Apa yang dimaksud pemerintah memberikan subsidi BBM kepada kalangan menengah ke bawah

Apa yang dimaksud pemerintah memberikan subsidi BBM kepada kalangan menengah ke bawah

Seribu rencana selama ini didengungkan pemerintah untuk menyelamatkan APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) dari gerusan subsidi BBM (bahan bakar minyak), mulai dara wacana pembatasan pembelian, hingga wacana visioner mengonversi BBM menjadi BBG (bahan bakar gas). Dalam opsi pembatasan pembelian, Pemerintah bermaksud “menjual” BBM hanya ke  angkutan umum dan motor saja. Model penggunaan alat radio frequency identification [RFID] yang dipasang di angkutan umum pun mengemuka untuk memonitor pembelian BBM oleh angkutan.

Model yang diwacanakan tersebut memang rentan terhadap penyalahgunaan sepanjang terjadi disparitas harga BBM subsidi dan BBM non subsidi. Apalagi kelemahan pemerintah kita adalah dalam hal minimnya pengawasan di lapangan. Siapa yang bisa menjamin bahwa dengan model pembatasan penjualan, subsidi benar-benar menyasar ke moda transportasi publik? Siapa yang menjamin masyarakat kelas menengah atas akan mengonsumsi BBM non subsidi?

Coba simak, upaya Pemerintah dalam mensosialisasikan hal tersebut melalui iklan layanan masyarakat yang kerap dijumpai di banyak stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Iklan dalam bentuk spanduk itu bertuliskan himbauan-himbauan saja, seperti misalnya “Premium adalah BBM bersubsidi, Hanya untuk golongan tidak mampu”. “Terima kasih telah menggunakan BBM non subsidi”. Di SPBU lain terpampang spanduk bertuliskan “Subsidi hanya untuk masyarakat tidak mampu. Pantaskah saya pakai BBM bersubsidi”, dan model himbauan yang lain.

Tentu saja model iklan layanan ini tidak akan efektif. Selain bersifat sukarela (voluntair), tak ada secuilpun ketentuan yang menggiring mobil pribadi mengarah pada penggunaan BBM non subsidi. Jangan heran bila kemudian himbauan tersebut bak angin lalu, yang akan lenyap dengan sendirinya. Pasti tak sedikit pengguna mobil pribadi yang telah membaca iklan layanan ini, tetapi masih jarang yang lantas mengisi mobilnya dengan pertamax, non subsidi. Sebaliknya antrian di pengisian premium (BBM subsidi) tetap mengular dijejali pengguna kendaraan pribadi, bahkan mobil-mobil mewah. Secara logika mana ada yang mau membeli BBM non subsidi yang harganya hampir dua kali lipat BBM bersubsidi.

Bisa dipahami jika berbenturan dengan tarif/harga maka sikap masyarakat akan cenderung reaktif untuk menolak. Dan segala yang bersifat voluntair serta terkait dengan biaya cenderung tidak dipatuhi. Sejatinya dalam hal ini harus ada ketegasan. Pemerintah memiliki wewenang untuk ‘memaksa’ pengguna kendaraan pribadi menggunakan BBM non subsidi, bukan hanya sekedar menghimbau.

Menguap sia-sia.

Tahun 2012 pemerintah mengalokasikan dana APBN untuk subsidi BBM mencapai Rp168 triliun. Pada awalnya, mengacu pada UU APBN 2012 tertanggal 24 November 2011, akan dilaksanakan pembatasan konsumsi premium bersubsidi untuk mobil pribadi. Dengan wilayah Jawa dan Bali dipilih sebagai starter mulai 1 April 2012. Dan sebelum diberlakukan pemerintah melakukan sosialisasi sejak Januari hingga Maret 2012. Dalam pelaksanaannya akan dilakukan secara bertahap.

Untuk tahap awal, pembatasan penggunaan premium bagi mobil pribadi  dilakukan di wilayah Jakarta. Selanjutnya, program tersebut akan diperluas di wilayah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Dan kemudian dilanjutkan untuk wilayah Jawa Barat dan seluruh Jawa-Bali, sampai pada tahun 2015. Demikian rencana awal program pembatasan premium dan solar bersubsidi. Menurut keterangan yang disampaikan Widjajono Partowidagdo, Wakil Menteri ESDM,  Pemerintah hanya memberikan subsidi BBM bagi kendaraan angkutan umum dan sepeda motor, sehingga menekan pemakaian subsidi dalam jumlah signifikan.

Rencana awal pembatasan BBM bersubsidi kemudian muncul banyak tentangan dari para pengamat dan ahli energi. Kekhawatiran penyelewengan dalam implementasi dilapangan menyeruak. Banyak muncul pertanyaan adakah ketegasan dan pengawasan yang ketat dilapangan, jaminan ketersediaan barang yang cukup, dan tidak ada penyalahgunaan, mengingat bahwa disparitas harga yang besar dengan BBM non subsidi.

Banyaknya kritik tajam dan desakan untuk memilih opsi kenaikan harga BBM dibanding pembatasan BBM bersubsidi, tak pelak membuat pemerintah bergetar. Alih kemudi kebijakan kemudian muncul. BBM bersubsidi yang awalnya akan dibatasi, perlahan akan dikikis subsidinya.

Secara faktual, masyarakat telah lama terbuai dengan kenikmatan BBM bersubsidi. Namun benarkah masyarakat miskin yang menikmati subsidi BBM ini. Menurut penulis subsidi salah sasaran karena yang menikmati adalah mereka yang mempunyai mobil pribadi, bukan untuk angkutan umum. Selain salah sasaran subsidi BBM juga hanya terbuang sia-sia. Mengapa? Coba simak kemacetan yang luar biasa terjadi di kota besar seperti Jakarta. Sudah tidak lagi mengenal waktu. Ironisnya, penyumbang terbesar adalah kendaraan pribadi yang mencapai hampir 90% dan kendaraan umum hanya 10%. Siapa pemilik kendaraan (mobil) pribadi jika bukan mereka yang tergolong kelas ekonomi menengah keatas?

Berdasarkan data Dinas Perhubungan DKI Jakarta, jumlah kendaraan di Jakarta pada 2007 sebanyak 5,8 juta kendaraan dengan rincian 2,2 juta mobil dan 3,6 juta motor. Pada 2008, jumlah kendaraan kembali meningkat menjadi 6,3 juta kendaraan dengan rincian 2,3 juta mobil dan 4 juta motor.

Pada tahun 2009, jumlah kendaraan kembali naik menjadi 6,7 juta dengan rincian 2,4 juta mobil dan 4,3 juta motor. Pada 2010, peningkatan jumlah kendaraan menembus angka 7,29 juta dengan rincian 2,56 juta mobil dan 4,73 juta motor. Pada 2011, meningkat lagi jadi 7,34 juta kendaraan, kendaraan roda empat sebesar 2,5 juta dan kendaraan roda dua hampir 5 juta. Jumlah ini belum termasuk kendaraan yang masuk dari daerah sekitar Jakarta seperti  Bogor, Tangerang dan Bekasi.

Sementara data dari Polda Metro Jaya menyebutkan bahwa tahun 2010 jumlah kendaraan yang ada di jalan Jakarta, mencapai 11.362.396 unit kendaraan. Terdiri dari 8.244.346 unit kendaraan roda dua dan 3.118.050 unit kendaraan roda empat. Dan pada 2011, tidak kurang dari 12.062.396 kendaraan memadati jalan di Jakarta. Hampir setengah dari kendaraan tersebut adalah kendaraan baru!.

Dengan adanya kemacetan dan kesemrawutan di jalanan Jakarta, berapa milyar dana subsidi BBM yang  terbuang sia-sia setiap harinya.

Tak Menikmati Subsidi

Bagaimana dengan kondisi saudara kita yang ada di nun jauh wilayah Timur Indonesia seperti Papua, Manado dan Pontianak misalnya. Berbanding terbalik, karena kelangkaan BBM adalah kondisi yang setiap saat dialaminya. Begitu susahnya mendapatkan BBM bersubsidi tidak seperti di kota Jakarta yang begitu mudah mendapatkan.

Dalam kesempatan berkujung di daerah Singkawang, Pontianak , Manado, dan Nusa Tenggara Barat (NTB), penulis mendapatkan fakta yang cukup mencengangkan. Di Manado, sebelum pemerintah menggulirkan pembatasan BBM bersubsidi, masyarakat kota ini telah lebih dari setahun “menikmati” pembatasan pembelian BBM. Dimana setiap kendaraan hanya diberikan hak untuk membeli BBM Rp 100 ribu per hari baik untuk mobil pribadi maupun angkutan umum akibat kelangkaan BBM.

Kondisi ini yang kemudian dimanfaatkan oleh oknum untuk membeli dan menjual kembali dengan harga yang mahal, Rp 10.000 per liter. Tak ada pilihan lain sebagai konsumen kecuali membeli eceran dengan harga mahal atau harus antri seharian, dengan risiko kehabisan stok sebelum giliranya. Ini jelas berdampak pada biaya transportasi masyarakat. Seperti yang penulis rasakan ketika di kabupaten Siou, Sulawesi Utara dimana tarif angkutan jarak pendek sekali jalan Rp 7.000,-.

Jika masyarakat di daerah harus membayar jauh lebih mahal dari harga sebenarnya, pantaskah mereka dikatakan menikmati subsidi BBM? Mereka bahkan terbiasa membeli BBM bersubsidi dengan harga non subsidi. Bagi mereka subsidi BBM hanya berlaku untuk masyarakat kaya di pulau Jawa, terutama di kota besar saja, dan tidak berlaku di kota-kota wilayah Tengah atau  Timur Indonesia.

Artinya, pencabutan subsidi BBM dengan opsi kenaikkan harga merupakan langkah yang realistis jika pemerintah berpihak pada masyarakat kelas bawah. Hal yang tak kalah penting adalah mengantisipasi lonjakan harga turunan dari dampak kenaikkan BBM. Pemerintah wajib mempertahankan daya beli masyarakat agar tidak terpuruk. Akan lebih bermanfaat pula jika subsidi BBM  dialihkan untuk kesejahteraan masyarakat miskin, alokasi subsidi pendidikan dan kesehatan sebagai investasi untuk negara dalam mempersiapkan generasi penerus bangsa yang sehat dan cerdas.

***

Sularsi, Staff YLKI

(Dimuat di majalah Warta Konsumen)

Salah satu tantangan dalam menyusun strategi dan program kebijakan pemberian subsidi bahan bakar adalah persoalan ketepatan sasaran dan keadilan. Hasil kajian Bank Dunia (2010) menunjukkan  bahwa 77 % alokasi subsidi BBM justru dinikmati oleh kelompok 25 % rumah tangga dengan pengeluaran per bulan tertinggi. Sementara, 25 % kelompok masyarakat dengan pengeluaran terbawah hanya menikmati subsidi BBM sekitar 15 %. Hal ini mengindikasikan bahwa mekanisme subsidi BBM yang berjalan hingga tahun 2014 belum tepat sasaran dan cenderung tidak adil terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah. 

Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 191 Tahun 2014 yang mencabut subsidi BBM jenis bensin RON 88 dan memberikan subsidi tetap sebesar Rp. 1,000 per liter untuk BBM jenis solar. Peraturan ini mulai berlaku sejak Januari 2015. Kebijakan ini memang telah berhasil mengurangi subsidi BBM secara signifikan, namun bila ditelaah kebijakan subsidi ini masih belum tepat sasaran dan belum memenuhi rasa keadilan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 30 tahun 2007 tentang Energi. Dengan kebijkan baru ini maka angkutan umum berbahan bakar bensin RON 88 tidak lagi menerima subsidi tetapi mobil pribadi berbahan bakar solar masih menerima subsidi.

Peraturan Presiden No. 191 Tahun 2014 juga mengatur untuk diterapkannya sistem distribusi tertutup bagi BBM bersubsidi. Hal ini belum dapat diterapkan karena belum ada mekanisme kebijakan subsidi BBM yang lebih tepat sasaran. Pemerintah telah memperkenalkan Sistem Monitoring dan Pengendalian Bahan Bakar Minyak (SMPBBM) dengan menggunakan Radio Frequency Identification (RFID) di Jabodetabek. Namun sistem ini tidak dapat dilanjutkan karena berbagai kendala yang dihadapi. Sementara itu Pertamina bekerjasama dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI) telah memperkenalkan Survey Card dan kemudian ditingkatkan menjadi Fuel Card di Kota Batam yang bertujuan untuk memonitor dan membatasi konsumsi BBM bersubsidi. Sistem ini juga masih perlu dievaluasi bagaimana keefektifan dan keberhasilan penerapannnya.

Kebijakan untuk mencabut subsidi BBM jenis bensin RON 88 dan memberikan subsidi tetap sebesar Rp. 1,000 per liter untuk BBM jenis solar saat ini memang masih bisa diterima masyarakat karena kebijakan ini bertepatan dengan momentum turunnya harga minyak dunia dari USD 105 di awal tahun 2014 hingga mencapai level USD 50-60 per barel di awal tahun 2015 sehingga harga jual eceran BBM masih terjangkau serta perbedaan harga eceran BBM bersubsidi dan non subsidi tidak terpaut terlalu besar.

Persoalan akan muncul jika harga minyak dunia naik, katakanlah, mencapai level seperti awal tahun 2014 yakni sekitar USD 105 per barel. Dengan kondisi demikian, Pemerintah perlu mempertimbangkan untuk kembali memberikan subsidi BBM jenis bensin RON 88 dan solar dengan besaran yang lebih tinggi dari susbidi tetap saat ini untuk mengurangi dampak negatif dari kenaikan harga minyak dunia tersebut, terutama dampak terhadap makro ekonomi, seperti inflasi, pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan. Dengan menerapkan pola pemberian subsidi yang sama seperti yang dilakukan sebelum diterapkannya Peraturan Presiden No. 191 Tahun 2014 maka persoalan ketidak tepat sasaran dan ketidakadilan pemberian subsidi BBM akan terjadi kembali. Apabila subsidi meningkat maka selisih harga BBM bersusbidi dan non subsidi pun meningkat. Hal ini menyebabkan masyarakat kembali berpindah menggunakan BBM bersubsidi. Selisih harga yang besar antara BBM bersubsidi dan BBM non subsidi juga berpotensi menimbulkan penyelundupan dan penyelewengan BBM bersubsidi. Pada akhirnya jumlah total alokasi anggaran Pemerintah akan kembali membengkak. 

Tujuan Kajian 

Sebagai antisipasi permasalahan di atas maka kajian ini bertujuan untuk menggali opsi mekanisme kebijakan subsidi BBM yang lebih tepat sasaran. Kajian ini melakukan analisis  dan mengidentifikasi kelompok target penerima mana saja yang berhak untuk menerima subsidi. Kajian ini dibatasi dengan menggali opsi mekanisme pemberian subsidi BBM pada sektor transportasi. Kajian ini juga kemudian melakukan analisis dampak terhadap fiskal, makro ekononomi, sosial dan lingkungan apabila opsi mekanisme tersebut diterapkan. Diharapkan kajian ini berguna bagi Pemerintah dalam memberikan opsi mekanisme subsidi BBM yang lebih tepat sasaran apabila harga minyak dunia naik kembali.

Kelompok Sasaran Subsidi BBM

Dalam menentukan kelompok sasaran subsidi BBM kajian ini menganalisa peraturan-perundangan yang ada serta mempertimbangkan aspek keadilan sehingga kelompok tidak mampu masih dapat mencukupi kebutuhan dasarnya serta biaya transportasi. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka kajian ini mendifinisikan kelompok target subsidi BBM yang lebih tepat sasaran yaitu usaha mikro, nelayan dengan kapal maks 30 GT, perikanan skala kecil, usaha pertanian skala kecil, ambulan dan kendaraan pelayanan publik lainnya, kendaraan penumpang umum plat kuning (bus kota, bus antar kota dalam provinsi, bus anta kota antar provinsi angkutan perkotaan/perdesaan, taksi), dan kendaraan angkutan barang (pick up, box, truk). Mobil pribadi berbahan bakar solar dan sepeda motor yang saat ini masih menerima subsidi (sebagai tertuang dalam Perpres 191/2014) akan diusulkan untuk dikeluarkan dari kelompok penerima subsidi BBM.

Evaluasi Penerapan Alat Kendali dan Monitoring Pembelian BBM Bersubsidi

Agar subsidi BBM terarah kepada kelompok target yang ditentukan, maka Pemerintah dapat melakukan diskriminasi harga dalam penjualan BBM. Di dalam praktek diskriminasi harga, penjual mampu menjual produk yang sama dengan harga yang berbeda pada konsumen yang berbeda. Hal ini dapat dilakukan, jika produsen mampu membedakan dengan tepat konsumen-konsumennya. Praktek diskriminasi harga ini bisa berhasil, jika tiap konsumen tidak dapat melakukan arbitrase harga. Arbitrase harga adalah praktek menjual kembali produk yang dibeli oleh konsumen yang membeli dengan harga murah kepada konsumen lain yang dikenakan harga lebih mahal. Bila konsumen bisa melakukan praktek arbitrase harga, maka diskriminasi pasar tidak akan ada gunanya. Agar mekanisme diskriminasi harga berhasil diterapkan, maka distribusi bahan bakar bersubsidi harus dilakukan dengan alat kendali subsidi dan diberikan kuota pembelian BBM bersubsidi bagi kelompok target.

Dari studi literatur yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa hampir semua negara berkembang yang menerapkan reformasi pemberian subsidi BBM mencoba memperkenalkan mekanisme subsidi terarah kepada kelompok sasaran. Di Filipina, pemerintah menerapkan “Program Pantawid Pasada” yang memberikan subsidi BBM kepada transportasi publik. Di Malaysia, pemerintah berencana menerapkan mekanisme diskon berdasarkan klasifikasi kelompok pendapatan masyarakat. Sistem yang diberi nama “My Kads“ (kartu identitas dengan menggunakan chip) akan memberikan harga diskoun kepada kelompok masyarakat berpenghasilan rendah ketika membeli BBM.       

Pemerintah telah melalukan ujicoba beberapa alat kendali dan monitoring konsumsi BBM bersubsidi di beberapa daerah. Alat kendali dan monitoring tersebut antara lain Radio Frequency Identification (RFID), Survey Card dan Fuel Card.  Kajian ini  melakukan evaluasi keberhasilan dan kendala yang dihadapi dalam pengujicobaan alat kendali dan monitoring tersebut. 

RFID adalah sistem distribusi tertutup dengan menggunakan alat kendali yang diujicobakan di Jabodetabek oleh Pertamina. Dengan sistem ini monitoring dan pengendalian BBM bersubsidi dan non-subsidi dilakukan dengan menggunakan database online yang disambungkan dengan SPBU serta kendaraan dengan menggunakan RFID tag. Uji coba alat kendali ini tidak dapat dilanjutkan karena terbentur beberapa kendala antara lain: produksi alat kendali, partisipasi masyarakat yang rendah dalam pemasangan RFID tag, dan kurangnya pemahaman petugas SPBU terhadap program RFID. 

Survey Card adalah mekanisme yang diperkenalkan oleh Pertamina bekerjasama dengan Pemerintah Kota Batam untuk mendata dan mengendalikan penjualan solar bersubsidi. Mekanisme pembatasan solar dilakukan dengan pendataan kendaraan lewat STNK dan pemberian kertas Survey Card untuk setiap pembelian solar bersubsidi dengan jatah perhari tiap bulannya. Penerapan Survey Card di Kota Batam memiliki beberapa manfaat antara lain: Pemerintah dan Pertamina dapat mengetahui konsumsi real solar bersubsidi sehingga dapat menentukan target solar bersubsidi di Kota Batam, Survey Card dapat mendorong pembelian solar non bersubsidi, menghilangkan mobil pelangsir, serta menurunkan konsumsi solar bersubsidi. Dengan menerapkan Survey Card di Kota Batam didapat penghematan biaya subsidi Bio Solar sebesar 151 Kilo Liter per hari atau sebesar Rp. 330 Milyar pertahun (setara dengan Rp. 906 juta perhari). Penerapan Survey Card juga memiliki kendala dan kelemahan antara lain: belum memiliki payung hukum yang kuat, kurangnya pemahaman petugas pelaksana di lapangan, banyaknya masyarakat yang mendaftar berkali-kali sehingga mendapatkan kartu survey ganda, kartu survey berbentuk kertas karton sehingga mudah rusak dan dapat dipalsukan. Sejauh ini Survey Card juga telah diterapkan di Tarakan, Bintan dan Pangkal Pinang serta pada tahapan sosialisasi di Belitung.   

Fuel Card diterapkan sejak 1 November 2014 di Kota Batam sebagai kelanjutan dan penyempurnaan sistem pembatasan pembelian solar bersubsidi yang sebelumnya dilakukan dengan menggunakan Survey Card. Kelebihan Fuel Card adalah berupa kartu yang juga dapat berfungsi sebagai alat pembayaran. Hal ini dilakukan lewat kerjasama dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI). Sama halnya dengan Survey Card, Fuel Card juga melakukan pendataan kendaraan lewat STNK. Sebagai perbaikan sistem Survey Card, Fuel Card dapat mengurangi kemungkinan kecurangan pemalsuan kartu yang sebelumnya terjadi pada Survey Card, sehingga lebih jauh dapat menurunkan volume pembelian solar bersubsidi. Kendala penerapan Fuel Card antara lain: adanya kendala top-up yang harus dilakukan sopir (pemilik kartu), kendala deposit yang dilakukan SPBU, kendala sistem (server, mesin EDC, dan konektivitas), double-checking settlement yang perlu dilakukan dan menjadi kerja tambahan bagi SPBU. Sementara itu kelemahan sistem Fuel Card antara lain: sementara masih monopoli BRI (untuk 3 tahun), kartu masih dapat digunakan untuk transaksi lainnya sehingga fungsi kartu dapat menjadi rancu, dan kartu belum memiliki identitas yang dapat diperiksa karena masih menggunakan magnetic strip.    

Dari kajian yang dilakukan bahwa yang lebih mudah, praktis  dan cukup efektif sebagai alat kendali subsidi BBM adalah Fuel Card. Fuel Card lebih memudahkan masyarakat, karena tidak memerlukan instalasi khusus pada kendaraan. Hanya saja beberapa kendala dan kelemahannya perlu diatasi dan disempurnakan, seperti masalah top up dan pembelian BBM yang harus non tunai. Fuel Card harus diberikan identitas kelompok target untuk mencegah penyalahgunaannya. 

Dengan mengatasi kendala yang ada pada sistem Fuel Card, kajian ini mengusulkan instrumen baru untuk mendiskriminasi harga BBM bersubsidi yakni dengan menggunakan Smart Card dan metode pemberian subsidinya dengan menggunakan sistem diskon. Agar tidak terjadi pembelian BBM subsidi yang excessive oleh kelompok target, maka pembelian BBM bersubsidi harus diberikan kuota per hari.  Sistem yang digunakan relatif mirip dengan sistem yang digunakan oleh Fuel Card di Batam, yakni menggunakan sistem transaksi yang sudah digunakan oleh perbankan, tidak membangun sistem baru, tetapi agar lebih praktis Smart Card dirancang sedemikian rupa setiap orang bisa menggunakannya baik dengan transaksi tunai maupun non tunai.

Pilihan Kebijakan Besaran Subsidi dan Analisa Dampak

Setidaknya ada tiga cara menentukan besaran subsidi yaitu subsidi mengambang, subsidi tetap, dan subsidi proporsional.

a.    Subsidi mengambang adalah subsidi yang besarannya ditentukan oleh perubahan harga minyak dunia. Subsidi mengambang diterapkan oleh Pemerintah sebelum tahun 2015. Hasil analisis dari kajian ini menunjukkan bahwa kebijakan subsidi mengambang sudah harus ditinggalkan, karena risiko fiskalnya sangat tinggi jika harga minyak dunia naik secara tiba-tiba.

b.    Subsidi tetap adalah subsidi yang besarannya sudah ditentukan tetap oleh pemerintah. Kebijakan subsidi tetap mulai dijalankan di Indonesia sejak 1 Januari 2015 dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No 191/2014, di mana BBM jenis solar diberikan subsidi terap sebesar Rp 1000 per liter. Keuntungan kebijakan subsidi tetap adalah besaran subsidi dalam satu tahun bisa mendekati nilai yang pasti. Namun demikian, jika harga minyak dunia naik, kebijakan subsidi tetap ini berdampak terhadap meningkatnya inflasi dan berpotensi menimbulkan gejolak sosial di masyarakat.

c.   Subsidi proporsional adalah subsidi yang besarannya ditentukan secara proporsional terhadap harga BBM non subsidi, misalnya subsidi sebesar 10% dari harga BBM non subsidi. Kebijakan lain yang belum pernah dilakukan di Indonesia adalah kebijakan subsidi proporsional. Dengan kebijakan ini, dampak kenaikan harga minyak dunia akan ditanggung oleh APBN dan masyarakat secara bersama sesuai dengan besaran persentase subsidi. Jadi harga jual eceran BBM bersubsidi otomatis naik, jika harga minyak dunia naik. Besaran subsidi juga akan naik, jika harga minyak dunia naik, tetapi kenaikan subsidinya tidak akan sebesar subsidi mengambang. Kebijakan ini dinilai lebih flexible untuk pengendalian dampak makro, fiskal, dan sosial politik. 

Kajian ini melakukan analisa dampak makro terhadap inflasi, pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, sosial dan lingkungan dari 7 (tujuh) skenario kebijakan pemberian subsidi tetap dan proporsional: 

-       Skenario 0 subsidi tetap hanya untuk solar sebesar Rp1.000 dengan distribusi terbuka (tidak ada alat kendali) sebagaimana berjalan saat ini;

-       Skenario 1 subsidi mengambang (untuk solar dan bensin) dengan distribusi tertutup menggunakan alat kendali smart card dengan mekanisme diskon;

-       Skenario 2 subsidi tetap (solar dan bensin) dengan distribusi tertutup  menggunakan alat kendali smart card dengan mekanisme diskon;

-       Skenario 3 subsidi proporsional (solar dan bensin) dengan distribusi tertutup  menggunakan alat kendali smart card dengan mekanisme diskon.

-       Skenario 4, 5 dan 6 adalah skenario yang sama sepertiS3 dengan besaran proporsi subsidi yang meningkat sebesar 15%, 20% dab 25%.  

Dari simulasi dampak yang dilakukan terlihat bahwa secara keseluruhan kebijakan yang mempunyai peringkat terbaik adalah Skenario 2 dan 3, yaitu kebijakan subsidi tetap dan proporsional dengan distribusi tertutup berkuota dengan menggunakan Smart Card dengan target subsidi angkutan umum dan angkutan barang, berbahan bakar bensin maupun solar, dan pemberian subsidinya melalu diskon (potongan harga terhadap kuota volume BBM bersubsidi). Kebijakan subsisidinya bisa berupa subsidi tetap atau subsidi proporsional 10%. Namun jika terjadi kenaikan harga eceran non subsidi karena harga minyak internasional meningkat, maka besaran subsidi proporsionalnya harus ditingkatkan sehingga ranking berikutnya adalah skenario 4 dan 5.

Kesimpulan

1.   Target penerima subsidi BBM yang dinilai sesuai dengan amanat Undang-Undang dan prinsip keadilan adalah kelompok target yang tertuang dalam Perpres 191/2014 minus kendaraan mobil pribadi plat hitam dan sepeda motor, yaitu: nelayan (kapal < 30 GT) dan usaha perikanan skala kecil; petani (lahan max 2 ha); usaha mikro; transportasi publik (plat kuning); ambulan dan pelayanan publik lainnya; angkutan barang (truck, pick-up, box).

2.     Agar subsidi BBM dapat menjadi lebih tepat sasaran, kajian ini mengusulkan agar subsidi diberikan melalui potongan harga bagi kelompok target pada pembelian BBM dengan kuota tertentu, dengan alat kendali yang praktis dan mudah digunakan serta berbiaya murah dengan menggunakan teknologi dan sistem yang sudah biasa digunakan oleh perbankan sehingga tinggal memodifikasi dan tidak perlu membangun sistem baru (Smart Card).  Pemberian Smart Card bisa lebih tepat sasaran dengan mengacu data kendaraan yang ada di masing-masing kantor kepolisian daerah dan data ijin trayek. Mekanisme ini akan lebih praktis dan memudahkan masyarakat karena tidak memerlukan instalasi khusus pada kendaraan, tidak perlu top-up, serta memungkinkan pembayaran secara tunai maupun non tunai.

3.    Skenario kebijakan BBM bersubsidi yang lebih tepat sasaran dengan dampak buruk yang minimal adalah subsidi tetap atau proposional (dengan penyesuaian besaran dan persentase subsidi sesuai dengan harga BBM non subsidi denganrentang persentase subsidi hingga 25%). Apabila terjadi kenaikan harga minyak dunia ke level harga minyak dunia seperti tahun 2014, maka dengan menggunakan mekanisme ini besaran subsidi yang akan diberikan oleh Pemerintah tidak akan sebesar periode sebelumnya.Mekanismenya distribusi tertutup targeted, berkuota dengan smart card, dan pemberian subsidi dengan diskon.

4.    Mekanisme subsidi BBM yang diusulkan sebagai hasil dari kajian ini, dapat diterapkan pula dalam kebijakan subsidi BBG, jika di kemudian hari Pemerintah memilih kebijakan konversi BBM ke BBG dan kebijakan subsidi BBG untuk kendaraan angkutan umum penumpang dan angkutan barang. Dari hasil analisis dampak, kebijakan subsidi BBG dengan menggunakan mekanisme tersebut juga layak untuk dapat dipertimbangkan. Namun, sehubungan dengan infrastuktur BBG yang masih terbatas, maka kebijakan konversi BBM ke BBG belum dapat dilaksanakan secara menyeluruh. Konversi BBM ke BBG dengan kebijakan pemberian subsidi BBG dapat dilakukan secara bertahap.

Rekomendasi

1.  Untuk mengatur target dan mekanisme kebijakan subsidi BBM yang lebih tepat sasaran, perlu dilakukan perubahan terhadap Peraturan Presiden No. 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.

2.    Untuk mitigasi  (mengurangi dampak negatif) dari kebijakan subsidi BBM yang lebih tepat sasaran, antara lain melalui pembangunan sistem transportasi umum yang terintegrasi antar moda, serta penguatan program pendidikan dan kesehatan gratis, serta cash transfer untuk kelompok tidak mampu.

3.   Pemerintah daerah dapat berperan aktif dalam kebijakan subsidi BBM yang lebh tepat sasaran melalui pemberian usulan jumlah kuota BBM untuk angkutan umum dan angkutan barang, serta dalam pengadaan dan pembagian Smart Card.

4.   Dilakukan uji coba mekanisme pemberian diskon di Batam dengan sedikit mengubah mekanisme Smart Card.

5.   Agar angkutan umum mau berpindah ke BBG, Pemerintah hendaknya mengalokasikan anggaran susbidi BBG yang lebih besar, disertai dengan pemberian insentif dalam pembelian converter kits, pembangunan infrastruktur yang lebih banyak di kota-kota besar.

a.    Subsidi tetap adalah subsidi yang besarannya sudah ditentukan tetap oleh pemerintah. Kebijakan subsidi tetap mulai dijalankan di Indonesia sejak 1 Januari 2015 dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No 191/2014, di mana BBM jenis solar diberikan subsidi terap sebesar Rp 1000 per liter. Keuntungan kebijakan subsidi tetap adalah besaran subsidi dalam satu tahun bisa mendekati nilai yang pasti. Namun demikian, jika harga minyak dunia naik, kebijakan subsidi tetap ini berdampak terhadap meningkatnya inflasi dan berpotensi menimbulkan gejolak sosial di masyarakat.

b.       Subsidi proporsional adalah subsidi yang besarannya ditentukan secara proporsional terhadap harga BBM non subsidi, misalnya subsidi sebesar 10% dari harga BBM non subsidi. Kebijakan lain yang belum pernah dilakukan di Indonesia adalah kebijakan subsidi proporsional. Dengan kebijakan ini, dampak kenaikan harga minyak dunia akan ditanggung oleh APBN dan masyarakat secara bersama sesuai dengan besaran persentase subsidi. Jadi harga jual eceran BBM bersubsidi otomatis naik, jika harga minyak dunia naik. Besaran subsidi juga akan naik, jika harga minyak dunia naik, tetapi kenaikan subsidinya tidak akan sebesar subsidi mengambang. Kebijakan ini dinilai lebih flexible untuk pengendalian dampak makro, fiskal, dan sosial politik. 

Kajian ini melakukan analisa dampak makro terhadap inflasi, pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, sosial dan lingkungan dari 7 (tujuh) skenario kebijakan pemberian subsidi tetap dan proporsional: 

-       Skenario 0 subsidi tetap hanya untuk solar sebesar Rp1.000 dengan distribusi terbuka (tidak ada alat kendali) sebagaimana berjalan saat ini;

-       Skenario 1 subsidi mengambang (untuk solar dan bensin) dengan distribusi tertutup menggunakan alat kendali smart card dengan mekanisme diskon;

-       Skenario 2 subsidi tetap (solar dan bensin) dengan distribusi tertutup  menggunakan alat kendali smart card dengan mekanisme diskon;

-       Skenario 3 subsidi proporsional (solar dan bensin) dengan distribusi tertutup  menggunakan alat kendali smart card dengan mekanisme diskon.

-       Skenario 4, 5 dan 6 adalah skenario yang sama sepertiS3 dengan besaran proporsi subsidi yang meningkat sebesar 15%, 20% dab 25%.  

Dari simulasi dampak yang dilakukan terlihat bahwa secara keseluruhan kebijakan yang mempunyai peringkat terbaik adalah Skenario 2 dan 3, yaitu kebijakan subsidi tetap dan proporsional dengan distribusi tertutup berkuota dengan menggunakan Smart Card dengan target subsidi angkutan umum dan angkutan barang, berbahan bakar bensin maupun solar, dan pemberian subsidinya melalu diskon (potongan harga terhadap kuota volume BBM bersubsidi). Kebijakan subsisidinya bisa berupa subsidi tetap atau subsidi proporsional 10%. Namun jika terjadi kenaikan harga eceran non subsidi karena harga minyak internasional meningkat, maka besaran subsidi proporsionalnya harus ditingkatkan sehingga ranking berikutnya adalah skenario 4 dan 5.

Kesimpulan

1.       Target penerima subsidi BBM yang dinilai sesuai dengan amanat Undang-Undang dan prinsip keadilan adalah kelompok target yang tertuang dalam Perpres 191/2014 minus kendaraan mobil pribadi plat hitam dan sepeda motor, yaitu: nelayan (kapal < 30 GT) dan usaha perikanan skala kecil; petani (lahan max 2 ha); usaha mikro; transportasi publik (plat kuning); ambulan dan pelayanan publik lainnya; angkutan barang (truck, pick-up, box).

2.       Agar subsidi BBM dapat menjadi lebih tepat sasaran, kajian ini mengusulkan agar subsidi diberikan melalui potongan harga bagi kelompok target pada pembelian BBM dengan kuota tertentu, dengan alat kendali yang praktis dan mudah digunakan serta berbiaya murah dengan menggunakan teknologi dan sistem yang sudah biasa digunakan oleh perbankan sehingga tinggal memodifikasi dan tidak perlu membangun sistem baru (Smart Card).  Pemberian Smart Card bisa lebih tepat sasaran dengan mengacu data kendaraan yang ada di masing-masing kantor kepolisian daerah dan data ijin trayek. Mekanisme ini akan lebih praktis dan memudahkan masyarakat karena tidak memerlukan instalasi khusus pada kendaraan, tidak perlu top-up, serta memungkinkan pembayaran secara tunai maupun non tunai.

Skenario kebijakan BBM bersubsidi yang lebih tepat sasaran dengan dampak buruk yang minimal adalah subsidi tetap atau proposional (dengan penyesuaian besaran dan persentase subsidi sesuai dengan harga