Berikut ini yang tidak termasuk karya Syekh Muhammad Arsyad adalah

Jawaban:

Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari sampai sekarang ini namanya masih melekat di hati masyarakat Martapura, Kalimantan Selatan, meskipun putra Banjar kelahiran Desa Lok Gabang, 19 Maret 1710 M, itu sudah meninggal sejak 1812 M. Beliau meninggalkan banyak jejak dalam bentuk karya tulis dalam bidang keagamaan.

Karya-karya yang dihasilkan beliau seperti sumur yang tak pernah kering untuk digali hingga sekarang. Tak mengherankan bila seorang pengkaji naskah ulama Melayu yang berasal dari Malaysia menjulukinya sebagai ‘Matahari Islam Nusantara’. ‘Matahari’ itu terus memberikan pencahayaan bagi kehidupan umat Islam.

Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari juga pelopor pengajaran Hukum Islam di Kalimantan Selatan. Beliau bahkan masih sempat menuntut ilmu-ilmu agama Islam di Mekkah. Dan Sekembalinya ke kampung halaman, hal pertama yang dikerjakannya yaitu membuka tempat pengajian (semacam pesantren) bernama Dalam Pagar.

Berikut ini yang tidak termasuk karya Syekh Muhammad Arsyad adalah

Berikut ini yang tidak termasuk karya Syekh Muhammad Arsyad adalah
Lihat Foto

Wikipedia Commons

Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari

KOMPAS.com - Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah seorang ulama besar yang berasal dari Kerajaan Banjar di Martapura, Kalimantan Selatan.

Ia lahir di Martapura, yang menjadi salah satu pusat keagamaan Islam di Indonesia pada abad ke-16.

Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari berperan besar dalam penyebaran Islam pada abad ke-18.

Ia merupakan pengarang Kitab Sabilal Muhtadin, yang menjadi rujukan bagi para mahasiswa yang mendalami agama Islam di Asia Tenggara dan Mesir.

Baca juga: Syekh Nawawi al-Bantani, Ulama Banten yang Mendunia

Masa muda

Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari lahir di Martapura, Kalimantan Selatan, pada 17 Maret 1710 M atau 1122 H.

Nama asli Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah Sayyid Ja'far Al-Aydarus. Ia kemudian mendapat julukan Datu Kalampaian.

Sejak kecil hingga dewasa, ia belajar agama Islam langsung dari keluarganya. Di samping itu, ia juga diberikan pelatihan membuat kaligrafi.

Sekitar umur 30 tahun, Muhammad Arsyad al-Banjari ingin melanjutkan pendidikannya ke Tanah Suci Mekkah.

Keinginan itu dikabulkan oleh pemerintah Kesultanan Banjar pada 1739.

Baca juga: Biografi Abah Guru Sekumpul, Ulama Besar dari Kalimantan Selatan

Belajar di Mekkah

Muhammad Arsyad al-Banjari berangkat ke Arab dan melakukan ibadah haji terlebih dulu. Setelah itu, ia bermukim di Haramain selama beberapa tahun untuk menuntut ilmu agama Islam.

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari Sang Pakar yang Mendunia

Ia menjadi rujukan keagamaan di Kesultanan Banjar ketika itu. 

Popularitas tokoh kelahiran Kampung Lok Gabang (kini termasuk Kabupaten Banjar), 19 Maret 1710, ini melambung hingga ke mancanegara. Ia dikenal oleh umat Islam Filipina, Turki, Arab Saudi, Mesir, dan India. Ketenaran ini tak lain karena kapasitas keilmuannya yang mumpuni. Ia dikenal sebagai sosok yang alim. 

Kepakarannya tersebut tampak jelas dari sejumlah karya tulisannya yang meliputi beragam disiplin ilmu. Di bidang teologi, ia pernah menulis kitab Sifat Dua Puluh, Luqtat al-Ajlan yang menguraikan hukum- hukum mengenai masalah kewanitaan, Fara\'idh menguraikan masalah pembagian harta warisan, Ilmu Falaq, dan an-Nikah yang menguraikan tentang hukum-hukum pernikahan. 

Di antara kitab yang paling monumental, karya putra dari pasangan Abdullah bin Abu Bakar bin Abdurrasyid (Abdul Harits) 

bin Abdullah dan Aminah ini adalah kitab Sabil al-Muhtadin. Kitab ini sangat masyhur, bahkan sampai ke luar negeri, seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Patani, dan lainnya. Kitab ini berisi tentang masalah fikih, ditulis sekitar 1192 H atau 1777 M.

Ada juga kitab Tuhfat ar-Raghibin yang dikarang pada 1188 H/1774 M. Kitab ini telah dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia, berisi tiga bab dan khatimah, berbicara penguraian masalah akidah, kepercayaan yang haq dan bathil atau hakikat iman yang benar, serta hal-hal yang bisa merusak iman.

Jiwa seni juga terpancar dari Syekh Arsyad, terutama seni lukis. Bakat melukis tersebut sudah terasah sejak usia muda. 

Ia pernah diminta langsung oleh Sultan Tahmidullah bin Sultan Tahlilullah berkat hasil karena karya seni lukisnya yang memu?

kau. Ketika itu, rombongan kerajaan sedang melakukan kunjungan ke kampung-kampung dan sampailah ke Kampung Lok Gabang. 

Sultan Tahmidullah terkesima ketika melihat lukisan miliki Syekh Muham mad Arsyad. 

Diasuh kesultanan Syekh Arsyad terkenal dengan kecerdas?

annya sejak kecil. Kelebihan inilah yang me na rik hati Syekh Tahmidullah untuk meng asuhnya. Ketika itu, Syekh Muhammad Arsyad berusia tujuh tahun. Akhirnya, Sul?

tan Tahmidullah meminta langsung ke?

pada kedua orang tuanya merawat Syekh Muhammad Arsyad. 

Memang, pada mulanya, Abdullah dan Ami nah menolak melepas anaknya, tetapi demi masa depan sang buah hati yang diharap kan menjadi anak yang berbakti kepada agama, negara, dan orang tua, diterimalah tawaran sultan tersebut. Syekh Arsyad tinggal bersama sultan hingga dinikahkan dengan keluarga istana, seorang perempuan bernama Bajut.

Ketika sang istri mengandung anak yang pertama, terlintaslah di hati Syekh Arsyad untuk menuntut ilmu di Makkah. Rencana tersebut sempat direspons berat oleh istri tercinta, namun akhirnya hati sang istri luluh dan merelakan suaminya itu pergi belajar ke negeri orang. Pihak istana menanggung biaya pendidikan Syekh Arsyad. 

Selama kurang lebih 35 tahun belajar di Tanah Suci, Syekh Arsyad mempelajari berbagai disiplin ilmu agama. Dengan wa?

wasan keislamannya, Syekh Arsyad terkenal dengan pandangannya yang moderat. Ia berguru ke sejumlah ulama ternama. 

Di antaranya, Syekh Atha\'illah bin A h?

mad al-Mishri al-Azhari di Makkah dan Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi di Madinah. Syekh Arsyad belajar tasawuf, antara lain, ke Syekh Muhammad bin Abdul Karim al-Qadiry al-Hasani. 

Selama berada di Tanah Suci pulalah, Syekh Arsyad membangun jejaring ulama nusantara. Beberapa tokoh ulama nusantara adalah sahabat perjuangannya, seperti Syekh Abdush-Shamad Palembang, Abdurrahman Masri Banten, Daud bin Abdullah al- Fathani, Muhammad Shaleh bin Umar as- Samarani Semarang, dan Syekh Abdul Wahab Sadengreng Bunga Wardiyah Bugis yang kelak menjadi salah seorang menantu Syekh Arsyad. 

Pulang dari Tanah Suci pada Ramadhan 1186 H atau 1772 M, Syekh Arsyad mendirikan pondok pesan tren yang diberi nama Dalam Pagar. Seiring perjalanan waktu, daerah ini menjadi destinasi menuntut ilmu bagi para pelajar. Di Ponpes Dalam Pagar itulah lahir ulama-ulama terkenal. 

(c62, ed: nashih nashrullah)

Memperbaiki Arah Kiblat Masjid

Sebelum pulang ke kampung halamannya, Syekh Arsyad menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumah para sahabatnya. Di antaranya, Betawi, kampung halaman Syekh Abdurrahman Misri. Selama di Betawi, Syekh Arsyad diminta menetap sebentar untuk mengajarkan ilmu agama.

Salah satu peristiwa penting selama di Betawi adalah ketika Syekh Arsyad meluruskan arah kiblat Masjid Jembatan Lima, Masjid Luar Batang, dan Masjid Pekojan. Untuk mengenang peristiwa tersebut, masyarakat sekitar Masjid Jembatan Lima menuliskan di atas batu dalam aksara Arab Melayu (tulisan Jawi) yang bertuliskan bahwa kiblat masjid ini telah diputar ke kanan sekitar 25 derajat oleh Muhammad Arsyad al-Banjari pada 4 Safar 1186 H. 

Arah kiblat itu dibetulkan hanya dengan geseran serban Syekh Muhammad Arysad seketika bangunan masjid tersebut mengiringi geseran serbannya. 

Subhanallah. Setelah dirasa cukup, Syekh Muhammad Arsyad dan Syekh Abdul Wahab Bugis berlayar menuju kampung halaman ke Martapura, pusat Kesultanan Banjar pada masa itu. 

Akan tetapi, Sultan Tahlilullah yang telah banyak berjasa menyokong pendidikannya telah wafat dan digantikan kemudian oleh Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah I, yaitu cucu Sultan Tahlilullah. Sultan Tahmidullah yang pada ketika itu memerintah Kesultanan Banjar, menaruh perhatian terhadap perkembangan serta kemajuan Islam di kerajaannya.

Upaya adat kebesaran digelar untuk menyambut kedatangan Syekh Arsyad. 

Ia dielu-elukan dengan julukan Matahari Agama yang cahayanya diharapkan menyinari seluruh Kesultanan Banjar. Tak elak, Syekh Arsyad mendedikasikan hidupnya untuk menebarkan ilmu. 

(c62, ed: nashih nashrullah)

NEXT MUJADDID 

Habib Ali Kwitang 

Peletak Majelis Ilmu di Ibu Kota 

Pesatnya perkembangan majelis taklim yang digelar ha rian, pekanan, dan bulanan yang ada di kawasan Jakarta dan sekitarnya tidak terlepas dari sepak terjang pemilik nama lengkap Habib Ali bin Abdur Rahman bin Abdullah bin Muhammad al-Habsyi ini. Ancaman tentara kolonial Belanda tidak membuat Habib Ali Kwitang ragu mendirikan majelis-majelis ilmu se pulangnya dari misi belajar di Ha dramaut, Yaman, selama enam tahun.

Kesabaran dan konsistensi to koh yang lahir pada 20 April 1870/20 Jumadil Awal 1286 ini dalam mendidik jamaah di majelis yang didirikannya, lahirlah ulama- ulama tawadhu, zuhud, dan tersohor di wilayah Betawi dan sekitarnya. 

Tak sedikit yang lantas mendiri- kan lembaga pendidikan, seperti pesantren, majelis taklim, hingga universitas. Hingga saat ini, Majelis Taklim Kwitang tetap eksis dengan jamaah yang datang dari berbagai daerah di wilayah Jabodetabek.

Salah satu daya magnet yang memikat para jamaah dari berbagai latar belakang itu adalah kemampuan mengontekstualisasikan ajaran agama dalam konteks situasi dan kondisi saat itu. Habib Ali Kwitang, begitu ia akrab disapa, selalu menge depankan aspek sosial budaya, namun masih berlandaskan tauhid, kemurnian iman, solidaritas sosial, dan nilai-nilai keluhuran budi. 

Habib Ali, seperti dinukilkan oleh para muridnya, mengajarkan latihan kebersihan jiwa melalui tasawuf. 

Ia tidak pernah mengajarkan ke- ben cian, hasad, hasud, dengki, gi bah, apalagi fitnah. Sebaliknya, al marhum mengembangkan tra- disi ahlulbait yang menjunjung ting gi nilai-nilai kemanusiaan, meng hormati hak setiap manusia tanpa membedakan status sosial.

Di tengah-tengah kesibukannya mengajarkan ilmu, Habib Ali tetap produktif menulis. Karya-karya hasil pemikiran sang Habib menjadi pegangan ulama di tanah Betawi, terutama kitab yang berisi tuntutan shalawat kepada Rasulullah SAW. 

Di antaranya adalah al-Azhar al- Wardiyah (mengenai akhlak Nabi) 

dan ad-Durar Fi al-Shalawat al-Khair al-Bariyah (buku shalawat Nabi). 

Bagaimanakah keteladanan dan perjuangan Habib Ali menegakkan syiar Islam di tanah Betawi? Simak kisah lengkapnya dalam rubrik \"Mujadid\" edisi yang akan datang. (c62, ed: nashih nashrullah)

Berikut ini yang tidak termasuk karya Syekh Muhammad Arsyad adalah