TAMANSISWA SEBAGAI MATA AIR PENDIDIKAN DAN KEBANGSAAN Oleh: Prof. Dr. Cahyono Agus Perguruan Tamansiswa yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara (KHD) 3 Juli 1922 di Yogyakarta telah memasuki ulang tahun yang ke 95. Taman Siswa lahir dan berjuang saat kolonial Belanda, mempunyai pretasi dan sejarah panjang dalam memperjuangkan sistem pendidikan nasional yang mendasarkan pada akar budaya bangsa Indonesia sendiri. Saat ini kita hidup di dunia yang penuh dengan kerusakan mental kehidupan manusia dengan adanya mafia pada segala bidang. Chris Hedges, seorang jurnalis senior AS, menyebutkan adanya mafia profesi di bidang kedokteran, hukum, pendidikan, kekuasaan, pers, media sosial, fanatisme agama maupun ekonomi. Untuk menyelesaikan segala mafia dan kerusakan di segala bidang tersebut, maka Nelson Mandela menyebutkan bahwa pendidikan adalah kekuatan damai terkuat untuk dapat digunakan sebagai pengubah dunia yang lebih baik dan bermartabat. Saat ini, dunia pendidikan Indonesia harus menghadapi kenyataan pahit yang sangat menyakitkan. Setidaknya, empat lembaga survei internasional menempatkan kualitas pendidikan di Indonesia pada rangking paling bawah. Indonesia harus melakukan restorasi (pembaharuan, revolusi) pendidikan dengan menemu kenali kembali pada “khithah” sistem pendidikan nasional yang tepat. Sistem dan konsep yang memberi wawasan yang cerdas, luas, mendalam dan futuristik, sehingga menumbuhkan tanggung-jawab dan kontribusi nyata dalam mewujudkan lingkungan dan kehidupan yang bermartabat dan berkelanjutan seutuhnya. Yang berakar kuat pada budaya leluhur sendiri dengan reformulasi kekinian, mengacu pada sistem pendidikan yang menyenangkan (edu-tainment) yang mementingkan nilai budaya dan kemanusiaan. Sebagaimana yang telah diterapkan oleh Ki Hadjar Dewantara saat mendirikan Perguruan Taman Siswa. Panca Darma Tamansiswa terdiri atas (1) Kodrat alam; (2) Kemerdekaan; (3) Kebudayaan; (4) Kebangsaan dan (5) Kemanusiaan. Menjadikan Tamansiswa mempunyai design dan roh pendidikan yang mempunyai jari diri unggulan secara lahir-batin, materiil-spirituil, dunia-akherat yang lengkap, terpadu, menyeluruh. ”Konsep Trisakti Jiwa” yang diajarkan dalam konsep budaya oleh Ki Hadjar Dewantara terdiri atas cipta, rasa, dan karsa. Bahwa untuk melaksanakan tindakan maka harus ada kombinasi yang sinergis antara hasil olah pikir (cipta), hasil olah rasa (rasa), serta motivasi yang kuat di dalam dirinya (karsa). Pendidikan tidak hanya sekedar proses alih ilmu pengetahuan saja tetapi sekaligus proses transformasi nilai. Salah satu ciri khas pendidikan Tamansiswa adalah pendidikan budi pekerti yang diberikan dalam empat tingkatan: syariat, hakikat, tarikat, dan makrifat. Sistem Among, ngemong dan momong yang berlaku di Tamansiswa adalah sistem pendidikan yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan Kodrat Alam dan Kemerdekaan. Pamong (guru) hanya membimbing dari belakang dan baru mengingatkan peserta didik jika mengarah ke satu tindakan yang membahayakan (Tutwuri handayani), sambil terus membangkitkan semangat dan motivasi (Ing madya mbangun karsa), dan selaku menjadi contoh dan teladan dalam perilaku dan ucapannya (Ing ngarsa sung tulada). Peran sekolah adalah sebagai taman persemaian benih-benih kebudayaan. Tujuan pendidikan Tamansiswa adalah membangun anak didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, merdeka lahir batin, luhur akal budinya, cerdas dan berketrampilan, serta sehat jasmani dan rohaninya untuk menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggungjawab atas kesejahteraan bangsa, tanah air, serta manusia pada umumnya. KHD menerapkan sistem Tri-Centra berupa 3 pusat pendidikan yang meliputi keluarga, sekolah dan masyarakat, untuk menyelenggarakan pendidikan formal, informal dan non-formal secara sinergis dan seimbang. Ketiganya perlu saling bekerjasama secara sinergis dalam merancang, melaksanakan dan mengembangkan pendidikan. Pendidikan bukan hanya tugas sekolah, justru sekolah hanya memberi kerangka dan melengkapi pendidikan utama di keluarga dan masyarakat. Penggalian, pemurnian, dan revitalisasi serta implementasi kembali konsep dan ajaran KHD untuk mewujudkan Tamansiswa Emas saat peringatan 100 Tahun Perguruan Tamansiswa pada 3 Juli 2022, perlu dilakukan secara terstruktur dan berencana. Penerapan ajaran KHD dalam Tamansiswa Emas diharapkan menjadi cucuk lampah bagi pendidikan karakter generasi emas bangsa Indonesia dalam menyongsong Kebangkitan Nasional II saat peringatan 100 tahun kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 2045. Penulis: Prof. Dr. Cahyono Agus Guru Besar UGM, Yogyakarta Ketua Umum Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa (PKBTS), Yogyakarta Anggota Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa (MLPTS), Yogyakarta Web: http://acahyono.staff.ugm.ac.id/ Email : Artikel ini telah diterbitkan pada; Agus, C. 2017. Tamansiswa sebagai Mata Air Pendidikan dan Kebangsaan,. Kolom Bernas Pendidikan. Harian Bernas. Hari Senin, 3 Juli 2017. Halaman 2.
Melihat Taman Siswa, kita harus melihat rentang waktu selama Pra Kemerdekaan hingga Pasca Kemerdekaan. Ki Soetatmo Soerjokoesoemo ex STOVIA memimpin tirakatan SA-KA, kependekan dari Selasa Kliwonan yang berisi para kaum pergerakan sejak Stovia, termasuk Soekarno. Mereka masih melanjutkan untaian pemikiran mengenai Indnonesia yang merdeka. Pembicaraan berkisar pada Hamemayu Hayuning Bangsa dan Hamemayu Hayuning Manungso. Output dari tirakatann SA-KA selama dua tahun adalah berdirinya Perguruan Nasional Taman Siswa. Melihat kondisi bangsa saat itu, menurut Ki Hadjar, perlawanan harus melalui cara yang dipakai oleh penjajah yaitu Pendidikan. Maka, Pendidikan Nasional Taman Siswa adalah anti tesa terhadap sistem pendidikan penjajah yang mengutamakan intelektualistis, individualistis, dan materialistis. Oleh karena itu Revolusi Pendidikan Ki Hadjar menyangkut Tujuan, Pedagogi, dan Isi dan dituangkan ke dalam Protokol 1922 yang berisi azas-azas Taman Siswa dengan semboyan “Lawan Sastra Ngesti Mulya” yang berarti : dengan kecerdasan jiwa menuju kesejahteraan. Setelah Perguruan Nasional Taman Siswa berdiri, logis kalau SA-KA bubar karena tirakatan itu telah membuahkan hasil. Sejak berdiri tahun 1922 hingga 1930, artinya dalam masa pemerintahan Hindia Belanda, telah berdiri lebiih dari 100 cabang Taman Siswa dari Sabang hingga wilayah Nusantara bagian timur Maluku, Kupang, dll. Maka, pada tahun 1930 berubah menjadi Persatuan Perguruan Taman Siswa yang berpusat di Mataram, Yogyakarta. Untuk memahami mengapa ada istilah Azas dan Dasar, maka ada dua titik waktu yang menandai yaitu 1922 saat Perguruan Nasional Taman Siswa berdiri dan setelah Indoensia Merdeka dan Taman Siswa mengadakan RUB atau Rapat Umum Besar 1946 . Dalam RUB ini dibahas apakah Taman Siswa akan dilanjutkan atau selesai karena tujuan Indonesia merdeka telah selesai Hasil dari RUB adalah pembentukan sebuah Tim yang diketuai oleh Ki Mangunsarkara. Setelah Kemerdekaan 17 Agustus 1945, diadakan RUB Rapat Umum Besar untuk mengevaluasi Perguruan Taman Siswa. Hasilnya, dibentuk panitia kecil yang dipimpin oleh Ki Mangun Sarkara untuk melihat relevansi Taman Siswa setelah kemerdekaan karena tujuan Indonesia merdeka telah tercapai. Hasil dari Tim ini adalah perjuangan Taman Siswa dilanjutkan dan perubahan dari Azas-Azas Taman Siswa sesuai protokol 1922 menjadi Dasar-Dasar Taman Siswa yang masih memuat hal-hal yang bersifat hakiki bagi Taman Siswa agar Taman Siswa tetap berdiri sebagai Taman Siswa dan disebut Protokol 1947. Tujuan awal pendirian Taman Siswa, seperti diputuskan dalam SA-KA atau Pertemuan Selasa Kliwonan, adalah menuju Indonesia merdeka dan dituangkan ke dalam Protokol 1922. Setelah merdeka, RUB 1946 memutuskan untuk melanjutkan perjuangan Taman Siswa guna mengawal Indonesia Merdeka dengan Protokol 1947. <- Tut Wuri Handayani. Perbedaan antara antara keudanya terletak pada tekanan perjuangan. Azas 1922 adalah untuk perjuangan melawan penjajahan, sedang dasar-dasar 1947 adalah mengisi kemerdekaan tanpa kehilangan jati diri Taman Siswa. Maka, Ki Hadjar menyrankan penggunaan istilah Azas 1922 dan Dasar-Dasar 1947. AZAS-AZAS TAMAN SISWA 1922 Pasal I mengganti cara lama seperti perintah, hukuman, dan paksaan, dengan cara baru yaitu Amongsyteem yang merupakan perwujudan dari perhatian terhadap perkembangan kodrati dimana para guru menjadi Pamong sebagai pemimpin yang berdiri di belakang dengan semboyan Tut Wuri Handayani yaitu tetap mempengaruhi namun memberi kesempatan kepada anak didik untuk berjalan sendiri. Maka, disini terkandung dasar Kemerdekaan tiap-tiap orang untuk mengatur dirinya sendiri. Namun, ini bukan berarti kebebasan yang leluasa, tetapi kebabasan yang terbatas dan harus mengikuti tertib damainya hidup bersama. Pasal II,yang dimaksud dengan kemerdekaan adalah pada bagaimana cara anak berpikir. Bukan dengan cara disuruh, atau mengakui buah pikira orang lain, namun agar anak-anak mencari sendiri dengan buah pikirannya. Demikian juga cara anak mengembangkan buah kesadaran atau sikap batinnya, memeliharan keinsyafannya, dan cara merasakan hendaknya juga tidak disuruh atau dipaksa namun agar diberi ruang yang secukupnya bagi mereka untuk melakukannya sendiri, membangun kesadaranya sendiri. Maka, agar anak-anak sungguh merdeka lahir dan batin, caranya adalah merdekakanlah batinnya, pikirannya, dan tenaganya dengan cara lah hati, olah rasa, olah pikir, dan olah jasmani. Pasal III, masyarakat dalam kebingungan pada masa penjajahan dan menjadi disorientasi dalam kehidupan yang tidak merdeka. Maka, butuh orientasi yang sesuai keadaban, kodrat, dan pada kebutuhan dan budaya bangsanya, bukan budaya asing yang justru semakin menjauhkan orang-orang terpelajar dari rakyatnya. Pasal IV, pengajaran yang hanya bermanfaat bagi sebagian kecil masyarakat tidak bermanfaat bagi bangsa. Masalah besar adalah pemerataan pengajaran agar sebagian masyarakat terbesar memperoleh pendidikan secukupnya. Pasal V, kemerdekaan berarti hidup tidak tergantung kepada orang lain. Bantuan tidak boleh mengurangi kemerdekaan lahir dan batin. Pasal VI, kemandirian harus membuat zelfbedruipend systeem atau sistem usaha mandiri. Pasal VII, dengan tidak terikat lahir atau batin, seta kesucian hati, berniatlah kita berdekatan dengan Sang Anak. kita tidsak meminta sesuatu hak, akan tetapi menyerahkan diri untuk berhamba kepada Sang Anak Azas 1922, yaitu azas perjuangan atau strijd program dalam pemeliharaan cita-cita revolusioner di bidang pendidikan yang mengabaikan segala tekanan atau ikatan kolonial dari pihak Belanda, itu sebagian sudah tidak terpakai karena perjuangan setelah kemerdekaan 1945 berbeda dari perjuangan pada waktu Taman Siswa berdiri tahun 1922. DASAR-DASAR TAMAN SISWA 1947
AZAS DAN TUJUAN TAMAN SISWA Azas Taman Siswa disebut Panca Dama, yaitu :
TUJUAN TAMAN SISWA
https://asiswanto.net/?page_id=1199 |