Apa sajakah upaya penanggulangan kriminalitas dan kejahatan secara represif brainly

LIHAT SEMUA: Apa sajakah upaya penanggulangan kriminalitas dan kejahatan secara represif brainly

Apa sajakah upaya penanggulangan kriminalitas dan kejahatan secara represif brainly

Kejahatan merupakan masalah abadi dalam kehidupan manusia, karena kejahatan itu berkembang seiring dengan perkembangan peradaban manusia. Hal ini berarti pula bahwa kejahatan merupakan problema manusia dari waktu ke waktu. Kejahatan adalah suatu fenomena dan realitas sosial yang menimbulkan perasaan tidak enak bagi kehidupan setiap insan manusia. Kejahatan datangnya sering tak dapat kita dihindari, sehingga kita harus dapat menghadapi kejahatan tersebut (mau tidak mau).

Timbulnya kejahatan telah meresahkan masyarakat. Banyak dana dan tenaga telah dikeluarkan untuk menanggulangi masalah kejahatan, tetapi hasilnya belumlah dapat memuaskan. Bahkan ada kecenderungan jumlahnya semakin meningkat di beberapa wilayah, baik secara kualitas maupun  kuantitas.

Dari sudut kriminologi setiap tindakan atau perbuatan tertentu yang tidak disetujui oleh masyarakat diartikan sebagai kejahatan. Hal ini dapat dicermati bahwa setiap kejahatan tidak harus dirumuskan terlebih dahulu dalam suatu peraturan hukum pidana. Apabila perbuatan yang dilakukan itu telah merugikan, membahayakan, dan tidak disukai masyarakat atau bahkan menjengkelkan, maka perbuatan tersebut dikatakan sebagai kejahatan. Dengan demikian perbuatan yang anti sosialpun juga termasuk sebagai suatu  kejahatan.[1]

Kejahatan tidak pernah diberantas secara tuntas, kejahatan hanya dapat dicegah, dikurangi atau ditanggulangi. Berbagai macam upaya telah dilakukan dalam bidang pencegahan kejahatan oleh instansi-instansi kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Dalam hal ini Mardjono Reksodiputro menegaskan bahwa pencegahan kejahatan mencakup segala usaha yang dilakukan oleh pemerintah (negara) dan masyarakat terhadap kemungkinan terjadinya kejahatan (dan mereka yang mempunyai potensi untuk melakukan kejahatan) maupun setelah terjadinya kejahatan (penyelidikan, pemeriksaan, peradilan, dan pembinaan si pelanggar hukum).[2]

Permasalahan yang sangat menarik untuk dikaji adalah mengapa kejahatan itu terjadi, mengapa korban kejahatan kurang mendapatkan perhatian dan bagaimana cara menanggulangi kejahatan tersebut.

B.      Ruang Lingkup dan Pengertian Kejahatan

Banyak perdebatan dan  perbedaan pandangan dalam memberikan pengertian tentang kejahatan. Menurut hukum pidana positif kejahatan adalah  terbatas pada perbuatan-perbuatan yang dengan tegas dalam ketentuan hukum pidana, sebagai suatu perbuatan yang dilarang dengan memberikan ancaman berupa pidana. Hal ini berarti merupakan penjelmaan dari penerapan azas legalitas yang mengandung pengertian bahwa suatu perbuatan hanya dapat diancam dengan pidana apabila ditentukan lebih dahulu oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum perbuatan itu dilakukan. Pengertian ini dapat disimak dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Adapun batasan kejahatan menurut J.M. van Bemmelen yang dikutip L. Muljatno, bahwa kejahatan adalah setiap perbuatan yang merugikan (merusak) dan asusila, yang menimbulkan kegoncangan sedemikian rupa dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak mencela dan mengadakan perlawanan terhadap kelakukan tersebut dengan jalan menjatuhkan dengan sengaja suatu nestapa (penderitaan) terhadap pelaku perbuatan itu (pembalasan)[3].

Selanjutnya J.E. Sahetapy  melihat kejahatan dari dua segi, yaitu :

Dari segi sosial, kejahatan adalah segala macam perbuatan dan tindakan yang dapat menimbulkan kerugian, mengganggu ketentraman dan keseimbangan dan melanggar norma-norma masyarakat. Sedangkan kalau dilihat dari segi formal, kejahatan adalah perbuatan yang bersifat melanggar hukum atau undang-undang dan kepada pembuatnya dapat dikenakan sanksi hukuman baik berupa hukuman penjara, denda, dan lain-lain[4]

Apabila kita cermati bahwa di dalam KUHP hanya diperoleh suatu gambaran tentang perbuatan mana yang dikualifikasikan sebagai kejahatan (mijsdriven) diatur dalam Buku II dan pelanggaran (overtredingen) yang diatur dalam Bukuk III. Sedangkan mengenai pengertian kejahatan itu sendiri tidak disebutkan secara jelas, hanya terdapat kualifikasi perbuatan yang dinyatakan sebagai perbuatan pidana. Pembagian tersebut berdasarkan perbedaan antara apa yang disebut delik hukum (rechtsdelict) dan delik undang-undang (wetsdelict).

Perbuatan dikatakan delik hukum apabila perbuatan itu bertentang dengan asas-asas hukum positif yang hidup dalam rasa hukum di kalangan masyarakat, terlepas apakah asa-asas tersebut diatur dalam undang-undang pidana. Hal ini berarti bahwa untuk mengetahui perbuatan itu dilarang, seseorang tidak perlu membaca undang-undang, karena setiap kalangan masyarakat mudah dapat merasakan bahwa perbuatan-perbuatan itu dilarang, seperti mencuri, membunuh, menganiaya, dan sebagainya.

Adapun perbuatan itu dikatakan sebagai delik undang-undang, apabila perbuatan itu sifatnya kecil (ringan), seperti melanggar rambu-rambu lalu lintas, berhenti di tikungan, meminta-minta di jalan, dan sebagainya. Perbuatan tersebut tidak mudah dimengerti atau dirasakan bahwa perbuatan semacam itu dilarang. Sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran tersebut lebih ringan dibandingkan dengan kejahatan berdasarkan delik hukum.

Bertitik tolak pada pandangan yang telah dikemukakan, maka dapat dikatakan bahwa kejahatan dalam arti kriminologi selalu mendahului kejahatan dalam arti hukum pidana adalah fakta yang tidak dapat dipungkiri, karena kejahatan itu tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan peradaban manusia. Hal ini berarti bahwa kejahatan (perbuatan jahat) sebagaimana dimaksudkan dalam arti kriminologi harus dirumuskan dan ditetapkan dulu sebagai suatu kejahatan dalam arti hukum pidana. Oleh karena itu banyak kejahatan yang bukan sebagai tindak pidana (karena belum dirumuskan/ditetapkan sebagai kejahatan dalam arti hukum pidana). Untuk mengejar ketertinggalannya itu maka muncul apa yang dinamakan kriminalisasi (yang tujuannya tidak lain adalah untuk menanggulangi kejahatan).

Berkaitan dengan masalah kejahatan, maka ada 2 kategori yang kita kenal secara umum, yaitu kejahatan non konvensional dan kejahatan konvensional. Bentuk kejahatan non konvensional itu misalnya penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, narkotika dan psikotropika, dan lain-lain. Sedangkan kejahatan konvensional merupakan pelanggaran terhadap aturan yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), sehingga yang tergolong dalam kejahatan konvensional misalnya pembunuhan, penganiayaan berat, pencurian dengan kekerasan, perkosaan, dan pencurian dengan pemberatan.

Selain dari 2 kategori yang kita kenal di atas, ada jenis-jenis kejahatan lain, yaitu kejahatan kekerasan, kejahatan melawan hak milik, kejahatan organisasi, kejahatan yang berhubungan dengan narkotika, alkohol, dan sex. Dari jenis-jenis kejahatan yang dikemukakan tersebut, maka yang paling menarik untuk dikaji adalah kejahatan kekerasan. Persoalannya adalah bahwa dalam membahas masalah kejahatan, seringkali tidak dapat dilepaskan dengan masalah  kekerasan, karena kekerasan sering merupakan pelengkap dari bentuk kejahatan itu sendiri. Bahkan kekerasan  telah membentuk suatu ciri tersendiri dalam khasanah studi tentang kejahatan.[5]

Persoalannya adalah pada hakekatnya tidak semua kekerasan merupakan kejahatan (misalnya “kekerasan” yang dilakukan dalam olah raga seperti tinju, karate, silat ataupun dilakukan dalam rangka operasi bedah terhadap pasien oleh dokter). Oleh karena itu tergantung dari tujuan dari kekerasan itu sendiri, dan tergantung pula pada persepsi kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat, apakah kelompok berdasarkan ras, agama, dan ideologi.

Menurut Sue Titus Reid bahwa suatu perbuatan itu dikategorikan sebagai kejahatan menurut hukum adalah Pertama, kejahatan adalah suatu tindakan yang disengaja. Kedua, kejahatan merupakan pelanggaran hukum pidana. Ketiga, perbuatan jahat itu dilakukan tanpa adanya suatu pembelaan atau pembenaran yang diakui secara hukum. Keempat, kejahatan adalah suatu perbuatan atau pelanggaran yang diberikan sanksi oleh negara [6].

Selanjutnya menurut Jerome Hall bahwa suatu peristiwa manusia supaya memenuhi syarat sebagai suatu kejahatan, harus ada 7 syarat dasar:

  1. Syarat perbuatan/tindakan
  2. Syarat legalitas/keabsahan
  3. Syarat merugikan
  4. Syarat yang menyebabkan
  5. Syarat mens rea (maksud jahat)
  6. Syarat persetujuan
  7. Syarat hukuman[7]

Berdasarkan pendapat yang telah diuraikan di atas, maka jelaslah bahwa permasalahan kejahatan itu begitu rumit dan sangat kompleks. Selain karena kejahatan itu luas, juga karena kejahatan itu banyak jenis dan ragamnya. Banyak perbedaan pandangan tentang kejahatan, tetapi yang paling penting adalah bagaimana kejahatan itu bisa dicegah, dikurangi, dan ditanggulangi, agar supaya tidak berkembang baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya.

Berbicara masalah kejahatan, maka dalam pikiran kita akan tergambar tentang siapa pelakunya, siapa korbannya, apa atau bagaimana modus operandinya, dan bagaimana hubungan antara pelaku dan korbannya, serta pikiran yang lebih luas lagi, yaitu bagimana cara menanggulanginya?

Perlu diketahui bahwa kejahatan adalah suatu perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian, mengganggu ketentraman, ketertiban, perdamaian dalam masyarakat. Oleh karena itu pelaku kejahatan tersebut dapat dijatuhkan pidana berupa pidana penjara, denda, dan sebagainya.

Menurut Resolusi MU-PBB 40/34 sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi Arief, yang dimaksud dengan “korban” adalah orang-orang, baik secara individual maupun kolektif, yang menderita kerugian akibat perbuatan (tidak berbuat) yang melanggar hukum pidana yang berlaku di suatu negara, termasuk peraturan-peraturan yang melarang penyalahgunaan kekuasaan.[8] Pengertian korban termasuk juga orang-orang yang menjadi korban dari perbuatan-perbuatan (tidak berbuat) yang walaupun belum merupakan pelanggaran terhadap hukum pidana nasional yang berlaku, tetapi sudah merupakan pelanggaran menurut norma-norma HAM yang diakui secara internasional. Selanjutnya pengertian “kerugian” (harm)  itu meliputi kerugian fisik maupun mental (physical or mental injury), penderitaan emosional (emotional suffering), kerugian ekonomi (economic loss), atau perusakan substansial dari hak-hak asasi mereka (substantial impairment of their fundamental rights).[9]

Peradilan pidana sebagai tumpuan masyarakat dalam menyelesaikan perkara pidana memiliki sistem yang berbeda dengan bidang hukum lainnya. Masyarakat atau pihak yang dirugikan (korban kejahatan) tidak bisa dilibatkan secara aktif, melainkan hanya pasif. Padahal korban kejahatan memiliki  peranan yang sangat besar dalam menentukan jalannya sistem  peradilan  pidana serta merupakan pihak yang paling banyak menderita dan yang sangat memerlukan perhatian dan pelayanan yang memadai.

Hal ini jelas berbeda dengan penyelesaian perkara perdata, pihak-pihak yang dirugikan atau penggugat dapat menyelesaikan perkaranya sendiri dengan mengadakan perdamaian atau mengajukan sendiri ke pengadilan, bahkan pengadilan sebelum mulai persidangan selalu menganjurkan kepada pihak-pihak yang bersengketa untuk mengadakan perdamaian. Apabila ada pihak-pihak yang belum puas dengan keputusan pengadilan maka dapat mengajukan banding, kasasi, atau upaya hukum lainnya.

Dalam perkara pidana, yakni pihak-pihak yang dirugikan (korban  kejahatan) tidak dapat secara langsung mengajukannya ke pengadilan melainkan harus melalui proses pra-ajudikasi, ajudikasi, dan purna-ajudikasi. Kemampuan aparat penegak hukum, khususnya dalam tahap pra-ajudikasi sangat menentukan dalam memberikan kepercayaan kepada masyarakat terhadap penegakan  hukum pidana dan sekaligus terhadap penyelenggaraan peradilan pidana. Oleh karena itu keberadaan hukum pidana dan sistem peradilan pidana harus benar-benar dilaksanakan secara adil guna memberikan perlindungan kepada mereka yang telah menderita sebagai korban dan pihak yang menderita kerugian materiil dan immateriil akibat terjadinya suatu kejahatan.

Dalam kenyataannya Sistem Peradilan Pidana Indonesia ternyata lebih banyak mencurahkan perhatiannya kepada si “pelaku” kejahatan daripada memikirkan kepentingan atau pelayanan terhadap si “korban”. Padahal seharusnya tidak boleh demikian, karena korban kejahatan memiliki peranan yang besar dalam menentukan jalannya sistem peradilan pidana serta merupakan pihak yang paling banyak dirugikan (menderita), dan oleh karena itu tentunya sangat memerlukan perhatian dan pelayanan yang memadai.

Bagi pihak korban, penyelesaian perkara pidana melalui peradilan terkadang dirasa sangat tidak menguntungkan bagi dirinya. Karena pada dasarnya pihak korban tidak diberi kewenangan untuk terlibat secara langsung (aktif) dalam sidang peradilan. Hal ini mengakibatkan pihak korban telah kehilangan kesempatan untuk memperjuangkan hak dan kepentingannya guna mengembalikan keadaannya yang terganggu akibat terjadinya kejahatan tersebut.  Keikutsertaannya dalam proses persidangan dinilai sebagai pengalaman yang melelahkan, membingungkan dan bahkan sangat memberatkan. Di satu sisi bahwa proses persidangan harus diselenggarakan karena ada masyarakat yang menjadi korban, tetapi di sisi lain bahwa korban ditempatkan dalam posisi yang tidak menguntungkan baginya, dan bahkan sering pula disudutkan pada saat pemeriksaan saksi di persidangan.

Perlindungan korban dalam sistem peradilan pidana tentunya tidak terlepas dari perlindungan korban menurut ketentuan hukum positif yang berlaku.  Menurut hukum pidana positif yang berlaku, perlindungan terhadap korban kejahatan lebih banyak merupakan perlindungan abstrak atau perlindungan tidak langsung.  Hal ini berarti bahwa dengan adanya berbagai perumusan tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan selama ini telah ada perlindungan secara tidak langsung terhadap berbagai kepentingan hukum dan hak asasi korban.

Dalam hal-hal tertentu, hukum pidana positif memberi perhatian juga kepada korban secara langsung.  Hal ini terlihat di dalam Pasal 14 c KUHP bahwa “hakim dapat menetapkan syarat khusus bagi terpidana untuk mengganti kerugian (semua/sebagian) yang ditimbulkan dari adanya kejahatan”.  Ganti kerugian tersebut seolah-olah berfungsi sebagai pengganti pidana pokok. Oleh karena itu ganti rugi ini pada dasarnya tidak bersifat pidana, tetapi sebagai syarat atau pengganti untuk menghindari atau tidak menjalani pidana. Dengan demikian jelas bahwa tetap dilandasi pemikiran pemidanaan yang berorientasi pada pelaku kejahatan, bukan berorientasi pada korban (victim).

Dalam praktek penetapan ganti rugi ini jarang diterapkan, karena mengandung beberapa kelemahan, antara lain:

  1. Penetapan ganti rugi ini tidak dapat diberikan oleh hakim sebagai sanksi yang beridiri sendiri disamping pidana pokok; ia hanya dapat dikenakan dalam hal hakim bermaksud menjatuhkan pidana bersyarat. Jadi hanya sebagai “syarat khusus” untuk tidak dilaksanakannya/dijalaninya pidana pokok yang dijatuhkan kepada terpidana.
  2. Penetapan syarat khusus berupa ganti rugi inipun hanya dapat diberikan apabila hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana kurungan.
  3. Syarat khusus berupa ganti kerugian inipun menurut KUHP hanya bersifat fakultatif, tidak bersifat imperatif.[10]

D.     Upaya Penanggulangan Kejahatan

Salah satu kebijakan dalam hal menanggulangi masalah kejahatan  adalah kebijakan kriminal (Criminal Policy). Kebijakan kriminal atau Politik kriminal adalah sebagian daripada kebijakan sosial dalam hal menanggulangi masalah kejahatan dalam masyarakat, baik dengan sarana penal maupun non penal.

Upaya penanggulangan kejahatan dengan sarana penal lebih menitikberatkan pada sifat represif (penindakan/pemberantasan) sesudah kejahatan itu terjadi. Sedangkan sarana non penal lebih menitikberatkan pada sifat preventif (pencegahan/pengendalian) sebelum kejahatan terjadi.

Penanggulangan kejahatan dengan sarana penal dapat dilakukan melalui sistem peradilan pidana, yaitu dengan menerapkan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam KUHP, khususnya Pasal 10 KUHP yang mengatur jenis-jenis hukuman. Selain itu penggunaan sanksi pidana dapat juga dilakukan melalui peraturan perundang-undangan yang lain yang mengatur secara jelas ketentuan pidananya (Pasal 103 KUHP).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam penanggulangan kejahatan dengan sarana penal itu dilakukan dengan cara menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, yakni hukum pidana materiil, hukum pidana formil, dan pelaksanaannya melalui sistem peradilan pidana (criminal justice system) Indonesia.

Hal ini dimaksudkan untuk memperbaiki si pelaku kejahatan, mencegah terjadinya kejahatan supaya tidak timbul korban, serta yang lebih penting adalah dalam rangka usaha perlindungan masyarakat (social defence) dan kesejahteraan masyarakat (social welfare). Upaya penanggulangan kejahatan yang dilakukan perlu melibatkan seluruh anggota masyarakat yang mempunyai potensi-potensi yang berguna dalam mencapai kesejahteraan rakyat.

Sebagai contoh upaya penanggulangan kejahatan dilakukan pada Operasi Sikat Semeru 2017 yakni terhitung pada tanggal 18 September pukul. 00. 00 wib s/d 1 Oktober 2017 selama 13 hari. Operasi Sikat Semeru 2017 dalam rangka penanggulangan kejahatan Curas, Curat, Curanmor, Pemerasan/ Perampasan dengan gendam, Handak dan penyalahgunaan Sajam/ Senpi yang meresahkan masyarakat diwilkum Polres Magetan. (https://tribratanews.polresmagetan.com/2017/09/21/kapolsek-magetan-bersama-anggota-dan-diback-up-dari-koramil-magetan-melaksanakan-razia-miras-dan-obat-terlarang-dalam-operasi-sikat-semeru-2017/)

Selanjutnya upaya non penal yang paling strategis adalah segala upaya untuk menjadikan masyarakat sebagai lingkungan sosial dan lingkungan hidup yang sehat baik secara materiil dan immateriil dari faktor-faktor kriminogen. Seluruh lapisan masyarakat dengan segenap potensinya harus dijadikan sebagai faktor utama yang mendukung dalam upaya penanggulangan kejahatan. Potensi-potensi yang dimiliki masyarakat perlu digali, dimanfaatkan dan dikembangkan, serta pula diefektifkan. Misalnya kegiatan razia/operasi yang dilakukan oleh aparat kepolisian di berbagai tempat-tempat tertentu yang rawan terjadinya kejahatan, melaksanakan kegiatan yang berorientasi pada pelayanan masyarakat, dan berbagai upaya pemanfaatan potensi yang tersedia.

Dengan mengoptimalkan upaya non penal, maka dalam uapaya penanggulangan kejahatan yang terjadi di masyarakat tidak harus bertumpu pada sarana penal saja, tetapi perlu ditunjang pula dengan sarana non penal dalam kerangka politik kriminal yang integral guna mencapai tujuannya, yaitu upaya perlindungan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat.

E.      Penutup

Berdasarkan seluruh uraian di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa masalah kejahatan adalah masalah yang sangat pelik, karena berkaitan dengan  pelaku, kepentingan korban, dan upaya penanggulangannya serta penyelenggaraannya.

Keberhasilan penanggulangan kejahatan tidak hanya dilakukan dengan sarana penal yang memiliki keterbatasan, tetapi perlu ditunjang juga dengan sarana non penal secara integral.

Sebagai saran dalam rangka keberhasilan upaya penanggulangan kejahatan, maka sebaiknya dilakukan penggalian potensi-potensi masyarakat, dan pemanfaatan potensi preventif dari aparat penegak hukum.

KEPUSTAKAAN

Adler, Freda et.al., 1995, Criminology: The Shorter Version, Second Edition, McGraw-Hill, United States of America.

Arief, Barda Nawawi,1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Atmasasmita, Romli, 1992, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, PT. Eresco, Bandung.

Made Darma Weda, 1996, Kriminologi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Muljatno, L., 1982, Kriminologi, Bina Aksara, Jakarta.

Reid, Sue Titus, 1976, Crime and Criminology Hinsdale, Illions : The Dryen Press.

Reksodiputro, Mardjono, 1994,  Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, Jakarta.

Sahetapy, J.E., 1983, Kejahatan Kekerasan Suatu Pendekatan Interdisipliner, Sinar Wijaya.

[1]Made Darma Weda, Kriminologi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1996, h.12.

[2]Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, Jakarta, 1994, h.12.

[3]L. Muljatno, Kriminologi, Bina Aksara, Jakarta, 1982. h.10.

[4]J.E.Sahetapy, Kejahatan Kekerasan Suatu Pendekatan Interdisipliner, Sinar Wijaya, 1983, h.78.

[5]Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, PT. Eresco, Bandung, 1992, h.52.

[6] Sue Titus Reid,  Crime and Criminology (Hinsdale, Illions : The Dryen Press), 1976, h.5

[7]Freda Adler et.al., Criminology: The Shorter Version, Second Edition, McGraw-Hill, United States of America, 1995, h.102.

[8]Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, h.54.

[9]Ibid., h.55.

[10]Ibid., h.55.

Save

Save