Bulan qomariyah baru dimulai apabila telah terpenuhi tiga parameter yaitu

MAKLUMAT Pimpinan Pusat Muhammadiyah tentang penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah, sebagaimana terlihat dalam diktumnya, selalu mencantumkan frasa “hisab hakiki wujudul hilal,” seperti pada pernyataan “berdasarkan hisab hakiki wujudul-hilal”. Ada tiga istilah kunci dalam pernyataan ini, yaitu pertama, “hisab”; kedua, “hisab hakiki”, dan ketiga, “wujudul-hilal”. Hisab hakiki wujudul hilal merupakan dasar metodologis dalam menentukan kapan bulan baru Kamariah dimulai, termasuk 1 Ramadan, 1 Syawal, dan 1 Zulhijah. Tulisan ini menguraikan secara singkat mengenai tiga istilah kunci yang terdapat dalam frasa tersebut.

Hisab

Kata “hisab,” yang kerap kali oleh masyarakat dijadikan sebagai julukan atau label bagi Muhammadiyah sebagai ahli (pendukung) hisab berasal dari kata Arab al-hisab, yang arti harfiahnya ialah perhitungan atau pemeriksaan. Dalam Alquran, kata hisab atau turunannya banyak disebut, dan secara umum dipakai dalam arti perhitungan, seperti dalam surat Gafir (40) ayat 17.

Dalam Alquran juga disebut beberapa kali kata yaum al-hisab, yang berarti hari perhitungan, salah satu contohnya surat Shad (38) ayat 26. Kata al-hisab dalam Alquran yang mengandung arti perhitungan waktu terdapat dalam surat Yunus (10) ayat 5. Kata al-hisab, dalam ayat ini menunjukkan pada pengertian perhitungan waktu karena dirangkaikan dengan ungkapan li ta’lamu ‘adad as-sinin yang berarti bilangan tahun. Pengertian yang sama terdapat pula dalam surat Al-Isra’ (17) ayat 12, kata al-hisab dalam ayat itu dirangkaikan dengan ungkapan li ta’lamu ‘adad as-sinin.

Dalam teks hadis Nabi Muhammad SAW, kata hisab lebih banyak digunakan dalam pengertian perhitungan pada “hari kemudian”, hari akhirat. Kata kerja nahsubu, turunan dari kata al-hisab, terdapat dalam hadis Nabi SAW yang mengandung pengertian perhitungan gerak bulan dan matahari untuk menentukan waktu, yaitu hisab untuk menentukan bulan Kamariah. Terjemahan hadis tersebut ialah “Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa menghitung (nahsubu). (Bulan itu adalah demikian-demikian, maksudnya kadang-kadang dua puluh sembilan hari, dan kadang-kadang tiga puluh hari).”

Penentuan 1 Kamariah, seperti Ramadan, Syawal, dan Zulhijah, dilakukan dengan cara menghitung posisi atau kedudukan bulan di langit dalam perjalanannya mengitari bumi selama sebulan sekali, dan bersama-sama bumi mengitari matahari selama setahun sekali. Kapan bulan baru Kamariah itu dimulai? Ketika kriteria hisab yang dibangun pengguna hisab dan dijadikan sebagai dasar penentuan 1 Kamariah sudah terpenuhi.

Hisab hakiki

Penggunaan istilah hisab hakiki dimaksudkan untuk membedakannya dengan hisab ‘urfi. Hisab sebagai metode dalam penentuan awal bulan Kamariah, khususnya bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah, atau penyusunan kalender Kamariah, secara umum dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu pertama hisab ‘urfi dan kedua hisab hakiki. Hisab ‘urfi atau hisab ‘adadi, hisab ‘alamah, adalah metode perhitungan untuk penentuan awal bulan, dengan berpatokan tidak kepada gerak atau posisi faktual bulan di langit.

Perhitungan itu didasarkan pada rata-rata gerak bulan dalam satu putaran sinodisnya 29 hari, 12 jam, 44 menit, dan 2,8 detik. Penentuan awal bulan atau penyusunan kalender dilakukan dengan cara mendistribusikan jumlah hari tersebut ke dalam bulan secara berselang-seling, antara bulan bernomor urut ganjil 30 hari dan bulan bernomor urut genap 29 hari, dengan kaidah-kaidah tertentu. Konsekuensinya, mulainya bulan Kamariah tidak selalu sama dengan kemunculan bulan di langit. Umur bulan Ramadan selalu 30 hari, padahal bulan Ramadan berdasarkan kemunculan bulan di langit kadang-kadang berumur 29 hari.

Berbeda dengan hisab ‘urfi, hisab hakiki menghitung gerak dan posisi faktual bulan di langit untuk mendapatkan posisi geometrik atau kedudukan yang sebenarnya dan setepat-tepatnya sehingga bermula dan berakhirnya bulan Kamariah mengacu pada posisi atau kedudukan bulan yang senyatanya.

Dalam hisab hakiki dihitung arah dan kecepatan gerak bulan dari waktu ke waktu sehingga diketahui posisi geometrik atau kedudukan yang senyatanya pada suatu waktu tertentu. Bahkan, yang dihitung bukan saja bulan, melainkan juga matahari dan bumi. Karena demikian, diperlukan data astronomis bulan, matahari, dan bumi yang akurat dan senantiasa update. Perhitungannya menggunakan kaidah-kaidah dan rumus-rumus ilmu ukur astronomi bola.

Wujudul-Hilal

Dalam hisab hakiki, yang dihitung ialah posisi bulan yang sebenarnya untuk menentukan kapan bulan baru Kamariah dimulai. Namun, untuk menentukan pada saat mana dari perjalanan bulan itu dapat dinyatakan sebagai awal bulan belum ada kesepakatan. Mengenai hal ini, banyak kriteria yang berkembang. Pertama, ijtimak sebelum fajar, awal bulan Kamariah ditandai dengan terjadinya ijtimak (konjungsi) bulan dan matahari sebelum terbit fajar. Kombinasi fenomena ijtimak bulan-matahari dan terbit fajar, merupakan keadaan yang menandai awal bulan baru Kamariah.

Kedua, ijtimak sebelum gurub (terbenam matahari); awal bulan Kamariah ditandai dengan terjadinya ijtimak (konjungsi) bulan dan matahari sebelum terbenam matahari. Kombinasi fenomena ijtimak bulan-matahari dan terbenam matahari, merupakan tanda dimulainya awal bulan baru Kamariah.

Ketiga, bulan terbenam setelah matahari terbenam, awal bulan Kamariah ditandai dengan pertama kalinya dalam siklus bulanan matahari terbenam sebelum terbenam bulan, atau pertama kalinya terbenam bulan sesudah terbenam matahari.

Keempat, imkanur rukyat, awal bulan kamariah dimulai sejak terbenam matahari manakala posisi bulan saat itu sudah sedemikian rupa sehingga dalam keadaan normal tanpa ada gangguan apa pun hilal (bulan sabit) mungkin atau bahkan dipastikan dapat dilihat. Ukuran kemungkinan hilal dapat dilihat tersebut tidak ada kesepakatan di kalangan pengguna hisab. Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Agama RI menetapkan tinggi minimal bulan 02 derajat, elongasi 03 derajat, dan umur bulan 8 jam. Belum lama ini diubah kriterinya menjadi tinggi minimal bulan 03 derajat dan elongasi 06,4 derajat.

Kelima, wujudul hilal, awal bulan baru Kamariah dimulai sejak terbenam matahari yang terjadi untuk pertama kalinya setelah terjadi ijtimak bulan-matahari, dan disusul kemudian oleh terbenam bulan. Jadi, untuk dapat ditetapkan tanggal 1 bulan baru Kamariah pada saat matahari terbenam tersebut harus terpenuhi tiga syarat secara kumulatif, yakni sudah terjadi ijtimak bulan-matahari, ijtimak bulan-matahari terjadi sebelum terbenam matahari, dan pada saat terbenam matahari bulan belum terbenam. Jika salah satu saja dari tiga syarat itu tidak terpenuhi, awal bulan baru Kamariah belum dapat ditetapkan.

Muhammadiyah menggunakan metode hisab hakiki wujudul hilal dengan tiga kriteria. Pertama, telah terjadi ijtimak bulan dan matahari. Kedua, Ijtimak bulan dan matahari terjadi sebelum terbenam matahari, dan ketiga pada saat terbenam matahari bulan belum terbenam, bulan masih di atas ufuk.

Kriteria tersebut, dipahami dari isyarat dalam firman Allah SWT pada surat Yasin ayat 39 dan 40 yang artinya “Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan, dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya.”

Namun demikian, penyimpulan tiga kriteria di atas tidak hanya dipahami dari ayat 39 dan 40 surat Yasin, tetapi juga dihubungkan dengan ayat, hadis, dan konsep fikih lainnya, dan dibantu ilmu astronomi. Dalam surat Ar-Rahman dan surat Yunus dijelaskan bahwa bulan dan matahari dapat dihitung geraknya, dan perhitungan itu berguna untuk menentukan bilangan tahun dan perhitungan waktu. Di antara perhitungan waktu itu ialah perhitungan bulan.

Pada kedua ayat tersebut terdapat isyarat mengenai tiga hal penting, yaitu peristiwa ijtimak, peristiwa pergantian siang ke malam (terbenamnya matahari), dan dari balik pergantian siang ke malam itu terkait ufuk, karena terbenamnya matahari berarti matahari berada di bawah ufuk.

Peristiwa ijtimak, diisyaratkan dalam ayat 39 surat Yasin dan awal ayat 40. Pada ayat itu ditegaskan bahwa Allah SWT telah menetapkan manzilah-manzilah tertentu bagi bulan dalam perjalanannya. Dalam astronomi manzilah bulan itu dapat difahami posisi bulan dalam perjalanannya mengitari bumi. Pada posisi akhir saat bulan dapat dilihat dari bumi terakhir kali, bulan kelihatan seperti tandan tua dan ini menggambarkan sabit dari bulan tua yang terlihat di pagi hari, sebelum menghilang dari penglihatan karena sinarnya kalah oleh cahaya matahari pagi.

Kemudian, dalam perjalanan itu bulan menghilang dari penglihatan, karena ia sedang melintas antara matahari dan bumi, ia berada pada titik terdekat dengan garis lurus antara titik pusat matahari dan titik pusat bumi. Saat itulah yang disebut ijtimak (konjungsi). Matahari juga, tetapi secara semu, berjalan mengelilingi bumi (sesungguhnya bumi yang mengitari matahari).

Dalam perjalanan keliling itu bulan dapat mengejar matahari sebanyak 12 kali dalam satu tahun, yaitu saat terjadinya ijtimak, saat bulan berada antara Matahari dan Bumi. Saat terjadinya ijtimak, menandai bulan telah cukup umur satu bulan karena ia telah mencapai titik finis dalam perjalanan kelilingnya. Ijtimak, secara sendirian tidak cukup untuk menjadi kriteria bulan baru, karena ia dapat terjadi kapan saja: pagi, siang, sore, malam, dini hari, subuh, dan seterusnya. Oleh karena itu, diperlukan kriteria lain di samping kriteria ijtimak.

Bagian tengah ayat 40 ditegaskan, bahwa malam tidak mungkin mendahului siang. Ini berarti pergantian hari ialah pada saat terbenam matahari. Saat pergantian siang ke malam atau saat terbenam matahari itu dalam fikih, menurut pandangan jumhur fukaha ialah batas hari. Terbenam matahari menandai berakhirnya hari sebelumnya, dan mulainya hari berikutnya. Apabila keadaan itu ialah pada hari terakhir dari suatu bulan, maka terbenam matahari sekaligus menandai berakhirnya bulan lama, dan mulainya bulan baru Kamariah. Inilah kriteria kedua, yaitu ijtimak terjadi sebelum terbenamnya matahari, yakni sebelum berakhirnya hari bersangkutan.

Dalam ayat 40 surat Yasin itu tersirat pula isyarat tentang arti penting ufuk (horizon). Ufuk tidak hanya terkait dengan pergantian suatu hari ke hari berikutnya, tetapi juga terkait dengan pergantian suatu bulan ke bulan baru berikutnya pada hari terakhir dari suatu bulan. Dalam kaitan ini, ufuk dijadikan garis batas untuk menentukan apakah bulan sudah mendahului matahari atau belum, dalam perjalanan keduanya dari arah barat ke timur (perjalanan semu bagi matahari). Dengan kata lain, ufuk menjadi garis penentu apakah bulan baru sudah wujud atau belum. Apabila pada saat terbenamnya matahari, bulan telah mendahului matahari dalam gerak keduanya dari barat ke timur, artinya saat matahari terbenam bulan belum terbenam atau berada di atas ufuk, maka itu menandai dimulainya bulan Kamariah.

Menjadikan keberadaan bulan di atas ufuk saat matahari terbenam sebagai kriteria mulainya bulan baru Kamariah, juga merupakan abstraksi dari perintah-perintah rukyat dan penggenapan bulan tiga puluh hari bila hilal tidak terlihat. Hilal tidak mungkin terlihat apabila di bawah ufuk. Hilal yang dapat dilihat, pasti berada di atas ufuk. Apabila Bulan pada hari ke-29 berada di bawah ufuk sehingga tidak terlihat, lalu bulan bersangkutan digenapkan 30 hari, maka pada sore hari ke-30 itu saat matahari terbenam untuk kawasan normal bulan sudah pasti berada di atas ufuk. Jadi, kadar minimal prinsip yang dapat diabstraksikan dari perintah rukyat, dan penggenapan bulan 30 hari adalah keberadaan bulan di atas ufuk, sebagai kriteria memulai bulan baru Kamariah.

Untuk bulan Ramadan 1443 H ketiga kriteria tersebut sudah terpenuhi pada Jumat petang 1 April 2022 M, yaitu ijtimak terjadi pada hari itu pukul 13.27 WIB, terbenam matahari di tempat perhitungan (Yogyakarta) pukul 17.45 WIB, dan tinggi bulan 02 derajat 18 derajat di atas ufuk. Ketiga kriteria terpenuhi, maka Sabtu 2 April 2022 M sudah masuk 1 Ramadan 1443 H.

Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, dakwah amar makruf nahi mungkar yang bercirikan tajdid, memperhatikan dan memberikan penghargaan tinggi terhadap ilmu pengatahuan untuk memahami dan mengimplementasikan teks-teks syariah. Metode yang digunakan Muhammadiyah dalam menemukan suatu petunjuk agama, didasarkan pada asumsi integralistik, yang sekaligus digabungkan dengan asumsi hierarkis. Asumsi integralistik, mengpostulasikan teori keabsahan koroboratif. Saling mendukung di antara berbagai elemen sumber guna menemukan petunjuk agama akan lebih kuat dari hanya berdasarkan pada satu elemen saja.

Asumsi hierarkis menegaskan bahwa norma itu berjenjang dari norma yang paling atas sampai paling bawah. Prinsip-prinsip atau nilai-nilai dasar yang diambil dari nilai-nilai universal Islam memayungi norma di bawahnya, yang berupa asas-asas yang diambil dari sumber pokok Alqurqn dan As-Sunnah, atau merupakan deduksi dari nilai-nilai dasar. Selanjutnya, norma asas ini memayungi norma konkret yang ada di bawahnya yang berupa ketentuan syar’i yang bersifat far’i.