Bagaimana Belanda dapat menghasilkan bahan Pangan yang berkualitas

Bagaimana Belanda dapat menghasilkan bahan Pangan yang berkualitas

Pendahuluan

Cita-cita bangsa sebagai terumus dalam pembukaan UUD 45, mengandung makna bahwa bangsa Indonesia senantiasa berjuang untuk menegakan dan meles-tarikan kemerdekaan dan kedaulatan dalam integritas NKRI berdasarkan Panca-sila. Cita-cita luhur ini akan tegak hanya berkat potensi manusia sebagai subyek unggul terpercaya di dalam negara; mereka juga terpercaya untuk mewujudkan kesejahteraan keadilan oleh dan bagi mereka semua. Cita nasional demikian potensial terealisasi, berkat potensi keunggulan alam, keunggulan sosio kultur.

Namun sekarang, keunggulan suatu bangsa tidak lagi bertumpu pada keka-yaan alam semata, melainkan pada keunggulan sumber daya manusia, yaitu tenaga terdidik yang mampu menjawab tantangan yang sangat cepat. Fakta ini telah lebih dari cukup untuk mendorong para ahli pendidikan dan praktisi untuk melakukan tinjauan sistematis untuk mengatasi atau memperbaiki sistem pendidikan nasional. Green, Little, Kamat, Oketch, & Vickers (2007) pendidikan sangat berpengaruh dalam pembangunan, baik itu dalam pengembangan sumber daya manusia, ekonomi, sosial, dan bahkan lebih banyak lagi peran pendidikan dalam pembangunan masyarakat, bangsa, dan Negara.

Dalam hal ini, pendidikan menduduki posisi sentral dalam pembangunan karena sasarannya adalah peningkatan kualitas SDM. Bahwa pendidikan dapat memiliki efek besar pada penurunan ketimpangan pendapatan, bahkan setelah mengendalikan pertumbuhan penduduk, dan menunjuk ke negara-negara Asia Timur sebagai contoh negara menggabungkan pertumbuhan dengan meningkatnya kesetaraan. Oleh sebab itu, pendidikan juga merupakan alur tengah pembangunan dari seluruh sektor pembangunan (McMahon, 1999).

Namun terdapat suatu kesan babwa persepsi masyarakat umum tentang arti pembangunan lazimnnya bersifat menjurus. Pembangunan semata-mata hanya beruang lingkup pembangunan material atau pembangunan fisik berupa gedung, jembatan, pabrik, dan lain-lain. Padahal sukses tidaknya pembangunan fisik itu justru sangat ditentukan oleh keberhasilan di dalamn pembangunan spiritual, yang secara bulat diartikan pembangunan manusia, dan yang terakhir ini menjadi tugas utama pendidikan (Tirtaraharja & Sulo, 2005).

Persepsi yang keliru tentang arti pembangunan, yang menganggap bahwa pembangunan itu hanya semata-mata pembangunan material dapat berdampak menghambat pembangunan sistem pendidikan, karena pembangunan ini semesti-nya bersifat komprehensif yaitu mencakup pembangunan manusia dan lingkung-annya khususnya disektor pertanian. Makalah ini bermaksud memberikan gambar-an yang komprehensif tentang pembangunan manusia dengan lingkungannya dalam bidang pertanian.

Esensi Pendidikan dan Pembangunan

Kata “pembangunan” lazimnya diasosiasikkan dengan pembangunan ekonomi dan industri yang selanjutnya diasosiasikan dengan dibangunnya pabrik-pabrik, jalanan, jembatan sampai kepada pelabuhan, alat-alat transportasi, komu-nikasi, dan sejenisnya. Sedangkan hal yang mengenai sumber daya manusia tidak secara langsung terlihat sebagai sasaran pembicaraan. Pada hal banyak bukti yang dialami oleh banyak negara menunjukan bahwa kemajuan di bidang ekonomi dan industri, lalu kenaikan volume ekspor dan impor sebagai indikatornya, ternyata tidak otomatis membawa kesejahteraan masyarakatnya. Kondisi demikinan justru meninbulkan gejala penyerta yang negatif, antara lain: kegoncangan sosial politik, karena kesengsaran masyarakat (Tirtaraharja & Sulo, 2005). Gambaran di atas itu menunjukan bahwa pembangunan dalam arti yang terbatas pada bidang ekonomi dan industri saja belumlah menggambarkkan esensi yang sebenarnya dari pemba-ngunan, jika kegiatan-kegiatan tersebut belum dapat mengatasi masalah yang hakiki yaitu terpenuhinya hajat hidup dari rakyat banyak material dan spiritual.

Pembangunan ekonomi dan industri mungkin dapat memenuhi aspek tertentu dan kebutuhan misalnya: kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan tetapi mungkin tidak untuk kebutuhan spiritual yang lain. Bukankah kenyataan menunjukkan bahwa banyak orang yang secara materil cukup mampu, tetapi secara spiritual menanggung banyak masalah. Di sini terlihat, bahwa esensi pem-bangunan bertumpu dan berpangkal dari manusianya, bukan pada lingkungannya seperti perkembangan ekonomi sebagaimana telah dikemukakan. Pembangunan berorieniasi pada pemenuhan hajat hidup manusia sesuai dengan kodratnya seba-gai manusia. Mengapa perkembangan seperti itu dikatakan berdasarkan dan berangkat dari manusia? kenapa, karena hanya pengembangan yang diarahkan untuk pemenuhan niat hidup manusia sesuai dengan sifat yang dapat meningkatkan martabat. Peningkatan martabat manusia sebagai manusia menjadi tujuan akhir pembangunan. Ketegasan dari setiap perkembangan jika mengakibatkan mengurangi nilai manusia berarti keluar dan esensinya (Tirtaraharja & Sulo, 2005).

Hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia. Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa yang menjadi tujuan akhir pembangu-nan adalah manusianya, yaitu dapat dipenuhi hajat hidup, jasmaniah dan rohaniah. sebagai makhluk individu, makhluk sosial, dan makhluk religius. Jika pembangu-nan bertolak dari sifat hakikat manusia, berorientasi kepada pemenuhan hajat hidup manusia sesuai sebutan dapat diartikan bahwa yang menjadi tujuan akhir pembangunan adalah manusianya. Dengan demikian dapat meningkatkan marta-batnya selaku makhluk (Tirtaraharja & Sulo, 2005).

Jika pembangunan bertolak dari sifat hakikat manusia, berorintasi kepada pemenuhan hajat hidup manusia sesuai dengan kodratnya sebagai manusia maka dalam ruang gerak pembangunan, manusia dapat dipandang sebagal ‘objek’ dan sekaligus juga sebagai ‘subjek’ pembangunan. Sebagai objek pembangunan manusia dipandang sebagal sasaran yang dibangun. Dalam hal ini pembangunan meliputi ikhtiar ke dalam diri manusia, berupa pembinaan pertumbuhan jasmani, dan perkembangan rohani yang meliputi kemampuan penalaran, sikap diri, sikap sosial, dan sikap terhadap lingkungannya, tekad hidup yang positif serta keterampilan kerja.

Hasan (1985) manusia sebagai sasaran pembangunan, wujudnya diuhah dari keadaan yang masih bersifat “potensial” ke keadaan “aktual”. Bayi yang memiliki benih kemungkinan untuk menjadi, dibina sehingga berubah menjadi kenyataan. Manusia adalah makhluk yang terentang antara “potensi” dengan “aktualisasi”. Di antara dua kutub itu terentang upaya pendidikan. Dalam hubungan ini perlu dicatat bahwa pendidikan berperan mengembangkan yaitu menghidupsuburkan potensi-potensi “kebaikan” dan sebaliknya mengerdilkan potensi “kejahatan”.

Potensi-potensi kebaikan yang perlu dikembangkan aktualisasinya seperti kemampuan berusaha, berkreasi, kesediaan menerima kenyataan, berpendirian, rasa bebas yang bertanggungjawab, kejujuran, toleransi, rendah hati, tenggang rasa, kemampuan bekerjasama, menerima, melaksanakan kewajiban sebagai ke-niscayaan, menghormati hak orang lain, dan seterusnya. Oleh adanya perlindung-an dan bimbingan orang tua dan pihak lain yang telah dewasa, bayi beranjak status quonya dalam rentangan antara “naluri” dan “nurani”. Jika seandainya manusia dapat hidup hanya dengan bekal naluri maka tidak ada bedanya manusia itu dengan hewan. Justru adanya “nurani” menjadi kriterium pembeda yang prin-sipil antara manusia dengan hewan. Di sini jelas betapa urgennya peranan pendi-dikan itu yang memungkinkan berubahnya potensi manusia menjadi aksidensi dari naluri menjadi nurani, sehingga manusia menjadi sumber daya atau modal utama pembangunan yang manusiawi.

Manusia dipandang sebagai ‘subjek’ pembangunan karena ia dengan sege-nap kemampuannya menggarap lingkungannya secara dinamis dan kreatif, baik terhadap sarana lingkungan alam maupun lingkungan sosial/spiritual. Perekayasa-an terhadap lingkungan ini lazim disebut pembangunan. Jadi pendidikan mengarap ke dalam diri manusia, sedang pembangunan mengarah ke luar yaitu ke lingkungan sekitar manusia.

Jika pendidikan dan pembangunan dilihat sebagai suatu garis proses, maka keduanya merupakan suatu garis yang terletak kontinu yang saling mengisi. Pro-ses pendidikan pada satu garis menempatkan manusia sebagai titik awal, karena pendidikan mempunyai tugas untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk pembangunan, yaitu pembangunan yang dapat memenuhi hajat hidup masyarakat luas serta mengangkat martabat manusia sebagai makhluk. Bahwa hasil pendidikan itu menunjang pembangunan, juga dapat dilihat korelasi-nya dengan peningkatan kondisi sosial ekonomi peserta didik yang mengalami pendidikan. McMahon (1999) penelitian menunjukkan peningkatan pendidikan memiliki efek positif pada stabilitas politik di sebagian besar negara, termasuk di negara berkembang. Untuk negara-negara OECD lebih maju juga ada bukti substansial efek pendidikan pada kohesi sosial. Pendidikan adalah generator kuat modal sosial.

McMahon (1999) menemukan bahwa pendaftaran pendidikan berkorelasi secara signifikan di seluruh negara-negara dengan hak asasi manusia, stabilitas politik dan demokratisasi, baik secara langsung, dan secara tidak langsung dalam semua kasus melalui pertumbuhan ekonomi. Peningkatan partisipasi primer dan sekunder, setelah 20 tahun jeda waktu, berkorelasi secara signifikan dengan penurunan kemiskinan, sedangkan pengembangan dengan stabil atau menurun ketimpangan pendapatan itu terkait dengan perluasan pendidikan menengah ke daerah pedesaan setelah generalisasi pendidikan dasar. Robertson, Novelli, Dale, Tikly, Dache, & Alphonce, (2007) menunjukan hasil penelitian di negara maju umumnya menunjukkan adanya korelasi positif antara tingkat pendidikan yang dialami seseorang dengan tingkat kondisi sosial ekonominya. Semakin tinggi tingkat pendidikan yang dialami seseorang, semakin baik kondisi sosial ekonomi-nya. Kiranya jelas bahwa hasil pendidikan dapat menunjang pembangunan dan sebaliknya hasil pembangunan dapat menunjang usaha pendidikan. Jelasnya, suatu masyarakat yang makmur tentu lebih dapat membiayai penyelenggaraan pendidikannya ke arah yang lebih bermutu.

Uraian di atas menunjukkan status pendidikan dan pembangunan masing-masing dalam esensi pembangunan serta antara keduanya. Pendidikan merupakan usaha ke dalam diri manusia sedangkan pembangunan merupakan usaha ke luar dari diri manusia. Pendidikan menghasilkan sumber daya tenaga yang menum-pang pembangunan dan hasil pembangunan dapat menunjang pendidikan (pem-binaan, penyediaan sarana, dan serusnya).

Pendidikan dan Pembangunan Sektor Pertanian

Kemajuan sebuah Negara ditentukan oleh tiga komponen utama yang berperan yaitu sumber daya alam, sumber daya manusia, dan teknologi. Pada perkembangannya komponen yang mendominasi adalah sumber daya manusia dan pemanfaatan teknologi. Negara maju dan berkembang dapat dilihat dari SDM yang dimiliki dan seberapa besar pemanfaatan teknologi yang tepat guna.

Indonesia menjadi salah satu Negara berkembang yang berada di kawasan Asia, dengan berbagai potensi alam yang dimiliki. Potensi alam tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan tambang, hutan, perkebunan dan pertanian. Potensi yang melimpah belum dapat dimanfaatkan secara maksimal, khususnya disektor pertanian.

Pertanian yang merupakan sektor potensial untuk dikembangkan belum didukung oleh sumber daya manusia yang memadai. Bahkan sumber daya manu-sia bidang ini cenderung mengalami penurunan minat dikarenakan pendapatan pada sektor ini kurang menjanjikan dan secara status sosial masih dipandang ren-dah. Terbukti sekolah kejuruan pertanian yang dulu pernah ada hapus karena peminatnya berkurang. Untuk mencetak sumber daya manusia yang berkualitas, diperlukan pembangunan pendidikan yang mengarah pada pengembangan wila-yah, sehingga pendidikan bukan merupakan usaha yang sia-sia (Saparyati, 2008).

Pembangunan pertanian akan berjalan dengan baik bila didukung oleh sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas yang merupakan keluaran (output) dari pembangunan pendidikan, sehingga kebijakan bidang pendidikan yang meng-arah pada pembangunan pertanian memegang peranan penting dalam hal ini.  Salah satu tolok ukur manusia berkualitas adalah tingginya tingkat pendidikan (Alkadri, Muchdie, Suhandjojo; 2001). Selain kepribadian, lingkungan (pendidik-an) berpengaruh terhadap perilaku seseorang  (Munib, 2004). Dengan kata lain, perilaku petani dengan tingkat pendidikan yang tinggi diharapkan lebih baik dibanding dengan petani dengan tingkat pendidikan yang rendah.

Peran pendidikan terhadap pembangunan pertanian masih belum maksi-mal. Sumber daya manusia yang dihasilkan oleh pendidikan formal baru mampu menjadi pelaku usaha di bidang pertanian (off farm), belum mampu menjadi pelaku utama/petani (on farm). Padahal pendidian formal sangat berpengaruh terhadap perubahan perilaku seorang petani (Saparyati, 2008). Banyak lulusan sarjana pertanian sebagain dari mereka tidak kembali di desanya untuk menjadi petani melainkan menjadi tenaga kantor di dinas pertanian. Dengan demikian, yang menjadi petani sebagian dari mereka adalah lulusan SD dan SMP.

Pembangunan pertanian dapat didefinisikan sebagai suatu proses peruba-han sosial.  Implementasinya tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan status dan kesejahteraan petani semata, tetapi sekaligus juga dimaksudkan untuk me-ngembangkan potensi sumberdaya manusia baik secara ekonomi, sosial, politik, budaya, lingkungan, maupun melalui perbaikan (improvement), partumbuhan (growth) dan perubahan (change) (Iqbal dan Sudaryanto, 2008).

Mosher (1966) menjelaskan secara sederhana dan gamblang tentang syarat pokok dan syarat pelancar dalam pembangunan pertanian. Syarat pokok pemba-ngunan pertanian meliputi: (1) adanya pasar untuk hasil-hasil usaha-tani, (2) tek-nologi yang senantiasa berkembang, (3) tersedianya bahan-bahan dan alat-alat produksi secara lokal, (3) adanya perangsang produksi bagi petani, dan (5) terse-dianya pengangkutan yang lancar dan kontinyu.  Adapun syarat pelancar pemba-ngunan pertanian meliputi: (1) pendidikan pembangunan, (2) kredit produksi, (3) kegiatan gotong royong petani, (4) perbaikan dan perluasan tanah pertanian, dan (5) perencanaan nasional pembangunan pertanian. Beberapa Negara berkembang, termasuk Indonesia, mengikuti saran dan langkah kebijakan yang disarankan oleh Mosher.

Pembangunan pertanian di Indonesia dilaksanakan secara terencana  dimu-lai sejak Repelita I (1 April 1969), yaitu pada masa pemerintahan Orde Baru, yang tertuang dalam strategi besar pembangunan nasional berupa Pola Umum Pemba-ngunan Jangka Panjang (PU-PJP) yaitu PU-PJP I (1969-1994) dan PU-PJP II (1994-2019). Dalam PU-PJP I, pembangunan dilaksanakan melalui lima serang-kaian Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) yang semuanya  dititik beratkan pada sektor pertanian sebagai berikut:

  1. Repelita I: titik berat pada sektor pertanian dan industri pendukung sektor pertanian.
  2. Repelita II: titik berat pada sektor pertanian dengan meningkatkan industri pengolah bahan mentah menjadi bahan baku.
  3. Repelita III: titik berat pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri pengolah bahan baku menjadi bahan jadi.
  4. Repelita IV: titik berat pada sektor pertanian untuk melanjutkan usaha menuju swasembada pangan dengan meningkatkan industri penghasil mesin-mesin.
  5. Repelita V: melanjutkan Repelita IV.

Suhendra (2004) di banyak negara, sektor pertanian yang sukses merupakan prasyarat untuk pengembangan sektor industri dan jasa. Para perancang pembangunan Indonesia pada awal rezim Orde Baru sangat sadar akan hal ini, sehingga pembangunan jangka panjang dirancang secara bertahap. Pada tahap pertama, pembangunan difokuskan pada pengembangan sektor pertanian dan industri yang memproduksi peralatan produksi peratanian. Pada tahap kedua, pembangunan difokuskan pada industri pendukung pendukung (agroindustri) yang secara bertahap dialihkan ke pengembangan industri mesin dan logam. Rencana pengembangan seperti ini diharapkan dapat membentuk struktur ekonomi Indonesia yang harmonis dan seimbang, tahan terhadap guncangan internal dan eksternal.

Pembangunan pertanian di masa pemerintahan Orde Baru telah membawa beberapa hasil.  Pertama, peningkatan produksi, khususnya di sektor pangan yang berpuncak pada pencapaian swasembada pangan, khususnya beras, pada tahun 1984.  Ketersediaan bahan pangan, khususnya beras, dengan harga yang relative murah, memberikan kontribusi terhadap proses industrialisasi dan urbanisasi yang membutuhkan pangan murah. Kedua, sektor pertanian telah meningkatkan pene-rimaan devisa di satu pihak dan penghematan devisa di lain pihak, sehingga mem-perbaiki posisi neraca pembayaran Indonesia.  Ketiga, pada tingkat tertentu sektor pertanian telah mampu menyediakan bahan-bahan baku industri sehingga melahir-kan agroindustri.

Pada pasca reformasi, pemerintah menycanangkan kegiatan pembangunan pertanian tahun 2005-2009 dilaksanakan melalui tiga program, yaitu: (1) Program peningkatan ketahanan pangan, (2) Program pengembangan agribisnis, dan (3) Program peningkatan kesejahteraan petani. Operasionalisasi program peningkatan ketahanan pangan dilakukan melalui peningkatan produksi pangan, menjaga ke-tersediaan pangan yang cukup aman dan halal di setiap daerah setiap saat, dan antisipasi agar tidak terjadi kerawanan pangan. Operasionalisasi program pengem-bangan agribisnis dilakukan melalui pengembangan sentra/kawasan agribisnis komoditas unggulan. Operasionalisasi program peningkatan kesejahteraan petani dilakukan melalui pemberdayaan penyuluhan, pendampingan, penjaminan usaha, perlindungan harga gabah, kebijakan proteksi dan promosi lainnya.

Kebijakan itu, tidak dapat menjadikan Indonesia lebih baik dalam hal ter-sediaan pangan. Darwanto (2005) menjelaskan impor beras masih dilakukan un-tuk memenuhi kebutuhan nasional yaitu dengan jumlah rata-rata per tahun men-capai sekitar 1.043.140 ton atau sekitar 4,7% dari pasokan nasional.  Hendrastomo (2011) pertanian kita semakin tertinggal dari Thailand, petani semakin miskin dan akhirnya tidak lagi menjadi ladang emas bagi masyarakat. Kondisi ini diperparah dengan kebijakan dan rencana pembangunan yang berat sebelah. Liputan di TV Nasional (2014) juga mengiforamsikan pemerintah yang melakukan impor beras dari Vietnam.

Thailand dan Vietnam menjadi pengekpor beras terbesar di dunia karena mencontoh intesifikasi pertanian Indonseia era Orde Baru. Untuk menjaga stabilitas harga pangan, Thailand membuat lembaga semacam Bulog. Padi meru-pakan tanaman pangan paling penting di kedua Negara (Gatra, Maret: 2014).

Pengamat Ekonomi Pertanian Bustanul (dalam Gatra, 2014), keberhasilan produksi beras Thailand dan Vietnam bukan karena teknologi. Tero-bosan teknologi keduanya tidak jauh berdeda dari petani Indonesia. Faktor lain, keberhasilan surplus beras di Thailand dan Vietnam karena jumlah penduduk yang sedikit, dan etos kerja yang baik dari pertanian dan pemerintah. Lebih lanjut, Indonseia lebih maju dibandingkan dengan Thailand dari segi trobosan pertanian. Sistem yang diterapkan di Thailand saat ini mengacu pada masa pemerintah Orde Baru di Indonesia. Jadi sebetulnya yang dikerjakan Thailand saat ini adalah apa yang dilakukan Indonesia pada era 1980-1990.

Tabel 1. Data Perusahan Benih Asing di Indonesia

Distributor di Indonesia Asal Negara Produk Benih Merek Dagang
1. PT. East-West Seed Thailand Buah, sayur dan jagung Cap panah merah
2. PT. Benih Inti Subur Intani (BISI) Thailand Buah, sayur, padi  dan jagung Cap kapal terbang
3. PT. Branita Sandhini Amerika Serikat Kedelai dan jagung hibrida De Ruiter seed dan seminis
4. PT. Dupont Pioneer Amerika Serikat Jagung hibrida dan padi hibrida Pioneer
5. PT. Syngenta Swiss Sayuran, jagung hibrida, dan padi hibrida Syngenta
6. PT. Nunhems Seed Jerman Buah sayur dan padi hibrida Arize hibrido dan nunhems
7. PT. Marcopolo Seed Nusantara Prancis Buah dan sayuran Marcopolo
8. PT. Rijk Zwaan Belanda Buah dan sayuran Rijk zwaan
9. PT. Takii Seed Jepang Buah dan sayuran Takii
10. PT. Koreana Seed Korea selatan Buah dan sayuran Nongwoo bio
11. PT. Namdhari India Buah dan sayuran Profita
12. PT. Advanta India Buah, sayuran, padi dan jagung Advanta
13. PT. Hextar Cina Buah, padi hibrida  dan sayuran Winall
14. PT. Known You Seed Taiwan Buah dan sayuran Known you crops

Sumber: Majalah Gatra Desember 2013

Di Balai Besar Padi Subang, Jawa Barat, terdapat berbagai macam varietas hasil persilangan. Ada varietas imbrida dan hibrida. Ada pula teknologi jajar legowo yang dikembangkan peneliti sejak empat tahun yang lalu. Yaitu, sistem tanam padi berjajar dua baris dengan memberikan ruang kosong pada setiap dua baris. Temuan-temuan itu belum menjadi national policy. Peneliti hanya diadopsi dalam skala kecil karena kurang sinergi antara peneliti dan pemerintah.

  Artinya pembangunan di sektor pertanian tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh pembanguna teknologi melainkan pada kebijakan pemerintah dan sumber daya manusia. Kebijakan pemerintah,  misalnya: melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang penanaman  modal, terbukanya keran investasi termasuk di sektor pertanian, yang mendorong kehadiran pabrik benih asing. UU ini mem-berkan kesempatan perusahaan multinsional melakukan bisnis di Indonesia pada berbagai macam sektor, termasuk pangan dan pertanian.

Padangan Dwi Andreas Santoso (dalam Gatra, 2013), hegemoni perusaha-an benih multi nasional itu sudah sangat menghawatirkan. Benih padi hibrida 100% dikuasai perusahaan multinasional, benih-benih lain sperti jagung hibrida 70% dikuasai oleh perusahaan asing itu juga. Jadi kedaulatan kita atas benih sangat rendah. Lebih lanjut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura, yang sedianya diharapkan mampu memproteksi petani dari jamahan modal asing yang menggurita, dengan mengatur invetasi asing sehingga menjadi maksimal sahamnya 30%, hanyalah konsep di atas kertas. UU Holtikultura, itu dikonsep dan dibuat oleh perusahaan, peran petani tidak ada.

Penguatan sumber daya manusia mempunyai peran ganda dalam sebuah proses pembangunan, selain menjadi obyek, sumber daya manusia juga merupak-an subyek pembangunan. Sebagai obyek pembangunan, sumber daya manusia merupakan sasaran pembangunan untuk disejahterakan. Sedang sebagai subyek pembangunan, sumber daya manusia berperan sebagai pelaku pembangunan. Pendidikan sebagai upaya untuk mengembangkan semua aspek kepribadian manusia, yang mencakup pengetahuan, nilai, sikap dan keterampilan  diharapkan mampu mendukung  kegiatan ini. Namun daya dukung pendidikan sektor pertain-an masih kurang. Hal ini dibuktikan dengan belum adanya lembaga pendidikan formal dan non formal yang bergerak di sektor pertanian. Kalaupun ada, hanya sebatas penyuluhan yang dilakukan oleh Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) dari Dinas Pertanian. Dari data yang ada, anggota kelompok tani yang aktif mengikuti kegiatan penyuluhan ± 20% (Observasi, 2014), sehingga sebetulnya usaha pening-katan kualitas SDM melalui kegiatan penyuluhan belum membuahkan hasil yang maksimal. Regenerasi sumber daya manusia pelaku pembangunan di sektor ini memang masih dilakukan secara informal (keluarga) atau  turun temurun. Usaha untuk mengaitkan pembangunan pendidikan dengan pembangunan pertanian belum dilakukan secara maksimal, sehingga lulusan (output) yang dihasilkan dari sektor pendidikan cenderung bekerja di luar sektor pertanian. Hal ini memuncul-kan kekhawatiran, karena petani yang ada saat ini rata-rata sudah berusia lanjut.

Solusi

Pertanian sebagai sektor penting yang harus dipertahankan keberadaanyaa sehingga menjadi suatu sektor unggulan. Namun kenyataannya, sektor ini belum didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas. Ada beberapa solusi yang ditawarkan:

  1. Mendorong anak untuk suka pada pertanian dengan cara mengenalkan dunia pertanian sedini, melalui kegiatan bermain, rekreasi, pramuka dan lain sebagainya.
  2. Menyempurnakan kurikulum muatan lokal pertanian dengan melibatkan tenaga ahli dari Dinas Pertanian. Muatan lokal ini diharapkan mampu menjadi bekal bagi generasi muda menekuni dunia pertanian baik secara penuh atau sampingan.
  3. Mendirikan sekolah kejuruan pertanian di kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan pertanian dan memberikan beasiswa bagi anak yang mau masuk ke sekolah tersebut.
  4. Menambah jumlah balai penyuluhan pertanian (BPP), sehingga dicapai kondisi ideal 1 kecamatan 1 balai penyuluhan pertanian.
  5. Membangun infrastruktur yang mempermudah akses pedesaan ke perkotaan
  6. Meminimalisir dan menghentikan praktek konversi lahan pertanian produktif khususnya yang beririgasi tehnis dan melakukan reformasi agraria.
  7. Merumuskan politik dan kebijakan pertanian yang jelas dan berpihak kepada   petani sehingga mampu meningkatkan taraf ekonomi dan mengubah pandangan negatif masyarakat terhadap mereka.
  8. Menciptakan industri turunan pertanian sehingga mampu menyerap tenaga kerja, meningkatkan nilai tambah dan memanfaatkan limbah pertanian. Pemberlakuan muatan lokal pertanian bagi sekolah di kabupaten Demak dengan melibatkan tenaga ahli dari Dinas Pertanian, karena tidak semua lulusan pendidikan terserap di dunia kerja non pertanian dan saat ini pertanian merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja terbanyak, sehingga muatan lokal pertanian diharapkan mampu menjadi bekal ketrampilan untuk terjun di dunia pertanian.
  9. Meningkatkan kerja sama antara Dinas Pertanian dan Dinas Pendidikan khususnya dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia bidang pertanian dengan cara melibatkan tenaga ahli Dinas Pertanian dalam kegiatan belajar mengajar.
  10. Menciptakan suatu sistem terpadu, dimana pembangunan antar sektor dapat saling terkait, saling mendukung dan saling menopang. Pendidikan sebagai suatu proses untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) pelaku pembangunan harus didukung oleh sektor lain yang mampu mencipta-kan lapangan kerja atau iklim usaha yang kondusif sehingga lulusan pendidi-kan dapat ikut berpartisipasi dalam pembangunan di daerahnya.
  11. Pengembangan riset pertanian baik dalam pembenihan, penagulangan hama, pengelolaan lahan.
  12. Mengurangi impor hasil pertanian untuk menjaga stabilitas harga hasil pertanian, sehingga mendorong semangat petani, dan meningkatkan taraf kesejahteraan petani.

Kesimpulan

Pendidikan memiliki tujuan dalam membangun sumber daya manusia. Pendidikan dan pembangan merupakan dua entitsa yang tidak dapat dipisahkan, sebuah Negara akan membangun jika pendidikan di Negara tersebut tertata deng-an baik. Pendidikan menjadi kunci pembangunan, keberhasilan pembangunan ditentukan oleh keberhasilan sistem pendidikan nasional yang dicanangkan. Keberhasilan pembangunan di sektor pertanian tidak semata-mata ditentukan oleh pembangunan di sektor teknologi melainkan ditentuak oleh pembangunan kualitas sumber daya manusia, aspek kepribadian manusia, yang mencakup pengetahuan, nilai, sikap dan keterampilan  diharapkan mampu mendukung  kegiatan di sektor pertanian.  Sebagaimana yang telah dicapai oleh Thailand dan Vietnam yang telah berhasil melakukan pembangunan di sektor pertanian.

Daftar Pustaka

Alkadri, Muchdie, Suhandjojo. 2001.  Tiga Pilar Pengembangan Wilayah (SDA, SDM, Teknologi). Jakarta : BPPT.

Darwanto, D. H. 2005. Ketahanan pangan berbasis produksi dan kesejahteraan petani. Ilmu Pertanian. 12(2): 152-164.

Green, A., Little, A. W., Kamat, S. G., Oketch, M., & Vickers, E. 2007. Education and Development in a Global Era: Strategies for ‘Successful Globalisation’. London: University of London.

Iqbal, M. Dan T. Sudaryanto. 2008. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) dalam Prespektif Kebijakan Pembangunan Pertanian. Analisis Kebijakan Pertanian, 6 (2): 155-173.

Hendrastomo, G. 2011. Keterpurukan sektor pertanian sebagai potret kegagalan industrialisasi di Indonesia. Dimensia, 5(1): 71-83.

Majalah Gatra Desember 2013.

Majalah Gatra Maret 2014.

McMahon, W. 1999. Education and Development, Oxford: OUP.

Mosher, Arthur T. 1966. Training Manual for Group Study of Getting Agriculture Moving. New York: Agricultural Development Council

Munib. Achmad., dkk. 2004. Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang: UPT UNNES Press.

Robertson, S., Novelli, M., Dale, R., Tikly, L., Dache, H. & Alphonce, N. 2007. Globalisation Education and Development: Ideas, Actors and Dynamics, London: DFID.

Saparyati, D. I. 2008. Kajian Peran Pendidikan Terhadap Pembangunan Pertanian Di Kabupaten Demak. Tesis. Universitas Diponegoro.

Suhendra, S. 2004. Analisis structural sektor pertanian Indonesia: analisisi model input-output. Jurnal Ekonomi dan Bisnis. 9(2): 55-65.

Tirtarahadja, U & Sulo, S.L.L. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman  Modal

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura