Usulan usulan yang diberikan Snouck Hurgronje untuk meredam perlawanan rakyat Aceh yaitu

tirto.id - Ketika Abdul Ghaffar tiba di Aceh, wilayah itu sedang dilanda perang selama belasan tahun. Sudah banyak korban berjatuhan, baik dari pihak Belanda maupun rakyat Aceh. Bagi orang Aceh, perang melawan orang Belanda itu adalah Perang Sabil. Mereka rela mengorbankan harta dan nyawa untuk perjuangan itu.

Dari sisi Belanda, kantong mereka sudah terkuras habis untuk perlawanan lokal terlama dalam sejarah kolonialisasi Belanda. Perang Aceh lebih lama ketimbang Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830). Abdul Ghaffar lah yang kelak bisa melihat kesalahan Belanda dalam peperangan Aceh tersebut.

Nasihat Abdul Ghaffar

Abdul Ghaffar punya banyak kenalan ulama dan sering kirim surat sejak ia ke Makkah. Ghaffar—sering juga disebut Gofur atau Gopur—tiba di Aceh pada 6 Juli 1891 setelah Teungku Chik di Tiro (1836-1891) meninggal.

Usulan usulan yang diberikan Snouck Hurgronje untuk meredam perlawanan rakyat Aceh yaitu

Ketika itu, masjid Raya Aceh sudah lama dihanguskan militer Belanda. Itulah yang terus membuat semangat rakyat Aceh sedemikian membara untuk menumpas Belanda. Inilah kesalahan Belanda yang dilihat oleh Gopur. Ia pun mencoba mengingatkan kesalahan itu kepada pemerintah kolonial.

Gopur tak lama tinggal di sana. Ia tiba bulan Juni, dan meninggalkan Aceh pada Februari 1892. Dengan perawakan Eropanya dan kemampuan berbahasa Arabnya—plus dipandang oleh orang-orang bergelar haji karena sudah ke Makkah pada usia 27—orang-orang Aceh itu mengira si Gopur adalah orang Arab. Setelah Februari 1892, kemungkinan besar Haji Gopur ke Betawi (Jakarta).

Ia pun pulang ke rumah Sangkana, wanita asal Cimahi yang dinikahinya sejak 1890, ketika belum lama tinggal di Hindia Belanda. Di sana, Gopur segera menulis pengalamannya di Aceh dan pemikirannya dalam tulisan berjudul De Atjeher, yang diterjemahkan sebagai Rakyat Aceh.

Tak hanya itu, Gopur punya banyak tulisan soal Islam, yang berguna bagi pemerintah kolonial yang dilanda mabuk berat menghadapi rakyat Aceh.

Baca juga: Raden Joesoef: Anak Snouck Hurgronje yang Jadi Polisi

Dari Abdul Ghaffar, pemerintah kolonial mendapat nasihat bagaimana harus menghadapi perlawanan keras orang-orang Aceh.

Sebenarnya, Gopur menyarankan agar militer KNIL Belanda bersikap baik untuk mengambil hati rakyat Aceh. Militer KNIL tak dibenarkan meneror rakyat, membakar kampung, dan merampas makanan rakyat Aceh.

Soal Islam, Gopur juga mengingatkan pemerintah kolonial dalam menghadapi Islam. Menurutnya, ada Islam sebagai agama yang tidak berbahaya, dan ada Islam sebagai kekuatan politik yang bisa berbahaya bagi pemerintah kolonial. Dan untuk soal terakhir, pemerintah tak perlu ragu-ragu untuk serius memberantasnya.

Selain meneliti soal Islam di Hindia Belanda, ia mengajar bahasa Arab di Betawi. Gopur dekat dengan pemerintah kolonial dan bangsawan di Priangan. Istrinya, Sangkana, adalah keturunan bangsawan.

Setelah Sangkana meninggal, Gopur menikah lagi dengan putri seorang penghulu di Jawa Barat juga. Sejak 1898, ia sudah menjadi penasihat urusan pribumi bagi pemerintah kolonial. Orang-orang tersebut, termasuk mertua-mertua yang merelakan anaknya dinikahi Gopur, agaknya sangat yakin jika laki-laki yang mirip orang Arab ini adalah Haji Abdul Gopur.

Baca juga: Kalipah Apo: Juru Tembang Sunda dan Mertua Snouck Hurgronje

Siapa Abdul Ghaffar?

Orang yang mirip orang Arab yang kita maksud adalah Christian Snouck Hurgronje. Seperti banyak orang Islam, bagi Snouck yang agnostik, naik haji adalah salah satu hal penting dalam hidupnya.

Bedanya, ia pergi ke Makkah pada awal abad 20 demi kepentingan ilmiah karena ia akademisi. Sejak muda, ia penasaran pada Islam, sampai-sampai bahasa Arab dan Alquran pun ia pelajari.

Snouck terlahir sebagai anak pendeta Belanda. Sejak 1874, saat berusia 17 tahun, ia mulai belajar teologi di Universitas Leiden. Pada 1880, ia merampungkan Het Mekkaansche Feest (Perayaan Makkah) meski belum pernah memasuki Kota Makkah. Makkah adalah kota tertutup bagi nonmuslim.

Begitu Het Mekkaansche Feest dirampungkan, Snouck jadi pengajar bagi mahasiswa sekolah pegawai yang akan dikirim ke Hindia Belanda sejak 1881. Kesempatan memasuki Makkah akhirnya datang pada 1885. Dengan penguasaan bahasa Arabnya, ia berhasil meyakinkan para ulama di Turki akan kesungguhannya belajar Islam. Ulama-ulama itu bahkan membimbingnya. Masuk Makkah tentu akan mudah asal beragama Islam. Menjadi Islam juga mudah, cukup berucap dua kalimat syahadat.

Baca juga: Petualangan Haji Gofur di Makkah

Usulan usulan yang diberikan Snouck Hurgronje untuk meredam perlawanan rakyat Aceh yaitu

Infografik Mozaik Haji Abdul Ghaffar. tirto.id/Nauval

Akhirnya, menurut Hamid Algadri dalam Politik Belanda terhadap Islam dan keturunan Arab di Indonesia (1988), Snouck berhasil masuk Makkah dan terkesan bersungguh-sungguh seperti orang berhaji, hingga dianggap telah masuk Islam. Menurut Augustus Rally dalam Orang Kristen Naik Haji (2011), Snouck tinggal enam bulan di Makkah. Snouck bahkan ikut membuat foto-foto pemandangan musim haji di Makkah.

Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia V, “Snouck Hurgronje tidak menaruh kepercayaan pada Islam sebagai kekuatan yang dapat membawa kemajuan."

Baca juga: Siasat Snouck Hurgronje Menjinakkan Islam Politik

Menurut surat Snouck bertanggal 18 Februari 1886 kepada kawan kuliahnya, Carl Bezold, ia hanya berpura-pura saat mendalami Islam. Ia tak jauh beda dengan Wyn Sargent, yang rela menikahi istri Obahorok, kepala suku Dani, demi meneliti kehidupan suku Analaga. Kemampuan Snouck meneliti dengan menyamar sebagai muslim diakui matang oleh Vogel, peneliti Belanda lain.

“Banyak petualang yang menyamar dan beberapa orang berpengetahuan telah mengunjungi kota suci, tetapi Snouck Hurgronje, tiada keraguan, adalah yang terbaik. Ia hidup mengikuti cara hidup seorang muslim dengan nama Abdul Ghaffar," tulis Vogel dalam Bukti-bukti Kebohongan Orientalis (1996).

Snouck Hurgronje alias Abdul Ghaffar meninggal pada 26 Juni 1936, tepat hari ini 83 tahun lalu. Ia dikenang sebagai orientalis-indolog yang sangat menguasai seluk-beluk Islam di Hindia Belanda.

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 13 September 2016 dengan judul "Nasihat Abdul Ghaffar kepada Pemerintah Kolonial Belanda". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait PERANG ACEH atau tulisan menarik lainnya Petrik Matanasi
(tirto.id - pet/nqm)


Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nurul Qomariyah PramistiIvan Aulia Ahsan

Array

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Snouck Hugronje bersama teman sekelas © Commons Wikimedia

Sampai akhir abad 19, Belanda telah memiliki banyak pengalaman terhadap wilayah Nusantara dan hampir semuanya memberikan kenangan perlawanan yang digerakan di tiap daerah.

Sejak menginjakkan kaki di Nusantara pada abad 16, Islam selalu menjadi penghalang dalam mencapai keinginan pemerintah Belanda untuk menguasai seluruh wilayah Nusantara, bahkan hingga menginjak abad 19.

Salah satu perang yang paling lama dilakukan Belanda melawan umat Islam adalah di Aceh. Perang Aceh (1873-1917) banyak menguras perbendaharaan pemerintah kolonial dan memunculkan berbagai kritik atas perang tersebut.

“Mereka pun sadar ada yang salah dalam kebijakan pemerintah Hindia Belanda dan menjadi jelas pula bahwa kesalahan yang dilakukan tersebut disebabkan oleh ketidaktahuan tentang negeri yang akan ditaklukan oleh mereka,” jelas Benhard H.M Vlekke dalam Nusantara Sejarah Indonesia.

Rumoh Aceh, Arsitektur Rumah Adat Tahan Gempa yang Awet 200 Tahun

Vlekke menyebut pemerintah Belanda telah lalai dengan tidak meminta nasehat profesional sebelum memulai perang. Terutama para ahli yang paham tentang urusan Islam, khususnya di Indonesia.

Karena itulah, pemerintah Belanda, jelas Vlekke, mengundang Christiaan Snouck Hurgronje, seorang profesor studi Islam dari Universitas Leiden untuk mengadakan studi menyeluruh tentang negeri dan orang Aceh.

Sejak di perguruan tinggi, Snouck telah memperhatikan perang Aceh yang dilaksanakan oleh pemerintah Belanda, dan menyadari adanya kekeliruan politik Aceh yang dilakukan oleh pemerintah Belanda.

Karena itu, Snouck pergi ke Mekah untuk mempelajari Islam. Dirinya kemudian memeluk agama Islam pada tahun 1885 dan mengganti namanya menjadi Abdul Gaffar. Selama di Mekah, Snouck mendapat kesempatan untuk bertemu jemaah haji asal Indonesia.

MH Gayo dalam Perang Gayo Alas Melawan Kolonialisme Belanda menyebut Snouck meminta keterangan tentang perang yang ada di Aceh. Jemaah haji asal Indonesia pun menceritakan secara jelas karena kepercayaan terhadap sosok Abdul Gaffar ini.

Pada tahun 1889, dirinya dikirim ke Hindia Belanda untuk menjadi peneliti pendidikan Islam di Buitenzorg (Bogor) dan Guru Besar Bahasa Arab di Batavia. Tahun 1890. Snouck menikahi putri bangsawan pribumi asal Ciamis.

Gubernur van Teijn yang kala itu menjadi Gubernur Belanda di Aceh menawarkan kepada Snouck untuk mempelajari posisi ulama di Aceh. Pada tahun 1891, Snouck telah diangkat menjadi penasihat resmi pemerintah Belanda untuk urusan kolonial.

Snouck dan dinamika pemikiran Islam

Salah satu hal yang dilakukan oleh Snouck saat menjadi penasihat adalah dengan mencoba untuk menghilangkan ketakutan Belanda terhadap Islam, baik dalam skala lokal, maupun internasional.

“Dirinya meyakinkan para pejabat bahwa mereka tidak perlu takut kepada pengaruh para “haji”. Dan bahwa tidaklah bijaksana jika memperlakukan mereka dengan kecurigaan tak berdasar,” tulis Gayo.

Pemerintah Hindia Belanda sendiri memandang bahwa Mekah sebagai pusat konspirasi anti-Belanda dan anti-kolonial. Namun bagi Snouck, para jamaah haji Hindia Belanda ini pada umumnya merupakan sarjana dan guru yang tidak mementingkan duniawi.

Sebagian besar dari mereka hanya ingin menyembah Allah dengan damai. Dengan demikian, Snouck memberi masukan bahwa penindasan terhadap umat Islam tidak perlu dilakukan.

Selain itu, Snouck juga menekankan kepada para pejabat kolonial untuk tidak terlalu memaksakan dan berharap banyak terhadap Kristenisasi di tanah Aceh, juga daerah Hindia Belanda lain yang masih menganut agama Islam.

Syair Smong, Kearifan Lokal yang Selamatkan Simeulue dari Tsunami Aceh

Tetapi dirinya tetap mengingatkan pemerintah kolonial untuk berhati-hati terhadap politik fanatisme Islam. Pria yang lahir di Oosterhout, Belanda, 8 Februari 1857 silam ini menunjuk pada kelompok Pan-Islamisme dan kaum fanatik lokal dalam bentuk tarekat.

“Snouck juga menegaskan agar tidak meremehkan dan memandang rendah Islam, karena jika seorang Muslim percaya bahwa tingkat keimanannya sudah tinggi, dia akan melakukan apa saja atas dasar Islam,” ujar Effendi dalam Politik Kolonial Belanda Terhadap Islam di Indonesia dalam Perspektif Sejarah.

Karena itulah, dia merekomendasikan kepada pemerintah Belanda untuk secara tegas memberantas gerakan Islam politik. Bahkan jika perlu, dilakukan tindakan militer dalam rangka membatasi ruang gerak pertumbuhan Islam politik di Hindia Belanda.

Dirinya juga meminta Belanda menerapkan langkah yang tepat agar membuat potensi umat Islam untuk memberontak diarahkan untuk mendukung pemerintah. Dia juga menyarankan bagaimana pemerintah Belanda seharusnya berhadapan dengan isu keagamaan.

Atas nasihat politik Snouck, pemerintah Hindia Belanda membedakan Islam menjadi dua. Pertama, Islam sebagai ajaran agama yaitu, selama umat Islam menganutnya sebagai agama mereka akan memberikan kebebasan.

Sedangkan kedua, Islam sebagai ajaran politik, pemerintah Belanda harus bersikap keras dan tak pandang bulu. Hal inilah yang dilakukan oleh pemerintah Belanda untuk melawan pergerakan kebangsaan yang berlandaskan ajaran Islam, seperti Perang Aceh.

Siasat Snouck meredam Perang Aceh

Pada 23 Mei 1982, Snouck menulis sebuah laporan kepada pemerintah Belanda yang diberi judul De Atjehers. Laporan tersebut berisi temuannya selama "menyamar" dan beberapa cara untuk menaklukkan Aceh.

Dirinya mengupas secara komprehensif nilai-nilai yang terkandung di dalam kehidupan rakyat Aceh. Dirinya memang sengaja dikirim ke Aceh untuk mempelajari gerakan politik rakyat di tanah Serambi Mekkah itu

Snouck menyusun laporan intelijen dengan satu poin penting: Perlawanan di Aceh tidak benar-benar dipimpin oleh Sultan, seperti yang dipikirkan Belanda selama ini, namun oleh ulama-ulama Islam.

Dia mengatakan tidak mungkin bernegosiasi dengan para ulama. Ideologi Islam yang menentang penjajah telah tertanam kuat dalam pemikiran mereka. Maka yang dianjurkannya kepada Belanda adalah menggunakan cara-cara kekerasan.

“Pada akhirnya Snouck menekankan bahwa tidak ada satupun yang dapat meredakan perlawanan yang fanatik dari kaum ulama. Jadi mereka harus ditumpas habis dan pemerintah Belanda harus mengandalkan dan bekerjasama dengan Uleebalang (yang dilihat sebagai pimpinan adat sekuler) agar mampu meruntuhkan dan menguasai Aceh,” jelas M C Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern.

Jalan Pedang Daud Beureueh, Ulama Karismatik yang Masuk Hutan untuk Tagih Janji

Menurut Snouck kekerasan terhadap ulama akan sangat ampuh membungkam mereka dari menyampaikan ajaran-ajaran soal jihad, negara Islam dan konsep politik Islam. Kedepannya mereka hanya diijinkan bicara soal hari akhir dan ritual ibadah.

Awalnya sarannya itu diabaikan oleh pemerintah Belanda. Penyerangan tetap dipusatkan pada Sultan. Namun sampai tahun 1896, Aceh belum bisa ditaklukkan. Belanda akhirnya memilih mengubah taktik.

Belanda kemudian mengangkat jenderal Joannes Benedictus van Heutsz sebagai gubernur Hindia Belanda. Dirinya kemudian menunjuk Snouck menjadi penasehatnya. Dengan posisi itu, Snouck berhak menasihati pasukan tentara dan ikut ekspedisi militer.

Pada saat itulah Snouck menjalankan misinya dengan bergabung dalam operasi militer selama 33 bulan di Aceh. Dalam momen ini Snouck memanfaatkan jabatannya dengan memimpin suatu dinas intelijen.

“Hasilnya dalam tugasnya itu, Snouck dapat menawan 100 orang barisan perlawanan pada 5 September 1896 di Bouronce, Pantai Utara Aceh,” tulis K Subroto dalam Strategi Snouck Mengalahkan Jihad Nusantara.

Namun di sisi lain, Belanda malah membuka kesempatan bagi bangsawan Aceh dan anak-anaknya untuk masuk dalam korps pamong praja pemerintah kolonial. Kebijakan ini dikenal dengan nama Politik Asosiasi.

Belanda juga melakukan kerjasama dengan para Uleebalang yang takut kehilangan kedudukan dan menganggap bahwa Islam akan menguasai dan membuat adat istiadat di Aceh luntur.

Akhirnya sekitar tahun 1903, dibentuklah kerjasama tersebut, hal ini membuat Aceh terpaksa terbagi menjadi dua pihak, yakni pihak yang dipimpin ulama dan pihak yang dipimpin oleh Uleebalang. Akibat hal ini Aceh akhirnya jatuh ke tangan pemerintah kolonial Belanda.