Bagaimana sikapmu terkait adanya teroris yang mengatasnamakan jihad

Oleh A Muchlishon Rochmat

Sudah menjadi watak manusia menggunakan agama sebagai tameng untuk melegalitas segala tindakan seseorang maupun kelompok, meski tindakan tersebut ditentang oleh nalar sehat. Begitulah gambaran yang dilakukan oleh kelompok-kelompok radikal terorisme. Mereka melakukan tindakan-tindakan radikal yang merugikan berbagai pihak atas nama ‘jihad’, menegakkan agama Allah dan mengibarkan bendera tauhid. Sangat ganjil sekali, tujuan yang mulia dilakukan dengan cara yang hina. 

Dalam beberapa tahun belakangan ini, masyarakat dunia lagi-lagi dikejutkan dengan jaringan Islam radikal ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). Akar jaringan ini sudah ada sejak 1999 namun baru pada Juni 2014 jaringan tetorisme ini memproklamirkan diri sebagai Islamic State dengan Abu Bakar Al Baghdadi sebagai pimpinan tertinggi atau khalifahnya. Juga ISIS merupakan kelompok jaringan dengan kekayaan yang paling tinggi yaitu 15 triliun per tahun, uang tersebut didapatkan dari hasil penyelundupan minyak mentah dan penjarahan-penjarahan masyarakat sipil Irak dan Syuriah. Karena brutalnya tersebutlah ISIS menjadi musuh bersama dan paling berbahaya bagi kelompok-kelompok anti-terorisme.

Lantas apa yang menjadi motif terorisme tersebut dan bagaimana cara untuk meredam keganasan mereka? Alasan mereka yang sering kita dengar dan baca di media-media selama ini adalah sederhana yaitu ‘jihad’, menegakkan panji-panji Islam. Namun kalau kita telaah lebih lanjut, alasan atau motif terorisme sangatlah komplek dan saling terkait. Saling terkait antara satu sektor dengan sektor yang lainnya.

Setidaknya ada dua motif utama tindakan terorisme: motif religious dan motif sosial-ekonomi-politik. Setelah wafatnya Rasulullah, otoritas untuk menafsirkan teks-teks agama menjadi tak terbataskan. Siapa saja bisa menafsirkan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan yang diinginkan. Maka dari itu, tidak sedikit yang menafsirkan teks ‘jihad’ sebagai perang melawan para orang kafir karena mereka dianggap menjajah Negara Islam. Padahal setelah perang badar Rasulullah berkata bahwa perang di medan adalah jihad shighor (kecil), sementara memerangi hawa nafsu adalah perang akbar (besar) Berawal dari pemahaman agama yang sepotong-sepotong tersebut lah, terorisme berkembang dengan subur. 

Kedua, motif sosial-ekonomi-politik. Diakui atau tidak bahwa kondisi umat Islam sedang dalam masa keterpurukan yang hebat, umat Islam tertinggal jauh dalam hal kesejahteraan dan kemajuan dari Barat. Hampir sebagian besar Negara yang mayoritasnya berpenduduk muslim berada pada kondisi yang sangat memprihatinkan dalam segi ekonomi bahkan politiknya. Banyak pengangguran, tingkat kemiskinan yang tinggi, orientasi hidup yang pendek –karena hanya mengincar kehidupan akhirat dan frustasi dengan kemajuan Barat- menjadi serangkaian faktor bagi muslim untuk tidak segan bergabung dengan jaringan Islam radikal seperti ISIS.

Selain kondisi umat Islam yang terpuruk, jaringan Islam radikal mengiming-imingi kepada siapa saja yang mau bergabung dengannya dengan kehidupan yang sejahtera, honor yang tinggi, segala kebutuhan hidup dicukupi bahkan diiming-imingi dengan surga apabila mereka mati, karena meraka yakin bahwa mereka sedang berjuang dalam jihad menegakkan agama Allah. Sungguh ironis sekali, bagi siapa saja yang mau berfikir secara sehat tentu tidak akan bergabung dengan jaringan radikalisme tersebut hanya dengan alasan klise an sich.

Kita sadari atau tidak bahwa terorisme memiliki serangkain proses yang saling terkait –seperti pemahaman agama yang keliru, kesejahteraan yang kurang, kemiskinan yang merajalela dan frustasi terhadap kemajuan Barat. Apabila kita ingin memberantasnya tentu kita harus memangkas setiap rangkaian tersebut. Tidak cukup kalau hanya menangkap dan mengeksekusi para teroris yang tertangkap saja, karena mereka masih memiliki sistem kaderisasi yang saling berkesinambungan. Baik Pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat maupun masyarakat sipil memiliki tanggung jawab yang sama dalam mengantisipasi dan memberantas jaringan terorisme.

Untuk menangkal dan mematikan paham terorisme dibutuhkan pemberian pemahaman keagamaan yang benar kepada setiap lapisan masyarakat, meningkatkan kesejahteraan dan ekonomi rakyat serta suntikan motivasi untuk mengejar ketertinggalan dari Barat –bukannya malah frustasi terhadap kemajuan Barat. Kalau semua itu sudah ditunaikan, terorisme atas nama agama (Islam) tidak akan memiliki lahan lagi. Waallhu a’lam

Penulis adalah Ketua Keluarga Mathali’ul Falah (KMF) Jakarta dan Sekitarnya

Bagaimana sikapmu terkait adanya teroris yang mengatasnamakan jihad
Bagaimana sikapmu terkait adanya teroris yang mengatasnamakan jihad

Sumber gambar, Antara/RAHMAD

Keterangan gambar,

Massa gabungan Ormas Islam melakukan aksi solidaritas Lawan Terorisme di Lhokseumawe, Aceh, Selasa (15/5).

Makna 'jihad' sudah lama digunakan untuk menjadi pembenaran aksi terorisme, karenanya umat Islam diserukan untuk merebut kembali dan melaksanakan jihad yang sesungguhnya, kata Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar, dalam ceramah salat tarawih pertama di Masjid Istiqlal.

Jihad menjadi topik ceramah pengantar salat tarawih pertama di bulan suci Ramadhan di Masjid Istiqlal, Jakarta, Rabu (16/5) itu.

"Jihad itu sesungguhnya bukan untuk mematikan orang, tapi jihad untuk menghidupkan orang," ujar Nasarudin usai salat tarawih di Masjid Istiqlal, Jakarta, Rabu malam.

"Menghidupkan jiwa-jiwa yang kering, menghidupkan perekonomian umat yang lemah, menghidupkan fakir miskin menjadi bersemangat hidup. Jihad itu menghidupkan rasa optimisme di masyarakat. Jihad bukan menciptakan kengerian, ketakutan, atau kecemasan," lanjut dia.

Keterlibatan perempuan yang membawa anak-anak dalam rangkaian bom bunuh diri yang terjadi di Surabaya menandai adanya perubahan sudut pandang pada perempuan pendukung radikalisme untuk terlibat langsung dalam aksi dan mereka melihatnya sebagai bagian dari jihad.

Tindakan Puji Kuswanti, istri Dita yang melakukan bom bunuh diri dan membawa anak-anak dalam aksinya, menurut Lies Marcoes, "tak lepas dari kerangka soal jihad dan pengorbanan perempuan".

Namun, di halaman Facebook BBC Indonesia, beberapa pembaca berkomentar akan definisi jihad versi mereka, dan itu tidak terkait dengan kekerasan.

Salah satunya, pembaca Ari Cipta Gunawan, yang memilih untuk mengartikan jihad sebagai, "Belajar, mencari ilmu, berjuang melawan kebodohan."

Pembaca lain, Veronica Erni, mengatakan bahwa, "Jihad itu menurut saya adalah perang melawan hal-hal yang jahat, termasuk kejahatan yang ada dalam diri kita, seperti sifat-sifat jelek kita yang suka marah, sombong, iri hati."

Bagaimana sikapmu terkait adanya teroris yang mengatasnamakan jihad
Bagaimana sikapmu terkait adanya teroris yang mengatasnamakan jihad

Sumber gambar, Antara/WAHYU PUTRO A

Keterangan gambar,

Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar (kiri) meninggalkan Kompleks Istana Kepresidenen seusai mengikuti pertemuan tokoh lintas agama serta jajaran pengurus Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dengan Presiden Joko Widodo di Jakarta, Rabu (16/5).

Bagi Aries Ardian, jihad punya banyak arti, "Tapi yang penting bukan aksi bom bunuh diri. Bom bunuh diri apapun alasannya, lokasinya, waktunya...adalah aksi bejad, terkutuk dan laknat."

Sementara itu, Masnunah mengatakan bahwa, "Membahagiakan keluarga juga jihad dalam islam. Apa lagi selalu membimbing keluarga ke arah yang baik"

Indah Farida Bachtiar menulis, "Jihad suami adalah bekerja mencari uang untuk keluarga. Jihad istri itu patuh pada suami dan mengurus anak. Jihad anak adalah belajar. Perkataan itu adalah apa yang diajarkan orang tua, kyai, ustaz dan ustazahku. Itulah pentingnya memilih guru yang benar. Jangan sampai terhasut kebencian. Kita diberi otak untuk berpikir mana yang baik dan buruk. Melukai orang lain itu salah dan berdosa."

Pembaca lain, Lucy Carlyle menulis, "terlepas dari apa yang dimaksud sebagai jihad. yang menjadikannya berbahaya adalah berbagai aliran memiliki konteksnya masing-masing terkait pemahaman mereka terkait jihad. Para teroris, somehow, telah menemukan justifikasi terkait konteks mereka mengenai jihad, dus menjustifikasi mereka bahwa bom bunuh diri yang dilakukan, somehow adalah jihad fisabilillah."

"Di situlah bahayanya sebuah kitab suci yg menimbulkan perbedaan "konteks" atau dengan kata lain, menimbulkan multitafsir. terutama dlm hal ini adalah pemaknaan jihad."

Pembaca Rohmat Fauzi menolak penggunaan istilah jihad dalam konteks soal terorisme. "Framing yang jahat untuk jihad, teroris jangan kaitkan dengan agama."

Pembaca Erwin Saputra juga menganggap istilah jihad tidak tepat, "Memang Indonesia ini tempat peperangan ya? Pakai jihad-jihad segala."

Namun, pembaca Shelly Yusvita Siregar berharap, "Semoga semakin banyak ulama serta media menyebarkan berita jihad yang sesuai pedoman islam. Sering-sering disiarkan reguler."

Bagi direktur eksekutif Maarif Institute, Abdullah Darraz, jihad "idealnya adalah konsep yang mulia".

"Bisa dimaknai beragam. Memahamkan orang tentang nilai-nilai Alquran yang baik itu bagian dari jihad, belajar itu bagian dari jihad, menyingkirkan duri dari jalan itu bagian dari jihad. Sementara sekarang ini jihad dimaknai dengan sempit oleh sebagian orang dalam bentuk peperangan, memerangi orang-orang kafir," kata Darraz.

Dia merujuk pada riset yang dilakukan oleh LSI dan Wahid Foundation pada 2016 yang salah satunya menanyakan, seberapa setujukah Anda pada konsep jihad yang dimaknai sebagai perang mengangkat senjata terhadap orang kafir?

Survei tersebut melibatkan 1.530 responden yang tersebar di 34 provinsi dan menemukan bahwa 33% dari sekitar 1.600 responden menyetujui konsep jihad tersebut.

Sementara itu, survei serupa pada 2017 yang kemudian diluncurkan pada 2018 yang dilakukan oleh lembaga yang sama juga menemukan bahwa dari sekitar 1.500 responden, ada sekitar 13% responden yang pro-jihad kekerasan, sementara 49,3% netral, dan anti-jihad kekerasan 37,5%.

"Dalam konteks jihad, ada ayatnya, tapi harus spesifik, bahwa itu dalam masa-masa perang. Jihad bisa diartikan ketika ada peperangan dari luar, jadi membela diri, bukan ofensif. Sekarang nggak ada perang, nggak ada apa-apa, kok bikin bom bunuh diri dan dibilang jihad? Ini kan suatu kekeliruan. Kekeliruan ini sudah betul-betul terinternalisasi," kata Darraz.

Bagaimana sikapmu terkait adanya teroris yang mengatasnamakan jihad
Bagaimana sikapmu terkait adanya teroris yang mengatasnamakan jihad

Sumber gambar, ANTARA/Prasetia Fauzani

Keterangan gambar,

Sejumlah tokoh agama yang tergabung dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) membubuhkan tanda tangan saat Deklarasi lawan terorisme di Kota Kediri, Jawa Timur, Rabu (16/5).

Jihad, menurut Darraz, bukan satu-satunya istilah yang digunakan untuk menyebarkan perilaku intoleran atau radikal.

Pada 2016, mereka mengumpulkan ulama-ulama "progresif" dan mengumpulkan istilah atau doktrin yang kemudian "sering disalahtafsirkan dan disalahpahami oleh kelompok teror" untuk kemudian didefinisikan ulang.

Istilah lain yang termasuk sering digunakan adalah khilafah, al wala wal bara, yang menurut Darraz sering disalahartikan sebagai fanatisme buta.

"Di kalangan kelompok ekstremis, ungkapan ini terkenal, artinya kecintaan pada kelompoknya secara membabi-buta dan penolakan terhadap orang di luar kelompoknya secara membabi-buta juga, jadi antipati terhadap orang yang agamanya lain" kata Darraz.

Definisi 'hijrah' juga menurutnya adalah "dari keadaan tidak baik menjadi keadaan yang lebih baik", selain juga istilah amar maruf nahi munkar.

"Banyak doktrin-doktrin yang kami coba reclaim sesuai makna aslinya. Makna aslinya itu tidak sesempit itu," kata Darraz.

Menurut Darraz, upaya pendefinisian ulang ini seharusnya juga terjadi di kampus-kampus sebagai pasar ideologi.

"Di dunia pendidikan, di sekolah, harus ada kontestasi ide. Oke, misalnya kita tidak bisa melarang ada kelompok-kelompok (radikal) ini bermain di sekolah, tapi sekolah harus memberikan ruang untuk narasi lain. Ada kiri, kanan, moderat. Di kampus-kampus umum, karena diskursus keagamaan kurang, jadi apa yang diajarkan langsung diterima, ditelan bulat-bulat. itu problem kita hari ini," kata Darraz.

Bagaimana sikapmu terkait adanya teroris yang mengatasnamakan jihad
Bagaimana sikapmu terkait adanya teroris yang mengatasnamakan jihad

Sumber gambar, Antara/Andreas Fitri Atmoko

Keterangan gambar,

Warga melintas di dekat spanduk penolakan terhadap teroris di kawasan Jl Malioboro, Yogyakarta, Selasa (15/5).

Sebelumnya, peneliti radikalisme dari Universitas Gadjah Mada, Nazib Azca mengatakan bahwa meski pelaku terorisme tidak eksklusif dan tidak melekat pada agama tertentu, namun agama memiliki dimensi yang ambigu.

"Di satu sisi dia mengajarkan damai, rahman rahim, pengampunan, cinta kasih, tapi agama punya sisi dimensi yang memuat unsur-unsur yang bisa ditafsirkan sebagai katakanlah perintah untuk menegakkan kebenaran, perintah untuk menegakkan keadilan, perintah untuk menegakkan sesuatu yang dianggap baik secara moral dengan cara-cara yang keras. Ini adalah tafsir," kata Najib.

Menurut Najib, karena karakter ambivalensi dari kitab suci itu, maka ada umat-umat yang menafsirkan ayat-ayat suci dengan perintah menegakkan kebenaran sebagai justifikasi atas perilaku teror.