Bagaimana peran agama dalam membangun toleransi umat BERAGAMA di Indonesia

Bagaimana peran agama dalam membangun toleransi umat BERAGAMA di Indonesia

Dalam rangka mewujudkan antar umat beragama, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), untuk kali keduanya mengadakan diskusi keagamaan, dalam rangka mewujudkan dan membangun kerukunan umat beragama dan terciptanya toleransi sesama umat beragama, yang dilaksanakan di Aula Kecamatan Kasui, Rabu (11/8/2019).

Kegiatan diskusi ini diikuti oleh para tokoh dari lima agama yakni Islam, Hindu, Budha, Katholik dan Kristen serta para utusan KUA dari  perwakilan 3 kecamatan, yakni Kecamatan Kasui, Rebang Tangkas dan Kecamatan Banjit, dan dihadiri oleh camat Kasui Ari Mulando dan Mewakili Camat Rebang Tangkas Mulyadi, Kepala Kantor Kesbangpol Drs. H. Marson, MM, Ketua FKUB H. Minaryadi serta jajaran pengurus dan para anggotanya. Dibuka langsung oleh Kepala Kantor Kesbangpol.

Bagaimana peran agama dalam membangun toleransi umat BERAGAMA di Indonesia
 
Bagaimana peran agama dalam membangun toleransi umat BERAGAMA di Indonesia
Bagaimana peran agama dalam membangun toleransi umat BERAGAMA di Indonesia

Dalam sambutannya Kepala Kantor Kesbangpol Drs. H. Marson, mengatakan, seiring dengan kemajuan yang ada dewasa ini, Indonesia yang Berbhineka Tunggal Ika, dengan memiliki berbagai suku bangsa dan agama, tentunya peran FKUB sangat dominan sekali. Yakni untuk menciptakan terjalinnya kerukunan antar umat beragama.

Khususnya di Kabupaten Way Kanan, lanjut Marson, peran FKUB sangat penting sekali, dan selama ini telah menjalankan tugas dan fungsinya, untuk menciptakan kerukunan antar umat beragama, terbukti, selama ini, di Way kanan belum pernah terjadi kerusuhan yang berunsur SARA. “peran FKUB dalam mewujudkan kerukunan antar umat beragama sangat besar sekali, dimana FKUB harus mampu merangkul semua unsur keagamaan yang ada di Way Kanan, untuk saling menghormati dan menghargai antar sesama umat beragama, sehingga ditengah-tengah kehidupan masyarakat, terwujud silaturahmi dan toleransi antar umat beragama, sehingga para pemeluk agama akan merasa nyaman dalam menjalankan ibadahnya,”kata Marson.

Selain itu, FKUB diharapkan juga mampu akan mewujudkan suasana yang nyaman dan kondusif ditengah-tengah kehidupan umat beragama, berkaitan dengan telah masuk tahapan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang semakin dekat dilaksanakan di Way Kanan,”dengan adanya perbedaan dalam demokrasi, tentunya merupakan warna tersendiri, tetapi hendaknya FKUB akan mampu menjalankan tugas dan fungsinya untuk tetap menjaga dan mewujudkan kerukuanan antar umat beragama, sehingga tidak memecah belah kerukunan antar umat beragama,”tegasnya.

Sementara itu Ketua FKUB Way Kanan H. Minaryadi, dengan adanya FKUB, para tokoh agama dan masyarakat, menjadikan wadah ini sebagai mediator dan ajang silaturahmi, toleransi beragama, guna membahas berbagai persoalan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama di daerah-daerah. “dalam menjalankan ibadah, dijamin kebebasannya untuk menjalankan sesuai dengan aturan agama mereka masing-masing,”kata Minaryadi.

Dalam diskusi yang digelar, dititik beratkan kepada kerukuanan antar umat beragama, dimana menyoroti peran para tokoh agama, yang memiliki peran untuk menjaga kerukunan umat beragama, hal ini sejalan dengan tokoh agama mampu menjadi panutan dan suritauladan bagi umatnya.

 

Bagaimana peran agama dalam membangun toleransi umat BERAGAMA di Indonesia

Seperti materi yang disampaikan oleh Wakil Ketua FKUB H. Suparjo, S.Pd, M.Pd yang menitik beratkan pada wawasan kebangsaan. Dilandasi dengan Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara, UUD tahun 1945, NKRI sebagai bentuk Negara, dan Bhineka Tunggal Ika.

Minaryadi Ketua FKUB, dalam materinya menegaskan, Peran FKUB Dalam Menjalan Persatuan dan Kesatuan Bangsa, untuk saat ini, di Indonesia memiliki penganut agama yang beragam, dimana untuk Muslim sebanyak 86, 59 %, Protestan 7,63%, Katholik 3,13%, Hindu 1,76%, Budha 0,78%, Konghucu 0,02%, kepercayaan 0,04%, berdasarkan data ditjen Dukcapil Kemendagri. Oleh karena itu, beragama merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, Negara menjamin melindungi ajaran, agama dan kepercayaan masing-masing, Pemerintah mempunyai tugas membimbing dan pelayanan dalam menjalankan ajaran agama, dengan rukun, lancar dan tertib, kerukunan umat beragama merupakan bagian penting dari kerukunan Nasional.

“oleh karena itu, setiap orang wajib menghargai dan menghormati hak orang lain, dalam menjalankan kewajibannya, setiap manusia wajib tunduk pada pembatan dan UU yang berlaku, mengingat negara berdasarkan Ketuahan Yang Maha Esa, dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing menurut agama dan kepercayaan,”kata Minaryadi.

 

Bagaimana peran agama dalam membangun toleransi umat BERAGAMA di Indonesia

Tak jauh beda dengan nara sumber lainnya, Syahrul Muharom, Shi, menitik beratkan pada kerukunan umat beragama, baik secara intern maupun antar beragama lainnya. Menurutnya kerukunan adalah suatu kondisi aman, tentram, dan damai dalam kehidupan berbangsa dan  bernegara di masyarakat.

Sedangkan untuk pengertian umat beragama adalah, kelompok masyarakat tidak dapat dipisahkan dari kehidupan dan perkembangan agama yang besar, Islam, Katholik, Kristen, Hindu, dan Budha. Untuk menuju kehidupa yang harmonis, dengan pengertian kehidupan yang nyaman penuh tenggang rasa didalam kehidupan bernasyarakat, dalam berbangsa dan bernegara.

Sedangkan untuk pengertian intern, menurut Syahrul Muharom, para kaum ulama dan tokoh agama mampu memberikan peluang perkembangan nilai-nilaikonstitusionalisme dalam arti bahwa ajaran agama yang pelajari memiliki referen yang jelas, maknanya dapat dipahami secara sistematik.

Foto     : Asep Alek Hendra. SH

Editor : Opan Riansyah Putra

MERAWAT KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
Oleh Masykuri Abdillah

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, terdiri dari berbagai suku, agama dan ras, tetapi dikenal sebagai bangsa yang ramah dan toleran, termasuk dalam hal kehidupan beragama. Kemajemukan (pluralisme) agama di Indonesia telah berlangsung lama dan lebih dahulu dibandingkan dengan di negara-negara di dunia pada umumnya. Hanya saja, dalam beberapa tahun terakhir ini (terutama sebelum 2014) terjadi sejumah peristiwa yang menunjukkan prilaku keagamaan sebagian masyarakat Indonesia yang tidak atau kurang toleran. Hal ini masih mendapatkan sorotan dari berbagai lembaga internasioanl, seperti UN Human Rights Council (UNHRC), Asian Human Rights Commission (AHRC), U.S. Commission on International Religious Freedom (USCIRF), dan sebagainya.

Gejala tersebut sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara demokratis lainnya, termasuk negara-negara Barat yang selama ini masyarakatnya dikenal sangat toleran. Secara sosiologis hal ini merupakan ekses dari mobilitas sosial yang sangat dinamis sejalan dengan proses globalisasi, sehingga para pendatang dan penduduk asli dengan berbagai macam latar belakang kebudayaan dan keyakinan mereka berinteraksi di suatu tempat. Dalam interaksi ini bisa terjadi hubungan integrasi, damai dan kerjasama, tetapi bisa juga terjadi prasangka, ketegangan, persaingan, intoleransi, konflik, dan bahkan disintegrasi. Yang terakhir ini terjadi jika yang ditonjolkan dalam interaksi itu adalah politik identitas (identity politics) secara eksklusif. Politik identitas ini kini tidak hanya diekspresikan sebagai perjuangan kelompok minoritas seperti ketika istilah ini dimunculkan pada awal 1970-an, tetapi juga oleh sebagian kelompok mainstream atau mayoritas untuk mempertahankan identitas mereka mewarnai kehidupan masyarakat.

Toleransi dan Kerukunan

Toleransi mengadung pengertian adanya sikap seseorang untuk menerima perasaan, kebiasaan, pendapat atau kepercayaan yang berbeda dengan yang dimilikinya. Namun Susan Mendus dalam bukunya, Toleration and the Limit of Liberalism membagi toleransi menjadi dua macam, yakni toleransi negatif (negative interpretation of tolerance) dan toleransi positif (positive interpretation of tolerance). Yang pertama menyatakan bahwa toleransi itu hanya mensyaratkan cukup dengan membiarkan dan tidak menyakiti orang/kelompok lain. Yang kedua menyatakan bahwa toleransi itu membutuhkan lebih dari sekedar ini, meliputi juga bantuan dan kerjasama dengan kelompok lain. Konsep toleransi positif inilah yang dikembangkan dalam hubungan sosial di negara ini dengan istilah kerukunan (harmony).

Jadi, kerukunan beragama adalah keadaan hubungan antarumat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian dan saling menghormati dalam pengamalan ajaran agama serta kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat. Eksistensi kerukunan ini sangat penitng, di samping karena merupakan keniscayaan dalam konteks perlindungan hak asasi manusia (HAM), juga karena kerukunan ini menjadi prasyarat bagi terwujudnya integrasi nasional, dan integrasi ini menjadi prasyarat bagi keberhasilan pembangunan nasional.

Kerukunan umat beragama itu ditentukan oleh dua faktor, yakni sikap dan prilaku umat beragama serta kebijakan negara/pemerintah yang kondusif bagi kerukunan. Semua agama mengajarkan kerukunan ini, sehingga agama idealnya berfungsi sebagai faktor integratif. Dan dalam kenyataannya, hubungan antarpemeluk agama di Indoensia selama ini sangat harmonis. Hanya saja, di era reformasi, yang notabene mendukung kebebasan ini, muncul berbagai ekspresi kebebasan, baik dalam bentuk pikiran, ideologi politik, faham keagamaan, maupun dalam ekspresi hak-hak asasi. Dalam iklim seperti ini mucul pula ekspresi kelompok yang berfaham radikal atau intoleran, yang walaupun jumlahnya sangat sedikit tetapi dalam kasus-kasus tertentu mengatasnamakan kelompok mayoriras.

Adapun kebijakan negara tentang hubungan antaragama termasuk yang terbaik dan menjadi model di dunia. Hanya saja, sebagian oknum pemerintah di daerah dengan pertimbangan politik kadang-kadang mendukung sikap intoleran kelompok tertentu atas nama pemenuhan aspirasi kelompok mayoritas. Klaim aspirasi kelompok mayoritas ini pun tidak selalu sesuai kenyataan, karena suatu tindakan intoleran itu seringkali hanya digerakkan oleh kelompok tertentu dengan mengatasnamakan mayoritas. Meski demikian, kebijakan Pemda yang cukup arif dan adil, termasuk dalam konteks menjaga kerukunan umat beragama, jauh lebih banyak dari pada kebijakan yang dianggap mendukung sikap intoleran ini.

Pencegahan dan Penyelesaian Konflik

Konflik antar-umat beragama umumnya tidak murni disebabkan oleh faktor agama, tetapi oleh faktor politik, ekonomi atau lainnya yang kemudian dikaitkan dengan agama. Sedangkan yang terkait dengan persoalan agama, di samping karena munculnya sikap keagamaan secara radikal dan intoleran pada sebagian kecil kelompok agama, juga dipicu oleh persoalan tentang pendirian rumah ibadah dan penyiaran agama serta tuduhan penodaan agama. Persoalan pendirian rumah ibadah merupakan faktor yang paling banyak mempengaruhi terjadinya perselisihan atau sikap intoleransi. Memang tahun 2014 toleransi beragama ini berkembang lebih baik dari pada tahun-tahun sebelumnya, tetapi masih ada beberapa peristiwa gangguan atau penghentian pembangunan rumah ibadah yang sudah mendapatkan izin secara sah.

Di antara kasus pendirian rumah ibadah yang kini belum ada penyelesaian final adalah pendirian gereja GKI Yasmin di Bogor, pendirian gereja HKBP Filadelfia di Bekasi, dan pendirian masjid Nur Musafir di Kupang. Sebenarnya perselisihan tentang pendirian rumah ibadah yang bisa diselesaikan secara arif dan damai jauh lebih banyak dibandingkan dengan penyelesaian yang berlarut-larut atau yang kemudian menjadi konflik. Namun, karena persoalan pendirian rumah ibadah ini dikaitkan dengan perlindungan kebebasan beragama, maka hal ini pun mendapatkan catatan dari badan-badan HAM dunia.

Sedangkan persoalan konflik dan ketegangan internal agama, tertama Islam, umumnya dipicu oleh adanya perbedaan paham keagamaan dalam hal yang sangat  mendasar (pokok-pokok ajaran agama) dan munculnya aliran kepercayaan (cult) yang mengaitkan dirinya dengan agama Islam, serta penghinaan agama, seperti kasus Ahmadiyah, Jamaah Salamullah dan Al-Qiyadah al-Islamiyyah. Sampai kini masalah Ahmadiyah belum selesai sepenuhnya, bahkan di Mataram kini masih ada pengungsi Ahmadiyah yang ditampung di Asrama Transito Mataram sejak 2006. Di samping itu, kasus perbedaan yang berkembang menjadi kekerasan adalah kasus yang menimpa penganut Syi’ah Sampang, yang sejak 2012 sampai kini masih diungsikan di rumah susun Puspo AgroSidoarjo.

Jika kasus-kasus semacam di atas terus berlangsung, dikhawatirkan kondisi kerukunan umat beragama ini akan rusak. Oleh karena itu, penguatan kerukunan dan toleransi itu perlu terus-menerus dilakukan, teterutama melalui sosialisasi pemahaman keagamaan yang moderat dan menekankan pentingnya toleransi dan kedamaian dalam kehidupan masyarakat yang majemuk. Juga, perlu dilakukan upaya-upaya penguatan wawasan kebangsaan dan integrasi nasional, yang meliputi sosialisasi Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Kebhinnekaan. Dan tak kalah pentingnya adalah penguatan kesadaran dan penegakan hukum, baik bagi aparatur negara, tokoh politik maupun tokoh agama.

Di samping upaya-upaya tersebut, perlu dilakukan pula upaya-upaya pencegahan konflik (conflict prevention) melalui peningkatan dialog antarumat beragama dengan melibatkan tokoh agama dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Sejalan dengan ini, perlu antisapasi dini terhadap potensi konflik atau ketegangan itu, sehingga potensi itu tidak berkembang menjadi konflik nyata dan kekerasan. Hal ini perlu disertai dengan langkah-langkah penyelesaian perselisihan atau konflik yang terjadi melalui musyawarah atau mediasi dengan melibatkan FKUB. Sedangkan pemerintah (Pemda) menfasilitasinya sebagai bagian dari kewajibannya dalam penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat.

Tentu saja, kasus-kasus konflik atau perselisihan sekecil apapun harus diselesaikan dengan cepat dan bijaksana. Namun yang lebih mendesak adalah penyelesaian terhadap kasus-kasus yang sudah menjadi sorotan dunia internasional tetapi sampai kini belum diselesaikan dengan baik, seperti persoalan pendirian gereja GKI Yasmin di Bogor, pendirian gereja HKBP Filadelfia di Bekasi, atau pendirian masjid Nur Musafir di Kupang. Demikian pula, penyelesaian kasus-kasus konflik internal agama, terutama pengungsian Ahmadiyah di Mataram dan pengungsian Syi’ah Sampang di Sidoarjo.

Menurut hemat saya, yang kebetulan pernah mengunjungi tempat-tempat konflik tersebut, penyelesaian itu sebenarnya tidak terlalu sulit. Yang terpenting adalah komitmen Pemda/Pemkot terhadap kerukunan serta adanya mediator yang bisa meyakinkan semua pihak yang terlibat dalam konflik atau perselisihan dengan mengakomodasi aspirasi mereka. Dalam kondisi tertentu memang diperlukan adanya kompensasi bagi pihak-pihak tertentu untuk memudahkan penyelesaian berdasarkan kerangka win win solution. Kita berharap pemerintahan Jokowi-JK bisa menjaga toleransi dan kerukunan ini serta menyelesaikan konflik atau perselisihan yang belum terselesaikan pada masa lalu.

* Masykuri Abdillah, Direktur Sekolah Pascasarjana dan Guru Besar UIN Jakarta.
Artikel ini telah dimuat dalam Kompas, 12 Januari 2015.