Bagaimana mengurus Jenazah muslim tetapi keluarganya non muslim

Sebagai muslim tidak dianjurkan untuk berbuat kasar dan memusuhi umat non-muslim selagi umat non-muslim tersebut tidak memerangi umat muslim. Berlaku baik, menolong non-muslim dalam hal muamalah justru dianjurkan. Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an surat al-Mumtahanah ayat 8-9:

لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ ٨ إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ ٩

“Dan Allah SWT tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah SWT menyukai orang-orang yang berlaku adil” (8)

“Sesungguhnya Allah SWT hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agamamu dana mengusir kamu dari negerimu dan membantu untuk mengusirmu. Dan siapa yang menjadikan mereka sebagai kawan maka mereka itulah orang-orang yang zalim”(9)

Lalu masalahnya bagaimana jika menolong non-muslim misalnya dalam mengurus jenazahnya? Seperti ikut serta memandikannya, membantu proses ritual doa sampai pemakamannya? Dalam hal ini Allah SWT sudah menyampaikan larangan untuk menolong non-muslim dalam hal akidah dan ibadah. Karena membantu non-muslim ada batasnya. Memandikan jenazah non-muslim, ikut serta mendoakannya serta ikut dalam membantu ritual pemakamannya termasuk dalam hal ibadah. Apalagi jika memang proses memandikan, mendoakan dan memakamkan tersebut termasuk dalam ritual ibadah dalam agama non-muslim. Maka hal tersebut jelas dilarang.

Akan tetapi, jika hanya melayat (tidak ikut serta dalam ritual pengurusan jenazah) dan membantu memberikan bantuan uang kepada non-muslim hal tersebut diperbolehkan. Membantu mengambilkan air untuk proses memandikan, hal tersebut juga masih ditolerir. Perihal batasan dalam membantu non-muslim, Allah SWT berfirman:

وَلَا تُصَلِّ عَلَىٰٓ أَحَدٍ مِّنْهُم مَّاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَىٰ قَبْرِهِۦٓ ۖ إِنَّهُمْ كَفَرُوا۟ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَمَاتُوا۟ وَهُمْ فَٰسِقُونَ

“Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan  jenazah seseorang yang sudah mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri mendoakan di kuburnya. Karena sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah SWT dan RasulNya dan mereka mati dalam keadaan fasik”(al-Taubah:84)

Allah SWT juga melarang umat muslim mendoakan non-muslim yang sudah meninggal, baik dengan cara doa mereka atau dengan cara doa dalam Islam. Memintakan ampunan untuk umat non-muslim yang telah meninggal juga dilarang, karena Allah SWT telah menegaskan bahwa Allah SWT tidak akan mengampuni dosa syirik. Mendoakan non-muslim diperbolehkan jika dalam keadaan masih hidup.

Dalam ritual berdoa untuk jenazah non-muslim, secara tidak langsung hal tersebut sama saja dengan mengakui kebenaran akidah dan ibadah non-muslim. Allah SWT juga pernah menegur Nabi Ibrahim yang mendoakan ampunan untuk ayahnya. Selain itu, Allah SWT juga pernah menegur Nabi Muhammad SAW saat menyalati jenazah Ubay bin Salul, kalangan pelopor munafik, atas permintaan anaknya. Allah SWT berfirman dalam surat al-Munafiqun ayat 6 yang artinya:

“Sama saja bagi mereka, kamu mintakan ampunan bagi mereka atau kamu tidak mintakan ampun bagi mereka. Allah SWT tidak mengampuni mereka. Karena sesungguhnya Allah SWT tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik”.

Namun, jika kondisinya saat melayat ternyata tidak ada yang membantu dalam proses pengurusan jenazah, bahkan anggota keluarga tidak cukup memadai dalam pengurusan jenazah serta membuat umat muslim mengulurkan tangan untuk membantu maka hal tersebut tergolong dalam keadaan uzur, dengan catatan tidak mengimani kebenaran akidah dan ibadah non-muslim.

Wallahu a’lam.

Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini.

Foto : MgRol_94

Hukum Mengubur Muslim di Pemakaman Non-Muslim

Rep: Alkhaledi Kurnialam Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wabah Covid-19 memberikan dampak besar bagi banyak orang di berbagai negara. Tidak hanya menyulitkan bagi orang yang hidup, banyak korban yang meninggal juga mengalami kesulitan seperti masalah pemakamannya. 

Baca Juga

Kasus di Napoli, Italia banyak warga Muslim yang kesulitan menguburkan jenazah karena nihilnya pemakaman khusus Muslim. Adanya lockdown lokal memperburuk keadaan sehingga Muslim di sana tidak bisa memakamkan jenazah saudara Muslimnya di luar daerah. Mereka akhirnya terpaksa menguburkan jenazah Muslim di pemakaman non-Muslim. 

Beberapa kasus akibat Covid-19 juga menyebabkan jenazah korban virus ini disatukan di pemakaman khusus tanpa melihat latar belakang agamanya. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang panduan Islam dalam memakamkan jenazah. Bolehkah jenazah Muslim dimakamkan di pemakaman non-Muslim? 

Pimpinan Pondok Modern Tazakka, Batang, Jawa Tengah, KH Anang Rizka Masyhadi menyebut para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini. Ada ulama yang membolehkan dan ada yang melarang memakamkan jenazah Muslim di pemakaman non-Muslim. 

"Sebenarnya masalah pemakaman ini salah satu wilayah yang sudah diijtihadi oleh para ulama. Ada yang mengatakan boleh, ada yang mengatakan tidak boleh," jelasnya. 

Menurutnya, jumhur ulama menentang praktik memakamkan jenazah Muslim di pemakaman non-Muslim atau sebaliknya. Namun, ada juga ulama yang membolehkannya sesuai kondisi dan alasan praktik tersebut dilakukan. 

Pendapat ulama yang melarang lantaran adanya kebiasaan memakamkan jenazah Muslim di pemakaman Muslim. Ada juga anggapan yang menyebut jenazah Muslim akan ikut merasakan siksa kubur jenazah non-Muslim jika ditempatkan bersebelahan. 

"Tapi kita kan nggak tahu mana yang disiksa mana yang tidak. Tidak usah jauh-jauh ke yang non-Muslim, kalau ada dua orang Muslim, membedakan mana yang akan disiksa atau tidak kita tidak tahu," katanya. 

Anang menuturkan, Indonesia menjadi negara yang warganya memiliki kebiasaan memisahkan jenazah Muslim dan non-Muslim. Kendati demikian, hal ini disebutnya lebih banyak untuk alasan ketertiban umum dan masih banyaknya lahan pemakaman sehingga belum ada keperluan mendesak untuk menyatukan jenazah beda agama. 

"Dalam konteks di Indonesia, kenapa dipisah, pertama kita tanahnya masih luas dan kita beragam, nggak ada persoalan bikin makam sendiri-sendiri dan nggak ada sesuatu yang mendesak yang membuat kita menyatukan. Juga supaya nanti kalau pas kita ziarah, seperti saat Ramadhan atau Idul fitri, tidak tabrakan. Ini soal ketertiban umum saja sebetulnya," ujarnya.

Para ulama yang membolehkan, kata Anang, karena makam bukan tempat ibadah yang harus ada batas teritorialnya." Berdampingan boleh saja, nggak ada persoalan karena ketika dimakamkan gak ada teritorialnya. Ini kan bukan tempat ibadah," katanya. 

Perbedaan pendapat ulama mengenai hal ini disebutnya merupakan hal biasa dalam Islam. Bukan seperti masalah akidah, seperti keesaan Allah SWT yang tidak bisa terjadi khilaf atau perbedaan. 

"Tidak ada yang qath'i dalam hal ini. Ada pendapat ulama yang mengatakan A, B, kembali ke fiqih lagi, khilafiyah tergantung reasoning dan konteks," ujarnya. 

Menurutnya, selama ini panduan Islam dalam memakamkan jenazah, yakni, bersegera memakamkan, dimakamkan dengan baik dan dimakamkan di tempat yang lebih dekat. Hal ini dicontohkan para Nabi dan Rasul dan para sahabat. 

"Dulu sempat ada perdebatan tentang tempat Nabi dimakamkan, ada yang bilang di tempat kelahirannya, ada juga yang bilang di bawah mimbar Nabi. Tapi kemudian Abu Bakar mengatakan Rasulullah pernah bersabda para Nabi dimakamkan di tempat di mana ia meninggal. Jadi anjurannya, lebih cepat, lebih baik dan lebih dekat," jelasnya. 

Terkait situasi yang tidak biasa, seperti yang dialami umat Islam di Napoli yang kesulitan memakamkan jenazah di pemakaman Muslim dan tempat terdekat, kata Anang, bisa menjadi kasus yang dikhususkan. Ia menjelaskan, hukum Islam akan bergantung konteks dan alasan yang menyertainya.

Seperti bolehnya tidak berpuasa Ramadhan bagi orang sakit dan dalam perjalanan. Begitu juga dengan memakamkan Muslim dalam kondisi Covid-19. 

Bagaimana mengurus Jenazah muslim tetapi keluarganya non muslim

SAAT masih duduk di bangku sekolah dasar tentu mengarang menjadi salah satu materi dalam pelajaran b..

Beberapa waktu yang lalu, di Pematang Siantar sempat heboh. Empat nakes disangkakan telah melakukan penistaan agama. Musababnya adalah karena empat Nakes yang kesemuanya laki-laki dan non muslim memandikan mayat perempuan muslimah yang meninggal karena Covid-19.

Keempat petugas kesehatan tersebut dilaporkan oleh suami almarhumah, Fauzi Munte, ke pihak berwajib dengan tuduhan kasus penistaan agama. Menurut suami korban, tindakan rumah sakit tidak sesuai syariat Islam karena yang memandikan istrinya bukan mahram.

Lalu, bagaimana sesungguhnya fikih memandang hal ini, apakah memang ada larangan non muslim memandikan mayat muslim?

Dalam Fathu al Mu’in ada penjelasan sah hukumnya non muslim yang memandikan janazah muslim. Kata yakfi (cukup) yang dipakai dalam kitab ini artinya adalah sah. Jadi kasus yang terjadi di Pematang Siantar sebenarnya tidak ada problem secara fikih. Apalagi kasus tersebut terjadi di masa Pandemi Covid dimana ada standar operasi khusus untuk penanganan janazah yang meninggal sebab Covid-19.

Lebih detail, Syaikh Abu Bakar Syatha menjelaskan hukum sahnya non muslim memandikan mayat muslim dalam kitabnya I’anatu al Thalibin yang mensyarahi kitab Fathu al Mu’in. Menurutnya, tujuan memandikan janazah itu untuk membersihkan, jadi tidak perlu niat dari orang yang memandikan. Keterangan serupa juga bisa dibaca di Mughni al Muhtaj yang dengan tegas mengatakan non muslim boleh merawat mayat muslim selain menshalatkan.

Dalam kitab al Mahalli juga dijelaskan, ada dua pendapat tentang apakah dalam memandikan janazah butuh niat atau tidak? Menurut pendapat yang ashah (paling benar), dalam memandikan janazah tidak disyaratkan adanya niat dari orang yang memandikan. Karena tujuan sebenarnya dari memandikan janazah adalah nadhafah (membersihkan). Untuk mewujudkan nadhafah ini tidak perlu niat. Sedangkan pendapat yang lain mengatakan butuh niat dari orang yang memandikan.

Baca Juga:  Shalat Sendirian, Bolehkah Niat Jadi Imam?

Bila merujuk pendapat pertama, karena tidak butuh niat, maka boleh dilakukan oleh muslim atau non muslim. Namun bila berdasar pendapat yang kedua wajib muslim yang memandikan sebab niat hanya boleh dilakukan oleh muslim (ahli al niat). Non muslim bukan ahlu al niat dalam ibadah.

Kembali pada soal kasus di Pematang Siantar, secara fikih sah-sah saja apa yang dilakukan oleh empat Nakes tersebut. Apalagi pada kondisi Pandemi seperti sekarang ini yang mengharuskan untuk mematuhi protokol kesehatan. Dalam istilah fikih disebut dharurat. Pada kondisi ini berlaku hukum yang berbeda. Yang tak boleh disaat normal bisa boleh disaat dharurat.

Dengan demikian, disaat normal saja ada dua pendapat dalam fikih antara yang membolehkan non muslim memandikan mayat muslim dan yang tidak membolehkan, apalagi disituasi Covid-19 dan yang meninggal juga karena terpapar Virus Corona. Karena itu, “Terlalu jauh kelirunya melaporkan empat Nakes sebagai penista agama”.