal lain dengan menggunakan kata-kata pembanding seperti: bagai, bagaikan, sebagai, bak, seperti, semisal, seumpama, laksana, sepantun, penaka, se, dan lainnya. Contoh:

biarlah ia pergi laksana hembusan angin walau sesaat... tetap saja,

pernah menyejukkan

2. Metafora

Keraf (2004: 139) berpendapat bahwa metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung tetapi dalam bentuk yang singkat. Metafora adalah majas perbandingan yang tidak menggunakan kata-kata pembanding. Menurut Altenbernd, metafora menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama dengan hal lain, yang sesungguhnya tidak sama (Pradopo, 2012: 66). Contohnya: tangan kanan (orang kepercayaan), raja siang (matahari), putri malam (bulan), bunga bangsa (pahlawan), dan lain sebagainya (http://rijalfahmi6.blogspot.com/p/blog-page_7809.html, akses 20 Mei 2014). Contoh lainnya seperti pada kalimat rumahku surgaku, pemuda adalah bunga bangsa.

Contoh pada puisi: Bumi ini perempuan jalang yang menarik laki-laki jantan dan pertapa ke rawa-rawa mesum ini

(Subagio Sastrowardjojo, "Dewa Telah Mati", http://sapuani.blogspot.com/2010/05/dewa-telah-mati.html, akses 22 Juni 2014)

Metafora terdiri dari dua term atau dua bagian, yaitu term pokok (principal term) dan term kedua (secondary term) (Pradopo, 2007: 66-67). Term pokok disebut juga tenor, term kedua disebut juga vehicle. Term pokok atau tenor menyebutkan hal yang dibandingkan, sedang term kedua atau vehicle adalah hal yang membandingkan. Misalnya 'Aku' ini 'binatang jalang': 'Aku' adalah term pokok, sedang 'binatang jalang' term kedua atau vehicle. Namun seringkali penyair langsung menyebutkan term kedua tanpa menyebutkan term pokok atau tenor. Metafora ini disebut metafora implisit (implied metaphor) (Pradopo, 2007: 66-67).


3. Alegori

Alegori adalah kata kiasan berbentuk lukisan atau cerita kiasan. Cerita kiasan ini mengiaskan hal lain atau kejadian lain. Majas ini dapat pula dikatakan sebagai lanjutan dari metafora atau merupakan metafora yang dikembangkan. Majas ini banyak ditemui pada puisi-puisi Angkatan Pujangga Baru. Juga banyak ditemui pada puisi-puisi modern (Pradopo, 2012: 71). Dalam alegori, nama-nama pelakunya adalah sifat-sifat yang abstrak, serta tujuannya selalu jelas tersurat. Misalnya: Cerita tentang putri salju.

Contoh pada puisi:

Teratai


Kepada Ki Hajar Dewantara Dalam kebun di tanah airku Tumbuh sekuntum bunga teratai Terembunyi kembang indah permai Tidak terlihat orang yang lalu Akarnya tumbuh di hati dunia Daun bersemi Laksmi mengarang Biarpun diabaikan orang Seroja kembang gemilang mulia

……………………………….


(Sanusi Pane, "Teratai", http://immhabib5.wordpress.com/2012/12/23/majas-dalam-puisi/, akses 22 Juni 2014)

4. Parabel


Parabel adalah suatu kisah singkat dengan tokoh-tokoh yang biasanya manusia, yang selalu mengandung tema moral dan biasanya berhubungan dengan agama. Misalnya: Cerita tentang anak yang durhaka kepada orang tuanya.


5. Fabel

Fabel adalah suatu metafora yang berbentuk cerita mengenai dunia binatang, di mana binatang dapat bertingkah laku seperti manusia. Misalnya: Cerita dongeng Sang Kancil.


6. Personifikasi

Merupakan gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati yang tidak bernyawa yang seolah-olah memiliki sifat-sifat manusia (Waridah, 2013: 342). Pradopo (1995: 75) berpendapat bahwa personifikasi adalah kiasan yang mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, perpikir, dan sebagainya seperti manusia. 

Contoh:
Ombak berlarian ke tepi pantai
Angin mengejar dan berhembus sejuk
7. Alusi

Alusi atau dikenal pula dengan istilah alusio adalah gaya bahasa yang memakai ungkapan, kiasan atau peribahasa yang sudah lazim dipakai orang (admin, http://kibutut.blogspot.com/2013/06/gaya-bahasa-dalam-puisi.html, akses 20 Mei 2014). Dengan demikian, alusi merupakan gaya bahasa yang menampilkan adanya persamaan antara tempat, orang, atau peristiwa dari sesuatu yang dilukiskan dengan referensi atau gambaran yang sudah dikenal pembaca.

Contoh :
Hidupnya seperti telur di ujung tanduk.
Semoga di masa yang akan datang, lahir Bung Karno – Bung Karno kecil bagi bangsa ini.
8. Eponim

Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002: 25) berpendapat bahwa eponim adalah gaya bahasa yang dipergunakan seseorang untuk menyebutkan suatu hal atau nama dengan menghubungkannya dengan sesuatu berdasarkan sifatnya. Sejalan dengan pendapat tersebut, Keraf (2004: 141) menjelaskan bahwa eponim adalah suatu gaya bahasa di mana seseorang yang namanya begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu, sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat. 

Misalnya: Anak itu masih kecil, namun kekuatannya seperti Hercules.

9. Epitet


Keraf (2004: 141) berpendapat bahwa epitet adalah acuan yang berusaha menyugestikan kesamaan antar orang, tempat, atau peristiwa. Epitet adalah semacam acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang khusus dari seseorang atau suatu hal. Misalnya: Sang putri malam sedang menunjukkan sinarnya (=bulan).


10. Sinekdoke

Keraf (2004: 142) berpendapat bahwa sinekdoke adalah semacam bahasa figurative yang mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian. Sinekdoke adalah bahasa kiasan yang  menyebutkan sesuatu sebagian untuk menyatakan keseluruhan ataupun  sebaliknya (Waridah, 2013: 343).


Pars pro toto: jenis yang menyebutkan sebagian untuk keseluruhan.  Contoh:

Hingga saat ini ia belum kelihatan batang hidungnya.

Totum pro parte: jenis yang menyebutkan keseluruhan untuk sebagian.

Contoh: Indonesia akan mendukung tim sepak bolanya malam ini.

11. Metonimia


Metonimia adalah jenis majas yang penggunaannya paling jarang dibandingkan dengan majas-majas perbandingan lainnya. Dalam bahasa Indonesia, metonimia disebut sebagai pengganti nama. Kemudian, menurut Altendberg (1970: 21), bahasa metonimia berupa penggunaan sebuah atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang hubungannya dekat untuk menggantikan objek tersebut (Pradopo, 2012: 77). Seperti yang dikutip pada Djojosuroto, metonimia adalah bahasa kiasan yang mempergunakan sebuah kata atau kalimat untuk menyatakan sesuatu, karena mempunyai pertautan yang dekat dan relasional (admin, http://rijalfahmi6.blogspot.com/p/blog-page_7809.html, akses 20 Mei 2014).


Aminuddin (1995:241) berpendapat bahwa metonimia adalah pengganti kata yang satu dengan kata yang lain dalam suatu konstruksi akibat terdapatnya ciri yang bersifat tetap.


Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa metonimia adalah penamaan terhadap suatu benda dengan menggunakan nama yang sudah terkenal atau melekat pada suatu benda tersebut.

Misalnya:
Ia membeli sebuah Chevrolet.
Kakak membeli Aqua gelas.
12. Antonomasia

Antonomasia adalah sebuah bentuk khusus dari sinekdoke yang berwujud penggunaan sebuah epitet untuk menggantikan nama diri, atau gelar resmi, atau jabatan untuk menggantikan nama diri. Dengan kata lain, antonomasia adalah gaya bahasa yang menyebutkan nama orang dengan sebutan lain sesuai dengan ciri fisik dirinya atau watak orang tersebut, atau berupa penyebutan gelar resmi dan semacamnya untuk menggantikan nama diri.

Contoh:
Si gendut baru bangun tidur.
Megawati Soekarno Putri dan Meutia Hatta adalah putri-putri Sang Proklamator yang aktif di bidang pemerintahan.
13. Hipalase

Keraf (2004: 142) berpendapat bahwa hipalase adalah semacam gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata tertentu untuk menerangkan sebuah kata yang seharusnya dikenakan pada sebuah kata yang lain. Maksud pendapat di atas adalah hipalase merupakan gaya bahasa yang menerangkan sebuah kata tetapi sebenarnya kata tersebut untuk menjelaskan kata yang lain.

Misalnya:
Ia berbaring di atas sebuah kasur yang gelisah (yang gelisah adalah manusianya bukan kasurnya). 
14. Ironi

Keraf (2004: 143) berpendapat bahwa gaya bahasa sindiran atau ironi adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Ironi/sindiran adalah gaya bahasa berupa penyampaian kata-kata dengan berbeda atau berlawanan dengan maksud yang sesungguhnya, dan pembaca atau pendengar diharapkan memahami maksud penyampaian tersebut.

Contoh:
Pagi sekali kau pulang, masih jam 2 malam.
Kulihat kutu buku itu selalu berada di perpustakaan.
15. Sinisme

Keraf (2004: 143) berpendapat bahwa sinisme adalah gaya bahasa sebagai suatu sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. 

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sinisme adalah gaya bahasa yang bertujuan menyindir, mirip dengan ironi, tetapi kata-kata yang digunakan agak kasar dengan tujuan agar orang tersindir secara lebih tajam dan menusuk perasaan.

Contoh:
Kau kan sudah hebat, tak perlu lagi mendengar nasihat orang tua seperti aku ini!
Kau memang cepat memutuskan suatu pilihan hingga tak memerlukan pendapat orang lain hingga hasilnya tak maksimal!
16. Sarkasme

Waluyo (1995: 86) berpendapat bahwa sarkasme adalah penggunaan kata-kata yang keras dan kasar untuk menyindir atau mengkritik. Sarkasme adalah gaya bahasa sindiran yang paling kasar yang mengekspresikan kemarahan dan dapat membuat sakit hati.

Contoh:
Mulutmu harimaumu Bangsat tak tahu diri pria itu!

Sikapmu seperti anjing dan sifatmu seperti babi!

17. Satire

Keraf (2004: 144) mengatakan bahwa satire adalah ungkapan yang menertawakan atau menolak sesuatu.

Bentuk ini tidak harus bersifat ironis. Satire mengandung kritik tentang kelemahan manusia. 

Contoh:
Jangan pernah berpikir kau adalah dewa, menghadapi masalah seperti ini pun kau sudah kewalahan. 
18. Innuendo

Keraf (2004: 144) berpendapat bahwa innuendo adalah semacam sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang sebenarnya. Jadi, innuendo adalah gaya bahasa sindiran yang mengungkapkan kenyataan lebih kecil dari yang sebenarnya.

Contoh:
Ia menjadi juragan tanah di daerah itu berkat kelihaiannya bermain mata dengan penguasa (Waridah, 2013: 337).
Setiap ada pesta ia pasti sedikit mabuk karena kebanyakan minum. 
19. Antifrasis

Menurut pendapat Keraf (2004: 132), antifrasis adalah semacam ironi yang berwujud penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya, yang bisa saja dianggap sebagai ironi sendiri, atau kata-kata yang dipakai untuk menangkal kejahatan, roh jahat, dan sebagainya. Antifrasis adalah gaya bahasa sejenis ironi dengan menggunakan kata yang maknanya berlawanan dengan realita yang ada (admin, https://danririsbastind.wordpress.com/tag/gaya-bahasa/, akses 20 Mei 2014).

Contoh:
Si Bule telah datang. (orang berkulit hitam) Dia dikenal jenius dikelas ini. (padahal bodoh)

Lihatlah sang raksasa telah datang! (maksudnya si cebol) 


E. Kesimpulan 

Makna denotasi dan makna konotasi serta gaya bahasa merupakan salah satu unsur dari sebuah puisi. Puisi lebih umum menggunakan makna konotasi. Penyair menggunakan gaya bahasa sebagai cara khas dalam menyatakan pikiran, gagasan, dan perasaan dalam bentuk tulis atau lisan agar puisi lebih indah, hidup, dan menimbulkan efek pada pembaca atau pendengarnya.

Dari klasifikasi gaya bahasa yang dikemukakan Keraf, bahasa kiasan dapat diklasifikasikan ke dalam 4, yaitu majas perbandingan (simile, metafora, personifikasi, dan alegori), majas pertautan (metonimia, sinekdoke, alusi, eponim, epitet, dan antonomasia), majas sindiran (ironi, sinisme, sarkasme, innuendo, dan antifrasis), majas pertentangan (hipalase, dan satire) dan sisanya parabel serta fabel.

DAFTAR PUSTAKA

"Analisis Gaya Bahasa dalam Puisi Tembang Alam."  http://asrank.blogspot.com/2013/04/analisis-gaya-bahasa-dalam-puisi.html (akses 20 Mei 2014).

Ayken, Faliq. "Karakteristik Bahasa Puisi: Perbedaannya dengan Karya Sastra Lain dan Diksi dalam Puisi." Makalah disampaikan pada Kajian Puisi Komunitas Literasi Alfabét (Kolibét), Tangerang Selatan, 2014.

---------. "Cermin Mimi Aya." http://kolibet.blogspot.com/2014/04/cermin-mimi-aya.html (akses 22 Juni 2014).

"Bab II Landasan Teori." http://eprints.uny.ac.id/9525/3/bab%202-05210141021.pdf (akses 21 Juni 2014).

"Bab II Konsep, Landasan Teori dan Tinjauan Pustaka." http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17733/4/Chapter%20II.pdf (akses 21 Juni 2014).

Fahmi, Rijal. "Struktur Puisi (Contoh Analisis)." http://rijalfahmi6.blogspot.com/p/blog-page_7809.html (akses 20 Mei 2014).

Mihardja, Dimas Arika. "Bahasa Kias dalam Puisi." http://tamanpendidikandimasar.blogspot.com/2011/02/bahasa-kias-dalam-puisi.html (akses 20 Mei 2014).

Nasional, Departemen Pendidikan. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka, 2007.

Kemdikbud. "Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan." http://kbbi.web.id/ (akses 17 Mei 2014).

Oktav, Herry. "Unsur-unsur Makna di dalam Puisi." Makalah disampaikan pada Kajian Puisi Komunitas Literasi Alfabét (Kolibét), Tangerang Selatan, 2014. Primadeka, Oky. "Unsur-unsur Bentuk Puisi: Bunyi, Kata, Bahasa Kiasan/Majas, dan Citraan." Makalah disampaikan pada Kajian Puisi Komunitas Literasi Alfabét (Kolibét), Tangerang Selatan, 2014.

---------. "Angin Angan." http://kolibet.blogspot.com/2014/05/angin-angan.html (akses 22 Juni 2014).

Pradopo, Rachmat Djoko. Pengkajian Puisi. Cet. 13. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012.

Riva, Danriris. "Sarana Retorika, Bahasa Kiasan dan Diksi dalam Puisi." https://danririsbastind.wordpress.com/tag/gaya-bahasa/ (akses 20 Mei 2014).

Saida, Akmaliatus. "Gaya Bahasa dalam Cerita Madre Karya Dewi Lestari." http://jurnal-online.um.ac.id/data/artikel/artikel5FFCF6DF3C432EF1777FBB04E4E6ABAC.pdf (akses 21 Juni 2014).

Subuki, Makyun. Semantik: Pengantar Memahami Makna Bahasa. Jakarta: Transpustaka, 2011.

Sukir. "Stelistika, Unsur Retorika, Gaya Bahasa (Lengkap)." http://ngawieducation.blogspot.com/2009/02/stelistika-unsur-retorika-gaya-bahasa.html (akses 21 Juni 2014).

Waridah, Ernawati. EYD Ejaan yang Disempurnakan & Seputar Kebahasa-Indonesiaan. Cet.2. Bandung: Ruang Kata, 2013.

Yusuf, Rosyid. "Gaya Bahasa dalam Puisi." http://kibutut.blogspot.com/2013/06/gaya-bahasa-dalam-puisi.html (akses 20 Mei 2014).

*Khairini Lulut adalah mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan anggota tetap UKM Bahasa-FLAT, Foreign Languages Association, pada universitas yang sama.