Urutan shaf dalam shalat berjamaah yang benar pada pernyataan berikut ini adalah

Urutan shaf dalam shalat berjamaah yang benar pada pernyataan berikut ini adalah

Ilustrasi (deshebideshe.com) Ilustrasi (deshebideshe.com)

Dalam menggapai kesempurnaan, pelaksanaan shalat berjamaah harus sesuai dengan berbagai ketentuan yang telah ditetapkan oleh syara’. Sebab, jika terdapat salah satu hal yang dimakruhkan dalam shalat berjamaah, maka akan berpengaruh terhadap fadhilah (keutamaan) shalat berjamaah.

Salah satu ketentuan yang harus diperhatikan dalam shalat berjamaah adalah tentang pengaturan shaf anak kecil dalam shalat berjamaah. Sebab jika anjuran ini tidak diperhatikan maka akan berakibat pada hilangnya fadhilah shaf pada shalat jamaah, bahkan menurut sebagian pendapat fadhilah shalat berjamaah menjadi hilang.

Sebelum menjelaskan tentang posisi shaf anak kecil dalam shalat berjamaah, patut diketahui bahwa anjuran syara’ dalam hal penempatan para makmum secara umum dalam shalat berjamaah adalah dengan cara menempatkan makmum laki-laki yang dewasa (sudah baligh) pada barisan paling depan (shaf awal) lalu ketika shaf awal tidak cukup maka dilanjutkan pada shaf selanjutnya, lalu di belakang barisan laki-laki dewasa ditempati oleh anak kecil laki-laki yang belum baligh, lalu shaf selanjutnya ditempati oleh khuntsa (orang berkelamin ganda), lalu shaf selanjutnya ditempati oleh para wanita. Ketentuan seperti inilah yang dianjurkan oleh syara’ agar pelaksanaan shalat berjamaah menjadi sempurna. 

Berdasarkan ketentuan di atas, sebaiknya anak kecil tidak menempati shaf-shaf awal selama masih ada laki-laki dewasa yang akan menempatinya. Karena tempat shaf bagi mereka adalah di belakang laki-laki dewasa. Barulah ketika shaf awal tidak penuh, anak kecil boleh untuk menempati shaf-shaf awal yang sejajar dengan laki-laki yang dewasa dalam rangka menyempurnakan shaf. 

Ketentuan tidak bolehnya anak kecil menempati shaf paling depan dalam penjelasan di atas mengecualikan ketika anak kecil memang datang terlebih dahulu dibandingkan dengan orang-orang yang telah baligh, maka dalam hal ini anak kecil diperkenankan untuk menempati shaf depan, dan tidak perlu disingkirkan pada shaf di belakangnya, sebab mereka masih dianggap satu jenis dengan laki-laki yang telah baligh. ketentuan di atas tercantum dalam kitab Mauhibah dzi al-Fadhal:

ـ (ويقف) ندبا فيما إذا تعددت أصناف المأمومين (خلفه الرجال) صفا (ثم) بعد الرجال إن كمل صفهم (الصبيان) صفا ثانيا وان تميزوا عن البالغين بعلم ونحوه هذا (إن لم يسبقوا) أي الصبيان (إلى الصف الأول فان سبقوا) إليه (فهم أحق به) من الرجال فلا ينحون عنه لهم لأنهم من الجنس بخلاف الخناثى والنساء ثم بعد الصبيان وان لم يكمل صفهم الخناثى 

“Lelaki (dewasa) disunnahkan untuk berdiri di shaf belakang imam (shaf pertama) ketika banyak makmum yang ikut berjamaah. Lalu setelah shaf lelaki penuh maka selanjutnya shaf yang di isi oleh anak-anak kecil. Termasuk dari anak kecil ini adalah anak (yang belum baligh) yang dapat dibedakan dari lelaki yang telah baligh dengan cara diketahui atau yang lainnya. Ketentuan ini ketika mereka (anak kecil) tidak mendahului mendapatkan shaf awal. Jika mereka mendahului pada shaf awal (dari orang baligh) maka mereka lebih berhak untuk menempati shaf awal dari lelaki yang telah baligh. Maka mereka tidak boleh diusir dari shaf awal karena mereka masih satu jenis (laki-laki). Berbeda halnya bagi khuntsa (orang yang berkelamin ganda) atau perempuan.” 

ـ (ثم بعدهم وان لم يكمل صفهم النساء) للخبر الصحيح ليلينى منكم أولوا الاحلام والنهى اى البالغون العاقلون ثم الذين يلونهم ثلاثا ومتى خولفا لترتيب المذكور كره وكذا كل مندوب يتعلق بالموقف فإنه يكره مخالفته وتفوت به فضيلة الجماعة كما قدمته فى كثير من ذلك

“Lalu yang menempati shaf dibelakang anak kecil laki-laki, meskipun shaf mereka tidak penuh, adalah khuntsa, lalu setelah khuntsa adalah orang perempuan, mekipun shafnya khuntsa tidak penuh. Hal ini berdasarkan hadis shahih “hendaknya mengiring-ngiringi barisan kalian (imam) orang-orang yang telah baligh, lalu setelah itu orang-orang yang mengiringi kalian” (kata-kata ini diucapkan tiga kali oleh Rasulullah). Ketika ketentuan tertibnya shaf di atas dilanggar maka hukumnya makruh. Begitu juga kemakruhan ini juga berlaku pada melanggar segala kesunnahan yang berhubungan dengan tempat berdiri. Kemakruhan ini dapat menghilangkan fadhilah jama’ah, seperti yang telah saya (Mushannif) jelaskan dalam berbagai keterangan yang berkaitan dengan hal ini.” (Syekh Mahfudz at-Turmusi, Mauhibah dzi al-Fadhal Hasyiyah at-Turmusi, Juz 3, Hal. 59-62)

Maksud dari “anak kecil” dalam pembahasan shaf tersebut bermakna umum, sehingga mencakup seluruh anak yang masih belum baligh, baik itu sudah tamyiz (bisa membedakan hal yang baik dan buruk bagi dirinya) ataupun belum tamyiz (belum bisa membedakan hal yang baik dan buruk bagi dirinya). 

Namun ketentuan penempatan shaf di atas berubah ketika keadaan anak kecil sangat agresif dan hanya dapat shalat dengan tenang ketika bersanding dengan orang tuanya atau orang lain yang ditakutinya. Yakni, sekiranya anak kecil itu shalat berada jauh dari pengawasan mereka maka ia akan berpotensi ramai sendiri atau mengganggu (tasywis) terhadap jamaah lain. Dalam keadaan demikian sebaiknya ia ditempatkan di samping orang tuanya atau orang yang ditakutinya. 

Pengecualian lain juga berlaku ketika keadaan anak kecil masih belum tamyiz dan butuh pendampingan, seperti anak yang masih berumur sekitar dua atau tiga tahun yang masih belum berani jauh dari jangkauan orang tuanya. Hal yang paling maslahat dalam hal ini adalah menyandingkan anak kecil tersebut dengan orang tua atau orang lain yang biasa menjadi tumpuannya, agar anak kecil tidak merasa khawatir ketika jauh dari orang tuanya. Lebih maslahat lagi ketika orang tua dari dua anak kecil dari kategori di atas agar mengalah untuk menempati posisi shaf di belakang laki-aki dewasa, dengan begitu ia dapat mengontrol anaknya sekaligus menjalankan anjuran penempatan shaf bagi anak kecil secara benar. 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa posisi shaf yang benar bagi anak kecil adalah berada di belakang laki-laki dewasa, sekiranya laki-laki dewasa diprioritaskan agar menempati shaf yang berada di depan dan shaf-shaf yang mengiringinya. Baru setelah itu anak kecil ditempatkan pada shaf di belakangnya atau sejajar dengan shaf laki-laki dewasa ketika memang isi shaf tidak penuh. Ketentuan demikian dapat berubah ketika keadaan anak kecil akan ramai atau masih butuh pendampingan orang lain maka baiknya adalah bersanding dengan orang yang menjadi tumpuannya. 

Bagi para takmir masjid hendaknya memperhatikan dan mengamalkan ketentuan ini, agar shalat berjamaah para makmum yang shalat berjamaah di masjid benar-benar mendapat fadhilah shaf sekaligus fadhilah shalat berjamaah secara sempurna. Wallahu a’lam.

(Ustadz Ali Zainal Abidin)

Bulan Safar, Rebo Wekasan, dan Hal-hal yang Penting Diperhatikan

Assaamu’alaikum Wrwb, Ustadz saya ingin menanyakan sebenarnya bagaimana susunan shaf dalam sholat berjamaah menurut tuntunan Rasullullah SAW, terutama untuk laki-laki pada shaf kedua dan seterusnya, apakah shaf dimulai dari tengah atau dari sebelah kanan.

Juga benarkah jika seseorang yang sholat berjamaah pada shaf kedua sendirian, sholatnya tidak sah. Tolong dijelaskan beserta gambarnya kalo bisa. Terima kasih

Waalaikumussalam Wr Wb
Saudara Karno yang dimuliakan Allah swt

Dari Mana Memulai Shaf ?

Dianjurkan bagi para jamaah untuk meluruskan shafnya didalam shalat, tidak sebagiannya lebih maju dari sebagian lainnya (bengkok) dan tidak meninggalkan celah didalamnya. Dianjurkan pula bagi seorang imam untuk mengingatkan jamaahnya sebelum shalat ditegakkan dengan megatakan, diantaranya :

« سوّوا صفوفكم فإنّ تسوية الصّفّ من تمام الصّلاة »

Artinya : “Luruskanlah shaf-shaf kalian maka sesungguhnya lurusnya barisan adalah diantara kesempurnaan menegakkan shalat."

Bagian dari kelurusan shaf jamaah shalat adalah mengisi penuh terlebih dahulu shaf pertama baru kemudian shaf kedua, mengisi penuh shaf kedua baru kemudian shaf ketiga begitu seterusnya dan tidak mengisi shaf kedua sementara shaf pertama masih kosong, berdasarkan apa yang driwayatkan oleh Abu Daud dari dari Anas bin Malik dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Sempurnakanlah shaf yang pertama, kemudian yang berikutnya. Kalaupun ada shaf yang kurang, maka hendaklah dia di shaf belakang."

Adapun shaf dalam shalat dimulai dari belakang imam (tengah) baru kemudian mengisi sebelah kanan dan kirinya hingga seimbang antara bagian kiri dan kanan hingga shaf tersebut penuh baru kemudian membuat shaf dibelakangnya dengan cara yang sama dengan diatas.

Abu Daud meriwayatkan dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Jadikanlah imam berada di tengah-tengah kalian dan tutuplah celah-celah shaf."

Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Mas’ud bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda Hendaklah yang tepat di belakangku orang yang dewasa yang memiliki kecerdasan dan orang yang sudah berakal di antara kalian, kemudian orang yang sesudah mereka kemudian orang yang sesudah mereka’.

Pemilik kitab “Aunul Ma’bud” mengatakan jadikanlah imam kalian berada ditengah-tengah dan berdirilah kalian pada shaf-shaf dibelakangnya lalu sebelah kanan dan kirinya.

Hukum Orang Yang Shalat Sendirian DIbelakang Shaf

Shalat sendirian dibelakang shaf tanpa adanya uzur tetaplah sah namun makruh dan kemakruhannya itu hilang jika terdapat uzur, demikianlah pendapat jumhur fuqaha : para ulama Hanafi dan Syafi’i menguatkan pendapat itu berdalil dengan apa yang diriwayatkan dari Abu Bakrah bahwa dia pernah mendapati Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedang rukuk, maka dia pun ikut rukuk sebelum sampai ke dalam barisan shaf. Kemudian dia menceritakan kejadian tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu bersabda: "Semoga Allah menambah semangat kepadamu, namun jangan diulang kembali."

Sementara itu para ulama Maliki berpendapat boleh shalat sendirian dibelakang shaf, ini adalah nash Khalil : al Mawaq menukil dari Ibnu Rusyd bahwa barangsiapa yang shalat dan membiarkan tempat kosong yang ada di shaf maka sungguh dia telah melakukan keburukan. Dia berkata bahwa yang masyhur adalah dia melakukan keburukan namun tidak perlu mengulang shalatnya.

Para ulama Hambali berpendapat bahwa tidak sah shalat orang yang sendirian satu rakaat penuh dibelakang shaf tanpa adanya uzur, berdasarkan hadit Wabishah bin Ma’bad bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihat seorang laki-laki melaksanakan shalat sendirian dibelakang shaf maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkannya untuk mengulang (shalatnya).” (HR. Tirmidzi. Dia berkata,”Hadits hasan.” Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam shahihnya)

Jumhur ulama berkata bahwa dari hadits Abi Bakrah itu tidaklah ada keharusan baginya mengulang shalat. Sedangkan perintah mengulang didalam hadits Wabishah bin Ma’bad adalah sebuah anjuran, demikianlah penggabungan antara dua dalil diatas.

Adapun penjelasan tentang cara seorang makmum menghindari shalat sendirian dibelakang shaf adalah sebagai berikut :

Barangsiapa memasuki masjid sementara sudah ada jamaah dan jika dia mendapatkan celah (tempat kosong) pada shaf terakhir maka hendaklah dia berdiri di tempat yang kosong itu. dan jika dia medapatkan tempat kosong pada shaf yang ada di depan maka hendaklah dia menerobos shaf-shaf yang ada untuk sampai kepada tempat kosong itu
Dan barangsiapa yang tidak mendapatkan tempat kosong di shaf manapun maka telah terjadi perbedaan para fuqaha tentang apa yang seharusnya dilakukan olehnya pada saat itu :

Para ulama Hanafi megatakan,”Seyogyanya dia menunggu orang memasuki masjid untuk membentuk shaf bersamanya. Jika dia tidak mendapatkan seorang pun dan khawatir kehilangan rakaat maka hendaklah dia menarik seseorang yang telah diketahui ilmu adan akhlaknya dari shaf untuk berada bersamanya. Jika dia tidak mendapatkan orang yang seperti itu maka hendaklah dia berdiri di belakang shaf sejajar dengan imam tanpa ada kemakruhan dalam hal ini dikarenakan adanya uzur, demikianlah menurut al Kasani didalam Bada’i as Shana’i.

Para ulama Maliki berpendapat bahwa barangsiapa yang tidak memungkinkan baginya masuk ke dalam shaf maka shalatlah sendirian tanpa menarik seorang pun dari shaf. Jika dia menarik seseorang maka hendaklah orang yang ditariknya tidak perlu menaatinya.

Pendapat para ulama Syafi’i yang benar adalah barangsiapa yang tidak mendapatkan tempat kosong dan tidak juga kelapangan maka dianjurkan baginya untuk menarik seseorang dari shaf untuk membuat shaf dengannya akan tetapi hendaklah dia memperhatikan bahwa orang yang ditarik itu mau untuk menyepakatinya dan jika tidak maka janganlah dia menarik seseorang demi menghindari fitnah.

Jika dia menarik seseorang maka dianjurkan bagi orang yang ditarik itu untuk membantunya demi mendapatkan keutamaan memberikan bantuan dalam kebaikan dan ketakwaan.

Para ulama Hambali berpendapat bahwa barangsiapa yang tidak mendapatkan satu tempat didalam shaf maka berdirilah disebelah kanan imam jika mungkin. Jika berdiri di sebelah kanan imam tidak memungkinkan baginya maka hendaklah dia mengingatkan seseorang dari shaf untuk berdiri bersamanya.

Pemberian peringatan itu bisa dengan ucapan atau berdehem atau isyarat dan hendaklah orang yang diberi peringatan itu menurutinya. Secara lahiriyah hal itu adalah wajib karena merupakan bagian dari bab suatu kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengannya. Akan tetapi dimakruhkan baginya memberikan peringatan dengan menariknya, hal ini tidak disukai Imam Ahmad, Ishaq dikarenakan ia bisa memalingkannya tanpa seizinnya.

Namun Ibnu Qudamah didalam al Mughni membolehkan penarikan itu dalam perkataannya,”Karena keadaanlah yang menuntut hal demikian, maka ia dibolehkan seperti halnya sujud diatas punggungnya atau kakinya tatkala keadaannya penuh sesak.

Dan ini bukanlah memalingkannya akan tetapi hanyalah sebuah pemberian peringatan untuk keluar (dari shafnya, pen) dan shalat bersamanya. Terdapat hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,”Dan lemah lembutlah terhadap kedua tangan saudara kalian.” Akan tetapi jika orang itu tidak mau keluar bersamanya maka janganlah dirinya memaksanya dan shalatlah sendirian dibelakang shaf).

Dan hadits : ,”Dan lemah lembutlah terhadap kedua tangan saudara kalian.” Diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad shahih, nash itu digunakan Imam Nawawi didalam kitabnya “al Majmu’” –(Markaz al Fatwa No. 14806)
Wallahu A’lam

Ikuti update terbaru di Channel Telegram Eramuslim. Klik di Sini!!!

loading...