Bagaimana pandangan masayarakat tentang orang yang melakukan hubungan inses

Hubungan sedarah merupakan hal yang tabu bagi sebagian besar masyarakat. Secara norma, tindakan ini dinilai tidak bisa dibenarkan, terlebih jika dilakukan atas paksaan. Di beberapa negara, hubungan sedarah bahkan bisa dijatuhi hukuman. Secara medis pun, hubungan sedarah bisa mengundang risiko.

Hubungan sedarah atau dikenal dengan istilah inses adalah tindakan seksual yang dilakukan oleh dua individu yang memiliki ikatan keluarga. Selain tidak dibenarkan secara moral dan norma sosial, tindakan ini juga berdampak buruk bagi kesehatan, terutama pada keturunan biologis.

Bagaimana pandangan masayarakat tentang orang yang melakukan hubungan inses

Hal tersebut dapat terjadi karena pasangan yang masih memiliki ikatan darah dapat membawa faktor genetik langka. Bila keduanya bertemu, maka dapat menyebabkan penyakit bawaan atau cacat genetik pada janin yang dikandungnya.

Oleh karena itu, ketertarikan tidak bisa dijadikan alasan bagi dua orang yang memiliki ikatan keluarga untuk melakukan hubungan sedarah, apalagi jika hubungan tersebut dilakukan atas dasar paksaan.

Risiko Akibat Hubungan Sedarah

Ada beberapa kemungkinan terburuk yang dapat terjadi pada keturunan dari hubungan sedarah, yaitu:

  • Anak berisiko tinggi terlahir dengan kelainan genetik
  • Gangguan mental dan disabilitas intelektual
  • Kelainan fisik bawaan
  • Kematian

Jika hubungan sedarah yang terjadi merupakan suatu pelecehan seksual, dampak buruk tidak hanya mengintai keturunannya, tetapi juga pada korban yang kebanyakan adalah wanita.

Berikut ini adalah dampak buruk yang dapat terjadi pada wanita yang menjadi korban pelecehan seksual sedarah:

  • Nyeri pada vagina dan anus
  • Perdarahan
  • Infeksi pada alat kelamin dengan gejala berupa keputihan atau nyeri saat berkemih
  • Penyakit menular seksual
  • Konstipasi
  • Kehamilan yang tidak diinginkan

Tak hanya itu, pelecehan seksual sedarah juga bisa berdampak pada sisi psikologis. Berikut ini adalah beberapa hal yang dapat dialami korbannya:

  • Depresi
  • Gangguan tidur
  • Gangguan stres pascatrauma atau PTSD
  • Gangguan makan
  • Penyalahgunaan narkoba
  • Percobaan bunuh diri

Beberapa kasus hubungan sedarah yang merupakan pelecehan seksual kerap terjadi oleh orang tua dan anak kandungnya, saudara kandung, atau anggota keluarga lain.

Hubungan ini dapat terjadi berulang kali dan tanpa diketahui oleh anggota keluarga lainnya. Banyak korban yang memilih bungkam dan bersedia dilecehkan karena tidak ingin melihat keluarganya mengalami perpecahan.

Orang tua yang melakukan hubungan seksual sedarah dengan anaknya sendiri biasanya dipengaruhi oleh minuman beralkohol atau penggunaan obat-obatan terlarang. Hubungan sedarah dalam keluarga juga lebih berisiko dilakukan oleh orang tua yang sering bertengkar, baik secara fisik maupun verbal.

Mendeteksi dan Menghindari Hubungan Sedarah

Kasih sayang di antara keluarga merupakan salah satu tanda kedekatan dan bentuk hubungan yang wajar. Namun, jika perasaan tersebut berlanjut hingga terjalin hubungan seksual sedarah, ini bukan lagi hal yang normal.

Di Indonesia, hubungan sedarah adalah hubungan yang tidak diakui di mata hukum. Bahkan, tindakan seksual terhadap anak di bawah usia 18 tahun yang dilakukan oleh anggota keluarga sendiri merupakan bentuk pelanggaran hukum yang diatur oleh UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Jika Anda mencurigai adanya gelagat yang tidak biasa di dalam keluarga, Anda bisa mencurigai kondisi ini. Coba dekati anak Anda dan tanyakan secara baik-baik mengenai apa yang ia alami.

Jika ia terlihat tertekan dan tidak mau bercerita saat itu, jangan memaksanya. Anda bisa menanyakannya lagi di lain waktu saat kondisi emosionalnya stabil dan memungkinkan.

Bila perlu, Anda bisa membawa saudara atau anak yang dicurigai memiliki hubungan sedarah ke dokter agar dapat diperiksa lebih lanjut. Jika terdapat indikasi kuat adanya hubungan sedarah terkait pelecehan seksual, hal ini perlu mendapat tindak lanjut dari pihak berwajib.

Risalah Islam Muhammad SAW melarang pernikahan inses.

Republika/ Wihdan

Risalah Islam Muhammad SAW melarang pernikahan inses. Ilustrasi pernikahan.

Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, Pada masa awal peradaban manusia, jumlah manusia sangat sedikit. Hanya ada Adam dan Hawa beserta anak-anaknya. Lalu, bagaimana hingga akhirnya jumlah manusia bertambah banyak?

Baca Juga

Proses reproduksi manusia yang akhirnya menghasilkan banyak keturunan tidak bisa sembarangan. Hubungan antara dua manusia perlu diatur agar bisa meneruskan keturunan yang lebih baik. Pengaturannya melalui pernikahan.

Lalu, bagaimana Nabi Adam mengatur pernikahan bagi putra-putranya? At-Thaba'thaba'i, penulis Tafsir al-Mizan, menuliskan bahwa pada waktu itu karena hukum larangan pernikahan saudara sedarah atau kandung belum diturunkan, mau tak mau pernikahan dilakukan sesama saudara. “Generasi manusia tidak dapat dipertahankan dan lestari kecuali melalui jalan ini,” katanya.

Ibnu Katsir mengemukakan dalam Qashah al-Anbiyaa' bahwa setiap kali mengandung, Hawa kemudian melahirkan dua anak kembar, laki-laki dan perempuan. “Adam diperintahkan untuk menikahkan anak laki-lakinya dengan putri dari kembaran anak laki-laki yang lain, dan seterusnya,” tulisnya.

Ini berarti Allah telah memberikan petunjuk agar manusia terus melanjutkan keturunannya. Namun, dalam kasus Nabi Adam ini, yang dibolehkan adalah pernikahan silang, bukan dengan saudara kembar yang lahirnya bersamaan dengannya. “Tidak dihalalkan menikah dengan saudara kembarnya sendiri,” katanya.

Makin bertambahnya jumlah manusia, pilihan antara laki-laki dan perempuan pun makin banyak. Hingga kemudian pernikahan sesama saudara pun tidak dibenarkan, bahkan pernikahan sesama saudara sepersusuan.

Sejak zaman Nabi Muhammad SAW, hukum ini mulai dijalankan, apalagi diperkuat dengan turunnya surat an-Nisa ayat 23. “Diharamkan atas kamu menikahi ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan.”

Dalam kajian sosioantropologi, hubungan sedarah itu disebut dengan inses. Syariat menikah dengan saudara kandung itu diperbolehkan sebelum datangnya risalah Muhammad SAW. Sejak Rasulullah diutus, ketentuan menikah saudara sedarah itu dihapuskan mutlak.

Bagaimana pandangan masayarakat tentang orang yang melakukan hubungan inses

sumber : Harian Republika

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...

Opini

Penulis : Dr. Hj. Rusdaya Basri, Lc. M. Ag. (Ketua Prodi Ahwal al- Syakhsiyah Fakshi IAIN Parepare)

Fenomena pernikahan sedarah (incest taboo) yang terjadi di masyarakat meresahkan dan menggegerkan public. Di Garut, seorang ayah mencabuli anak kandungnya yang masih berusia 15 tahun hingga melahirkan. Di Sumatra Barat, seorang oknum caleg ditangkap setelah menjadi buron kasus pencabulan terhadap anak kandungnya selama 8 tahun. Ayah kandung cabuli anaknya selama 5 tahun di Demak. Seorang kakak nikahi adik kandungnya asal Bulukumba di perantauan Kalimantan timur yang bikin heboh. Begitupun di kecamatan Belopa Utara kabupaten Luwu Sulawesi Selatan seorang kakak tega memangsa adik kandungnya hingga Hamil.

14 abad yang lalu al-Quran sudah mewanti-wanti dan melarang keras hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang sedarah. Al-Qur’an sangat ketat dan jelas merinci siapa-siapa yang tidak boleh dinikahi. Orang-orang yang tidak boleh dinikahi setidaknya disebabkan oleh beberapa sebab. Sebab yang bersifat abadi atau selamanya (al-muharramat al-muabbadah), dan sebab yang bersifat sementara (al-muharramat al-muaqqatah).

Kategori yang termasuk bersifat abadi atau selamanya tidak boleh dinikahi adalah diharamkan karena adanya hubungan kekeluargaan (nasab). Hal ini dijelaskan dalam QS. al-Nisa’/4: 23. “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan…

Alasan atau ‘illah pengharaman ini tidak diketahui secara pasti, namun di antara ulama ada yang mencoba mengkajinya lebih jauh. Sehingga ada yang berpandangan bahwa pelarangan menikahi seorang wanita karena sebab kekeluargaan dilatarbelakangi oleh dampak yang dapat ditimbulkan dari hubungan tersebut, yaitu dapat melahirkan anak cucu yang lemah jasmani dan ruhani. Itulah sebabnya ‘Umar ibn al-Khattab mengingatkan untuk menikahi wanita asing (yang bukan keluarga) agar anak yang lahir dari hubungan tersebut tidak kurus dan lemah.

Ada juga yang berpandangan bahwa setiap orang diharuskan menjaga hubungan kekerabatan agar tidak menimbulkan perselisihan atau perceraian sebagaimana yang dapat terjadi antara suami isteri. Di sisi lain, ketujuh golongan yang disebutkan itu kesemuanya harus dilindungi dari rasa birahi. Sebagian ulama yang berpandangan larangan pernikahan antara kerabat sebagai upaya Al-Qur’an memperluas hubungan antar keluarga lain dalam rangka mengukuhkan satu masyarakat.

Pernikahan yang tidak boleh dilakukan dalam hukum positif di Indonesia tercantum pada UU No1 Tahun 1974 pasal 8 yaitu: Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antar saudara. Antrara seseorang dengan saudara tua dan antara seseorang dengan saudara neneknya. Sedangkan perkawinan-perkawinan yang dilarang dalam KHI tercantum pada pasal 39.

Dengan demikian baik secara hukum agama maupun secara hukum Negara, pernikahan sedarah (incest taboo) di tanah air kita tercinta, sama sekali tidak memberikan ruang. Oleh karena itu peran masyarakat dalam hal ini orang tua, pendidik, tokoh agama dan semua elemen-elemen masyarakat bertanggung jawab atas dekadensi moral yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Mellia Christia, psikolog dan juga staf pengajar bidang studi Psikologi Klinis Fakultas Psikologi Universitas Indonesia mengemukakan bahwa salah satu penyebab pemicu insec. Perilaku sehari-hari di sebuah keluarga seperti, melihat anggota keluarganya yang telanjang, mandi dan tidur bersama, serta tidak ada pemahaman mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan.

Oleh karena itu Rasulullah sudah mengingatkan kepada para orang tua agar memisahkan tempat tidur antara anak laki-laki dan anak perempuan ketika sudah berumur 7 tahun sehingga tidak dibolehkan anak laki-laki dan anak perempuan berkumpul disatu tempat tidur.