Tags (tagged): pusat ilmu pengetahuan, unkris, ras, kaukasoid, ras kaukasoid, lexikon leipzig, 1932, membagi tipe europ, id dalam, nordic, india utara 2, keturunan mereka, menetap, hitam ciri dianggap, menentukan ras, negroid, pakar, sapiens catatan, for a, contrast, with the mongolic, or, pusat, ilmu, pengetahuan stretches from, spain across, the, straits of gibraltar, to ras Show
Page 2Tags (tagged): pusat ilmu pengetahuan, unkris, ras, kaukasoid, ras kaukasoid, lexikon leipzig, 1932, membagi tipe europ, id dalam, nordic, india utara 2, keturunan mereka, menetap, hitam ciri dianggap, menentukan ras, negroid, pakar, sapiens catatan, for a, contrast, with the mongolic, or, pusat, ilmu, pengetahuan stretches from, spain across, the, straits of gibraltar, to ras Page 3Tags (tagged): center of studies, unkris, caucasians, lexikon leipzig, 1932 membagi, tipe, europ id dalam, nordic, india, utara, 2 keturunan mereka, menetap, hitam, ciri, dianggap menentukan ras, negroid pakar, sapiens, catatan for a, contrast with, the, mongolic or, center, of studies, stretches, from spain across, the straits, of, gibraltar to caucasians Page 4Tags (tagged): unkris, khoisan race, menunjuk, penghuni, daerah barat daya, afrika terutama, ribu, varietas dna mitokondria, sangat beragam, pakar, genetika, suatu usaha, sia sia, dari, segi, ditentukan oleh, hanya sejumlah, kecil, gen secara biologis, center of, studies, dipercayai ada australoid, kaukasoid khoisan, melayu, mongoloid khoisan race, khoisan Page 5Tags (tagged): unkris, khoisan race, menunjuk, penghuni, daerah barat daya, afrika terutama, ribu, varietas dna mitokondria, sangat beragam, pakar, genetika, suatu usaha, sia sia, dari, segi, ditentukan oleh, hanya sejumlah, kecil, gen secara biologis, center of, studies, dipercayai ada australoid, kaukasoid khoisan, melayu, mongoloid khoisan race, khoisan Page 6Tags (tagged): unkris, ras khoisan, menunjuk, penghuni, daerah barat daya, afrika terutama, ribu, varietas dna mitokondria, sangat beragam, pakar, genetika, suatu usaha, sia sia, dari, segi, ditentukan oleh, hanya sejumlah, kecil, gen secara biologis, pusat ilmu, pengetahuan, dipercayai ada australoid, kaukasoid khoisan, melayu, mongoloid ras khoisan, ras Page 7Tags (tagged): unkris, ras khoisan, menunjuk, penghuni, daerah barat daya, afrika terutama, ribu, varietas dna mitokondria, sangat beragam, pakar, genetika, suatu usaha, sia sia, dari, segi, ditentukan oleh, hanya sejumlah, kecil, gen secara biologis, pusat ilmu, pengetahuan, dipercayai ada australoid, kaukasoid khoisan, melayu, mongoloid ras khoisan, ras Page 8Ras (dari bahasa Prancis race, yang sendirinya dari bahasa Latin radix, "akar") adalah suatu sistem klasifikasi yang dipergunakan untuk mengkategorikan manusia dalam populasi atau kumpulan agung dan berlainan menempuh ciri fenotipe, asal-usul geografis, tampang jasmani dan kesukuan yang terwarisi. Di awal masa seratus tahun ke-20 istilah ini sering dipergunakan dalam guna biologis untuk menunjuk populasi manusia yang beraneka ragam dari babak genetik dengan bagian yang ada fenotipe (tampang luar) yang sama.[1] Guna "ras" ini sedang dipergunakan dalam antropologi forensik (dalam menganalisa sisa tulang), penelitian biomedis dan kedokteran berlandaskan asal-usul.[2] Di samping itu, di Amerika Serikat misalnya, penegak hukum memakai istilah "ras" dalam menentukan profil tersangka dan penggambaran kembali tampang sisa yang belum diidentifikasi. Selain itu, karena di banyak warga, pengelompokan berlandaskan "ras" mengikuti pola pelapisan sosial, untuk ilmuwan sosial yang meneliti kesenjangan sosial, "ras" dapat menjadi variabel yang berfaedah. Sebagai faktor sosiologis, kategori "ras" dapat secara terbatas mencerminkan penjelasan yang subyektif, tentang jati diri dan lembaga sosial.[3][4] Oleh karenanya, paradigma "ras" yang dipergunakan dalam bermacam disiplin menekan dengan cara yang beraneka pada sifat biologis atau pada babak konstruk sosial. Walau para biologis kadang-kadang memakai paham "ras" untuk membuat pembedaan antara himpunan ciri-ciri yang rancu, ilmuwan lain mengajukan wawasan bahwa paham "ras" sering dipergunakan[5] secara naif[6] atau terlalu sederhana. "Ras" tak ada guna taksonomis untuk manusia : seluruh manusia adalah bagian dari subspesies hominid yang sama yaitu Homo sapiens sapiens.[7][8] Paham sosial dan pengelompokan ras berganti dengan saat, termasuk taksonomi awam [9] yang menentukan tipe orang yang bersifat esensialisme berlandaskan ciri-ciri yang terlihat. Para ilmuwan menganggap esensialisme biologis sudah ketinggalan jaman,[10] dan biasanya tak mendukung penjelasan berlandaskan ras untuk pembedaan kumpulan, patut dari babak ciri-ciri jasamni maupun afal.[6][11] Masa orang menentukan dan memakai satu paham tertentu untuk "ras", mereka menciptakan suatu kenyataan sosial di mana dilaksanakan suatu kategorisasi sosial tertentu.[12] Oleh karenanya "ras" dipandang sebagai konstruk sosial.[13] Konstruk tersebut mengembang dalam bermacam konteks hukum, ekonomi dan sosio-politik, dan boleh jadi lebih adalah dampak daripada karena dari kenyataan sosial.[14] Walau banyak ilmuwan berpandangan bahwa "ras" adalah suatu konstruk sosial, kebanyakan berbakat setuju bahwa "ras" ada dampak material yang nyata dalam diskriminasi perhunian, proses hukum, praktek politik, pendidikan dan lain-lain. Teori Omi dan Winant tentang pembentukan ras menyebut bahwa "ras adalah suatu konsep yang mengartika dan melambangkan pertentangan dan kebutuhan sosial menempuh pengacuan pada tipe jasmani manusia yang berlainan.”[15] Guna dan maksud dari istilah "ras" dihasilkan dan dipergunakan oleh lembaga sosial menempuh pandangan bersifat kebudayaan. Semenjak Omi dan Winant, para akademisi sudah menyusun dan meninjau kembali maksud "ras" sebagai konstruksi sosial dengan meneliti cara cerminan, paham dan asumsio tentang "ras" dirumuskan dalam kehidupan sehari-hari. Angela Davis,[16] Ruth Gilmore,[17] dan Imani Perry[18] sudah menelusuri hubungan antara paham "ras" dari babak sejarah dan sosial production dalam bahasa hukum dan pidana, dan akhir suatu peristiwanya atas kebijakan terhadap orang Hitam di Amerika, dan jumlah mereka dalam penjara yang sudah tak proporsional lagi. Faktor sosio dan ekonomi, in combination with early but enduring views of race, berakibatkan penderitaan yang sangat agung di dalam kumpulan yang terlantar.[19] Diskriminasi rasial sering bertepatan dengan pola pikir yang rasis , di mana para individu dan ideologi satu kumpulan melihat bagian dari kumpulan lain sebagai suatu "ras" tertentu yang lebih rendah secara moral.[20] Alhasil, kumpulan yang tak banyak berkuasa sering terasing atau tertindas, sedangkan individu dan lembaga yang dominan dituduh bersikap rasis.[21] Rasism berakibatkan banyak contoh tragedi, termasuk perbudakan dan genosid.[22] Scholars continue to debate the degrees to which racial categories are biologically warranted and socially constructed, as well as the extent to which the realities of race must be acknowledged in order for society to comprehend and address racism adequately.[23] Paham modern pertama tentang "ras"Boleh jadi kumpulan manusia dari dahulu selalu menentukan diri sendiri sebagai berlainan dari kumpulan lain. Namun, perbedaan tersebut belum tentu selalu dipandang sebagai sesuatu yang alami, tak terubahkan dan menyeluruh. Pandang seperti ini adalah ciri-ciri khas paham "ras" yang dipergunakan di masa kini.[24] Pada awalnya, kata "ras" dipakai untuk menunjuk suatu bangsa atau kumpulan etnis. Marco Polo misalnya, dalam bukunya yang ditulis di masa seratus tahun ke-13, menguraikan "ras Persia".[25] Paham "ras" masa kini baru muncul di masa seratus tahun ke-17.[26] Paham Eropa tentang "ras", sejalan dengan sebanyak paham yang sekarang dikaitkan dengan istilah tersebut, muncul pada masa revolusi ilmiah, di mana penelitian dunia dimulai dan diutamakan, dan masa imperialisme dan kolonialisme Eropa yang menciptakan hubungan politik antara orang Eropa dan bangsa yang ada tradisi kebudayaan dan politik yang berlainan.[24][27] Dengan berjumpanya orang Europa dengan bangsa dari bermacam babak dunia, mereka membahas perbedaan jasmani, sosial dan kebudayaan di antara bermacam kumpulan manusia. Munculnya perniagaan budak di Atlantik, yang secara berangsur menggantikan perniagaan budak yang lebih lama di seluruh dunia, makin mendorong untuk mengkategorikan kumpulan manusia demi membenarkan ditundukkannya budak asal Afrika.[28] Dengan mengacu untuk sumber Klasik mereka dan hubungan antar bangsa Eropa sendiri — misalnya, permusuhan bebuyutan antara Inggris dan Prancis sangat berpengaruh atas pemikiran Eropa awal tentang perbedaan antar bangsa[29] — orang Eropa mulai mengotakkan mereka sendiri dan bangsa lain dalam kumpulan berlandaskan tampang jasmani, dan melekatkan pada individu dalam kumpulan tersebut, perilaku dan kemampuan yang dianggap mengakar banyak-banyak. Berkembanlah sebanyak keyakinan yang mengaitkan perbedaan jasmani antar kumpulan yang terwarisi, dengan sifat intellektual, perilaku dan moral yang juga dikira terwarisi.[30] Paham serupa ditemukan pada kebudayaan lain,[31] misalnya di Tiongkok, di mana suatu konsep yang diartikan dengan istilah "ras" dikaitkan dengan yang dipercayai adalah keturunan bersama dari Kaisar Kuning, dan dipergunakan untuk menegaskan kesatuan para kumpulan etnis di Tiongkok China. Pertikaian penuh kekerasan antar kumpulan etnis sempat terjadi di sepanjang sejarah dan di seluruh dunia.[32] Klasifikasi pasca-klasik yang pertama manusia dalam "ras" dikenal adalah Nouvelle division de la terre par les différents espèces ou races qui l'habitent ("Pembagian baru Bumi oleh spesies atau ras yang menghuninya") oleh François Bernier dari Prancis, yang diterbitkan tahun 1684.[33] Di masa seratus tahun ke-18, perbedaan antara kumpulan manusia menjadi bahan penyelidikan ilmiah. Namun klasifikasi ilmiah tentang variasi fenotipe sering ditemani gagasan rasis tentang kemampuan yang dianggap melekat pada bermacam kumpulan, yang selalu memberi ciri-ciri yang paling bagus untuk orang Eropa atau orang Kulit putih, dan memperingkatkan "ras" lain dalam suatu kontinuum ciri-ciri yang secara berangsur menjadi kurang bagus. Klasifikasi Carolus Linnaeus, pencipta taksonomi zoologis, tahun 1755 membagi ras manusia Homo Sapiens dalam varietas "Europaeus", "Asiaticus", "Americanus" dan "Afer", yang masing-masing dikaitkan dengan watak yang berbeda : "sanguine", "melancolis", "choleric" dan "bilious".[34] Homo Sapiens Europeaus diceritakan aktif, tajam pikiran dan petualang, sedangkan Homo Sapiens Afer diceritakan licik, pemalas dan sembrono.[35] Dalam bukunya berjudul The Natural Varieties of Mankind, Johann Friedrich Blumenbach yang diterbitkan tahun 1775 mengajukan lima kumpulan besar : "ras Kaukasoid", "ras Mongoloid", "ras Etiopia" (yang akhir dinamakan "ras Negroid"), "ras Indian" dan "ras Melayu", namun dia tak mengusulkan peringkatan apa pun antara para ras.[35] Blumenbach also noted the graded transition in appearances from one group to adjacent groups and suggested that "one variety of mankind does so sensibly pass into the other, that you cannot mark out the limits between them".[36] Dari masa seratus tahun ke-17 sampai 19, pelemburan keyakinan orang awam tentang perbedan antar kumpulan, dengan penjelasan ilmiah tentang perbedaan ini, menghasilkan apa yang oleh salah satu berbakat dinamakan "ideologi tentang ras".[27] Menurut ideologi ini, ras adalah mendasar, alami, lestari dan terpisah. It was further argued that some groups may be the result of mixture between formerly distinct populations, but that careful study could distinguish the ancestral races that had combined to produce admixed groups.[32] Subsequent influential classifications by Georges Buffon, Petrus Camper and Christoph Meiners all classified "Negros" as inferior to Europeans.[35] Di Amerika Serikat, teori ras Thomas Jefferson berpengaruh. Dia melihat orang Afrika lebih rendah dari pada orang Kulit putih, khususnya dari babak kecerdasan, dan ada nafsu seks yang kelebihan, tapi menganggap orang Indian setara dengan orang Kulit putih.[37] Di dua dasawarsa terakhir masa seratus tahun ke-18poligenisme, yaitu keyakinan bahwa "ras" yang berlainan sudah mengembang secara terpisah di setiap benua dan tak ada moyang yang sama,[38] diajukan di Inggris oleh sejarawan Edward Long dan anatomis Charles White, di Jerman oleh etnograf Christoph Meiners dan Georg Forster, di Prancis oleh Julien Virey dan di Amerika Serikat oleh Samuel Morton, Josiah Nott dan Louis Agassiz. Poligenisme popular dan paling menyebar di masa seratus tahun ke-19, dan memuncak dengan didirikannya Anthropological Society of London selama American civil war, bertentangan denga Ethnological Society of London yang anti-perbudakan.[39] Perdebatan kiniModel evolusi manusiaDalam suatu artikel pada tahun 1995, Leonard Lieberman dan Fatimah Jackson menyatakan bahwa dukungan baru mana pun untuk suatu paham biologis tentang "ras" probabilitas agung akan datang dari penelitian tentang evolusi manusia. Menurut mereka, pertanyaannya adalah tentang dampak model evolusi manusia yang ada sekarang atas paham "ras" yang berlandaskan biologi.[40] Masa ini seluruh manusia diklasifikasi sebagai bagian dari spesies Homo sapiens dan subspesies Homo sapiens sapiens. Namun manusia bukan spesies homininae pertama. Spesies pertama dari genus Homo adalah Homo habilis, yang diperkirakan muncul di Afrika Timur paling sedikit 2 juta tahun lalu. Bagian dari spesies ini menghuni bermacam babak Afrika dalam saat yang kira-kira singkat. Homo erectus diteorikan mengembang lebih dari 1,8 juta tahun silam, dan sekitar 1,5 juta tahun silam bersebar di Eropa dan Asia. Hampir seluruh antropolog fisik setuju bahwa Homo sapiens mengembang dari Homo erectus Afrika ((sensu lato) atauHomo ergaster).[41][42] Kebanyakan antropolog berpikir bahwa Homo sapiens mengembang di Afrika Timur, dan akhir bermigrasi keluar dari Afrika, menggantikan populasi H. erectus di Eropa dan Asia (model "asal-usul manusia modern dari Afrika). Recent Human evolutionary genetics ( Jobling, Hurles and Tyler-Smith, 2004) support this “Out of Africa” model, however the recent sequencing of the Neanderthal and Denisovan genomes shows some admixture [43]. These results also show that 40.000 years ago there co-existed at least three major sub-species that may be considered as“races” (or not, see discussion below): Denisovans, Neanderthals and Cro-magnons. Today, there's only one human species with no sub-species. Lieberman and Jackson argued that while advocates of both the Multiregional Model and the Out of Africa Model use the word race and make racial assumptions, none define the term.[40] They conclude that students of human evolution would be better off avoiding the word race, and instead describe genetic differences in terms of populations and clinal gradations.[40] Ringkasan bermacam ciri utama biologis untuk "ras"
"Ras" sebagai konstruksi sosialPara antropolog dan ilmuwan evolusi lain sudah berganti dari istialh "ras" ke istilah "populasi" untuk membahas perbedaan genetika. Para sejarawan, antropolog kebudayaan dan ilmuwan sosial memahamkan kembali istilah "ras" sebagai kategori kebudayaan atau konstruksi sosial, suatu cara tertentu orang cakap tentang mereka sendiri dan tentang orang lain. Banyak ilmuwan sosial sudah menggantikan istilah "ras" dengan kata "kumpulan etnik" untuk menunjuk kumpulan yang mengidentifikasi diri sendiri berlandaskan kepercayan mereka tentang kebudayaan, asal-usul dan sejarah bersama. Selain masalah empiris dan konseptual yang dibawa paham "ras," sesudah Perang Dunia Kedua, para ilmuwan di babak evolusi dan sosial sangat menyadari betapa keyakinan tentang "ras" diperalat untuk membenarkan dissriminasi, apartheid, perbudakan dan genosid. Pertanyaan ini lebih ramai pada tahun 1960-an dengan gerakan hak sipil di Amerika Serikat dan munculnya banyak gerakan anti-kolonial di seluruh dunia. Para ilmuwan yang belakang sekalinya mulai berpikir bahwa "ras" adalah suatu konstruksi sosial, suatu paham yang orang percaya adalah suatu kenyataan obyectif tapi sebetulnya mendapat keyakinan karena fungsi sosialnya.[44] Tahun 2000, Craig Venter dan Francis Collins dari National Institute of Health (lembaga kesehatan nasional) fi Amerika Serikat mengumumkan bersama suatu pemetaan dari genom manusia. Sesudah meneliti data dari pemetaan genom tersebut, Venter melihat bahwa walau besaran variasi genetik dalam spesies manusia adalah sekitar 1–3% (yaitu lebih dari 1% yang diperkirakan semula), tipe variasi tersebut tak mendukung paham "ras" dalam guna genetik. Venter menyebut bahwa "Ras adalah suatu konsep sosial. Buka konsep ilmiah. Tak ada garis yang jelas (yang akan muncul), sekiranya kita membandingkan seluruh genom bersekuensi dari seluruh orang di atas planet ini." "Bila kita coba melakukan ilmu untuk mencoba menyusun perbedaan sosial tersebut, runtuh seluruhnya."[45] Stephan Palmié menegaskan bahwa "ras" "bukan suatu benda tapi suatu hubungan sosial";[46] atau, dengan kataKatya Gibel Mevorach, "suatu metonim," "suatu karangan manusia yang kriteria pembedaannya tak universal dan tak tetap, tapi selalu dipergunakan untuk mengatur perbedaan."[47] Dengan demikian, penggunaan kata "ras" sendiri perlu dianalisa. Lebih dari itu, Palmié dan Mevorach menyebut bahwa biologi tak akan dapat menjelaskan mengapa atau bagaimana orang memakai paham "ras". Yang akan menjelaskannyua adalah sejarah dan tatanan sosial. Imani Perry, a professor in the Center for African American Studies at Princeton University, has made significant contributions to how we define race in America today. Perry’s work focuses on how race is experienced. Perry tells us that race, “is produced by social arrangements and political decision making.” [48] Perry explains race more in stating, “race is something that happens, rather than something that is. It is dynamic, but it holds no objective truth.”[49] Catatan
Lihat pulaPerpustakaan
Pranala luar
edunitas.com Page 9Ras (dari bahasa Prancis race, yang sendirinya dari bahasa Latin radix, "akar") adalah suatu sistem klasifikasi yang digunakan untuk mengkategorikan manusia dalam populasi atau kumpulan agung dan berlainan menempuh ciri fenotipe, asal-usul geografis, tampang jasmani dan kesukuan yang terwarisi. Di awal masa seratus tahun ke-20 istilah ini sering digunakan dalam guna biologis untuk menunjuk populasi manusia yang beraneka ragam dari babak genetik dengan bagian yang memiliki fenotipe (tampang luar) yang sama.[1] Guna "ras" ini sedang digunakan dalam antropologi forensik (dalam menganalisa sisa tulang), penelitian biomedis dan kedokteran berlandaskan asal-usul.[2] Di samping itu, di Amerika Serikat misalnya, penegak hukum memakai istilah "ras" dalam menentukan profil tersangka dan penggambaran kembali tampang sisa yang belum diidentifikasi. Selain itu, karena di banyak warga, pengelompokan berlandaskan "ras" mengikuti pola pelapisan sosial, untuk ilmuwan sosial yang meneliti kesenjangan sosial, "ras" dapat menjadi variabel yang berfaedah. Sebagai faktor sosiologis, kategori "ras" dapat secara terbatas mencerminkan penjelasan yang subyektif, mengenai jati diri dan lembaga sosial.[3][4] Oleh karena itu, paradigma "ras" yang digunakan dalam bermacam disiplin menekan dengan cara yang beraneka pada sifat biologis atau pada babak konstruk sosial. Walau para biologis kadang-kadang memakai paham "ras" untuk membuat pembedaan antara himpunan ciri-ciri yang rancu, ilmuwan lain mengajukan wawasan bahwa paham "ras" sering digunakan[5] secara naif[6] atau terlalu sederhana. "Ras" tak memiliki guna taksonomis untuk manusia : semua manusia adalah bagian dari subspesies hominid yang sama yaitu Homo sapiens sapiens.[7][8] Paham sosial dan pengelompokan ras berganti dengan waktu, termasuk taksonomi awam [9] yang menentukan tipe orang yang bersifat esensialisme berlandaskan ciri-ciri yang terlihat. Para ilmuwan menganggap esensialisme biologis sudah ketinggalan jaman,[10] dan pada umumnya tak mendukung penjelasan berlandaskan ras untuk pembedaan kumpulan, patut dari babak ciri-ciri jasamni maupun afal.[6][11] Saat orang menentukan dan memakai satu paham tertentu untuk "ras", mereka menciptakan suatu kenyataan sosial di mana diterapkan suatu kategorisasi sosial tertentu.[12] Oleh karena itu "ras" dipandang sebagai konstruk sosial.[13] Konstruk tersebut mengembang dalam bermacam konteks hukum, ekonomi dan sosio-politik, dan boleh jadi lebih merupakan dampak daripada karena dari kenyataan sosial.[14] Walau banyak ilmuwan berpandangan bahwa "ras" adalah suatu konstruk sosial, kebanyakan berbakat setuju bahwa "ras" memiliki dampak material yang nyata dalam diskriminasi perhunian, proses hukum, praktek politik, pendidikan dan lain-lain. Teori Omi dan Winant mengenai pembentukan ras mengatakan bahwa "ras adalah suatu konsep yang mengartika dan melambangkan pertentangan dan kebutuhan sosial menempuh pengacuan pada tipe jasmani manusia yang berlainan.”[15] Guna dan maksud dari istilah "ras" dihasilkan dan digunakan oleh lembaga sosial menempuh pandangan bersifat kebudayaan. Semenjak Omi dan Winant, para akademisi sudah menyusun dan meninjau kembali maksud "ras" sebagai konstruksi sosial dengan meneliti cara cerminan, paham dan asumsio mengenai "ras" dirumuskan dalam kehidupan sehari-hari. Angela Davis,[16] Ruth Gilmore,[17] dan Imani Perry[18] sudah menelusuri hubungan antara paham "ras" dari babak sejarah dan sosial production dalam bahasa hukum dan pidana, dan akhir suatu peristiwanya atas kebijakan terhadap orang Hitam di Amerika, dan jumlah mereka dalam penjara yang sudah tak proporsional lagi. Faktor sosio dan ekonomi, in combination with early but enduring views of race, berakibatkan penderitaan yang sangat agung di dalam kumpulan yang terlantar.[19] Diskriminasi rasial sering bertepatan dengan pola pikir yang rasis , di mana para individu dan ideologi satu kumpulan melihat bagian dari kumpulan lain sebagai suatu "ras" tertentu yang lebih rendah secara moral.[20] Alhasil, kumpulan yang tak banyak berkuasa sering terasing atau tertindas, sedangkan individu dan lembaga yang dominan dituduh bersikap rasis.[21] Rasism berakibatkan banyak contoh tragedi, termasuk perbudakan dan genosid.[22] Scholars continue to debate the degrees to which racial categories are biologically warranted and socially constructed, as well as the extent to which the realities of race must be acknowledged in order for society to comprehend and address racism adequately.[23] Paham modern pertama tentang "ras"Boleh jadi kumpulan manusia dari dahulu selalu menentukan diri sendiri sebagai berlainan dari kumpulan lain. Namun, perbedaan tersebut belum tentu selalu dipandang sebagai sesuatu yang alami, tak terubahkan dan menyeluruh. Pandang seperti ini merupakan ciri-ciri khas paham "ras" yang digunakan di masa kini.[24] Pada awalnya, kata "ras" dipakai untuk menunjuk suatu bangsa atau kumpulan etnis. Marco Polo misalnya, dalam bukunya yang ditulis di masa seratus tahun ke-13, menguraikan "ras Persia".[25] Paham "ras" masa kini baru muncul di masa seratus tahun ke-17.[26] Paham Eropa tentang "ras", sejalan dengan sejumlah paham yang sekarang dikaitkan dengan istilah tersebut, muncul pada saat revolusi ilmiah, di mana penelitian dunia dimulai dan diutamakan, dan masa imperialisme dan kolonialisme Eropa yang menciptakan hubungan politik antara orang Eropa dan bangsa yang memiliki tradisi kebudayaan dan politik yang berlainan.[24][27] Dengan berjumpanya orang Europa dengan bangsa dari bermacam babak dunia, mereka membahas perbedaan jasmani, sosial dan kebudayaan di antara bermacam kumpulan manusia. Munculnya perniagaan budak di Atlantik, yang secara berangsur menggantikan perniagaan budak yang lebih lama di seluruh dunia, makin mendorong untuk mengkategorikan kumpulan manusia demi membenarkan ditundukkannya budak asal Afrika.[28] Dengan mengacu untuk sumber Klasik mereka dan hubungan antar bangsa Eropa sendiri — misalnya, permusuhan bebuyutan antara Inggris dan Prancis sangat berpengaruh atas pemikiran Eropa awal mengenai perbedaan antar bangsa[29] — orang Eropa mulai mengotakkan mereka sendiri dan bangsa lain dalam kumpulan berlandaskan tampang jasmani, dan melekatkan pada individu dalam kumpulan tersebut, perilaku dan kemampuan yang dianggap mengakar banyak-banyak. Berkembanlah sejumlah keyakinan yang mengaitkan perbedaan jasmani antar kumpulan yang terwarisi, dengan sifat intellektual, perilaku dan moral yang juga dikira terwarisi.[30] Paham serupa ditemukan pada kebudayaan lain,[31] misalnya di Tiongkok, di mana suatu konsep yang diartikan dengan istilah "ras" dikaitkan dengan yang dipercayai adalah keturunan bersama dari Kaisar Kuning, dan digunakan untuk menegaskan kesatuan para kumpulan etnis di Tiongkok China. Pertikaian penuh kekerasan antar kumpulan etnis sempat terjadi di sepanjang sejarah dan di seluruh dunia.[32] Klasifikasi pasca-klasik yang pertama manusia dalam "ras" dikenal adalah Nouvelle division de la terre par les différents espèces ou races qui l'habitent ("Pembagian baru Bumi oleh spesies atau ras yang menghuninya") oleh François Bernier dari Prancis, yang diterbitkan tahun 1684.[33] Di masa seratus tahun ke-18, perbedaan antara kumpulan manusia menjadi bahan penyelidikan ilmiah. Namun klasifikasi ilmiah mengenai variasi fenotipe sering ditemani gagasan rasis mengenai kemampuan yang dianggap melekat pada bermacam kumpulan, yang selalu memberi ciri-ciri yang paling bagus untuk orang Eropa atau orang Kulit putih, dan memperingkatkan "ras" lain dalam suatu kontinuum ciri-ciri yang secara berangsur menjadi kurang bagus. Klasifikasi Carolus Linnaeus, pencipta taksonomi zoologis, tahun 1755 membagi ras manusia Homo Sapiens dalam varietas "Europaeus", "Asiaticus", "Americanus" dan "Afer", yang masing-masing dikaitkan dengan watak yang berbeda : "sanguine", "melancolis", "choleric" dan "bilious".[34] Homo Sapiens Europeaus diceritakan aktif, tajam pikiran dan petualang, sedangkan Homo Sapiens Afer diceritakan licik, pemalas dan sembrono.[35] Dalam bukunya berjudul The Natural Varieties of Mankind, Johann Friedrich Blumenbach yang diterbitkan tahun 1775 mengajukan lima kumpulan besar : "ras Kaukasoid", "ras Mongoloid", "ras Etiopia" (yang akhir dinamakan "ras Negroid"), "ras Indian" dan "ras Melayu", namun dia tak mengusulkan peringkatan apa pun antara para ras.[35] Blumenbach also noted the graded transition in appearances from one group to adjacent groups and suggested that "one variety of mankind does so sensibly pass into the other, that you cannot mark out the limits between them".[36] Dari masa seratus tahun ke-17 sampai 19, pelemburan keyakinan orang awam mengenai perbedan antar kumpulan, dengan penjelasan ilmiah mengenai perbedaan ini, menghasilkan apa yang oleh salah satu berbakat disebut "ideologi tentang ras".[27] Menurut ideologi ini, ras adalah mendasar, alami, lestari dan terpisah. It was further argued that some groups may be the result of mixture between formerly distinct populations, but that careful study could distinguish the ancestral races that had combined to produce admixed groups.[32] Subsequent influential classifications by Georges Buffon, Petrus Camper and Christoph Meiners all classified "Negros" as inferior to Europeans.[35] Di Amerika Serikat, teori ras Thomas Jefferson berpengaruh. Dia melihat orang Afrika lebih rendah dari pada orang Kulit putih, khususnya dari babak kecerdasan, dan memiliki nafsu seks yang kelebihan, tapi menganggap orang Indian setara dengan orang Kulit putih.[37] Di dua dasawarsa terakhir masa seratus tahun ke-18poligenisme, yaitu keyakinan bahwa "ras" yang berlainan sudah mengembang secara terpisah di setiap benua dan tak memiliki moyang yang sama,[38] diajukan di Inggris oleh sejarawan Edward Long dan anatomis Charles White, di Jerman oleh etnograf Christoph Meiners dan Georg Forster, di Prancis oleh Julien Virey dan di Amerika Serikat oleh Samuel Morton, Josiah Nott dan Louis Agassiz. Poligenisme popular dan paling menyebar di masa seratus tahun ke-19, dan memuncak dengan didirikannya Anthropological Society of London selama American civil war, bertentangan denga Ethnological Society of London yang anti-perbudakan.[39] Perdebatan kiniModel evolusi manusiaDalam suatu artikel pada tahun 1995, Leonard Lieberman dan Fatimah Jackson menyatakan bahwa dukungan baru mana pun untuk suatu paham biologis tentang "ras" probabilitas agung akan datang dari penelitian tentang evolusi manusia. Menurut mereka, pertanyaannya adalah mengenai dampak model evolusi manusia yang ada sekarang atas paham "ras" yang berlandaskan biologi.[40] Saat ini semua manusia diklasifikasi sebagai bagian dari spesies Homo sapiens dan subspesies Homo sapiens sapiens. Namun manusia bukan spesies homininae pertama. Spesies pertama dari genus Homo adalah Homo habilis, yang diperkirakan muncul di Afrika Timur paling sedikit 2 juta tahun lalu. Bagian dari spesies ini menghuni bermacam babak Afrika dalam waktu yang kira-kira singkat. Homo erectus diteorikan mengembang lebih dari 1,8 juta tahun silam, dan sekitar 1,5 juta tahun silam bersebar di Eropa dan Asia. Hampir semua antropolog fisik setuju bahwa Homo sapiens mengembang dari Homo erectus Afrika ((sensu lato) atauHomo ergaster).[41][42] Kebanyakan antropolog berpikir bahwa Homo sapiens mengembang di Afrika Timur, dan akhir bermigrasi keluar dari Afrika, menggantikan populasi H. erectus di Eropa dan Asia (model "asal-usul manusia modern dari Afrika). Recent Human evolutionary genetics ( Jobling, Hurles and Tyler-Smith, 2004) support this “Out of Africa” model, however the recent sequencing of the Neanderthal and Denisovan genomes shows some admixture [43]. These results also show that 40.000 years ago there co-existed at least three major sub-species that may be considered as“races” (or not, see discussion below): Denisovans, Neanderthals and Cro-magnons. Today, there's only one human species with no sub-species. Lieberman and Jackson argued that while advocates of both the Multiregional Model and the Out of Africa Model use the word race and make racial assumptions, none define the term.[40] They conclude that students of human evolution would be better off avoiding the word race, and instead describe genetic differences in terms of populations and clinal gradations.[40] Ringkasan bermacam ciri utama biologis untuk "ras"
"Ras" sebagai konstruksi sosialPara antropolog dan ilmuwan evolusi lain sudah berpindah dari istialh "ras" ke istilah "populasi" untuk membahas perbedaan genetika. Para sejarawan, antropolog kebudayaan dan ilmuwan sosial memahamkan kembali istilah "ras" sebagai kategori kebudayaan atau konstruksi sosial, suatu cara tertentu orang cakap tentang mereka sendiri dan tentang orang lain. Banyak ilmuwan sosial sudah menggantikan istilah "ras" dengan kata "kumpulan etnik" untuk menunjuk kumpulan yang mengidentifikasi diri sendiri berlandaskan kepercayan mereka mengenai kebudayaan, asal-usul dan sejarah bersama. Selain masalah empiris dan konseptual yang dibawa paham "ras," setelah Perang Dunia Kedua, para ilmuwan di babak evolusi dan sosial sangat menyadari betapa keyakinan mengenai "ras" diperalat untuk membenarkan dissriminasi, apartheid, perbudakan dan genosid. Pertanyaan ini lebih ramai pada tahun 1960-an dengan gerakan hak sipil di Amerika Serikat dan munculnya banyak gerakan anti-kolonial di seluruh dunia. Para ilmuwan yang belakang sekalinya mulai berpikir bahwa "ras" adalah suatu konstruksi sosial, suatu paham yang orang percaya adalah suatu kenyataan obyectif tapi sebetulnya mendapat keyakinan karena fungsi sosialnya.[44] Tahun 2000, Craig Venter dan Francis Collins dari National Institute of Health (lembaga kesehatan nasional) fi Amerika Serikat mengumumkan bersama suatu pemetaan dari genom manusia. Setelah meneliti data dari pemetaan genom tersebut, Venter melihat bahwa walau besaran variasi genetik dalam spesies manusia adalah sekitar 1–3% (yaitu lebih dari 1% yang diperkirakan semula), tipe variasi tersebut tak mendukung paham "ras" dalam guna genetik. Venter mengatakan bahwa "Ras adalah suatu konsep sosial. Buka konsep ilmiah. Tak ada garis yang jelas (yang akan muncul), sekiranya kita membandingkan semua genom bersekuensi dari semua orang di atas planet ini." "Bila kita coba menerapkan ilmu untuk mencoba menyusun perbedaan sosial tersebut, runtuh semuanya."[45] Stephan Palmié menegaskan bahwa "ras" "bukan suatu benda tapi suatu hubungan sosial";[46] atau, dengan kataKatya Gibel Mevorach, "suatu metonim," "suatu karangan manusia yang kriteria pembedaannya tak universal dan tak tetap, tapi selalu digunakan untuk mengatur perbedaan."[47] Dengan demikian, penggunaan kata "ras" sendiri perlu dianalisa. Lebih dari itu, Palmié dan Mevorach mengatakan bahwa biologi tak akan dapat menjelaskan mengapa atau bagaimana orang memakai paham "ras". Yang akan menjelaskannyua adalah sejarah dan tatanan sosial. Imani Perry, a professor in the Center for African American Studies at Princeton University, has made significant contributions to how we define race in America today. Perry’s work focuses on how race is experienced. Perry tells us that race, “is produced by social arrangements and political decision making.” [48] Perry explains race more in stating, “race is something that happens, rather than something that is. It is dynamic, but it holds no objective truth.”[49] Catatan
Lihat pulaPerpustakaan
Tautan luar
edunitas.com Page 10Ras (dari bahasa Prancis race, yang sendirinya dari bahasa Latin radix, "akar") adalah suatu sistem klasifikasi yang digunakan untuk mengkategorikan manusia dalam populasi atau kumpulan agung dan berlainan menempuh ciri fenotipe, asal-usul geografis, tampang jasmani dan kesukuan yang terwarisi. Di awal masa seratus tahun ke-20 istilah ini sering digunakan dalam guna biologis untuk menunjuk populasi manusia yang beraneka ragam dari babak genetik dengan bagian yang memiliki fenotipe (tampang luar) yang sama.[1] Guna "ras" ini sedang digunakan dalam antropologi forensik (dalam menganalisa sisa tulang), penelitian biomedis dan kedokteran berlandaskan asal-usul.[2] Di samping itu, di Amerika Serikat misalnya, penegak hukum memakai istilah "ras" dalam menentukan profil tersangka dan penggambaran kembali tampang sisa yang belum diidentifikasi. Selain itu, karena di banyak warga, pengelompokan berlandaskan "ras" mengikuti pola pelapisan sosial, untuk ilmuwan sosial yang meneliti kesenjangan sosial, "ras" dapat menjadi variabel yang berfaedah. Sebagai faktor sosiologis, kategori "ras" dapat secara terbatas mencerminkan penjelasan yang subyektif, mengenai jati diri dan lembaga sosial.[3][4] Oleh karena itu, paradigma "ras" yang digunakan dalam bermacam disiplin menekan dengan cara yang beraneka pada sifat biologis atau pada babak konstruk sosial. Walau para biologis kadang-kadang memakai paham "ras" untuk membuat pembedaan antara himpunan ciri-ciri yang rancu, ilmuwan lain mengajukan wawasan bahwa paham "ras" sering digunakan[5] secara naif[6] atau terlalu sederhana. "Ras" tak memiliki guna taksonomis untuk manusia : semua manusia adalah bagian dari subspesies hominid yang sama yaitu Homo sapiens sapiens.[7][8] Paham sosial dan pengelompokan ras berganti dengan waktu, termasuk taksonomi awam [9] yang menentukan tipe orang yang bersifat esensialisme berlandaskan ciri-ciri yang terlihat. Para ilmuwan menganggap esensialisme biologis sudah ketinggalan jaman,[10] dan pada umumnya tak mendukung penjelasan berlandaskan ras untuk pembedaan kumpulan, patut dari babak ciri-ciri jasamni maupun afal.[6][11] Saat orang menentukan dan memakai satu paham tertentu untuk "ras", mereka menciptakan suatu kenyataan sosial di mana diterapkan suatu kategorisasi sosial tertentu.[12] Oleh karena itu "ras" dipandang sebagai konstruk sosial.[13] Konstruk tersebut mengembang dalam bermacam konteks hukum, ekonomi dan sosio-politik, dan boleh jadi lebih merupakan dampak daripada karena dari kenyataan sosial.[14] Walau banyak ilmuwan berpandangan bahwa "ras" adalah suatu konstruk sosial, kebanyakan berbakat setuju bahwa "ras" memiliki dampak material yang nyata dalam diskriminasi perhunian, proses hukum, praktek politik, pendidikan dan lain-lain. Teori Omi dan Winant mengenai pembentukan ras mengatakan bahwa "ras adalah suatu konsep yang mengartika dan melambangkan pertentangan dan kebutuhan sosial menempuh pengacuan pada tipe jasmani manusia yang berlainan.”[15] Guna dan maksud dari istilah "ras" dihasilkan dan digunakan oleh lembaga sosial menempuh pandangan bersifat kebudayaan. Semenjak Omi dan Winant, para akademisi sudah menyusun dan meninjau kembali maksud "ras" sebagai konstruksi sosial dengan meneliti cara cerminan, paham dan asumsio mengenai "ras" dirumuskan dalam kehidupan sehari-hari. Angela Davis,[16] Ruth Gilmore,[17] dan Imani Perry[18] sudah menelusuri hubungan antara paham "ras" dari babak sejarah dan sosial production dalam bahasa hukum dan pidana, dan akhir suatu peristiwanya atas kebijakan terhadap orang Hitam di Amerika, dan jumlah mereka dalam penjara yang sudah tak proporsional lagi. Faktor sosio dan ekonomi, in combination with early but enduring views of race, berakibatkan penderitaan yang sangat agung di dalam kumpulan yang terlantar.[19] Diskriminasi rasial sering bertepatan dengan pola pikir yang rasis , di mana para individu dan ideologi satu kumpulan melihat bagian dari kumpulan lain sebagai suatu "ras" tertentu yang lebih rendah secara moral.[20] Alhasil, kumpulan yang tak banyak berkuasa sering terasing atau tertindas, sedangkan individu dan lembaga yang dominan dituduh bersikap rasis.[21] Rasism berakibatkan banyak contoh tragedi, termasuk perbudakan dan genosid.[22] Scholars continue to debate the degrees to which racial categories are biologically warranted and socially constructed, as well as the extent to which the realities of race must be acknowledged in order for society to comprehend and address racism adequately.[23] Paham modern pertama tentang "ras"Boleh jadi kumpulan manusia dari dahulu selalu menentukan diri sendiri sebagai berlainan dari kumpulan lain. Namun, perbedaan tersebut belum tentu selalu dipandang sebagai sesuatu yang alami, tak terubahkan dan menyeluruh. Pandang seperti ini merupakan ciri-ciri khas paham "ras" yang digunakan di masa kini.[24] Pada awalnya, kata "ras" dipakai untuk menunjuk suatu bangsa atau kumpulan etnis. Marco Polo misalnya, dalam bukunya yang ditulis di masa seratus tahun ke-13, menguraikan "ras Persia".[25] Paham "ras" masa kini baru muncul di masa seratus tahun ke-17.[26] Paham Eropa tentang "ras", sejalan dengan sejumlah paham yang sekarang dikaitkan dengan istilah tersebut, muncul pada saat revolusi ilmiah, di mana penelitian dunia dimulai dan diutamakan, dan masa imperialisme dan kolonialisme Eropa yang menciptakan hubungan politik antara orang Eropa dan bangsa yang memiliki tradisi kebudayaan dan politik yang berlainan.[24][27] Dengan berjumpanya orang Europa dengan bangsa dari bermacam babak dunia, mereka membahas perbedaan jasmani, sosial dan kebudayaan di antara bermacam kumpulan manusia. Munculnya perniagaan budak di Atlantik, yang secara berangsur menggantikan perniagaan budak yang lebih lama di seluruh dunia, makin mendorong untuk mengkategorikan kumpulan manusia demi membenarkan ditundukkannya budak asal Afrika.[28] Dengan mengacu untuk sumber Klasik mereka dan hubungan antar bangsa Eropa sendiri — misalnya, permusuhan bebuyutan antara Inggris dan Prancis sangat berpengaruh atas pemikiran Eropa awal mengenai perbedaan antar bangsa[29] — orang Eropa mulai mengotakkan mereka sendiri dan bangsa lain dalam kumpulan berlandaskan tampang jasmani, dan melekatkan pada individu dalam kumpulan tersebut, perilaku dan kemampuan yang dianggap mengakar banyak-banyak. Berkembanlah sejumlah keyakinan yang mengaitkan perbedaan jasmani antar kumpulan yang terwarisi, dengan sifat intellektual, perilaku dan moral yang juga dikira terwarisi.[30] Paham serupa ditemukan pada kebudayaan lain,[31] misalnya di Tiongkok, di mana suatu konsep yang diartikan dengan istilah "ras" dikaitkan dengan yang dipercayai adalah keturunan bersama dari Kaisar Kuning, dan digunakan untuk menegaskan kesatuan para kumpulan etnis di Tiongkok China. Pertikaian penuh kekerasan antar kumpulan etnis sempat terjadi di sepanjang sejarah dan di seluruh dunia.[32] Klasifikasi pasca-klasik yang pertama manusia dalam "ras" dikenal adalah Nouvelle division de la terre par les différents espèces ou races qui l'habitent ("Pembagian baru Bumi oleh spesies atau ras yang menghuninya") oleh François Bernier dari Prancis, yang diterbitkan tahun 1684.[33] Di masa seratus tahun ke-18, perbedaan antara kumpulan manusia menjadi bahan penyelidikan ilmiah. Namun klasifikasi ilmiah mengenai variasi fenotipe sering ditemani gagasan rasis mengenai kemampuan yang dianggap melekat pada bermacam kumpulan, yang selalu memberi ciri-ciri yang paling bagus untuk orang Eropa atau orang Kulit putih, dan memperingkatkan "ras" lain dalam suatu kontinuum ciri-ciri yang secara berangsur menjadi kurang bagus. Klasifikasi Carolus Linnaeus, pencipta taksonomi zoologis, tahun 1755 membagi ras manusia Homo Sapiens dalam varietas "Europaeus", "Asiaticus", "Americanus" dan "Afer", yang masing-masing dikaitkan dengan watak yang berbeda : "sanguine", "melancolis", "choleric" dan "bilious".[34] Homo Sapiens Europeaus diceritakan aktif, tajam pikiran dan petualang, sedangkan Homo Sapiens Afer diceritakan licik, pemalas dan sembrono.[35] Dalam bukunya berjudul The Natural Varieties of Mankind, Johann Friedrich Blumenbach yang diterbitkan tahun 1775 mengajukan lima kumpulan besar : "ras Kaukasoid", "ras Mongoloid", "ras Etiopia" (yang akhir dinamakan "ras Negroid"), "ras Indian" dan "ras Melayu", namun dia tak mengusulkan peringkatan apa pun antara para ras.[35] Blumenbach also noted the graded transition in appearances from one group to adjacent groups and suggested that "one variety of mankind does so sensibly pass into the other, that you cannot mark out the limits between them".[36] Dari masa seratus tahun ke-17 sampai 19, pelemburan keyakinan orang awam mengenai perbedan antar kumpulan, dengan penjelasan ilmiah mengenai perbedaan ini, menghasilkan apa yang oleh salah satu berbakat disebut "ideologi tentang ras".[27] Menurut ideologi ini, ras adalah mendasar, alami, lestari dan terpisah. It was further argued that some groups may be the result of mixture between formerly distinct populations, but that careful study could distinguish the ancestral races that had combined to produce admixed groups.[32] Subsequent influential classifications by Georges Buffon, Petrus Camper and Christoph Meiners all classified "Negros" as inferior to Europeans.[35] Di Amerika Serikat, teori ras Thomas Jefferson berpengaruh. Dia melihat orang Afrika lebih rendah dari pada orang Kulit putih, khususnya dari babak kecerdasan, dan memiliki nafsu seks yang kelebihan, tapi menganggap orang Indian setara dengan orang Kulit putih.[37] Di dua dasawarsa terakhir masa seratus tahun ke-18poligenisme, yaitu keyakinan bahwa "ras" yang berlainan sudah mengembang secara terpisah di setiap benua dan tak memiliki moyang yang sama,[38] diajukan di Inggris oleh sejarawan Edward Long dan anatomis Charles White, di Jerman oleh etnograf Christoph Meiners dan Georg Forster, di Prancis oleh Julien Virey dan di Amerika Serikat oleh Samuel Morton, Josiah Nott dan Louis Agassiz. Poligenisme popular dan paling menyebar di masa seratus tahun ke-19, dan memuncak dengan didirikannya Anthropological Society of London selama American civil war, bertentangan denga Ethnological Society of London yang anti-perbudakan.[39] Perdebatan kiniModel evolusi manusiaDalam suatu artikel pada tahun 1995, Leonard Lieberman dan Fatimah Jackson menyatakan bahwa dukungan baru mana pun untuk suatu paham biologis tentang "ras" probabilitas agung akan datang dari penelitian tentang evolusi manusia. Menurut mereka, pertanyaannya adalah mengenai dampak model evolusi manusia yang ada sekarang atas paham "ras" yang berlandaskan biologi.[40] Saat ini semua manusia diklasifikasi sebagai bagian dari spesies Homo sapiens dan subspesies Homo sapiens sapiens. Namun manusia bukan spesies homininae pertama. Spesies pertama dari genus Homo adalah Homo habilis, yang diperkirakan muncul di Afrika Timur paling sedikit 2 juta tahun lalu. Bagian dari spesies ini menghuni bermacam babak Afrika dalam waktu yang kira-kira singkat. Homo erectus diteorikan mengembang lebih dari 1,8 juta tahun silam, dan sekitar 1,5 juta tahun silam bersebar di Eropa dan Asia. Hampir semua antropolog fisik setuju bahwa Homo sapiens mengembang dari Homo erectus Afrika ((sensu lato) atauHomo ergaster).[41][42] Kebanyakan antropolog berpikir bahwa Homo sapiens mengembang di Afrika Timur, dan akhir bermigrasi keluar dari Afrika, menggantikan populasi H. erectus di Eropa dan Asia (model "asal-usul manusia modern dari Afrika). Recent Human evolutionary genetics ( Jobling, Hurles and Tyler-Smith, 2004) support this “Out of Africa” model, however the recent sequencing of the Neanderthal and Denisovan genomes shows some admixture [43]. These results also show that 40.000 years ago there co-existed at least three major sub-species that may be considered as“races” (or not, see discussion below): Denisovans, Neanderthals and Cro-magnons. Today, there's only one human species with no sub-species. Lieberman and Jackson argued that while advocates of both the Multiregional Model and the Out of Africa Model use the word race and make racial assumptions, none define the term.[40] They conclude that students of human evolution would be better off avoiding the word race, and instead describe genetic differences in terms of populations and clinal gradations.[40] Ringkasan bermacam ciri utama biologis untuk "ras"
"Ras" sebagai konstruksi sosialPara antropolog dan ilmuwan evolusi lain sudah berpindah dari istialh "ras" ke istilah "populasi" untuk membahas perbedaan genetika. Para sejarawan, antropolog kebudayaan dan ilmuwan sosial memahamkan kembali istilah "ras" sebagai kategori kebudayaan atau konstruksi sosial, suatu cara tertentu orang cakap tentang mereka sendiri dan tentang orang lain. Banyak ilmuwan sosial sudah menggantikan istilah "ras" dengan kata "kumpulan etnik" untuk menunjuk kumpulan yang mengidentifikasi diri sendiri berlandaskan kepercayan mereka mengenai kebudayaan, asal-usul dan sejarah bersama. Selain masalah empiris dan konseptual yang dibawa paham "ras," setelah Perang Dunia Kedua, para ilmuwan di babak evolusi dan sosial sangat menyadari betapa keyakinan mengenai "ras" diperalat untuk membenarkan dissriminasi, apartheid, perbudakan dan genosid. Pertanyaan ini lebih ramai pada tahun 1960-an dengan gerakan hak sipil di Amerika Serikat dan munculnya banyak gerakan anti-kolonial di seluruh dunia. Para ilmuwan yang belakang sekalinya mulai berpikir bahwa "ras" adalah suatu konstruksi sosial, suatu paham yang orang percaya adalah suatu kenyataan obyectif tapi sebetulnya mendapat keyakinan karena fungsi sosialnya.[44] Tahun 2000, Craig Venter dan Francis Collins dari National Institute of Health (lembaga kesehatan nasional) fi Amerika Serikat mengumumkan bersama suatu pemetaan dari genom manusia. Setelah meneliti data dari pemetaan genom tersebut, Venter melihat bahwa walau besaran variasi genetik dalam spesies manusia adalah sekitar 1–3% (yaitu lebih dari 1% yang diperkirakan semula), tipe variasi tersebut tak mendukung paham "ras" dalam guna genetik. Venter mengatakan bahwa "Ras adalah suatu konsep sosial. Buka konsep ilmiah. Tak ada garis yang jelas (yang akan muncul), sekiranya kita membandingkan semua genom bersekuensi dari semua orang di atas planet ini." "Bila kita coba menerapkan ilmu untuk mencoba menyusun perbedaan sosial tersebut, runtuh semuanya."[45] Stephan Palmié menegaskan bahwa "ras" "bukan suatu benda tapi suatu hubungan sosial";[46] atau, dengan kataKatya Gibel Mevorach, "suatu metonim," "suatu karangan manusia yang kriteria pembedaannya tak universal dan tak tetap, tapi selalu digunakan untuk mengatur perbedaan."[47] Dengan demikian, penggunaan kata "ras" sendiri perlu dianalisa. Lebih dari itu, Palmié dan Mevorach mengatakan bahwa biologi tak akan dapat menjelaskan mengapa atau bagaimana orang memakai paham "ras". Yang akan menjelaskannyua adalah sejarah dan tatanan sosial. Imani Perry, a professor in the Center for African American Studies at Princeton University, has made significant contributions to how we define race in America today. Perry’s work focuses on how race is experienced. Perry tells us that race, “is produced by social arrangements and political decision making.” [48] Perry explains race more in stating, “race is something that happens, rather than something that is. It is dynamic, but it holds no objective truth.”[49] Catatan
Lihat pulaPerpustakaan
Tautan luar
edunitas.com Page 11Ras (dari bahasa Prancis race, yang sendirinya dari bahasa Latin radix, "akar") adalah suatu sistem klasifikasi yang dipergunakan untuk mengkategorikan manusia dalam populasi atau kumpulan agung dan berlainan menempuh ciri fenotipe, asal-usul geografis, tampang jasmani dan kesukuan yang terwarisi. Di awal masa seratus tahun ke-20 istilah ini sering dipergunakan dalam guna biologis untuk menunjuk populasi manusia yang beraneka ragam dari babak genetik dengan bagian yang ada fenotipe (tampang luar) yang sama.[1] Guna "ras" ini sedang dipergunakan dalam antropologi forensik (dalam menganalisa sisa tulang), penelitian biomedis dan kedokteran berlandaskan asal-usul.[2] Di samping itu, di Amerika Serikat misalnya, penegak hukum memakai istilah "ras" dalam menentukan profil tersangka dan penggambaran kembali tampang sisa yang belum diidentifikasi. Selain itu, karena di banyak warga, pengelompokan berlandaskan "ras" mengikuti pola pelapisan sosial, untuk ilmuwan sosial yang meneliti kesenjangan sosial, "ras" dapat menjadi variabel yang berfaedah. Sebagai faktor sosiologis, kategori "ras" dapat secara terbatas mencerminkan penjelasan yang subyektif, tentang jati diri dan lembaga sosial.[3][4] Oleh karenanya, paradigma "ras" yang dipergunakan dalam bermacam disiplin menekan dengan cara yang beraneka pada sifat biologis atau pada babak konstruk sosial. Walau para biologis kadang-kadang memakai paham "ras" untuk membuat pembedaan antara himpunan ciri-ciri yang rancu, ilmuwan lain mengajukan wawasan bahwa paham "ras" sering dipergunakan[5] secara naif[6] atau terlalu sederhana. "Ras" tak ada guna taksonomis untuk manusia : seluruh manusia adalah bagian dari subspesies hominid yang sama yaitu Homo sapiens sapiens.[7][8] Paham sosial dan pengelompokan ras berganti dengan saat, termasuk taksonomi awam [9] yang menentukan tipe orang yang bersifat esensialisme berlandaskan ciri-ciri yang terlihat. Para ilmuwan menganggap esensialisme biologis sudah ketinggalan jaman,[10] dan biasanya tak mendukung penjelasan berlandaskan ras untuk pembedaan kumpulan, patut dari babak ciri-ciri jasamni maupun afal.[6][11] Masa orang menentukan dan memakai satu paham tertentu untuk "ras", mereka menciptakan suatu kenyataan sosial di mana dilaksanakan suatu kategorisasi sosial tertentu.[12] Oleh karenanya "ras" dipandang sebagai konstruk sosial.[13] Konstruk tersebut mengembang dalam bermacam konteks hukum, ekonomi dan sosio-politik, dan boleh jadi lebih adalah dampak daripada karena dari kenyataan sosial.[14] Walau banyak ilmuwan berpandangan bahwa "ras" adalah suatu konstruk sosial, kebanyakan berbakat setuju bahwa "ras" ada dampak material yang nyata dalam diskriminasi perhunian, proses hukum, praktek politik, pendidikan dan lain-lain. Teori Omi dan Winant tentang pembentukan ras menyebut bahwa "ras adalah suatu konsep yang mengartika dan melambangkan pertentangan dan kebutuhan sosial menempuh pengacuan pada tipe jasmani manusia yang berlainan.”[15] Guna dan maksud dari istilah "ras" dihasilkan dan dipergunakan oleh lembaga sosial menempuh pandangan bersifat kebudayaan. Semenjak Omi dan Winant, para akademisi sudah menyusun dan meninjau kembali maksud "ras" sebagai konstruksi sosial dengan meneliti cara cerminan, paham dan asumsio tentang "ras" dirumuskan dalam kehidupan sehari-hari. Angela Davis,[16] Ruth Gilmore,[17] dan Imani Perry[18] sudah menelusuri hubungan antara paham "ras" dari babak sejarah dan sosial production dalam bahasa hukum dan pidana, dan akhir suatu peristiwanya atas kebijakan terhadap orang Hitam di Amerika, dan jumlah mereka dalam penjara yang sudah tak proporsional lagi. Faktor sosio dan ekonomi, in combination with early but enduring views of race, berakibatkan penderitaan yang sangat agung di dalam kumpulan yang terlantar.[19] Diskriminasi rasial sering bertepatan dengan pola pikir yang rasis , di mana para individu dan ideologi satu kumpulan melihat bagian dari kumpulan lain sebagai suatu "ras" tertentu yang lebih rendah secara moral.[20] Alhasil, kumpulan yang tak banyak berkuasa sering terasing atau tertindas, sedangkan individu dan lembaga yang dominan dituduh bersikap rasis.[21] Rasism berakibatkan banyak contoh tragedi, termasuk perbudakan dan genosid.[22] Scholars continue to debate the degrees to which racial categories are biologically warranted and socially constructed, as well as the extent to which the realities of race must be acknowledged in order for society to comprehend and address racism adequately.[23] Paham modern pertama tentang "ras"Boleh jadi kumpulan manusia dari dahulu selalu menentukan diri sendiri sebagai berlainan dari kumpulan lain. Namun, perbedaan tersebut belum tentu selalu dipandang sebagai sesuatu yang alami, tak terubahkan dan menyeluruh. Pandang seperti ini adalah ciri-ciri khas paham "ras" yang dipergunakan di masa kini.[24] Pada awalnya, kata "ras" dipakai untuk menunjuk suatu bangsa atau kumpulan etnis. Marco Polo misalnya, dalam bukunya yang ditulis di masa seratus tahun ke-13, menguraikan "ras Persia".[25] Paham "ras" masa kini baru muncul di masa seratus tahun ke-17.[26] Paham Eropa tentang "ras", sejalan dengan sebanyak paham yang sekarang dikaitkan dengan istilah tersebut, muncul pada masa revolusi ilmiah, di mana penelitian dunia dimulai dan diutamakan, dan masa imperialisme dan kolonialisme Eropa yang menciptakan hubungan politik antara orang Eropa dan bangsa yang ada tradisi kebudayaan dan politik yang berlainan.[24][27] Dengan berjumpanya orang Europa dengan bangsa dari bermacam babak dunia, mereka membahas perbedaan jasmani, sosial dan kebudayaan di antara bermacam kumpulan manusia. Munculnya perniagaan budak di Atlantik, yang secara berangsur menggantikan perniagaan budak yang lebih lama di seluruh dunia, makin mendorong untuk mengkategorikan kumpulan manusia demi membenarkan ditundukkannya budak asal Afrika.[28] Dengan mengacu untuk sumber Klasik mereka dan hubungan antar bangsa Eropa sendiri — misalnya, permusuhan bebuyutan antara Inggris dan Prancis sangat berpengaruh atas pemikiran Eropa awal tentang perbedaan antar bangsa[29] — orang Eropa mulai mengotakkan mereka sendiri dan bangsa lain dalam kumpulan berlandaskan tampang jasmani, dan melekatkan pada individu dalam kumpulan tersebut, perilaku dan kemampuan yang dianggap mengakar banyak-banyak. Berkembanlah sebanyak keyakinan yang mengaitkan perbedaan jasmani antar kumpulan yang terwarisi, dengan sifat intellektual, perilaku dan moral yang juga dikira terwarisi.[30] Paham serupa ditemukan pada kebudayaan lain,[31] misalnya di Tiongkok, di mana suatu konsep yang diartikan dengan istilah "ras" dikaitkan dengan yang dipercayai adalah keturunan bersama dari Kaisar Kuning, dan dipergunakan untuk menegaskan kesatuan para kumpulan etnis di Tiongkok China. Pertikaian penuh kekerasan antar kumpulan etnis sempat terjadi di sepanjang sejarah dan di seluruh dunia.[32] Klasifikasi pasca-klasik yang pertama manusia dalam "ras" dikenal adalah Nouvelle division de la terre par les différents espèces ou races qui l'habitent ("Pembagian baru Bumi oleh spesies atau ras yang menghuninya") oleh François Bernier dari Prancis, yang diterbitkan tahun 1684.[33] Di masa seratus tahun ke-18, perbedaan antara kumpulan manusia menjadi bahan penyelidikan ilmiah. Namun klasifikasi ilmiah tentang variasi fenotipe sering ditemani gagasan rasis tentang kemampuan yang dianggap melekat pada bermacam kumpulan, yang selalu memberi ciri-ciri yang paling bagus untuk orang Eropa atau orang Kulit putih, dan memperingkatkan "ras" lain dalam suatu kontinuum ciri-ciri yang secara berangsur menjadi kurang bagus. Klasifikasi Carolus Linnaeus, pencipta taksonomi zoologis, tahun 1755 membagi ras manusia Homo Sapiens dalam varietas "Europaeus", "Asiaticus", "Americanus" dan "Afer", yang masing-masing dikaitkan dengan watak yang berbeda : "sanguine", "melancolis", "choleric" dan "bilious".[34] Homo Sapiens Europeaus diceritakan aktif, tajam pikiran dan petualang, sedangkan Homo Sapiens Afer diceritakan licik, pemalas dan sembrono.[35] Dalam bukunya berjudul The Natural Varieties of Mankind, Johann Friedrich Blumenbach yang diterbitkan tahun 1775 mengajukan lima kumpulan besar : "ras Kaukasoid", "ras Mongoloid", "ras Etiopia" (yang akhir dinamakan "ras Negroid"), "ras Indian" dan "ras Melayu", namun dia tak mengusulkan peringkatan apa pun antara para ras.[35] Blumenbach also noted the graded transition in appearances from one group to adjacent groups and suggested that "one variety of mankind does so sensibly pass into the other, that you cannot mark out the limits between them".[36] Dari masa seratus tahun ke-17 sampai 19, pelemburan keyakinan orang awam tentang perbedan antar kumpulan, dengan penjelasan ilmiah tentang perbedaan ini, menghasilkan apa yang oleh salah satu berbakat dinamakan "ideologi tentang ras".[27] Menurut ideologi ini, ras adalah mendasar, alami, lestari dan terpisah. It was further argued that some groups may be the result of mixture between formerly distinct populations, but that careful study could distinguish the ancestral races that had combined to produce admixed groups.[32] Subsequent influential classifications by Georges Buffon, Petrus Camper and Christoph Meiners all classified "Negros" as inferior to Europeans.[35] Di Amerika Serikat, teori ras Thomas Jefferson berpengaruh. Dia melihat orang Afrika lebih rendah dari pada orang Kulit putih, khususnya dari babak kecerdasan, dan ada nafsu seks yang kelebihan, tapi menganggap orang Indian setara dengan orang Kulit putih.[37] Di dua dasawarsa terakhir masa seratus tahun ke-18poligenisme, yaitu keyakinan bahwa "ras" yang berlainan sudah mengembang secara terpisah di setiap benua dan tak ada moyang yang sama,[38] diajukan di Inggris oleh sejarawan Edward Long dan anatomis Charles White, di Jerman oleh etnograf Christoph Meiners dan Georg Forster, di Prancis oleh Julien Virey dan di Amerika Serikat oleh Samuel Morton, Josiah Nott dan Louis Agassiz. Poligenisme popular dan paling menyebar di masa seratus tahun ke-19, dan memuncak dengan didirikannya Anthropological Society of London selama American civil war, bertentangan denga Ethnological Society of London yang anti-perbudakan.[39] Perdebatan kiniModel evolusi manusiaDalam suatu artikel pada tahun 1995, Leonard Lieberman dan Fatimah Jackson menyatakan bahwa dukungan baru mana pun untuk suatu paham biologis tentang "ras" probabilitas agung akan datang dari penelitian tentang evolusi manusia. Menurut mereka, pertanyaannya adalah tentang dampak model evolusi manusia yang ada sekarang atas paham "ras" yang berlandaskan biologi.[40] Masa ini seluruh manusia diklasifikasi sebagai bagian dari spesies Homo sapiens dan subspesies Homo sapiens sapiens. Namun manusia bukan spesies homininae pertama. Spesies pertama dari genus Homo adalah Homo habilis, yang diperkirakan muncul di Afrika Timur paling sedikit 2 juta tahun lalu. Bagian dari spesies ini menghuni bermacam babak Afrika dalam saat yang kira-kira singkat. Homo erectus diteorikan mengembang lebih dari 1,8 juta tahun silam, dan sekitar 1,5 juta tahun silam bersebar di Eropa dan Asia. Hampir seluruh antropolog fisik setuju bahwa Homo sapiens mengembang dari Homo erectus Afrika ((sensu lato) atauHomo ergaster).[41][42] Kebanyakan antropolog berpikir bahwa Homo sapiens mengembang di Afrika Timur, dan akhir bermigrasi keluar dari Afrika, menggantikan populasi H. erectus di Eropa dan Asia (model "asal-usul manusia modern dari Afrika). Recent Human evolutionary genetics ( Jobling, Hurles and Tyler-Smith, 2004) support this “Out of Africa” model, however the recent sequencing of the Neanderthal and Denisovan genomes shows some admixture [43]. These results also show that 40.000 years ago there co-existed at least three major sub-species that may be considered as“races” (or not, see discussion below): Denisovans, Neanderthals and Cro-magnons. Today, there's only one human species with no sub-species. Lieberman and Jackson argued that while advocates of both the Multiregional Model and the Out of Africa Model use the word race and make racial assumptions, none define the term.[40] They conclude that students of human evolution would be better off avoiding the word race, and instead describe genetic differences in terms of populations and clinal gradations.[40] Ringkasan bermacam ciri utama biologis untuk "ras"
"Ras" sebagai konstruksi sosialPara antropolog dan ilmuwan evolusi lain sudah berganti dari istialh "ras" ke istilah "populasi" untuk membahas perbedaan genetika. Para sejarawan, antropolog kebudayaan dan ilmuwan sosial memahamkan kembali istilah "ras" sebagai kategori kebudayaan atau konstruksi sosial, suatu cara tertentu orang cakap tentang mereka sendiri dan tentang orang lain. Banyak ilmuwan sosial sudah menggantikan istilah "ras" dengan kata "kumpulan etnik" untuk menunjuk kumpulan yang mengidentifikasi diri sendiri berlandaskan kepercayan mereka tentang kebudayaan, asal-usul dan sejarah bersama. Selain masalah empiris dan konseptual yang dibawa paham "ras," sesudah Perang Dunia Kedua, para ilmuwan di babak evolusi dan sosial sangat menyadari betapa keyakinan tentang "ras" diperalat untuk membenarkan dissriminasi, apartheid, perbudakan dan genosid. Pertanyaan ini lebih ramai pada tahun 1960-an dengan gerakan hak sipil di Amerika Serikat dan munculnya banyak gerakan anti-kolonial di seluruh dunia. Para ilmuwan yang belakang sekalinya mulai berpikir bahwa "ras" adalah suatu konstruksi sosial, suatu paham yang orang percaya adalah suatu kenyataan obyectif tapi sebetulnya mendapat keyakinan karena fungsi sosialnya.[44] Tahun 2000, Craig Venter dan Francis Collins dari National Institute of Health (lembaga kesehatan nasional) fi Amerika Serikat mengumumkan bersama suatu pemetaan dari genom manusia. Sesudah meneliti data dari pemetaan genom tersebut, Venter melihat bahwa walau besaran variasi genetik dalam spesies manusia adalah sekitar 1–3% (yaitu lebih dari 1% yang diperkirakan semula), tipe variasi tersebut tak mendukung paham "ras" dalam guna genetik. Venter menyebut bahwa "Ras adalah suatu konsep sosial. Buka konsep ilmiah. Tak ada garis yang jelas (yang akan muncul), sekiranya kita membandingkan seluruh genom bersekuensi dari seluruh orang di atas planet ini." "Bila kita coba melakukan ilmu untuk mencoba menyusun perbedaan sosial tersebut, runtuh seluruhnya."[45] Stephan Palmié menegaskan bahwa "ras" "bukan suatu benda tapi suatu hubungan sosial";[46] atau, dengan kataKatya Gibel Mevorach, "suatu metonim," "suatu karangan manusia yang kriteria pembedaannya tak universal dan tak tetap, tapi selalu dipergunakan untuk mengatur perbedaan."[47] Dengan demikian, penggunaan kata "ras" sendiri perlu dianalisa. Lebih dari itu, Palmié dan Mevorach menyebut bahwa biologi tak akan dapat menjelaskan mengapa atau bagaimana orang memakai paham "ras". Yang akan menjelaskannyua adalah sejarah dan tatanan sosial. Imani Perry, a professor in the Center for African American Studies at Princeton University, has made significant contributions to how we define race in America today. Perry’s work focuses on how race is experienced. Perry tells us that race, “is produced by social arrangements and political decision making.” [48] Perry explains race more in stating, “race is something that happens, rather than something that is. It is dynamic, but it holds no objective truth.”[49] Catatan
Lihat pulaPerpustakaan
Pranala luar
edunitas.com Page 12Tags (tagged): 3 Title of articles, 3 April, 3 Juno, 3 Letters of John, 3 November, 300, 3000 BC, 303, 30s, 325, 33, 340s, 341, 37, 380's, 381, 387, 3rd century BC, 3rd Millennium, 3rd millennium BC, 3x3 Eyes Page 13Tags (tagged): 3 Title of articles, 3 April, 3 Juno, 3 Letters of John, 3 November, 300, 3000 BC, 303, 30s, 325, 33, 340s, 341, 37, 380's, 381, 387, 3rd century BC, 3rd Millennium, 3rd millennium BC, 3x3 Eyes Page 14Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) 3, 3 Diva (album), 3 Doa 3 Cinta (film), 3 Doors Down, 3 Februari, 30 Oktober, 30 Persei, 30 Rock, 30 September, 33 (angka), 330, 330 (angka), 330-an, 360-an, 360-an SM, 3600 Detik, 360s, 390 's, 390 SM, 390-an, 390-an SM Page 15Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) 3, 3 Diva (album), 3 Doa 3 Cinta (film), 3 Doors Down, 3 Februari, 30 Oktober, 30 Persei, 30 Rock, 30 September, 33 (angka), 330, 330 (angka), 330-an, 360-an, 360-an SM, 3600 Detik, 360s, 390 's, 390 SM, 390-an, 390-an SM Page 16Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) L, L'Hospitalet de Llobregat, L'Huisserie, L-3 Communications, L-dagang, La (aksara Bali), La (aksara Jawa), La 2 (Spanyol), La Academia Junior Indonesia, La Capelle-les-Boulogne, La Carlota City, La Celle-Saint-Cloud, La Chaine Info, La Chapelle-aux-Lys, La Chapelle-aux-Naux, La Chapelle-Basse-Mer, La Chapelle-Bayvel, La Chapelle-du-Chatelard, La Chapelle-du-Lou, La Chapelle-du-Mont-du-Chat, La Chapelle-du-Noyer Page 17Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) L, L'Hospitalet de Llobregat, L'Huisserie, L-3 Communications, L-dagang, La (aksara Bali), La (aksara Jawa), La 2 (Spanyol), La Academia Junior Indonesia, La Capelle-les-Boulogne, La Carlota City, La Celle-Saint-Cloud, La Chaine Info, La Chapelle-aux-Lys, La Chapelle-aux-Naux, La Chapelle-Basse-Mer, La Chapelle-Bayvel, La Chapelle-du-Chatelard, La Chapelle-du-Lou, La Chapelle-du-Mont-du-Chat, La Chapelle-du-Noyer Page 18Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) C, C-SPAN, C. S. Lewis, C. Th van Deventer, C.A. Bella Vista, C.G.E. Mannerheim, C.G.K. Reinwardt, C.H. Greenblatt, C.I.D. (film), Ca (huruf Arab), CA Bastia, Ca Bastia, Ca Batna, Cabagan, Isabela, Cabai, Cabai (disambiguasi), Cabai benalu, Cabai Panggul-kelabu, Cabai panggul-kuning, Cabai Panggul-kuning, Cabai perut-kuning Page 19Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) C, C-SPAN, C. S. Lewis, C. Th van Deventer, C.A. Bella Vista, C.G.E. Mannerheim, C.G.K. Reinwardt, C.H. Greenblatt, C.I.D. (film), Ca (huruf Arab), CA Bastia, Ca Bastia, Ca Batna, Cabagan, Isabela, Cabai, Cabai (disambiguasi), Cabai benalu, Cabai Panggul-kelabu, Cabai panggul-kuning, Cabai Panggul-kuning, Cabai perut-kuning Page 20Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) A, A Battle of Wits (film 2006), A battle of wits (film 2006), A Beautiful Mind, A better tomorrow, A Cinderella Story, A Clockwork Orange, A Clockwork Orange (film), A Collection, A Fresh Start for Something New, A Funny Thing Happened on the Way to the Forum, A Girl like Me, A Girl Like Me, A Journey (album), A kara, A Kind of Magic, A Kind of Magic (album), A Messenger, A Midsummer Night's Dream, A Midsummer Nights Dream, A Midsummer's Night Dream Page 21Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) A, A Battle of Wits (film 2006), A battle of wits (film 2006), A Beautiful Mind, A better tomorrow, A Cinderella Story, A Clockwork Orange, A Clockwork Orange (film), A Collection, A Fresh Start for Something New, A Funny Thing Happened on the Way to the Forum, A Girl like Me, A Girl Like Me, A Journey (album), A kara, A Kind of Magic, A Kind of Magic (album), A Messenger, A Midsummer Night's Dream, A Midsummer Nights Dream, A Midsummer's Night Dream Page 22Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) D, D'Maestro, D'Maleo Hotel & Convention Mamuju, D'Masiv, D'Plong: Sensasi Rock'n'Dut, D.o.t, D.T. Suzuki, D1 Tower, D14, DAAI TV, Daala Timur, Bulo, Polewali Mandar, Daallo Airlines, Daan Bovenberg, Dacia Nation, Dacia Romawi, Dactylia dichotoma, Dactylia varia, Dadang Wigiarto, Dadanggendis, Nguling, Pasuruan, Dadap, Dadap (disambiguasi) Page 23Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) D, D'Maestro, D'Maleo Hotel & Convention Mamuju, D'Masiv, D'Plong: Sensasi Rock'n'Dut, D.o.t, D.T. Suzuki, D1 Tower, D14, DAAI TV, Daala Timur, Bulo, Polewali Mandar, Daallo Airlines, Daan Bovenberg, Dacia Nation, Dacia Romawi, Dactylia dichotoma, Dactylia varia, Dadang Wigiarto, Dadanggendis, Nguling, Pasuruan, Dadap, Dadap (disambiguasi) Page 24Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) F, F-5 Freedom Fighter, F-84 Thunderjet, F-86 Sabre, F. Budi Hardiman, F.C. Gifu, F.C. Hansa Rostock, F.C. Internazionale, F.C. Internazionale Milano, F.L. Tobing, F.L. Wright, F.Scott Fitzgerald's Way Of Love, F.T. Island, F10, F3H Demon, F4F Wildcat, F6F Hellcat, FA Women's Premier League, FA Women's Super League, Fa-biayyi alaa'i Rabbi kuma tukadzdzi ban, Fa-Tal - Gal a Todo Vapor Page 25Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) F, F-5 Freedom Fighter, F-84 Thunderjet, F-86 Sabre, F. Budi Hardiman, F.C. Gifu, F.C. Hansa Rostock, F.C. Internazionale, F.C. Internazionale Milano, F.L. Tobing, F.L. Wright, F.Scott Fitzgerald's Way Of Love, F.T. Island, F10, F3H Demon, F4F Wildcat, F6F Hellcat, FA Women's Premier League, FA Women's Super League, Fa-biayyi alaa'i Rabbi kuma tukadzdzi ban, Fa-Tal - Gal a Todo Vapor Page 26Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) I, I AM., I AM. (film), I Ampera Cabinet, I Bajnoksag Nemzeti, I Got a Boy, I Got a Boy (lagu), I Gusti Agung Kusuma Yudha Rai, I Gusti Ketut Jelantik, I Ketut Mahendra, I Ketut Suardana, I Ketut Sudikerta, I Ketut Untung Yoga Anna, I Love You, Beth Cooper, I Love You, Beth Cooper (film), I Love You, Om, I Love Your Glasses, I Pakubuwana, I Putu Sulastra, I Radio Bandung, I Remember Me (album) |